*

*

Ads

Selasa, 20 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 115

Lin Lin semenjak tadi sudah memperhatikan Coa-ong Lojin dan juga Kam Wi yang menggeletak di bawah dan tadi hendak dibunuh oleh pengemis itu. Kini nyonya ini maju menghampiri Coa-ong Lojin dan berkata,

“Kalau aku tidak salah sangka, kau tentu Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang. Tongkat ularmu itu mengingatkan aku siapa adanya kau ini. Akan tetapi, mengapa kau hendak membunuh orang ini?”

“Isteriku, dia itu adalah Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh besar dari Kun-lun-pai!” kata Cin Hai kepada Lin Lin.

“Hemm, Sin-houw-enghiong terkenal sebagai seorang gagah yang berpribudi tinggi mengapa hendak kau bunuh?” kembali Lin Lin bertanya kepada Coa-ong Lojin yang untuk sesaat menjadi pucat tak dapat menjawab.

“Aku hanya terbawa-bawa oleh Ban Sai Cinjin, akan tetapi…” ia mengangkat dadanya memberanikan hatinya, “peduli apakah kalian dengan urusanku?”

Diam-diam Ketua Coa-tung Kai-pang ini mengira bahwa Pendekar Bodoh tentu akan membela puteranya yang telah menjadi Ketua Hek-tung Kai-pang, padahal sesungguhnya Cin Hai dan Lin Lin belum tahu bahwa putera mereka, Hong Beng, telah diangkat menjadi ketua Hek-tung Kai-pang dan telah menanam bibit permusuhan dengan Coa-tung Kai-pang.

“Burung gagak tentu memilih kawan burung mayat!” kata Lin Lin. “Sudahlah, kami tidak ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Pergilah!”

Biarpun merasa mendongkol dan marah, namun Coa-ong Lojin lebih hati-hati daripada Ban Sai Cinjin dan ia tidak berani melawan.

“Pendekar Bodoh, kali ini aku Coa-ong Lojin mengalah terhadapmu, karena tidak ada sebab bagiku untuk mengadu nyawa. Akan tetapi lain kali aku takkan sudi menelan hinaan macam ini lagi!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu berjalan pergi.

Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan,
“Pengemis kelaparan, jangan kau pergi dulu!”

Dan dari luar menyambar bayangan orang yang sekali mengulur tangan telah menerkam ke arah pundak Coa-ong Lojin! Raja pengemis ini terkejut sekali dan cepat menyabet dengan tongkatnya, akan tetapi dengan gerakan yang indah dan gesit sekali, orang itu mengelak dan sekali tangannya bergerak, tongkat ular itu telah kena dirampasnya!

Orang ini bukan lain adalah Kwee An, murid Eng Yang Cu tokoh Kim-san-pai, juga murid dari Pek Mo-ko Si Iblis Baju Putih, dan pula menjadi murid dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng (bacalah cerita Pendekar Bodoh).

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin sebelum berangkat ke utara menyusul Hong Beng dan Goat Lan, mereka lebih dulu mampir di Tiang-an dan Kwee An lalu ikut dengan mereka untuk mencari puterinya, Goat Lan. Perjalanan tiga orang pendekar besar ini dilakukan dengan cepat dan lancar sekali. Dan pada suatu hari, mereka bertemu dengan Lilani yang menggendong Lie Siong sambil mengalirkan air mata!

Tentu saja melihat keganjilan ini, ketiga orang pendekar itu berhenti dan menahan Lilani. Melihat wajah Lilani, Kwee An memandang dengan bengong. Ia merasa seperti pernah melihat gadis cantik ini, akan tetapi tidak ingat lagi, entah dimana. Lin Lin maju menghampiri Lilani dan bertanya,

“Nona yang manis, apakah yang telah terjadi dengan pemuda itu? Siapa kau dan siapa pula dia?”

Melihat sikap dan wajah tiga orang setengah tua yang gagah itu, Lilani merasa kagum. Akan tetapi gadis ini masih merasa ragu-ragu untuk menceritakan keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau mereka ini juga kawan-kawan dari Ban Sai Cinjin?

Pendekar Bodoh dapat melihat keraguan gadis itu, maka ia lalu berkata,
“Nona tak perlu kau mencurigai kami, karena kami biasanya hanya menolong orang, tak pernah mau mengganggu orang.”

“Siapakah Sam-wi yang mulia? Mengapa pula menahan perjalananku? Kawanku ini terluka hebat dan perlu dicarikan obat, maka harap Sam-wi suka melepaskan aku yang malang ini.”

Kwee An yang semenjak tadi memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian karena merasa sudah pernah bertemu dengan muka ini, lalu maju dan begitu melihat keadaan Lie Siong ia berseru kaget,

“Nona, kawanmu ini terluka oleh senjata berbisa! Lekas kau ceritakan keadaanmu dan jangan meragukan kami. Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan orang-orang baik. Pendekar di hadapanmu ini adalah Pendekar Bodoh dan kau tidak boleh mencurigainya lagi.”






Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah Lilani menjadi berseri. Ia menurunkan tubuh Lie Siong yang dipondongnya, kemudian serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cin Hai sambil berkata,

“Sie Tai-hiap, tolonglah aku yang sengsara ini, tolonglah aku demi orang tuaku yang Tai-hiap telah kenal. Aku adalah Lilani, anak dari Manako dan Meilani!”

“Kau anak Meilani…??”

Kwee An yang berseru kaget dan barulah kini ia ingat bahwa wajah gadis ini seperti pinang dibelah dua, serupa benar dengan wajah Meilani, gadis Haimi yang telah menjadi “isterinya” di luar kehendaknya itu (baca cerita Pendekar Bodoh)! Juga Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan teringat mereka akan Meilani yang pernah mereka jumpai.

“Bangunlah, Nak. Kau kenapakah dan siapa pula kawanmu ini?” tanya Lin Lin sambil membangunkan gadis itu. “Tentu saja kami kenal baik dengan ayah ibumu, bahkan ini adalah Kwee Tai-hiap saudara tuaku yang boleh kau sebut sebagai ayah tirimu!”

Sungguh keterlaluan Lin Lin, dalam keadaan demikian ia masih dapat menggoda kakaknya. Tentu saja Kwee An menjadi jengah sendiri ketika Lilani tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut pula di depannya.

“Bangunlah, bangunlah, dan lekas kau bercerita. Siapa pemuda ini dan mengapa ia sampai terluka begini hebat?”

“Dia bernama Lie Siong, putera dari Lie Kong Sian Tai-hiap dan…”

“Apa katamu?” Lin Lin hampir menjerit. “Kau bilang pemuda ini putera Lie-suheng… jadi dia… dia putera Ang I Niocu??”

Lilani mengangguk dan dengan singkat ia menceritakan pertemuannya dengan Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin. Ketika mendengar betapa Lo Sian dan Kam Wi masih berada di dalam bahaya hebat, Pendekar Bodoh tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia minta tolong kepada Kwee An untuk merawat Lie Siong karena sedikit-sedikit Kwee An tahu cara pengobatan orang yang terluka, sedangkan ia sendiri lalu menarik tangan isterinya dan diajak berlari cepat sekali menuju ke rumah yang ditunjuk oleh Lilani.

Adapun Kwee An setelah memeriksa luka Lie Siong dengan teliti, dengan amat terkejut ia melihat bahwa bisa yang masuk ke dalam tubuh pemuda melalui luka kecil itu amat berbahaya dan dia tidak sanggup mengobatinya. Ia lalu bertanya lagi kepada Lilani siapa yang melukai pemuda itu, dan ketika mendengar bahwa Lie Siong terluka oleh tongkat Coa-ong Lojin, ia segera memondong tubuh Lie Siong dan berkata,

“Hayo kita kejar mereka! Hanya Coa-ong Lojin saja yang dapat menolong nyawa pemuda ini!” Dan bersama Lilani mereka lalu berlari cepat menyusul Pendekar Bodoh dan isterinya.

Demikianlah, ketika Kwee An tiba di situ dan melihat Coa-ong Lojin hendak pergi, ia lalu memberikan Lie Siong kepada Lilani dan ia sendiri lalu menyerang Coa-ong Lojin dan berhasil merampas tongkatnya.

“Pengemis ular,” kata Kwes An dengan sikap mengancam. “Jangan kau pergi dulu. Kalau kau tidak mau memberi obat untuk menyembuhkan luka Lie Siong, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini dengan kepala masih menempel di lehermu!”

Coa-ong Lojin berdiri bengong karena kaget dan herannya. Bagaimana orang dapat merampas tongkatnya dengan sedemikian mudahnya?

“Siapakah kau?” tanyanya.

“Kau berhadapan dengan orang she Kwee dari Tiang-an. Sudah tak perlu banyak cakap, lekas kau keluarkan obat untuk menyembuhkan lukanya,” kata pula Kwee An sambil menunjuk ke arah Lie Siong yang dipondong masuk oleh Lilani.

“Kalau aku tidak mau dan tidak takut mati?” tantang Coa-ong Lojin sambil tersenyum mengejek.

Kwee An menjadi gemas.
“Bangsat rendah! Tahukah kau bahwa aku pernah menerima pelajaran dari Pek Mo-ko? Tahukah kau artinya ini? Aku dapat membuat kau menderita selama hidup, hidup tidak mati pun tidak! Selain itu, aku akan pergi mencari kawan-kawanmu, semua anggauta Coa-tung Kai-pang akan kubasmi habis sampai bersih!”

“Engko An, biarkan aku mencokel kedua matanya kalau dia tidak mau menyembuhkan putera Enci Im Giok (Ang I Niocu)!” kata Lin Lin dengan gemas sekali.

“Dan aku pun harus mematahkan kedua lengannya kalau dia berkukuh tak mau mengobati Lie Siong!” kata Cin Hai.

Mau tidak mau ngeri juga hati Coa-ong Lojin mendengar ancaman-ancaman ini, apalagi ia pernah mendengar nama Pek Mo-ko sebagai tokoh besar yang memiliki kepandaian mengerikan sekali. Tadi pun sudah ia saksikan kepandaian Kwee An yang demikian mudah merampas tongkatnya. Ia menarik napas panjang, merasa tidak sanggup menghadapi tiga orang pendekar besar yang lihai ini. Dikeluarkannya sebungkus obat bubuk putih dari saku bajunya dan berkatalah dia dengan gemas,

“Biarlah kali ini aku Coa-ong Lojin mengaku kalah dan menurut kehendak orang lain. Akan tetapi lain kali aku akan membikin pembalasan!” Ia melemparkan bungkusan obat kepada Kwee An dan hendak pergi.

“Nanti dulu!” seru Cin Hai. “Obat itu belum dibuktikan kemanjurannya!”

Sambil berkata demikian Pendekar Bodoh menggerakkan tubuhnya yang melesat ke arah pengemis itu dan sekali ia menggerakkan tangannya tidak ampun lagi Coa-ong Lojin roboh tertotok.

Sementara itu, Lin Lin sudah menghampiri Lo Sian dan memulihkan kesehatannya setelah menotok dan mengurut pundaknya. Sin-kai Lo Sian merasa gembira sekali dan ucapan pertama yang keluar dari mulutnya adalah,

“Dia harus disembuhkan, dia adalah putera Ang I Niocu!”

Cin Hai juga membebaskan totokan pada diri Kam Wi yang cepat melompat berdiri dan tanpa berkata sesuatu, orang yang kasar dan jujur ini lalu mengangkat tangan dan memukul ke arah Coa-ong Lojin yang telah duduk bersandar tembok tanpa berdaya lagi!

Akan tetapi cepat-cepat Cin Hai menangkap tangannya. Pukulan Kam Wi ini dilakukan dengan keras sekali, akan tetapi ia tertegun ketika merasa betapa dalam tangkapan Cin Hai, ia tak kuasa menggerakkan tangannya itu.

“Dia orang jahat, harus dibunuh!” katanya dengan keras.

“Sabar dulu, Sin-houw-enghiong! Dia harus membuktikan dulu bahwa obat yang diberikan untuk menyembuhkan Lie Siong benar-benar manjur,” kata Cin Hai.

Setelah dihibur-hibur oleh Cin Hai dan Lin Lin, akhirnya Kam Wi menjadi sabar dan mereka semua lalu menyaksikan betapa Kwee An mengobati Lie Siong. Atas petunjuk dari Coa-ong Lojin yang masih dapat bicara dengan lemah, luka di pundak kanannya itu lalu dicuci bersih dan diboboki obat bubuk yang sudah dicairkan dengan air. Kemudian, dengan obat bubuk itu pula, Lie Siong diberi minum obat dicampur sedikit arak. Setelah pengobatan ini, semua orang berdiam, menanti hasil pengobatan itu.

“Sebentar lagi ia akan siuman dan sembuh,” kata Coa-ong Lojin dengan perlahan.

“Awas, kalau kata-katamu tidak terbukti, aku sendiri yang akan memukul hancur kepalamu yang jahat!” kata Kam Wi dengan melototkan kedua matanya yang lebar.

Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh Coa-ong Lojin, tak lama kemudian terdengar Lie Siong mengeluh dan pemuda ini membuka matanya. Wajahnya yang pucat telah menjadi merah kembali, sebaliknya luka di pundak yang tadinya merah telah mulai menjadi pulih.

“Baiknya kau tidak membohong sehingga jiwamu masih tertolong!” kata Pendekar Bodoh.

Sebagai seorang budiman, ia tidak melanggar janji dan melihat betul-betul Lie Siong dapat disembuhkan, ia lalu menghampiri Coa-ong Lojin, membebaskan totokannya hingga pengemis itu dapat melompat berdiri.

“Baiklah kali ini aku Coa-ong Lojin telah menerima penghinaan berkali-kali. Kelak di puncak Thai-san aku akan memperkuat rombongan Wi Kong Siansu untuk menghadapi kalian!”

Setelah berkata demikian, pengemis bertongkat ular ini hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi sudah melompat ke depannya dan sekali menendang, tubuh pengemis itu terlempar keluar dari pintu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar