*

*

Ads

Minggu, 28 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 068

Diantara para pendekar remaja yang kita ikuti perjalanan dan pengalamannya hanya Sie Hong Beng, putera Pendekar Bodoh yang sulung, yang belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Baiklah kita jangan meninggalkannya terlebih lama lagi dan mari kita ikuti perjalanan pendekar remaja putera Pendekar Bodoh ini.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Sie Hong Beng diantar oleh ayahandanya untuk belajar ilmu silat tinggi dari Pok Pok Sianjin, tokoh terbesar dari di Beng-san. Selama sepuluh tahun, Hong Beng mendapat gemblengan ilmu silat tinggi, memperdalam ilmu lwee-kang dan ilmu tongkat yang luar biasa sekali.

Ilmu tongkat ini disebut Ngo-heng Tung-hwat dan ada semacam lagi yang disebut Pat-kwa Tung-hwat. Untuk mainkan dua macam ilmu tongkat ini saja, dibutuhkan waktu selama lima tahun oleh Hong Beng untuk dapat mempelajarinya dengan sempurna. Yang istimewa pada ilmu tongkat ciptaan Pok Pok Sianjin ini adalah bahwa untuk mainkan ilmu tongkat ini, tidak diperlukan tongkat yang khusus. Sebatang ranting pohon yang terkecil, sampai sebatang pohon muda yang besar, dapat dipergunakan sebagai senjata yang istimewa lihainya.

Setelah menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Hong Beng, Pok Pok Sianjin lalu menyembunyikan diri di dalam gua di puncak Gunung Beng-san dan menyuruh muridnya turun gunung melakukan perjalanan merantau sarnbil mempergunakan seluruh pelajaran itu dalam praktek,

Ketika Hong Beng menuruni gunung dimana untuk sepuluh tahun ia berdiam, mempelajari ilmu silat dengan tekunnya, ia telah merupakan seorang pemuda yang gagah sekali, tubuhnya tinggi tegap, mukanya lebar dan tampan, berkulit halus. Wajah dan tubuhnya sama benar dengan ayahnya di waktu muda, demikian watakya pendiam dan sabar, berpakaian sederhana seperti ayahnya pula.

Akan tetapi, kalau ayahnya, yaitu Pendekar Bodoh, di waktu mudanya seringkali suka merendahkan diri dan dalam kepandaian silat suka mengalah dan berpura-pura bodoh, sehingga dijuluki Pendekar Bodoh, adalah Hong Beng mempunyai watak tidak mau kalah dalam hal kepandaian silat. Watak ini agaknya ia warisi dari ibunya, karena di waktu mudanya, Lin Lin juga memiliki watak demikian. Bahkan di waktu kecilnya, Hong Beng dan adiknya, Hong Li atau Lili yang memiliki pendirian sama, sering membicarakan nama julukan ayah mereka.

“Sungguh menggemaskan, ayah yang berkepandaian setinggi langit tiada lawannya, mengapa disebut Pendekar Bodoh?” kata Lili sambil merengut.

“Memang aku pun penasaran sekali,” jawab Hong Beng. “Menurut patut, ayah harus dijuluki Pendekar Sakti, bukan Pendekar Bodoh.”

Akan tetapi, kalau keduanya mengajukan rasa penasaran ini kepada ayah mereka, Sie Cin Hai hanya terbahak-bahak saja dan menjawab dengan sebuah pertanyaan.

“Anak-anak bodoh, mana yang lebih baik, gentong arak disangka penuh akan tetapi kosong melompong ataukah gentong arak yang dianggap kosong akan tetapi penuh isi?”

“Tentu saja lebih baik yang disangka kosong akan tetapi penuh isi!” jawab Lili yang berotak terang dengan kontan.

“Nah,” jawab ayahnya masih tertawa, “demikianpun soal nama julukan. Lebih baik disangka bodoh akan tetapi tidak bodoh daripada dianggap pinter akan tetapi goblok!”

Betapapun juga, setelah menjadi dewasa, Hong Beng masih saja tidak mau merendahkan diri dan berpura-pura bodoh seperti ayahnya. Ia adalah seorang pemuda yang maklum akan kepandaian sendiri, dan hasratnya besar sekali untuk menguji ilmu kepandaiannya dengan kepandaian orang lain.

Kalau orang melihat Hong Beng turun gunung dengan pakaian yang demikian sederhana, berwarna biru dengan rambut atas, diikat pita kecil warna sepatunya hitam tanpa kaos, orang takkan mengira bahwa putera Pendekar Bodoh dan murid Pok Pok Sianjin yang sakti.

Pemuda ini tidak membawa senjata apa-apa, bertangan kosong dan biarpun tubuhya tinggi tegap, namun kulit mukanya putih dan halus. Pakaiannya seperti seorang petani sederhana, akan tetapi sikap dan gerak gayanya yang lemah lembut membuat ia pantas dianggap orang seperti seorang pemuda terpelajar yang lemah.

Namun, kalau orang melihat betapa menuruni gunung yang penuh batu karang dan jurang dengan tindakan kaki yang cepat sekali, seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah, orang akan menjadi bengong terheran-heran.






Dari Gunung Beng-san, pemuda ini menuju ke timur, melakukan perjalanan seenaknya, karena ia pun tidak tergesa-gesa. Pada suatu hari, ia tiba di kota Ta-liong di lembah Sungai Kuning dan amat heranlah ia melihat betapa kota yang besar dan ramai itu penuh dengan pengemis dan jembel!

Yang amat mengherankan hatinya adalah betapa para pengemis itu, sebagian besar memegang sebatang tongkat berwarna hitam dan biarpun mereka menjalankan pekerjaan mengemis, namun gerakan tubuh mereka bagi mata Hong Beng yang awas, menunjukkan bahwa mereka itu pandai ilmu silat!

Memang sesungguhnya kota Ta-liong adalah kota pusat dari perkumpulan pengemis dari Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang amat tersohor dan mempunyai cabang dan anggauta sampai di kota raja!

Hek-tung Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang sudah puluhan tahun umurnya dan telah mengalami pergantian pimpinan sampai beberapa kali. Tiap tiga tahun sekali, di kota Ta-liong tentu diadakan pertemuan antara para pemimpin-pemimpin cabang untuk mengangkat seorang pemimpin baru.

Kebetulan sekali ketika Hong Beng tiba di kota itu, para pemimpin cabang datang berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru, maka kota itu penuh dengan pengemis bertongkat hitam.

Pada waktu itu, Hek-tung Kai-pang dipimpin oleh lima orang ketua karena ketika diadakan pemilihan pada tiga tahun yang lalu pilihan jatuh kepada lima saudara yang menjadi anak murid dari Hek-tung Kai-ong (Raja Pengemis Bertongkat Hitam) pendiri dari perkumpulan itu.

Baru sekarang anak murid Hek-tung Kai-ong dipilih menjadi ketua. Beberapa tahun sudah, perkumpulan itu dipimpin oleh lain orang, karena anak murid Hek-tung Kai-pang sendiri tidak mampu mengalahkan pemimpin dari luar itu. Lima saudara yang menjadi murid Hek-tung Kai-ong sendiri ini lalu melatih diri dan akhirnya berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Hek-tung Kai-ong, sehingga akhirnya mereka berhasil merebut kedudukan ketua. Untuk menjaga perpecahan diantara mereka, serta untuk memperkuat kedudukan dan menjaga nama Hek-tung Kai-ong pendiri perkumpulan itu, mereka berlima bermufakat untuk memegang pimpinan bersama-sama.

Dengan demikian, maka calon pemimpin baru apabila hendak menggantikan mereka, harus dapat mengalahkan mereka berlima! Maka, sampai tiga kali pimpinan jadi tiga kali tiga tahun, Ngo-heng-te (Lima Saudara) dengan Hek-tung-hwatnya (Ilmu Tongkat Hitam) ini selalu menjadi pimpinan dan tak terkalahkan!

Seperti biasa, para pengemis telah berkumpul di sebuah tempat terbuka di sebelah utara kota, dimana terdapat padang rumput dan beberapa batang pohon besar. Mereka masih menanti di bawah pohon-pohon, ada yang duduk melenggut, ada yang berbaring mendengkur, ada yang membuka bungkusan dan makan hasil mengemis, dan sebagian besar duduk bercakap-cakap mengobrol ke barat ke timur sehingga keadaan menjadi sangat ramai sekali.

Kurang lebih ada empat puluh orang pengemis berkumpul di tempat itu, kesemuanya adalah pengemis-pengemis tua yang menjadi pimpinan berbagai cabang Hek-tung Kai-pang.

Lima orang ketua mereka belum datang, maka mereka masih saja menanti. Menurut desas-desus mereka kelima orang pangcu (ketua) itu akan datang dari kota raja dimana mereka tinggal. Biarpun ketua itu tinggal di kota raja, akan tetapi mereka tidak berani mengadakan pertemuan disana, oleh karena tentu saja mereka akan diusir dan diserbu oleh para perwira kerajaan yang tidak memperbolehkan orang-orang kotor ini merusak pemandangan indah di kota raja!

Tiba-tiba semua pengemis itu dikejutkan oleh datangnya seorang pengemis lain yang aneh keadaannya. Pengemis ini belum tua benar, kurang lebih berusia empat puluh tahun, berwajah tampan dan pucat, sedangkan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang tidak beres ingatannya.

Ia tertawa-tawa dan meringis sambil memutar-mutar manik matanya secara mengerikan. Tangannya memegang sebatang tongkat bambu dan pakaiannya tidak karuan, demikianpun rambutnya. Bahkan di pinggir mulutnya nampak tanah lumpur, seakan-akan ia habis makan tanah lumpur.

“Anjing-anjing berkeliaran dimana-mana, ha-ha! Anjing-anjing berkeliaran dimana-mana!” kata pengemis bertongkat bambu itu sambil menudingkan tongkatnya kepada para pengemis lain yang memandangnya heran.

Tak seorang pun diantara para pengemis ini mengenal orang yang baru datang dan pandang mata marah mulai nampak pada para pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang itu. Siapakah yang begitu kurang ajar berani datang ke tempat itu dan mengganggu mereka?

“He, orang gila!” Seorang pengemis, yang pendek gemuk memaki. “Apakah matamu buta? Apakah nyawa anjingmu minta diantar oleh tongkat hitam?”

Pengemis aneh ini sebenarnya Sin-kai Lo Sian. Pengemis sakti yang telah menjadi gila. Sebagaimana telah kita ketahui, Lo Sian telah ditangkap oleh Ban Sai Cinjin sepuluh tahun yang lalu, dipaksa minum obat beracun sehingga menjadi gila. Selama itu, Lo Sian berkeliaran dimana-mana dan karena keadaannya telah berubah sedemikian rupa dan menjadi gila, tak seorang pun dapat mengenalnya pula sehingga dahulu suhengnya, Mo-kai Nyo Tiang Le, tak berhasil mencarinya.

Didalam perantaunnya dalam keadaan tidak sadar dan tidak ingat sesuatu, Lo Sian kebetulan tiba di kota Ta-liong dan melihat banyaknya pengemis berkumpul disitu, ia menjadi tertarik dan datang pula ke tempat itu.

Mendengar teguran Si Pendek Gemuk tadi, Lo Sian hanya tertawa haha-hehe, dan ia menggunakan tongkatnya untuk mencokel tanah di depan kakinya. Begitu tongkatnya digerakkan, tanah itu tercolek terbang ke arah perut Si Pengemis Gendut. Pengemis gendut itu terkejut sekali, cepat ia mengelak akan tetapi sambaran tanah lumpur ke dua telah tiba dan tepat sekali mengenai mulutnya.

“Plak!” Pengemis gendut itu gelagapan dan sebagian besar lumpur itu telah memasuki mulutnya!

“Bangsat kurang ajar” teriak pengemis lain dan semua pengemis yang tidak tidur telah berdiri mengepal tongkat hitamnya. “Butakah matamu bahwa kau berhadapan dengan rombongan pengurus Hek-tung Kai-pang? Hayo lekas mengaku siapakah kau dan mengapa kau datang memusuhi kami?”

Kalau otaknya tidak gila, tentu Lo Sian tahu siapa sebetulnya mereka ini, karena ia pun telah mendengar nama Hek-tung Kai-pang, bahkan dulu ia menjadi kawan baik dari Hek-tung Kai-ong pencipta perkumpulan itu.

Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, jangankan mengenal orang lain, dirinya sendiri pun ia tidak kenal lagi. Maka mendengar makian pengemis ini yang bertubuh jangkung kurus, ia lalu menggerakkan tongkat bambunya mencokel tanah lagi dan beterbanganlah tanah lumpur ke arah para pengemis yang telah berkumpul itu!

“Kurang ajar, kau benar-benar ingin mampus dibawah gebukan tongkat kami!” dan menyerbulah sekalian pengemis itu dengan tongkat hitam terangkat, mengeroyok Lo Sian.

Semua pengurus cabang Hek-tung Kai-pang telah mempelajari limu Tongkat Hek-tung-hwat, akan tetapi tingkat mereka apabila dibandingkan dengan Ngo-heng-te dan Hek-tung-hwatnya itu masih amat jauh. Hek-tung-hwat adalah ilmu tongkat yang luar biasa sukarnya, dan amat dirahasiakan cara mempelajarinya. Inilah pula sebabnya mengapa kelima saudara itu dulu masih belum menguasai sepenuhnya ilmu tongkat ini. Setelah mereka mendapatkan kitab pelajaran yang disembunyikan oleh Hek-tung Kai-ong, barulah mereka dapat memperdalam ilmu tongkat itu.

Adapun Lo Sian, biarpun ingatannya telah lenyap dan ia telah menjadi seorang gila, namun ilmu silatnya masih tidak lenyap. Ilmu silatnya yang berasal dari Thian-san-pai amat tinggi dan termasuk golongan atas, maka tentu saja apabila dibandingkan dengan para pengemis itu, ia masih menang jauh.

Akan tetapi, biarpun telah kehilangan pikirannya, Lo Sian masih belum kehilangan wataknya yang baik dan penuh welas asih, maka ia tidak ingin membunuh sekalian pengemis yang mengeroyoknya, ditambah lagi dengan jumlah pengeroyoknya yang amat banyak, maka sebentar saja ia dikepung oleh puluhan orang pengemis dan berkali-kali ia menerima gebukan tongkat hitam!

Pertempuran itu benar-benar ramai dan lucu. Lo Sian sambil tertawa-tawa tidak karuan, mempermainkan para pengeroyoknya, membuat para pengemis itu terjungkal dan roboh karena dikait kakinya. Mereka jatuh tidak terluka, bangun lagi dan biarpun hujan tongkat hitam itu mengenai tubuh Lo Sian sehingga pakaiannya hancur dan kulitnya ada yang pecah, namun seperti tidak terasa oleh pengemis sakti yang memiliki kekebalan dan lwee-kang yang tinggi itu.

Pada saat itu, datanglah Hong Beng yang kebetulan tiba di kota itu. Pemuda ini memiliki jiwa yang gagah dan adil. Dari jauh ia telah melihat dan mendengar ribut-ribut itu dan ketika ia menghampiri tempat pertempuran ia melihat seorang pengemis dikeroyok oleh puluhan pengemis tongkat hitam. Tadinya ia mengira bahwa pengemis-pengemis itu tentu berebut makanan, akan tetapi ketika menyaksikan cara Lo Sian main silat, ia terkejut karena mengenal ilmu silat yang tinggi dari Thian-san-pai.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar