*

*

Ads

Sabtu, 20 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 050

“Celaka!” seru Wi Kong Siansu dan tosu ini dari tempatnya lalu menggerakkan ujung kedua lengan bajunya menangkis serangan angin pukulan yang dilancarkan oleh Lili ini.

Akan tetapi, masih tetap saja sebagian tenaga pukulan ini menyerang Hok Ti Hwesio sehingga hwesio itu terpental menubruk dinding di belakangnya yang terpisah tiga tombak lebih dari padanya! Kalau saja pukulan ini tidak tertahan oleh angin tangkisan Wi Kong Siansu tak dapat diharapkan Hok Ti Hwesio akan dapat bernapas lagi.

Biarpun ia kebal, akan tetapi pukulan Pek-in-hoatsut menembus semua kekebalan dan merusak tubuh bagian dalam. Kini Hok Ti Hwesio juga terluka, akan tetapi tidak parah dan tidak membahayakan jiwanya, namun cukup membuat ia duduk mengeluh panjang pendek dan berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk memulihkan lukanya.

“Ganas, ganas…!” kata Wi Kong Siansu sambil memandang kepada Lili. “Tak kusangka bahwa Pek-in-hoatsut dari Bu Pun Su yang budiman dan penuh hati welas asih itu kini dipergunakan oleh cucu muridnya secara demikian kejam!”

Lili tersenyum manis dan menjura kepada Wi Kong Siansu, lalu berkata,
“Wi Kong Siansu, aku yang muda sudah seringkali mendengar namamu yang besar sebagai seorang yang berkepandaian tinggi. Ucapanmu tadi memang kuakui ada benarnya akan tetapi agaknya kau orang tua telah menjadi pikun dan lupa akan ejekan orang-orang jaman dahulu yang berbunyi : peluh orang lain berbau busuk, akan tetapi kotoran sendiri berbau sedap! Tadi mudah saja kau mencela aku yang muda, bahkan membawa nama Sucouw Bu Pun Su. Akan tetapi, bukankah tikus gundul itu murid keponakanmu sendiri? Mengapa kau tidak mencelanya sama sekali? Apakah kau anggap bahwa perbuatannya terhadap aku tadi cukup pantas?”

Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. Ia tidak tahu bahwa Lili memang semenjak kecil gemar berkelahi dan karena seringkali bertengkar, maka ia menjadi pandai berdebat! Apalagi karena ia seringkali mendengar ayahnya memberi nasihat dengan segala macam ujar-ujar kuno, maka ujar-ujar yang kiranya dapat ia pergunakan untuk “memukul” lawan, telah hafal di dalam kepalanya.

Dengan kata-katanya yang lantang itu, gadis ini sama sekali tidak memandang muka Wi Kong Siansu sehingga tosu itu menjadi penasaran sekali. Ia merasa ditantang!

“Hemm, Nona muda, biarpun kau puteri Pendekar Bodoh, tak selayaknya kau bersikap begini sombong di hadapan Toat-beng Lo-mo! Agaknya ayahmu hanya memberi didikan ilmu silat saja kepadamu, sama sekali tidak memberi pelajaran tentang tata susila dan sopan santun!”

Kembali Lili tersenyum lebih manis lagi. Makin manis senyum gadis ini makin berbahayalah dia, karena itu adalah tanda bahwa ia sedang mengasah otaknya dan berada dalam keadaan yang amat waspada.

“Totiang, orang-orang dahulu yang lebih tua daripadamu telah menyatakan bahwa manusia dihormat oleh sesamanya bukan karena keputihan rambutnya (usia tua), melainkan karena keputihan hatinya (budiman).”

Mulai bersinar pandang mata Wi Kong Siansu.
“Bocah lancang mulut! Apakah kau mau menyatakan bahwa kau anggap aku seorang jahat?”

“Tidak ada sangka-menyangka dalam hal ini, Totiang,” kata Lili sambil mengerling ke arah Kam Seng dengan pandangan mengejek. “Ayah pernah berkata bahwa burung gagak hanya akan berkawan dengan mayat, sedangkan burung Hong hanya berkawan dengan burung sorga! Aku tidak berani menyatakan atau menyangka bahwa Totiang dan orang-orang lain jahat pula, akan tetapi aku berani menyatakan bahwa orang-orang yang bernama Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio yang keduanya tinggal di tempat ini juga adalah binatang-binatang rendah yang harus dimusnakan dari muka bumi ini!”

Ucapan ini terasa bagaikan tamparan pedas di muka Wi Kong Siansu, akan tetapi terhadap Kam Seng merupakan ujung pedang yang menikam di ulu hatinya. Mukanya yang tadi merah sekarang berubah menjadi pucat.

Wi Kong Siansu berkata lagi,
“Hemm, kau masih kanak-kanak akan tetapi mulutmu jahat sekali. Sikapmu menantang padaku, akan tetapi aku masih malu untuk menghadapi seorang anak kecil seperti kau. Kam Seng, kau wakili aku dan coba kau uji kepandaian Nona ini!”

Kam Seng tak berani membantah. Gurunya sudah tahu bahwa sebelum ia datang di tempat itu, ia adalah suheng dari gadis ini, maka kalau sekarang ia memperlihatkan sikap ragu-ragu dan membantah, tentu gurunya akan menaruh hati curiga kepadanya. Pula, Lili adalah anak dari musuh besarnya yang harus pula ia balas, sungguhpun cara membalas dendam terhadap Lili telah ada rencana lain dalam otaknya! Ia amat sayang kalau nona yang begini cantik manis sampai terbinasa. Akan lebih baik kalau ia dapat mengambil nona ini menjadi isterinya! Bukan karena cinta kasih murni, akan tetapi hanya untuk mempermainkan anak musuh besarnya!






Sambil menekan debar jantungnya, Kam Seng melangkah maju dan mencabut pedangnya.

“Lili,” katanya dengan suara tenang, “kau telah berani menghina Suhu. Cabutlah pedangmu itu dan mari kita main-main sebentar. Hendak kulihat apakah kepandaianmu sesuai dengan kesombonganmu ini!”

Lili tidak menjawab, bahkan lalu menatap pemuda itu dan memandang dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki. Ia melihat pemuda ini sekarang nampak tampan dan gagah, mukanya putih terawat, rambutnya tersisir rapi dan diikat ke atas. Pakaiannya bersih dan terbuat dari sutera mahal, baju warna merah dengan leher kuning emas dan celana warna biru. Alangkah jauh bedanya dengan Kam Seng yang dulu itu! Dulu hanya seorang pengemis kelaparan dan kurus kering, berpakaian compang-camping dan kotor.

“Hemm, Kam Seng, kau benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat! Pakaianmu semewah keadaan dalam ruangan ini! Hanya sayangnya, tidak semua keadaan di luar mencerminkan keadaan di dalam! Banyak kutemui keindahan luar yang hanya menjadi kedok daripada kebobrokan di sebelah dalam!”

Suara ini dikeluarkan dengan bibir masih tersenyum simpul, seakan-akan ia adalah seorang dewasa yang memberi nasihat kepada seorang anak kecil.

“Sudahlah, Lili, jangan banyak cakap lagi,” jawab Kam Seng dengan muka kemerah-merahan. “Tidak ada gunanya bertanding kata-kata, cabutlah pedangmu!”

“Lagakmu seperti orang gagah saja!”

Lili masih menyindir dan dengan gerakan perlahan ia mengeluarkan sebuah kipas dari dalam bajunya, membuka kipas itu lalu mengipasi tubuhnya yang tidak gerah!

Bagi pandangan orang lain dan juga Kam Seng, agaknya sikap Lili ini memandang rendah sekali kepada lawannya. Bahkan Kam Seng tidak mengira bahwa gadis itu akan menghadapinya dengan kipas di tangan!

“Lili lekas kau keluarkan pedangmu aku tidak mau menyerang orang bertangan kosong!”

Ucapan ini sengaja dikeluarkan dengan keras untuk memberi tamparan kepada Hok Ti Hwesio yang dibencinya.

Akan tetapi, Lili hanya tersenyum dan mengipasi tubuhnya makin cepat lagi.
“Untuk menghadapi seekor lalat, cukup dengan sehelai kipas!” katanya.

Tidak seperti Kam Seng dan orang-orang lain, Wi Kong Siansu memandang kepada kipas di tangan Lili itu dengan penuh perhatian. Bukan kipasnya yang menarik perhatiannya, melainkan cara jari tangan gadis itu memegang kipas itu.

Orang lain kalau memegang kipas tentu gagangnya digenggam di telapak tangan di antara empat jari dan ibu jari. Akan tetapi Lili memegang kipas itu dengan gagang dijepit antara ibu jari dan telunjuk, sedangkan tiga jari tangan yang lain lurus dan tegang!

Berdebarlah dada tosu ini karena pegangan ini mengingatkan ia akan jago tua di utara, yaitu Swie Kiat Siansu, ahli Kipas Maut! Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya. Bagaimana gadis ini bisa menjadi murid Swie Kiat Siansu?

“Kam Seng, jangan pandang ringan kipas itu, kau seranglah!” katanya kepada muridnya.

Lili diam-diam memuji ketajaman mata tosu itu, sedangkan Kam Seng menjadi terkejut dan memperhatikan kipas di tangan Lili. Kipas itu gagangnya berwarna putih kekuningan seperti tulang. Ia dapat menduga bahwa kalau kipas ini dipergunakan sebagai senjata, tentu gagang kipas itu terbuat daripada gading yang keras.

Layar atau permukaan kipas entah terbuat dari apa, kekuningan pula akan tetapi telah digambari gunung dan sungai dan ditulisi syair pula. Ia masih merasa ragu-ragu. Bagaimanakah kipas sekecil itu akan dipergunakan sebagai senjata? Akan tetapi karena suhunya telah menyuruhnya menyerang, ia lalu bergerak maju.

“Awas pedang!” teriaknya dan menyeranglah dia dengan gerak tipu Liu-seng-kan-goat (Bintang Mengejar Bulan), sebuah gerak tipu serangan yang cukup berbahaya.

Bagaikan sebuah bintang, ujung pedang itu bergerak secara berantai dan dapat mengejar terus kemana saja sasarannya bergerak. Kini yang dijadikan sasaran oleh pedangnya adalah pundak kanan Lili. Dengan memilih sasaran pundak kanan, Kam Seng hendak menyatakan bahwa dia tidak berniat jahat atau menewaskan gadis itu. Dengan menyerang pundak, maka ia memberi banyak kesempatan kepada Lili untuk mengelak.

Akan tetapi, ternyata Lili sama sekali tidak mengelak, bahkan menanti datangnya serangan ini dengan senyum mengejek. Kam Seng terkejut sekali. Betapapun juga, tidak bisa membatalkan serangannya karena hal ini akan membikin marah suhunya dan biarpun hanya pundak, kalau terkena pedangnya tentu akan terluka hebat juga! Serangannya ini amat cepat dan dilakukan dengan tenaga lwee-kang sepenuhnya.

Ketika ujung pedang Kam Seng sudah berada dekat sekali dengan baju Lili yang menutup pundak, tiba-tiba gadis itu yang masih saja mengipasi tubuhnya dengan kipas lalu mengubah gerakan kipasnya dan kini ia mengebut ke arah pedang Kam Seng yang ujungnya sudah mendekati pundaknya.

Kam Seng hampir mengeluarkan seruan keras saking kagetnya. Gerakan sederhana dengan kipas di tangan dibarengi penyerangan luar biasa sekali. Sekaligus kipas itu telah melakukan tiga gerakan yang luar biasa. Muka kipas menangkis ujung pedang, kebutannya mendatangkan angin yang menyambar mukanya sehingga membuat ia tak dapat membuka mata, dan gagang kipas dari gading itu cepat sekali melakukan totokan berbahaya ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang!

“Lihai sekali…!” terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum. “Aku berani bertaruh bahwa ini tentulah Ilmu Kipas Maut dari Swie Kiat Siansu!”

Sementara itu Kam Seng yang lincah gerakannya telah dapat melompat mundur dan mukanya menjadi pucat. Karena tadi memandang rendah hampir ia terkena totokan dalam segebrakan saja. Sedangkan Lili makin kagum mendengar ucapan Wi Kong Siansu yang ternyata dapat mengenal ilmu silatnya demikian cepatnya.

Kam Seng berlaku hati-hati dan kini ia tidak berlaku seji (sungkan) lagi. Ia mengerahkan kepandaiannya dan menyerang dengan cepat, mempergunakan Ilmu Pedang Hek-kwi-kiamsut, yaitu ilmu pedang ciptaan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang amat ganas dan selain kuat juga amat cepat gerakannya.

Diam-diam Lili kagum juga melihat ilmu pedang ini. Sayang ia telah berkumpul dengan orang-orang jahat, pikirnya, kalau ia terus terdidik oleh orang baik-baik, tentu ilmu sitatnya akan amat berguna. Sama sekali Lili tidak tahu bahwa sesungguhnya dasar ilmu silat Kam Seng ia dapat dari pendidikan Mo-kai Nyo Tiang Le. Hanya ilmu pedangnya ini memang pelajaran dari Wi Kong Siansu. Agaknya pemuda ini merasa malu untuk mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Nyo Tiang Le guna menghadapi gadis ini.

Lili maklum bahwa ilmu kepandaian Kam Seng lebih baik dan lebih berbahaya daripada Hok Ti Hwesio. Perbedaan yang amat mencolok antara kedua orang ini ialah bahwa Hok Ti Hwesio mendasarkan kepandaiannya untuk daya tahan, tubuhnya kebal, pertahanannya kuat, bahkan batok kepalanya pun dapat menahan pukulan maut.

Sebaliknya, Kam Seng mendasarkan kepandaiannya pada daya serang. Serangannya berbahaya dan cepat, tidak memberi banyak kesempatan kepada lawan. Akan tetapi, daya tahannya tidak sekuat Hok Ti Hwesio.

Ilmu Kipas Maut yang ia warisi dari Swie Kiat Siansu adalah semacam ilmu silat yang luar biasa sekali, dan disebut ilmu silat San-sui-san-hwat (Ilmu Kipas Gunung dan Air). Kipas yang dulu dipergunakan oleh Swie Kiat Siansu adalah kipas yang layarnya terbuat daripada kulit harimau, akan tetapi sebagai seorang gadis, Lili tidak suka mempergunakan kipas yang buruk rupa. Ia sengaja membuat kipas yang kecil dan indah bentuknya, dengan layar dari kain tebal yang dilukisi dan ditulisi syair.

Dengan demkian, kipasnya ini tidak saja dapat dipergunakan untuk senjata, akan tetapi juga dapat dipakai untuk pemantas dan untuk mencari angin sejuk. Lukisan di atas kipasnya ini indah sekali dan syairnya ditulis sendiri oleh ayahnya, maka Lili merasa sayang sekali kepada kipas ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar