*

*

Ads

Minggu, 20 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 013

Kemana saja ia pergi, tentu ia akan mempergunakan ilmunya untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli pengobatan lebih terkenal daripada namanya sebagai seorang ahli silat.

Tosu yang pendek kecil itu, Im-yang Giok-cu, tidak kalah ternamanya. Ia seorang tokoh besar dari Pegunungan Kunlun dan ilmu kepandaiannya sudah amat dikenal. Tokoh besar ini pun jarang menampakkan diri di dunia ramai dan biarpun ia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka merantau ke mana-mana namun ia jarang sekali memperkenalkan diri.

Oleh karena itu, munculnya dua orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian Tiong Hosiang. Sebetulnya, bukan sengaja kedua orang tokoh besar ini mengadakan pertemuan di Tiang-an. Telah lama sekali Sin Kong Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang pendekar terbesar di masa itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, ia merasa gembira dan ingin sekali mencoba kepandaian Pendekar Bodoh.

Dulu pernah ia berhadapan dengan Bu Pun Su dan setelah mengadakan pibu, (adu kepandaian) sampai seratus jurus lebih, akhirnya ia tidak tahan menghadapi Bu Pun Su dan berjanji hendak mencoba kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian. Sayang bahwa setelah ia melatih diri dan menciptakan ilmu silat yang hebat, ia mendengar bahwa Bu Pun Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya beralih kepada Pendekar Bodoh yang menjadi murid Bu Pun Su.

Karena Keinginan hati inilah, maka Sin Kong Tianglo meninggalkan daerah Go-bi-san yang luas itu dan turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh berada di kota Tiang-an, maka ia lalu menuju ke kota itu. Di tengah jalan, ketika ia melalui sebuah dusun, ia mendengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan suara yang keras dan parau. Ia merasa heran sekali oleh karena di sekitar tempat itu tidak terdapat orang, dari manakah datangnya suara nyanyian yang hebat ini. Ia melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan ketakutan dan ketika ia menghampiri mereka dan bertanya, seorang diantara penduduk kampung itu menjawab dengan muka pucat.

“Apakah Losuhu tidak mendengar suara nyanyian yang hebat itu?”

“Pinceng mendengar. Siapakah gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?”

“Yang bernyanyi adalah seorang iblis!”

Tentu saja Sin Kong Tianglo menjadi heran mendengar ini dan ia minta penjelasan lebih lanjut. Ternyata bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di atas jembatan kampung dan memenuhi jembatan kecil itu.

Kakek ini minum arak terus-menerus sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang membuat anak telinga serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan diri sambil bernyanyi-nyanyi di atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas menjadi terhalang. Orang-orang telah membujuknya, bahkan berusaha menggusurnya dari jembatan itu!

Sin Kong Tianglo menjadi tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja, melihat seorang kakek kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci di tangan kanan dan bernyanyi-nyanyi. Akan tetapi, wajahnya berubah girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal orang ini sebagai seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-yang Giok-cu! Maka ia lalu menegur dan kakek kate itu ketika melihat Sin Kong Tianglo, lalu melompat berdiri dan berkata,

“Ha, ha! Sungguh untungku baik sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau datang! Eh, Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?”

Demikianlah, keduanya lalu bercakap-cakap sambil meninggalkan dusun itu dan Im-yang Giok-cu mendengar bahwa hwesio itu hendak mencari Pendekar Bodoh untuk diajak pibu, ia pun menyatakan keinginannya bertemu dengan pendekar muda yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan itu!

Akan tetapi, karena sudah merasa amat kangen kepada permainan catur, mereka lalu menunda perjalanan dan ketika melihat Kelenteng Ban-hok-tong, mereka masuk ke dalam dan minta pinjam papan catur, terus saja bertanding catur!

Goat Lan yang bersembunyi di atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka senang sekali. Memang ia pun amat suka akan ilmu silat sungguhpun kesukaannya akan ilmu silat tidak sebesar kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur!






Keadaan di bawah amat terang karena belasan orang hwesio dengan obor bernyala di tangan, berdiri berkelompok menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir pergi, terganti cahaya terang bagaikan siang, sungguhpun kalau orang melihat ke atas, langit hitam ketam tak berbintang sedikit pun.

Menurut pandangan Goat Lan yang menonton di atas genteng, kedua kakek itu melakukan pertandingan dengan cara yang amat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan sedang bertempur atau bersilat, akan tetapi seperti dua orang pelawak yang sedang menari-nari dengan lucunya!

Im-yang Giok-cu menari dengan guci araknya di tangan kanan yang digerakkan lambat dan perlahan seperti orang menyerang, sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan pisau pemotong daun di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang keranjang obat, seakan-akan ia sedang menggunakan pisaunya untuk mencari daun-daun obat!

Akan tetapi, sesungguhnya kedua orang kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang menari atau melawak! Oleh karena, biarpun mereka itu bergerak dengan amat lambat seakan-akan bukan sedang bertempur, namun obor yang dipegang tinggi-tinggi oleh para hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan tertiup angin besar, padahal pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali, tanda bahwa tidak ada angin!

Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng, tentu ia akan merasakan pula apa yang dirasai oleh para hwesio itu, yaitu angin sambaran dari kedua orang itu sampai mendatangkan hawa dingin pada muka mereka!

Lama juga kedua orang itu bertempur berputar-putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan dilawan gerakan. Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling merobohkan, hanya mengadu kepandaian saja dan oleh karena keduanya maklum akan kelihaian masing-masing, maka tanpa dijanjikan terlebih dahulu, mereka membatasi gerakan mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk kemudian dipecahkan oleh yang lain.

Dengan demikian, mereka hanya saling serang dengan angin pukulan saja dan siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan, berarti kalah tinggi kepandaiannya. Telah lima puluh jurus lebih kedua orang kakek itu mengeluarkan kepandaian, akan tetapi keduanya sama pandai dan sama tangguhnya.

Im-yang Giok-cu terkenal dengan ilmu silatnya Im-yang Kim-na-hwat yang mendasarkan permainannya kepada gerak berlawanan dari Im dan Yang, sehingga tenaga serangannya merupakan perpaduan dari tenaga kasar dan lemas dan lweekangnya telah mencapai puncak yang amat tinggi.

Sebaliknya, semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga melatih diri sehingga tidak saja tenaga twee-kangnya tidak berada di sebelah bawah tingkat Im-yang Giok-cu, akan tetapi ilmu silatnya juga telah maju amat hebatnya. Ilmu silatnya berbeda dengan ilmu silat cabang persilatan Go-bi-pai dan bahkan ia telah menciptakan berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain.

Pada saat itu, Goat Lan yang sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena kelambatan gerakan kedua orang kakek itu, tiba-tiba mendengar suara ayahnya dari sebelah belakang,

“Goat Lan, kau sedang berbuat apakah?”

Ia cepat menengok ke belakang dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa ayah dan ibunya juga sudah berdiri di atas genteng, tak jauh di belakangnya! Agaknya ayah ibunya telah semenjak tadi berdiri di situ.

Memang benar, sesungguhnya Kwee An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu, diam-diam memperhatikan jalannya pertempuran dan juga melihat kearah anak mereka dengan hati geli.

Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian Tiong Hosiang datang memberi tahu bahwa Goat Lan telah menimbulkan keributan di antara dua orang kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua kakek itu hendak mengambil murid anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan Goat Lan.

Mereka merasa gelisah kalau-kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi oleh kedua orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika dengan berlari cepat sekali sehingga Thian Tiong Hosiang tertinggal jauh mereka menuju ke Ban-hok-tong, mereka melihat Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas genteng dengan muka kelihatan jemu dan bosan!

Kedua suami isteri ini menjadi lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang kakek yang masih saling serang itu.

Bukan main terkejut hati Kwee An dan Ma Hoa melihat gerakan-gerakan mereka itu.
“Kepandaian mereka benar-benar hebat!” kata Kwee An kepada isterinya.

Ma Hoa mengangguk dan menarik napas panjang.
“Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan nama kosong belaka.”

Goat Lan bangun berdiri dan menghampiri ayah ibunya. Mendengar ucapan ayah ibunya yang memuji kepandaian dua orang kakek itu, ia berkata mencela,

“Apanya sih yang hebat? Kepandaian mereka bahkan lebih jelek daripada permainan catur mereka!”

Kwee An dan Ma Hoa sudah mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu ketika bermain catur, maka mereka tersenyum geli.

“Anak bodoh, ilmu silat yang kau lihat amat lambat itu adalah ilmu silat yang jarang terdapat di dunia ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh besar itu!”

Kwee An memegang lengan tangan anaknya lalu melompat turun ke bawah bagaikan seekor burung alap-alap menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga melompat turun dengan indah dan cepatnya.

Baik Im-yang Giok-cu maupun Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat berkelebatnya dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti bertempur dan memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan mereka.

Kwee An dan Ma Hoa menjura kepada mereka dan Kwee An berkata,
“Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua suami isteri yang bodoh telah mendengar bahwa anak kami telah mengganggu Ji-wi, maka sengaja datang menghaturkan maaf!”

“Aha, pantas saja anak ini demikian baik, tidak tahunya ayah-ibunya lihai dan memiliki kepandaian tinggi!” kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum.

Tiba-tiba Im-yang Giok-cu teringat akan sesuatu dan bertanya,
“Apakah kau yang bernama Pendekar Bodoh?” Pertanyaan ini ia tujukan kepada Kwee An sambil memandang tajam.

Kwee An tersenyum dan diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal sehingga tokoh besar ini pun sampai mengenalnya pula.

“Bukan, Locianpwe. Pendekar Bodoh adalah adik iparku dan kini ia tinggal di Propinsi An-hui. Siauwte bernama Kwee An dan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari Kim-san-pai.”

Tosu kate itu mengangguk-angguk,
“Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia masih hidup. Bagus, kau sebagai murid Kim-san-pai, kepandaianmu tidak mengecewakan!”

Diam-diam Im-yang Giok-cu terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An tadi, agaknya kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Eng Yang Cu. Tentu saja ia tidak tahu bahwa setelah menerima pelajaran silat dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima gemblengan-gemblengan ilmu silat tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga dari mendiang Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apabila dibandingkan, memang ilmu kepandaiannya sudah lebih tinggi dari mendiang suhunya itu!

“Sayang sekali bahwa Pendekar Bodoh tidak tinggal disini lagi,” kata pula Sin Kong Tianglo sambil menarik napas panjang. “Biarlah kususul dia ke An-hui, akan tetapi, melihat bakat anakmu yang amat baik, kuharap kau berdua suami isteri rela memberikan anakmu untuk menjadi muridku.”

“Nanti dulu, Tianglo!” kata Im-yang Giok-cu. “Aku pun berhak menjadi guru anak ini, karena pertandingan tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!”

“Eh, eh, kalau begitu mari kita lanjutkan pertandingan tadi,” mengajak Sin Kong Tianglo yang tak mau kalah.

“Ji-wi Locianpwe!” tiba-tiba terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali melihat betapa anaknya diperebutkan oleh dua orang kakek itu. “Anakku tidak akan menjadi murid siapapun juga, maka tidak seharusnya Ji-wi memperebutkannya!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar