*

*

Ads

Sabtu, 26 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 023

Lo Sian Sin-kai atau Si Pengemis Sakti dengan cepat melakukan perjalanan seorang diri menuju ke Shaning di Propinsi An-hui untuk mencari Cin Hai dan mengabarkan tentang Lili yang kini berada di puncak Gunung Beng-san.

Seperti biasa tiap kali mengadakan perantauan, Pengemis Sakti ini tiada hentinya mengulur tangan memberi pertolongan kepada orang-orang yang melarat dan tertindas sehingga namanya makin terkenal sebagai seorang pendekar budiman.

Setelah tiba di Shaning, dengan amat mudahnya ia mendapatkan rumah Cin Hai siapakah orangnya di Shaning yang tidak mengenal nama Pendekar Bodoh? Akan tetapi, alangkah kecewa dan kagetnya ketika melihat bahwa rumah dari Pendekar Bodoh itu tertutup, bahkan masih ada kain putih tergantung di depan pintu, tanda bahwa rumah belum lama ini menderita kematian seorang keluarga dekat.

Lo Sian segera mencari keterangan kepada orang-orang disitu dan bukan main marah dan kecewanya ketika mendengar bahwa ayah angkat Nyonya Sie telah terbunuh oleh seorang peranakan Turki, dan bahwa selain melakukan pembunuhan yang kejam, penjahat itu pun menculik puteri dari Pendekar Bodoh.

Sampai lama Lo Sian tertegun mendengar ini. Tak disangkanya bahwa orang brewok yang menculik Lili bahkan telah membunuh pula ayah angkat dari ibu anak itu!

“Bangsat besar Bouw Hun Ti,” bisiknya gemas sambil menggertakkan giginya, “kau benar-benar mencari mampus berani memusuhi keluarga Pendekar Bodoh!”

Lo Sian lalu bertanya kepada orang yang memberi keterangan kepadanya kemana perginya Pendekar Bodoh dan isterinya. Ketika mendapat jawaban bahwa kedua suami isteri pendekar itu pergi mengejar dan mencari si penculik dan pembunuh, Lo Sian lalu cepat-cepat meninggalkan kota Shaning setelah memberi sesampul surat kepada tetangga dekat rumah Cin Hal itu dengan pesanan bahwa apabila pendekar besar itu pulang, suratnya agar supaya diberikannya.

Di dalam surat itu ia menulis bahwa Lili telah tertolong dan kini berada di puncak Beng-san bersama Mo-kai Nyo Tiang Le yang hendak mengunjungi Pok Pok Sianjin. Kemudian ia lalu pergi keluar dari kota dan menuju ke Bukit Beng-san untuk memberi laporan kepada suhengnya, dan juga untuk melanjutkan melatih kedua orang muridnya yaitu Lili dan Kam Seng.

Tentu saja ia tidak berani lagi menganggap Lili sebagai muridnya, karena setelah kedua orang tua anak itu menjemput dan membawanya pulang, sudah tentu jauh lebih baik kalau Lili mendapat pelajaran dari ayah ibunya sendiri yang memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya.

Pada suatu hari, dalam perjalanannya menuju ke Beng-san, ia tiba di kota Li-coan dan ketika ia lewat di depan sebuah rumah makan, bau arak yang amat sedap menarik hatinya dan menimbulkan seleranya yang amat kuat akan arak wangi. Ia lalu masuk ke dalam rumah makan itu dan memesan seguci arak yang paling baik. Pada pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, ia memperlihatkan sepotong uang emas yang kiranya cukup untuk membayar harga lima guci arak!

Pelayan itu memandang dengan mata terbelalak dan sambil pergi untuk mengambilkan arak pesanan Lo Sian, ia menggerutu,

“Sungguh aneh sekali dunia ini! Aku yang bekerja keras siang malam tak kenal lelah, belum pernah mempunyai sekeping emas murni! Akan tetapi, hari ini aku melihat seorang setengah gila mempunyai banyak uang emas dan seorang pengemis berbaju tambalan memperlihatkan sepotong emas besar! Aneh, aneh… dunia memang tidak adil!”

Lo Sian tersenyum seorang diri. Biarpun pelayan itu bicara dengan perlahan akan tetapi telinga Lo Sian yang tajam dapat mendengar ucapan ini dan diam-diam ia membenarkan keluh kesah pelayan itu.

Memang kalau dipikir-pikir sungguh mengherankan. Orang-orang yang bekerja, makin berat pekerjaannya, makin kecillah penghasilannya. Lihat saja para pembesar tinggi yang kerjanya hanya naik turun kereta, naik turun kursi kebesaran, menjual lagak di mana-mana, membentak-bentak rakyat dan cukup memberi cap kebesarannya saja, hidupnya mewah dan penghasilannya berlebihan sungguhpun penghasilannya itu didapat dengan jalan yang tidak halal!

Ketika pelayan itu datang mengantar arak yang dipesannya, tiba-tiba terdengar suara dari sudut ruang rumah makan itu yang membentak si pelayan.

“Hai, kau boleh menggerutu seorang diri, akan tetapi, jangan kau bawa-bawa aku pula! Aku mempunyai banyak emas bukan dengan jalan mencuri atau merampok, maka tutuplah mulutmu!”

Lo Sian terkejut. Orang itu duduknya cukup jauh dari tempat pelayan tadi menggerutu, maka kalau orang dapat mendengar gerutuan si pelayan, dapat diduga bahwa orang itu memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya! Ia menengok dan memperhatikan orang itu. Ternyata bahwa orang itu bertubuh tegap, berwajah gagah sekali dan sepasang matanya berpengaruh, membuat orang tidak berani bertemu pandang terlalu lama dengan dia.






Akan tetapi, keadaannya memang patut disebut kurang beres ingatan karena selain pakaiannya tidak karuan macamnya, juga orang itu membiarkan rambut kepalanya bergantungan di depan matanya. Kumis dan jenggotnya menjungat kesana kemari tanpa terpelihara sedikit pun juga dan wajahnya muram dan gelap. Juga orang ini telah memesan arak wangi serta meminumnya bukan melalui cawan seperti orang biasa, melainkan menenggaknya langsung dari mulut guci yang besar! Bahkan di atas mejanya telah ada sebuah guci yang kosong dan guci ke dua telah diminum setengahnya.

Sekali pandang saja, tahulah Lo Sian bahwa orang itu tentu seorang yang pandai, akan tetapi ia belum pernah melihat orang ini sungguhpun pengalaman Lo Sian cukup banyak di kalangan kang-ouw.

Ia tidak tahu apakah orang ini termasuk golongan pendekar perantau seperti dia sendiri ataukah termasuk tokoh dari golongan hek-to (golongan hitam dan penjahat), maka ia tidak berani sembarangan menegur dan berkenalan. Melihat pula sikap yang keras dan pemarah dari orang itu dan wajahnya yang muram, Lo Sian mengira bahwa orang itu tentulah seorang tokoh liok-lim (jago rimba hijau) yang ganas dan kejam. Maka setelah menghabiskan araknya, ia lalu membayar dan hendak keluar dari rumah makan itu.

Akan tetapi, baru saja ia berdiri dan hendak keluar, tiba-tiba ia menjadi pucat karena dari luar masuk dua orang yang bukan lain adalah Bouw Hun Ti dan seorang setengah tua yang memakai ikat kepala lebar! Sebaliknya, ketika Bouw Hun Ti melihat Lo Sian, ia tertawa bergelak dan berkata kepada kawannya itu,

“Ha-ha-ha, Susiok. Lihatlah, dicari ke ujung langit tak bersua, kalau tidak dicari si anjing she Lo menyerahkan diri!”

Sementara itu, Lo Sian maklum orang she Bouw tentu takkan melepaskannya dan terpaksa ia harus melawan mati-matian maka ia lalu mencabut pedangnya dan berkata,

“Bouw Hun Ti, kau manusia kejam dan hina-dina! Baru sekarang aku tahu bahwa selain menculik puteri Pendekar Bodoh secara pengecut sekali, kau pun membunuh Yousuf dengan kejam dan tak kenal malu!”

“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel! Bagaimana orang macam kau bisa mengatakan bahwa aku pengecut dan tak kenal malu? Coba terangkan apa sebabnya kau berani berkata demikian.”

“Hemm, kau melakukan kekejaman itu sewaktu Pendekar Bodoh dan isterinya tidak berada di rumah! Apakah itu boleh disebut kelakuan seorang yang gagah? Kau pengecut!”

Merahlah wajah Bouw Hun Ti dan dengan amat marah ia membentak,
“Manusia jembel yang akan mampus! Kau telah merampas anak perempuan itu dengan cara yang lebih pengecut lagi. Tempo hari kalau kau tidak mengandalkan bantuan Mo-kai Nyo Tiang Le suhengmu yang gila itu, kau telah mampus di tanganku! Nah, bersedialah untuk mampus!”

Sambil berkata demikian, Bouw Hun Ti mencabut goloknya dan bagaikan seekor harimau kelaparan ia menyerang dengan hebat sambil menendang meja yang menghadang di depannya sehingga meja itu terbang dan menimpa meja-meja lain.

Lo Sian berlaku waspada dan cepat menangkis, sehingga sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sambil menendang meja bangku untuk mencari ruang luas. Kali ini Lo Sian berlaku hati-hati sekali. Ia tahu bahwa kepandaian orang she Bouw ini lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri dan bahwa akhirnya ia takkan dapat menang apabila pertempuran itu dilanjutkan.

Apalagi menurut pendengarannya tadi, Bouw Hun Ti menyebut susiok (paman guru) kepada orang yang berikat kepala lebar itu, maka dapat dibayangkan pula betapa tinggi kepandaian orang itu. Jalan keluar tidak ada, maka tidak ada lain jalan bagi Lo Sian melainkan melawan mati-matian dan takkan menyerah kalah begitu saja.

“He, pengemis jembel!” tiba-tiba orang yang disebut susiok oleh Bouw Hun Ti itu berkata. “Katakan saja dimana adanya anak yang kau culik itu. Bouw Hun Ti, biar dia memberi pengakuan, baru kita ampunkan jiwa anjingnya!”

Akan tetapi, sebagai seorang gagah, tentu saja Lo Sian tidak sudi bersikap lemah. Lebih baik mati daripada menyerah dan membuat pengakuan yang berarti merendahkan nama kehormatan sendiri, demikianlah pendirian tiap orang gagah.

“Keparat!” serunya sambil menangkis serangan golok Bouw Hun Ti yang menyambar cepat. “Kalau hendak mengeroyok, majulah saja. Aku Sin-kai Lo Sian bukanlah orang yang takut mati!”

“Bedebah!” kawan Bouw Hun Ti itu berseru marah, “Hun Ti, jangan memberi hati kepada manusia rendah ini!”

Sambil berkata demikian, ia pun melangkah maju hendak mengirim serangan dengan tangan kosong.

Akan tetapi, pada saat itu, dari ujung ruangan itu menyambar sebatang tali sutera hitam yang meluncur bagaikan seekor ular hidup dan tahu-tahu golok Bouw Hun Ti kena dilibat oleh tali itu. Ketika tali itu dibetot keras, Bouw Hun Ti berteriak kaget karena tenaga betotan tali itu luar biasa sekali kuatnya sehingga terpaksa ia melepaskan goloknya!

Pada saat itu, susiok dari Bouw Hun Ti yang bukan lain adalah Lu Tong Kui atau sute Ban Sai Cinjin yang pernah menyerbu ke Beng-san untuk mencoba kepandaian Pok Pok Sianjin kemudian dikalahkan oleh Nyo Tiang Le, telah melepaskan pukulan ke arah Lo Sian.

Sungguhpun pukulan itu dilakukan dari tempat yang jauhnya lebih dari setombak, akan tetapi Lo Sian sampai terhuyung ke belakang, terdorong oleh sambaran angin yang luar biasa kuatnya! Lo Sian terkejut sekali dan cepat mengerahkan tenaga pada kedua kakinya untuk menahan keseimbangan tubuhnya.

Melihat betapa golok Bouw Hun Ti dapat terlepas dengan amat mudah oleh tali sutera yang kecil, Lu Tong Kui menjadi terkejut dan juga marah. Ia cepat menengok dan ternyata yang melepas tali sutera itu adalah seorang yang pakaiannya tidak karuan dan yang kini berdiri dengan mata memancarkan cahaya berapi. Adapun Lo Sian yang melihat penolongnya, menjadi terkejut dan juga girang karena yang menolongnya itu adalah orang yang disangka gila tadi!

“Bouw Hun Ti!” terdengar orang itu berkata, suaranya tenang akan tetapi seperti juga pandang matanya, suara itu amat berpengaruh, “kebetulan sekali kita bertemu disini. Memang aku sedang mencari-cari kau dan hendak membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan tangan kanannya dan sutera hitam yang panjang itu meluncur bagaikan cambuk dan mengirim serangan totokan hebat ke arah jalan darah di leher Bouw Hun Ti.

Orang she Bouw ini cepat mengelak, akan tetapi bagaikan bermata dan hidup, ujung sutera hitam itu meluncur dan mengejar dan masih saja mengancam jalan darahnya. Bouw Hun Ti menjadi pucat, terpaksa menangkis dengan tangannya dan ia berteriak kaget ketika merasa betapa tangannya seakan-akan beradu dengan mata pedang yang taiam. Ia cepat menarik kembali tangannya dan sutera hitam itu meluncur terus ke arah lehernya!

Pada saat yang amat berbahaya bagi Bouw Hun Ti itu, Lu Tong Kui tidak tinggal diam. Ia berseru keras dan sambil mencabut pedangnya ia melompat dan membabat ke arah sutera hitam itu. Sutera hitam itu bergerak mengelak dan tidak sampai terbabat oleh pedangnya, akan tetapi Bouw Hun Ti terbebas dari bahaya maut. Sesungguhnya kalau sampai sutera hitam itu menotok jalan darah pada lehernya, maka lehernya akan pecah dan ia akan binasa pada saat itu juga!

“Eh, sahabat, siapakah kau? Mengapa kau memusuhi Bouw Hun Ti!” Lo Tong Kui bertanya sambil melintangkan pedangnya pada dada.

Orang itu tersenyum mengejek.
“Lu Tong Kui, kau tentu tidak mengenalku, akan tetapi aku tahu bahwa kau dan murid keponakanmu ini adalah orang-orang jahat yang patut dikirim ke neraka!”

“Bangsat!” Lu Tong Kui memaki marah. “Apa kau kira aku takut kepadamu?”

“Majulah,” orang itu berkata dengan suara yang masih tenang, “setelah berhadapan dengan Lie Kong Sian, tak perlu menjual banyak lagak lagi!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar