*

*

Ads

Senin, 05 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 085

Maka berpisahlah mereka, Kam Liong kembali ke kota raja sedangkan Lili dan Lo Sian melanjutkan perjalanan ke kota Shaning. Di tengah perjalanan, Lo Sian berkata kepada Lili,

“Pemuda itu gagah dan baik sekali. Aku percaya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.”

“Ayahnya memang berkepandaian tinggi, Suhu. Teecu pernah mendengar dari Ayah dan Ibu bahwa Kam Hong Sin adalah seorang panglima yang memiliki ilmu silat tinggi dan dulu pernah bertemu dengan kedua orang tuaku.”

Gadis ini sambil berjalan lalu menuturkan kepada suhunya dengan singkat tentang pengalaman orang tuanya di waktu muda, ketika bertemu dengan ayah panglima muda itu. (Hal ini dituturkan dengan jelas dan menarik dalam cerita Pendekar Bodoh).

Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali dari belakang. Seorang perwira tua yang menunggang kuda itu ketika tiba di dekat mereka lalu melompat turun dan bertanya,

“Apakah kau yang bernama Lo Sian?”

Lo Sian dan Lili menjadi heran.
“Betul,” jawab Lo Sian. “Ada keperluan apakah kau mencariku?”

Perwira itu menyerahkan sepucuk surat yang tertutup kepadanya sambil melirik ke arah Lili.

“Aku diperintah oleh Kam-ciangkun untuk menyerahkan surat ini kepada seorang nona yang berjalan bersama dengan orang tua yang bernama Lo Sian. Kurasa kaulah Nona itu.”

Lili tidak mau menerima surat itu, dan Lo Sian yang menerimanya. Setelah memberikan surat itu, perwira ini lalu melompat ke atas kudanya kembali dan tanpa memberi kesempatan kedua orang itu bicara, ia telah membalapkan kudanya kembali. Memang demikianlah perintah komandannya, hanya menyampaikan surat lalu segera meninggalkan mereka lagi.

“Kurang ajar sekali panglima muda itu!” kata Lili dengan muka merah. “Apa maksudnya memberi surat kepadaku? Aku tidak sudi membacanya!”

“Jangan terburu nafsu, Lili. Tak baik menuduh orang sebelum melihat buktinya. Kau bacalah dulu surat ini, baru kemudian kita dapat melihat orang macam apakah adanya panglima muda she Kam itu,” kata Lo Sian.

Dengan mulut cemberut dan muka merah Lili membuka sampul surat itu dengan kasar dan membaca surat yang singkat itu.

Nona Sie,
Aku pernah bertemu dengan kakakmu dan karena dia menewaskan putera bangsawan, Gui Kongcu, kini dia menjadi buruan pemerintah. Aku sebagai panglima tentu saja harus melakukan tugas ini, sungguhpun aku bersimpati kepada kakakmu itu. Suruh dia berhati-hati apabila bertemu dengan perwira-perwira kerajaan.
Yang tetap menghormat orang tuamu,
Kam Liong

Setelah membaca surat ini, berubahlah wajah Lili dan ia menjadi termenung. Perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh kakaknya? Yang dimaksud oleh Kam Liong ini tentulah Hong Beng, akan tetapi mengapa ketika bertemu, Hong Beng tidak bercerita sesuatu tentang pembunuhan seorang bernama Gui Kongcu?

“Surat apakah itu, Lili?”

Pertanyaan Lo Sian ini menyadarkan Lili dari lamunannya. Ia tidak menjawab, hanya menyerahkan surat kepada bekas suhunya. Lo Sian membacanya dan kemudian berkata,

“Aku tidak tahu siapa kakakmu, akan tetapi dari bunyi surat ini saja dapat diambil kesimpulan bahwa pemuda she Kam itu memang benar orang baik hati.”

Akan tetapi Lili tidak menjawab karena ia masih merasa heran. Apakah perwira muda itu tidak membohong?

“Teecu sendiri tidak tahu apakah isi surat ini tidak bohong, Suhu. Akan tetapi biarlah, kakakku Hong Beng mana takut menghadapi ancaman dari para perwira kerajaan? Mari kita melanjutkan perjalanan kita, Shaning tidak jauh lagi.”






Dua hari kemudian pada senja hari mereka tiba di kota Lianing, hanya beberapa puluh li lagi dari kota Shaning. Di luar kota Lianing ini, di luar barisan hutan di lereng bukit terdapat banyak kuil-kuil kuno yang sudah kosong, karena sudah banyak yang rusak.

Pada siang hari, banyak pelancong datang untuk melihat-lihat kuil kuno ini dan mengagumi seni ukir dan sajak-sajak kuno yang banyak ditulis di tembok kuil. Akan, tetapi pada malam harinya, tempat ini amat sunyi, karena selain gelap juga nampaknya angker menakutkan.

Akan tetapi Lo Sian lebih menyukai tempat seperti ini untuk bermalam daripada hotel yang ramai. Maka, malam hari itu mereka lalu bermalam di kuil ini untuk menanti lewatnya malam dan untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.

Pada saat mereka menuju ke kuil itu di waktu hari telah mulai menggelap tiba-tiba di luar hutan itu berkelebat bayangan orang. Lili yang merasa curiga melihat gerakan bayangan yang cepat ini, segera mengejar. Akan, tetapi ketika ia tiba di luar hutan, bayangan itu sudah lenyap.

“Hemm, bayangan itu gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang berilmu tinggi. Malam hari ini kita harus berlaku hati-hati, Lili,” kata Lo Sian.

Akan tetapi gadis yang tabah sekali ini hanya tersenyum dan sama sekali tidak merasa takut, sungguhpun gerakan orang tadi membuat ia kagum.

Mereka memilih kuil yang bersih dimana terdapat sebuah kamar. Lili memakai kamar ini sebagai tempat bermalam dan ia merebahkan diri di atas sebuah pembaringan batu yang kasar. Adapun Lo Sian memilih ruang belakang sebelum pergi ke kuil itu.

Agaknya kekuatiran Lo Sian tidak terbukti karena sampai tengah malam tidak terjadi sesuatu. Akan tetapi, pada saat Lili dan Lo Sian sudah hampir pulas, tiba-tiba terdengar suara perlahan dari atas genteng dan tahu-tahu bayangan hitam yang gerakannya ringan sekali melayang turun di ruangan belakang di mana Lo Sian membaringkan tubuhnya. Pada waktu itu, bulan telah muncul dan ruang itu yang tidak tertutup genteng, nampak agak terang oleh cahaya bulan yang dingin.

Pendengaran Lo Sian masih amat tajam dan begitu ia mendengar suara ini, lenyaplah kantuknya dan ia segera bangun dan duduk memandang tajam.

Untuk sesaat bayangan itu tidak bergerak, terdengar sedu sedan di kerongkongannya dan tiba-tiba bayangan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata perlahan,

“Suhuuu…, ampunkan teecu yang tidak kenal budi…”

Tentu saja Lo Sian menjadi terkejut dan heran sekali. Ia berdiri bengong untuk beberapa lamanya, kemudian baru ia dapat berkata gagap,

“Eh, eh, nanti dulu. Kau siapakah dan mengapa menyebut Suhu kepadaku? Aku Lo Sian tidak mempunyai murid kecuali Lili yang mengaku sebagai muridku!”

Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan memandang wajah orang itu dengan penuh perhatian. Orang itu adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, akan tetapi benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi siapa gerangan yang datang mengaku guru kepadanya itu.

“Sudah sepatutnya Suhu tidak sudi mengaku murid kepada teecu,” pemuda itu berkata dengan suara sedih sekali, “teecu telah Suhu tolong dan lepaskan dari bahaya maut, lalu menerima budi Suhu yang amat besar. Akan tetapi teecu…” kembali terdengar sedu sedan di kerongkongan pemuda itu.

“Sabar dulu, orang muda. Bukan aku tidak sudi mengaku murid kepadamu, akan tetapi sesungguhnya aku tidak kenal siapa kau ini.”

“Suhu, teecu adalah Kam Seng, anak yang dulu Suhu tolong di sebuah kelenteng dan kemudian menjadi murid Suhu. Lupakah Suhu kepada teecu yang bodoh?”

Akan tetapi tentu saja Lo Sian yang sudah kehilangan ingatannya itu tidak mengenalnya. Tiba-tiba terdengar bentakan dan tubuh Lili berkelebat masuk dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan.

“Bangsat rendah, kau berani datang kesini?”

Secepat kilat pedangnya menusuk ke arah tubuh Kam Seng yang masih berlutut tidak bergerak itu! Untung pada saat itu juga Lo Sian bergerak maju dan mencegah sehingga terpaksa Lili menahan tusukannya. Akan tetapi sebetulnya cegahan Lo Sian itu kurang perlu, karena pada saat itu, tubuh Kam Seng telah mencelat ke arah pintu dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar suaranya dari luar,

“Aku tak dapat melawanmu, Lili, tak dapat membencimu! Betapapun benciku kepada ayahmu, aku tak dapat memusuhimu, kau tahu akan hal ini…”

“Bangsat rendah jangan lari!” Lili membentak marah dan ia pun lalu melompat keluar mengejar.

Akan tetapi di luar tidak terlihat bayangan Kam Seng lagi. Diam-diam Lili merasa penasaran dan juga heran mengapa kini gin-kang dari pemuda itu jauh lebih hebat daripada dahulu. Ketika ia kembali ke ruangan itu, terpaksa ia menuturkan kepada Lo Sian tentang Song Kam Seng, putera dari Song Kun yang tewas di tangan ayahnya. Ia menuturkan pula betapa dulu Kam Seng telah ditolong oleh Lo Sian. Pengemis Sakti ini menarik napas panjang dan berkata,

“Sayang dia menaruh hati dendam kepada ayahmu, Lili. Melihat betapa pemuda itu masih ingat kepadamu dan tidak melupakan budi, ia terhitung seorang yang masih memiliki pribudi.”

Lili tidak menjawab, akan tetapi kepalanya terasa panas sekali kalau ia teringat betapa pemuda itu dulu pernah menciumnya! Betapapun juga, agaknya ia tidak akan sampai hati membunuh Kam Seng, kalau diingat bahwa pemuda itu pernah pula membebaskannya dari kematian dan hinaan di dalam kuil Ban Sai Cinjin.

Memang pemuda itu adalah Song Kam Seng yang kini telah menjadi murid Wi Kong Siansu. Semenjak kekalahannya terhadap Lili dan juga terhadap Lie Siong, pemuda ini merasa prihatin sekali. Ia lalu mengajukan permohonan kepada suhunya untuk menurunkan ilmu silat yang lebih tinggi dan bertekun mempelajari segala macam ilmu silat dari Wi Kong Siansu.

Tidak heran apabila ia mendapat kemajuan yang amat pesatnya. Pada waktu ia sedang mengikuti suhunya melakukan perantauan, dan biarpun ia tidak berkata sesuatu, namun ia merasa berdebar ketika mendengar bahwa suhunya hendak pergi ke Shaning mencari Pendekar Bodoh!

Ketika tiba di kota Lianing dan suhunya mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan lama, ia lalu berjalan-jalan seorang diri dan melihat Lili dengan gurunya dalam kota itu. Tentu saja ia menjadi terkejut sekali dan hatinya terharu ketika ia melihat kedua orang itu.

Teringatlah ia ketika dulu Lili masih kecil bersama Lo Sian pula untuk menolongnya dari ancaman pisau Hok Ti Hwesio di kuil dalam rimba milik Ban Sai Cinjin. Diam-diam ia mengikuti mereka dan menahan nafsu hatinya untuk menjumpai suhunya itu. Ia kuatir kalau-kalau Lili akan menyerangnya, maka menanti sampai tengah malam barulah ia masuk ke dalam kuil menjumpai suhunya. Tidak tahunya suhunya telah lupa sama sekali kepadanya dan hampir saja ia menjadi korban pedang Lili!

Pada keesokan harinya, Lili mengajak suhunya melanjutkan perjalanan mereka. Mereka mampir dulu di kota Lianing untuk makan pagi. Ketika mereka memasuki sebuah rumah makan, tiba-tiba wajah gadis itu berubah dan tak terasa pula ia memegang tangan suhunya.

Lo Sian juga menengok dan ia melihat pemuda yang malam tadi mendatangi kuil telah duduk menghadap meja dengan tiga orang lain. Kam Seng duduk bersama Wi Kong Siansu dan dua orang lain, dua orang setengah tua yang nampak gagah, yang seorang berhadapan dengan Wi Kong Siansu memakai sebuah topi dan sikapnya nampak sombong sekali. Orang ke dua bertubuh pendek dan bermuka buruk seperti seekor monyet.

Song Kam Seng juga terkejut sekali ketika melihat Lili dan Lo Sian memasuki rumah makan itu. Untuk sesaat matanya bertemu dengan mata Lili dan pemuda itu mengerutkan keningnya dengan hati penuh kekuatiran. Ia kuatir sekali kalau-kalau gadis itu akan bentrok dengan Wi Kong Siansu, karena ia maklum bahwa kepandaian Lili masih kalah jika dibandingkan dengan kepandaian gurunya.

Akan tetapi Lili yang tabah sekali tidak mempedulikan Wi Kong Siansu, bahkan dengan tenangnya lalu mencari meja yang masih kosong. Meja satu-satunya yang kosong adalah meja yang berada dekat meja Wi Kong Siansu itu. Akan tetapi, dengan langkah tenang dan gagah Lili mengajak suhunya duduk menghadapi meja itu!

Wi Kong Siansu seakan-akan tidak mengetahui kedatangan nona yang pernah merasakan kelihaian totokannya, dan ia sedang bercakap-cakap dengan orang yang bertopi. Nampaknya mereka sedang berdebat tentang sesuatu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar