*

*

Ads

Jumat, 18 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 004

Rumah Sie Cin Hai adalah sebuah bangunan besar yang dilindungi pekarangan luas, sedangkan di kanan kiri dan belakang rumah ditanami bunga-bunga indah. Tanaman ini diurus oleh Yousuf sendiri yang memang amat suka bunga. Karena adanya pekarangan ini, maka letak rumah-rumah tetangga di kanan kiri agak jauh dari bangunan itu.

Pada pagi hari itu, Yousuf yang kini telah tua sekali itu sedang berada di kebun bunga sebelah kiri rumah, memetik dan membuangi daun-daun kering dan membunuh ulat-ulat yang mengganggu tanaman. Dengan perlahan dan asyik sekali, ia melangkah dari pohon ini ke pohon itu, dan nampaknya amat gembira.

Memang, kakek tua ini merasa berbahagia sekali hidupnya. Betapa tidak? Anak angkatnya yang terkasih, telah mempunyai rumah tangga yang baik dan ia telah mempunyai dua orang cucu sedangkan kehidupan mereka sekeluarga dalam keadaan aman dan damai. Ketenteraman hati ini membuat ia sehat-sehat saja dan jarang sekali menderita sakit, sungguhpun usianya telah tua dan tenaganya telah banyak berkurang.

Seorang pelayan wanita menghampirinya dan membungkuk sambil berkata,
“Yo-loya, minuman untuk Loya telah tersedia di ruang tengah.”

Yo Se Fu atau Yousuf mengangguk dan menjawab,
“Biarlah dulu, dan lebih baik kau menyediakan makan pagi untuk Siocia (Nona Kecil).”

“Siocia semenjak tadi telah pergi keluar, Loya.”

Yousuf menggeleng-geleng kepala,
“Aah, anak itu! Sepagi ini telah pergi. Kalau nanti ayah ibunya datang dan mendapatkan ia tidak berada di rumah, bukan saja ia akan mendapat marah, aku pula akan mendapat teguran. Mengapa kalian tidak mencegahnya dan tidak menyuruh ia memberitahukan lebih dulu kepadaku sebelum pergi?”

“Siocia tidak bisa dicegah, Loya. Kami pun telah minta ia memberi tahu lebih dulu kepada Loya, akan tetapi jawabnya takkan melarangnya keluar bermain dengan teman-temannya.”

Yousuf hanya menggeleng kepala dan berkata,
“Sudahlah, dan kau bersama pelayan lain bekerjalah baik-baik, jaga agar semua barang dalam rumah nampak bersih agar tuan dan nyonyamu akan senang hati kalau datang nanti.”

“Baik, Yo-loya,” kata pelayan itu yang kemudian mengundurkan diri.

“Anak bandel…” Yousuf berkata seorang diri dengan mulut tersenyum, “mungkin seperti ibunya ketika masih kecil.”

Ia lalu melanjutkan pekeriaannya membuangi daun-daun kering dan ulat-ulat. Kadang-kadang Yousuf tersenyum geli seorang diri kalau ia teringat akan kenakalan-kenakalan Lili, dan tersenyum bangga kalau teringat kepada Hong Beng yang pendiam, tampan, dan cerdik.

Amat berbahagialah orang tua yang mempunyai anak seperti Hong Li dan Hong Beng dan Yousuf merasa ikut beruntung melihat Sie Cin Hai dan Lin Lin berbahagia, karena kedua orang yang dianggap seperti anak sendiri itu memang orang-orang baik hati dan juga amat berbakti kepadanya. Tidak ada kesenangan lain bagi hati kakek tua ini kecuali melihat Cin Hai serumah tangga sehat-sehat dan hidup beruntung.

Tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan ketika ia menengok, ia merasa terkejut dan heran karena melihat tiga orang penunggang kuda masuk ke dalam pekarangan itu. Orang-orang yang baru datang ini adalah Bouw Hun Ti bersama kedua orang pengikutnya. Yousuf segera melangkah dan menghampiri tiga orang pengunjung itu.

Mudah saja bagi Bouw Hun Ti untuk menduga siapa adanya kakek tua yang berpakaian seperti orang Han akan tetapi berwajah orang Turki itu, maka dengan cekatan ia melompat turun dari kudanya dan bertanya,

“Apakah Saudara Yousuf yang terhormat baik-baik saja?”

Yousuf terkejut sekali mendengar pertanyaan ini dan ia memandang dengan penuh perhatian. Matanya yang tua itu telah agak lamur, akan tetapi ia masih dapat melihat bahwa orang ini adalah seorang Turki, baik dipandang dari kepalanya maupun bentuk mukanya sungguhpun kulitnya kekuning-kuningan seperti kulit orang Han. Akan tetapi, bagaimanapun ia mengingat-ingat, ia tak merasa pernah melihat orang ini, maka jawabnya ragu-ragu,

“Maaf, Saudara Muda, mataku telah terlalu tua untuk mengingat kembali wajah orang-orang yang telah lama tak bertemu denganku. Saudara ini siapakah dan datang dari mana?”






Bouw Hun Ti tertawa bergelak dan Yousuf merasa tak enak di dalam hatinya, karena suara tawa ini menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berhati kejam dan sombong. Memang Yousuf memiliki perasaan halus dan pandangan tajam, dapat mengenal watak-watak manusia hanya dengan mendengar suara ketawanya atau melihat wajahnya.

“Saudara Yousuf, biarpun kau telah lupa kepadaku, agaknya kau tidak lupa kepada Panglima Besar Balutin yang telah gugur dalam menjalankan tugas yang gagal karena pengkhianatan bangsa kita sendiri!”

Makin tak enaklah hati Yousuf mendengar ucapan ini, karena ia maklum bahwa yang dimaksudkan dengan pengkhianatan itu tentu dia sendiri. Akan tetapi dengan tenang ia mengangguk dan menjawab,

“Tentu saja aku kenal Panglima Balutin yang gagah perkasa, sungguhpun harus kuakui bahwa perkenalan itu tidak sangat erat. Akan tetapi, aku masih belum mengerti apakah hubungannya perkenalanku dengan Balutin itu dengan kunjunganmu sekarang ini. Apakah kau sengaja datang jauh-jauh dari Turki hanya untuk mencariku?”

Bouw Hun Ti mengangguk.
“Memang kami sengaja datang untuk mencarimu, dan kebetulan sekali kita dapat berjumpa dengan mudah. Saudara Yousuf, lupakah kau kepada Bouw Hun Ti, putera dari Balutin? Dulu aku hanya dapat melihatmu dari jauh, mengingat akan kedudukanmu dan selalu aku memandangmu dengan kagum, yaitu sebelum mendengar betapa kau mengkhianati ekspedisi pemerintahan kita.”

Yousuf teringat bahwa Balutin memang mempunyai seorang putera yang berkepandaian tinggi, akan tetapi dulu ia belum pernah berhubungan dengan orang muda itu.

“Sudahlah, tak ada gunanya kita membicarakan hal yang sudah lampau. Setiap orang mempunyai kesalahan-kesalahannya sendiri, tergantung dari sudut orang itu memandangnya. Yang terpenting sekarang beritahukanlah maksud kedatanganmu ini.”

“Ha, ha, ha! Setidaknya kau masih memiliki sifat terus terang dan langsung seperti sifat bangsa kita!” Kini suara Bouw Hun Ti berubah kasar dan tanpa penghormatan pula. “Yousuf, aku datang atas perintah Pangeran untuk membawamu ke Turki!”

Yousuf terkejut mendengar ini dan memandang penuh kecurigaan. Ia tahu bahwa Pangeran Tua tak mungkin akan memanggilnya, karena ia telah minta ijin dari Pangeran Tua untuk meninggalkan tanah air dan masuk menjadi bangsa Han sedangkan Pangeran Tua telah memberi perkenan sepenuhnya. Semenjak saat itu, hubungannya dengan Turki telah putus sama sekali dan ia telah menganggap diri sendiri sebagai seorang Han asli. Mengapa sekarang tiba-tiba Pangeran Tua yang memanggilnya?

“Bouw Hun Ti, kalau benar Pangeran Tua memanggilku, tentu ada suratnya. Perlihatkan suratnya kepadaku.”

Bouw Hun Ti tersenyum sindir.
“Untuk memanggil seorang hambanya, tak perlu Pangeran menggunakan surat. Apakah kau tidak percaya kepadaku? Ketahuilah, Yousuf bahwa aku adalah tangan kanan Pangeran dan kalau kau sudah tiba disana, akan kau ketahui sendiri.”

“Kau selalu menyebut Pangeran, yang mana maksudmu? Tentu bukan Pangeran Tua yang menyuruhmu, bukan?”

“Siapa sudi membantu Pangeran yang lemah itu? Pangeran Muda yang mengutusku untuk membawamu kembali!”

Kini mengertilah Yousuf, dan ia tahu pula bahwa orang ini memang sengaja datang hendak membikin ribut. Semua orang tahu belaka bahwa ia, Yousuf, adalah pengikut Pangeran Tua dan yang selalu memusuhi segala tindakan yang tak patut dari Pangeran Muda, maka tentu saja kalau sekarang pangeran itu mengutus seorang untuk memanggil atau membawanya ke Turki, itu berarti bahwa utusan ini telah diberi wewenang penuh untuk membawanya hidup-hidup ataupun mati!

Akan tetapi, Yousuf biarpun telah tua sekali, masih belum kehilangan keberanian dan kegagahannya. Ia memandang tajam dan berkata,

“Dengarlah, Bouw Hun Ti! Kalau Pangeran Muda yang memanggilku, jangankan tanpa surat, biarpun dengan surat yang disimpan dalam kotak emas permata sekalipun, aku takkan mau mentaatinya!”

“Ha, ha, ha! Bagus, Yousuf, memang inilah yang kukehendaki! Dengan jawabanmu ini, maka ada alasan bagiku untuk memenggal lehermu!”

Sambil tertawa bergelak, Bouw Hun Ti lalu menggerakkan tangan kanannya dan goloknya yang tajam berkilauan telah dicabutnya! Yousuf sama sekati tidak takut menghadapi Bouw Hun Ti biarpun ia dapat menduga bahwa putera Balutin ini tentu kepandaiannya tinggi sekali.

Akan tetapi ketika Bouw Hun Ti mencabut goloknya, tiba-tiba wajah Yousuf menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak lebar. Diluar dugaan Bouw Hun Ti, kakek ini lalu menjatuhkan diri berlutut menyembah dengan jidat menempel di tanah sambil berkata penuh hormat,

“Hamba menanti perintah.”

Melihat hal ini, Bouw Hun Ti yang tadinya merasa heran, menjadi girang sekali karena ia mengerti bahwa goloknya inilah yang membuat Yousuf bersikap seperti itu. Goloknya yang dipegang ini adalah golok pusaka yang biasa digunakan oleh Pangeran Tua dan yang digunakan sebagai lambang kekuasaannya. Menurut aturan lama dari kerajaan itu, barang siapa yang diberi kekuasaan oleh Pangeran Tua untuk memegang golok ini, maka dia berhak menghukum setiap orang sebagai wakil penuh.

Biarpun Yousuf merasa heran mengapa golok pusaka dari Pangeran Tua itu bisa terjatuh ke dalam tangan orang ini, akan tetapi kesetiaannya terhadap Pangeran Tua membuat ia tidak berani banyak cakap, dan segera berlutut, karena ia pikir bahwa dibawah pengaruh golok itu, ia harus menyerah dan membiarkan dirinya dibawa ke Turki!

Akan tetapi, Yousuf tidak tahu akan kekejian hati Bouw Hun Ti yang memang telah mempunyai keinginan untuk membunuhnya. Ketika melihat Yousuf bertutut dan menyembah dihadapannya seperti itu, manusia berhati kejam dan curang ini lalu mengayun goloknya ke arah leher Yousuf!

Bukan main terkejutnya hati Yousuf ketika mendengar sambaran angin dari atas lehernya, tetapi sudah terlambat. Sebelum ia tahu apa yang terjadi atas dirinya, golok yang tajam itu telah membabat lehernya! Darah mengalir keluar seperti pancuran dari lehernya ketika kepala kakek tua yang bernasib malang itu menggelinding ke atas tanah!

Dua orang pelayan wanita menjerit ketika mereka keluar dan melihat tubuh Yousuf rebah di tanah dengan leher putus. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi dengan satu lompatan saja Bouw Hun Ti telah dapat menyusul mereka dan dua kali goloknya bergerak robohlah dua orang pelayan itu dalam keadaan mandi darah dan tidak bernyawa lagi!

Melihat darah para korbannya itu, Bouw Hun Ti menjadi makin buas.
“Tunggu disini, biar aku mengadakan pemeriksaan di dalam!” katanya kepada dua orang pengiringnya yang memandang semua kejadian itu dengan muka menahan kengerian hati.

Bouw Hun Ti lalu lari masuk ke dalam rumah Sie Cin Hai, aduk sana bongkar sini membunuh dua orang pelayan laki-laki yang kebetulan berada disitu, kemudian keluar lagi. Ia lalu mengambil kepala Yousuf dengan memegang rambutnya, membungkus kepala itu dengan saputangan lebar, lalu memberi tanda kepada dua orang pengiringnya untuk pergi dari situ.

Beberapa orang yang kebetulan lewat di depan rumah itu, menjadi ketakutan dan segera melarikan diri sambil berteriak-teriak, memberi tahu kepada semua orang bahwa Kakek Yo dibunuh orang!

Orang-orang sekota menjadi gempar dan mereka lalu membawa senjata dan beramai-ramai menuju ke tempat itu. Akan tetapi, Bouw Hun Ti dan kedua pengiringnya sambil membawa kepala Yousuf telah pergi dari situ dan orang-orang itu hanya mendapatkan mayat Yousuf yang hilang kepalanya, dan mayat empat orang pelayan.

Gegerlah keadaan disitu, dan terdengar suara tangis para wanita ketika mendengar bahwa Empek Yo yang baik hati itu terbunuh orang. Mereka lalu mencari-cari ke dalam rumah dan ketika mereka tak melihat Hong Li, keadaan menjadi makin ribut lagi.

“Aduh celaka! Nona Lili lenyap…!”

Mereka mengeluh dan peluh dingin keluar dari jidat mereka karena mereka dapat membayangkan betapa akan marahnya pendekar besar Sie Cin Hai dan isterinya apabila mengetahui hal ini!

**** 004 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar