*

*

Ads

Sabtu, 26 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 025

“Ban Sai Cinjin, ketahuilah aku mengejar muridmu Bouw Hun Ti dan tadi kulihat ia bersembunyi di tempat ini.”

“Hemm, memang ada muridku Bouw Hun Ti di ruang dalam, akan tetapi mengapakah kau mengejar-ngejarnya dengan pedang di tangan?”

“Muridmu telah melakukan perbuatan yang jahat! Dia tidak saja membunuh Yousuf yang menjadi ayah angkat Nyonya Sie Cin Hai, akan tetapi juga ia telah menculik puteri dari Pendekar Bodoh itu. Kau tahu bahwa aku adalah Suheng dari Pendekar Bodoh, maka mendengar kekejaman ini, tentu saja aku tidak tinggal diam dan berusaha membalas dendam. Oleh karena itu, perlu pula kau ketahui untuk kau pertimbangkan, bahwa ketika aku mengejar muridmu tadi, sutemu Lu Tong Kui menghalangiku. Sudah kukatakan bahwa aku tidak memusuhinya, akan tetapi ia mendesak dan menyerang sehingga akhirnya ia tewas di ujung pedangku!”

Hampir meledak rasa dada Ban Sai Cinjin mendengar ini, akan tetapi perasaannya ini sama sekali tidak nampak pada wajahnya yang masih saja tersenyum-senyum mengejek. Akan tetapi, jari-jari tangannya yang masih memasuk-masukkan tembakau pada kepala pipa itu gemetar sedikit tanda bahwa dadanya bergelora karena marah.

“Hemm, hemm, jadi kau telah membunuh Suteku pula? Lie Kong Sian! Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu untuk berbuat sesukamu terhadap murid dan Suteku. Kau berlaku sebagai hakim sendiri untuk menghukum mereka. Apakah kau sama sekali sudah tak memandang mukaku lagi?”

“Ban Sai Cinjin, harap kau orang tua suka mempertimbangkan baik-baik dan menggunakan cengli (aturan). Muridmu telah melakukan pembunuhan terhadap diri Yousuf dan menculik pula puteri Suteku, berarti bahwa ia sengaja memusuhi Pendekar Bodoh. Adapun sutemu Lu Tong Kui itu, dia mencari kematian sendiri karena dialah yang mendesakku dan menghalang-halangiku mengejar muridmu yang jahat.”

“Enak saja kau bicara!” tiba-tiba Ban Sai Cinjin tak dapat menahan sabarnya lagi, matanya bersinar-sinar, dadanya berombak, akan tetapi ia masih sempat menyalakan api untuk membakar tembakau di kepala pipanya. “Bouw Hun Ti membunuh Yousuf adalah urusannya sendiri. Mereka sama-sama dari Turki dan urusan antara mereka tidak ada hubungannya dengan kita! Adapun tentang penculikan puteri Pendekar Bodoh, belum tentu kalau muridku bermaksud buruk. Buktinya, manakah anak yang diculiknya? Kau hanya menuduh secara membuta saja. Sekarang tak perlu kau banyak cakap, paling perlu kau harus membayar hutangmu dan membalas kematian Suteku!”

Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menyedot pipanya dan terciumlah bau asap yang amat keras memusingkan kepala.

“Bagus!” Lie Kong Sian berseru marah. “Kau hendak membela yang jahat? Majulah, jangan kira aku takut kepadamu!”

Lie Kong Sian yang sedang menderita kesedihan hati karena perginya isteri dan anaknya itu memang berubah adatnya menjadi keras dan mudah marah. Keberaniannya bertambah-tambah karena ia tidak takut mati lagi setelah hidupnya mengalami kegagalan dan kepahitan.

“Manusia sombong! Gurumu sendiri belum tentu berani bersikap sesombong ini di hadapanku. Nah, kau mampuslah!”

Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menyemburkan asap hitam dari mulutnya. Semburan ini bukanlah semburan biasa akan tetapi yang dilakukan dengan tenaga khi-kang sepenuhnya sehingga asap hitam itu menyambar cepat ke arah muka Lie Kong Sian! Pendekar ini mengelak cepat karena tahu akan lihainya asap ini.

“Iblis tua, kau tak malu menggunakan kecurangan?”

Lie Kong Sian membentak marah dan menyerang dengan pedangnya, akan tetapi ketika Ban Sai Cinjin dengan huncwenya, diam-diam ia merasa terkejut sekali karena ternyata bahwa tenaga lwee-kang dari orang tua pendek itu benar-benar hebat sekali dan masih lebih tinggi daripada tenaganya sendiri!

Maka bertempurlah kedua orang berilmu itu dengan hebat. Pedang di tangan Lie Kong Sian bergerak cepat dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap di dalam gulungan pedangnya sendiri, sedangkan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin benar-benar luar biasa. Saking cepatnya gerakan huncwe, maka yang terlihat hanyalah sinar kehitaman yang tebal dan kuat, merupakan benteng baja yang diliputi asap hitam seperti kabut, yaitu asap yang keluar dari tembakaunya yang beracun!

Setelah pertempuran berjalan seru, barulah kelihatan Bouw Hun Ti keluar dari sembunyinya dan dengan bertolak pinggang ia menonton pertempuran itu, bersama pendeta cilik gundul yang dulu hendak membedah perut Thio Kam Seng.

Kebetulan sekali pada saat itu di tempat itu terdapat seorang penduduk kampung muda yang datang mencari kayu kering. Ketika ia mendengar suara senjata beradu, ia tertarik dan datang pula ke depan kelenteng. Kini ia berdiri dengan mulut melongo, ketika menyaksikan pertempuran yang luar biasa dan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya itu. Ia tidak dapat melihat orang yang sedang bertempur, hanya melihat gulungan sinar putih keemasan dari pedang Lie Kong Sian, dan gulungan sinar hitam dari huncwe Ban Sai Cinjin!






Dan pada saat pertempuran telah berjalan lima puluh jurus lebih, datanglah Lo Sian yang mengintai dari balik gerombolan pohon. Biarpun Lo Sian bukan seorang biasa dan telah memiliki kepandaian tinggi, namun menyaksikan pertempuran ini, ia menjadi tertegun dan kagum sekali.

Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan pertandingan yang demikian seru dan hebatnya. Lo Sian selama ini mengagumi kepandaian suhengnya, Mo-kai Nyo Tiang Le yang telah mewarisi seluruh kepandaian mendiang suhunya, akan tetapi melihat gerakan kedua orang yang sedang bertempur, ia merasa ragu-ragu apakah kepandaian suhengnya itu dapat menandingi kepandaian Ban Sai Cinjin.

Sebetulnya, dalam hal gerakan ilmu silat, Lie Kong Sian tak usah merasa kalah terhadap Ban Sai Cinjin. Kalau saja kakek pesolek itu mempergunakan ilmu silat biasa, agaknya tak mungkin ia akan dapat melawan Lie Kong Sian sampai sekian lamanya.

Akan tetapi, Ban Sai Cinjin bukan seorang ahli silat biasa. Selain ilmu silat ia telah mempelajari ilmu hoat-sut (sihir) dari bangsa Mongol, di dalam gerakan huncwenya banyak terdapat gerakan-gerakan aneh yang mempengaruhi pandangan mata lawan, seringkali huncwe itu membuat gerakan rahasia sehingga tiba-tiba Lie Kong Sian merasa matanya kabur dan pikirannya bingung.

Hanya berkat lwee-kangnya yang sudah tinggi dan permainan pedangnya yang memang sudah mendekati kesempurnaan sajalah yang masih menyelamatkan nyawanya karena lawannya tak dapat mudah membobolkan pertahanan pedangnya. Selain ini juga dalam tenaga dalam Lie Kong Sian harus mengaku kalah. Tenaga dalam yang dimiliki oleh Ban Sai Cinjin bukanlah tenaga biasa, akan tetapi tenaga yang diperkuat oleh ilmu hitam dan mantera.

Sebaliknya, Ban Sai Cinjin merasa kagum dan diam-diam merasa amat penasaran sekali. Dia adalah seseorang yang belum pernah merasa dikalahkan orang, dan huncwenya telah dikenal oleh seluruh orang gagah di kalangan kang-ouw sebagai senjata yang tak terlawan sehingga ia dijuluki Huncwe Maut. Akan tetapi, menghadapi seorang jago muda saja sampai puluhan jurus belum juga ia dapat merobohkannya! Jangankan merobohkan, bahkan mendesak saja ia pun tidak mampu. Maka, dengan penuh kemarahan Ban Sai Cinjin membentak,

“Siauw-koai, Lo-koai, semua tunduk kepadaku! Lie Kong Sian, ayahmu, kakekmu, gurumu, semua tunduk kepadaku. Kau juga takut kepadaku!”

Ini adalah ucapan yang mengandung mantera dan merupakan sihir yang luar biasa, karena tiba-tiba Lie Kong Sian merasa berdebar-debar dan dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin nampak amat menakutkan dan mengerikan hati!

Kalau orang lain yang menghadapi pengaruh ilmu hitam ini tentu akan lemas seluruh tubuhnya sehingga akan mudah sekali dirobohkan. Namun Lie Kong Sian bukanlah orang sembarangan. Telah bertahun-tahun tinggal menyepi seorang diri di pulau kosong di tengah laut. Telah bertahun-tahun ia melakukan tapa dan samadhi untuk memperkuat batin dan membersihkan pikiran. Banyak sekali godaan-godaan setan yang dialaminya di waktu ia menyepi di atas pulau itu, dan semua rintangan dan godaan itu telah dapat dihadapinya dengan baik.

Kini, mendapat serangan luar biasa dari Ban Sai Cinjin dengan ilmu hitamnya, biarpun hatinya berdebar dan rasa takut dan ngeri meliputi hatinya, namun ia dapat memperteguh imannya dan permainan pedangnya tidak menjadi kacau.

“Lie Kong Sian, lihat! Api neraka membakarmu!” teriak lagi Ban Sai Cinjin sambil tiba-tiba menepuk pipa tembakaunya dengan tangan kiri sehingga api tembakau memancar keluar dari kepala pipanya itu, menyambar ke arah Lie Kong Sian.

Pengaruh ilmu sihir membuat api itu nampak besar sekali yang menyambar ke arah kepalanya. Akan tetapi Lie Kong Sian masih dapat berlaku gesit dan tidak terpengaruh oleh teriakan yang mengandung hawa hitam itu. Ia cepat mengelak ke kiri dan sungguhpun ia merasa terkejut sekali, namun ia masih dapat menyelamatkan diri daripada serangan api tembakau beracun itu.

Tak terduga sama sekali olehnya, bahwa diam-diam Bouw Hun Ti yang berwatak curang dan palsu itu, melakukan kecurangan yang amat memalukan. Ketika Bouw Hun Ti melihat suhunya amat sukar mengalahkan Lie Kong Sian, orang ini lalu mengeluarkan gendewanya yang kecil akan tetapi kuat sekali. Melihat bentuknya, gendewa ini berbeda dengan gendewa yang biasa digunakan orang Tiongkok, karena sesungguhnya gendewa ini adalah gendewa model Turki.

Sambil memegang gendewa dengan tangan kiri dan tiga batang anak panah pendek di tangan kanan, Bouw Hun Ti bersiap-siap mencari kesempatan untuk membokong musuhnya yang sedang bertanding melawan gurunya itu. Kesempatan itu tiba ketika Lie Kong Sian diserang oleh api dari kepala huncwe Ban Sai Cinjin.

Bouw Hun Ti melihat betapa Lie Kong Sian mengelak ke kiri dengan muka memperlihatkan kekagetan, maka ia cepat menggerakkan kedua tangannya dan “sr! sr! sr!” tiga batang anak panahnya yang pendek dan kecil warnanya hitam itu meluncur cepat sekali ke arah Lie Kong Sian. Tiga batang senjata itu menyerang ke arah leher, ulu hati, dan bawah pusar!

Bukan main kagetnya hati Lie Kong Sian melihat serangan yang tiba-tiba datangnya dan tak tersangka-sangka ini!

“Bangsat curang!!” serunya marah dan berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak cepat ke kanan dengan miringan tubuhnya.

Memang kecepatan gerakannya dapat menolong dirinya dari ancaman tiga batang anak panah beracun itu, akan tetapi gerakannya ini disambut dengan serangan maut oleh Ban Sai Cinjin yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh Lie Kong Sian miring dan dalam posisi yang amat lemah, huncwenya menyambar dan… “tak!” huncwe itu dengan tepat sekali mengetuk kepala Lie Kong Sian di bagian ubun-ubunnya.

Lie Kong Sian menjerit ngeri, tubuhnya terhuyung-huyung, terputar-putar dan pedangnya terlepas dari tangan. Kemudian setelah berputar beberapa kali, tubuh Lie Kong Sian terjungkal dan roboh tertelungkup tak bergerrak lag!!

Ubun-ubunnya telah pecah terkena pukulan huncwe yang hebat itu dan nyawanya melayang pada saat itu juga! Lie Kong Sian, suami Ang I Niocu, pendekar besar dari Pulau Pek-le-to, telah tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan!

Lo Sian yang mengintai dari balik pohon, mengerutkan kening dan meramkan matanya dengan hati perih dan ngeri. Tak terasa pula dua titik air mata melompat keluar dari sepasang matanya, turun di atas pipinya. Apakah dayanya? Kepandaiannya masih tak cukup kuat untuk menghadapi Bouw Hun Ti, apalagi menghadapi gurunya, Ban Sai Cinjin yang amat tangguh dan kejam itu.

Sementara itu, Ban Sai Cinjin juga tercengang melihat kecurangan muridnya. Ia menegur perlahan,

“Hun Ti, mengapa kau lancang membantuku? Kau merendahkan derajatku dengan bantuan tadi dan hatiku tidak merasa puas biarpun aku telah menang dan berhasil merobohkan Lie Kong Sian. Biarpun kau tidak membantu, akhirnya Lie Kong Sian pasti akan roboh juga di tanganku. Mengapa kau membantu dengan jalan curang?”

“Teecu tidak tahan lebih lama lagi melihat orang yang telah membunuh Susiok ini!” jawab Bouw Hun Ti, dan Ban Sai Cinjin terhibur juga mendengar ini.

Tiba-tiba ia melihat pemuda kampung itu dan membentak,
“Siapa dia itu?”

“Entah, teecu juga tidak mengenalnya,” jawab Bouw Hun Ti.

“Dia adalah seorang kampung yang mencari kayu, Suhu,” kata hwesio cilik yang ternyata murid merangkap pelayan dari Ban Sai Cinjin.

“Celaka, dia telah melihat perbuatanku terhadap Lie Kong Sian tadi, dan kalau hal ini sampai diketahui orang luar, aku akan mendapat malu!” kata Ban Sai Cinjin.

Tiba-tiba tubuhnya melompat dan tahu-tahu ia telah berada di depan orang kampung muda yang masih berdiri terbelalak ngeri melihat pembunuhan tadi. Kini ia menjadi ketakutan ketika melihat Ban Sai Cinjin telah berada di depannya dan sebelum ia dapat melarikan diri, Ban Sai Cinjin menyemburkan asap hitam ke arah mukanya.

Orang itu mendekap muka dengan tangannya, terbatuk-batuk beberapa kali seakan-akan tak dapat bernapas, kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan jatuh telentang tak bernapas lagi. Mukanya menjadi hitam karena racun yang disemburkan melalul asap tembakau itu!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar