Mendengar nama ini, tidak saja Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti yang merasa akan tetapi Lo Sian juga tertegun dan memandang dengan penuh perhatian dan kagum. Akan tetapi ia merasa ragu-ragu karena sepanjang pendengarannya, pendekar yang bernama Lie Kong Sian dan yang menjadi suami dari pendekar wanita Ang I Niocu yang amat terkenal, kabarnya berwajah tampan dan gagah. Mengapa orang ini seperti orang gila dan berwajah muram?
Nama Ang I Niocu sudah amat terkenal dan tak seorang pun di kalangan kang-ouw yang belum mendengar namanya sungguhpun jarang yang pernah bertemu dengan pendekar wanita itu.
Kalau Ang I Niocu yang tersohor gagah perkasa itu kabarnya masih kalah oleh suaminya yang bernama Lie Kong Sian, maka tentu saja nama ini menggetarkan hati Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti! Apalagi Bouw Hun Ti, karena sebagai suheng dari Pendekar Bodoh yang telah diganggunya, dibunuh mertuanya dan diculik puterinya, tentu saja Lie Kong Sian takkan memberi ampun kepadanya! Lo Sian menjadi girang sekali.
“Hemm, kau kah yang bernama Lie Kong Sian, pendekar dari Pulau Pek-le-to itu? Tak kusangka bahwa orangnya hanya sebegini saja!”
Lu Tong Kui mengejek untuk memperbesar semangat sendiri, kemudian tanpa menanti jawaban ia menyerang dengan pedangnya.
Lie Kong Sian cepat mengelak sambil mencabut keluar pedangnya pula. Pedang ini bersinar gemilang dan amat tajam, karena ini adalah pedang Cian-hong-kiam yang dulu ia terima dari isterinya sebagai tanda perjodohan ketika belum menikah. Dengan gerakan yang luar biasa cepat dan kuatnya, Lie Kong Sian membalas dengan serangan hebat sehingga Lu Tong Kui harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian agar jangan sampai dirobohkan dengan mudah.
Bouw Hun Ti yang melihat susioknya terdesak, lalu mengambil kembali goloknya yang tadi terlepas dari pegangan, lalu membantu susioknya itu mengeroyok Lie Kong Sian.
Lo Sian tentu saja tidak mau mendiamkan hal ini dan ia pun bergerak maju sambil berseru,
“Bangsat pengecut, jangan main keroyokan!”
Akan tetapi Lie Kong Sian lalu berkata kepadanya,
“Sahabat, jangan kau turut campur! Biarkan aku sendiri memberi hajaran kepada penculik rendah ini. Yang diculik adalah keponakanku, maka aku yang berhak menghajar!”
Mendengar suara ini, Lo Sian melangkah mundur lagi karena ia tidak mau menyinggung perasaan pendekar gagah itu. Pula, ia melihat betapa Lie Kong Sian biarpun dikeroyok dua, tetapi masih dapat mendesak kedua lawannya, dan maklum pula bahwa kepandaiannya sendiri masih kurang cukup kuat sehingga bantuannya bahkan hanya merupakah gangguan saja bagi pergerakan Lie Kong Sian.
Memang ilmu pedang dari Lie Kong Sian bukan main hebatnya. Pendekar ini adalah murid dari mendiang Han Le Sianjin yang menjadi sute dari Bu Pun Su, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Biarpun Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti juga bukan sembarang orang dan kepandaian mereka sudah termasuk tinggi dan lihai, namun menghadapi Lie Kong Sian, mereka tidak banyak berdaya dan setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, maklumlah mereka bahwa kalau dilanjutkan mereka tentu akan roboh di tangan pendekar besar dari Pulau Pek-le-to ini!
Lu Tong Kui adalah seorang yang licik dan juga pandai melihat gelagat. Daripada roboh di tangan Lie Kong Sian, lebih baik melarikan diri saja, pikirnya. Ia tak usah merasa malu melakukan hal ini, karena kalah dalam pertandingan melawan seorang gagah perkasa seperti Lie Kong Sian, bukanlah merupakan hal yang amat memalukan.
“Mari kita pergi!” katanya dengan cepat sambil menyerang hebat ke arah kedua kaki Lie Kong Sian.
Bouw Hun Ti memang sudah mengeluarkan keringat dingin karena takut dan gelisahnya, kini mendengar susioknya yang dibarengi dengan serangan hebat sehingga Lie Kong Sian tidak dapat menekannya, ia lalu melompat dari rumah makan.
“Bouw Hun Ti, jangan lari sebelum lehermu kupatahkan!” seru Lie Kong Sian menyampok pedang Lu Tong Kui dan tubuhnya berkelebat keluar mengejar Bouw Hun Ti.
Karena gerak Lie Kong Sian gesit sekali dan gin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi, maka dengan dua kali lompatan saja ia telah dapat menyusul dan mengirim bacokan dengan pedangnya dari belakang.
Bouw Hun Ti bukanlah orang lemah dan mendengar suara angin pedang dari belakang, ia cepat membalikkan tubuh dan menangkis pedang itu dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya.
“Trang!!”
Goloknya beradu dengan pedang sedemikian kerasnya sehingga telapak tangannya serasa akan pecah kulitnya. Ketika ia melihat, ternyata bahwa goloknya telah terbabat putus menjadi dua oleh pedang lawannya! Dan pada saat itu, pedang Lie Kong Sian menyambar dengan cepatnya menusuk dadanya.
Bouw Hun Ti dengan suara kaget melempar tubuh ke belakang, akan tetapi ujung pedang itu masih menyerempet pundaknya dan melukai kulit pundak sehingga pecah dan darah membasahi pakaiannya! Ia terhuyung ke belakang dan tak tertahan lagi tubuhnya jatuh terjengkang!
Untung baginya, ketika Lie Kong Sian hendak menambahkan dengan tusukan maut datang Lu Tong Kui yang menyerang Lie Kong Sian dari belakang sehingga pendekar Pulau Pek-le-to itu terpaksa membalikkan tubuh untuk menghadapi Lu Tong Kui.
Bouw Hun Ti merangkak bangun dan melihat musuh tangguh itu telah ditahan oleh susioknya, ia lalu melarikan diri secepatnya pergi dari tempat itu!
“Bouw Huii Ti, bangsat rendah, jangan lari!” seru Lie Kong Sian yang hendak mengejar kembali, akan tetapi Lu Tong Kui menyerangnya sedemikian rupa sehingga ia tak dapat melanjutkan niatnya mengejar musuh itu.
“Orang she Lu, jangan kau terlalu mendesak!” kata Lie Kong Sian. “Aku tidak mempunyai permusuhan denganmu dan tidak bermaksud membunuhmu. Yang hendak kubikin mampus hanya bangsat rendah Bouw Hun Ti itu. Minggirlah!”
Akan tetapi Lu Tong Kui tidak menurut, bahkan mendesak makin hebat.
“Kalau begitu, agaknya kau pun telah bosan hidup!” teriak Lie Kong Sian marah dan pedangnya segera diputar cepat sekali.
Gerakannya berubah dan kini pedangnya merupakan seekor naga yang ganas sekali, menyambar-nyambar tak mengenal ampun. Beberapa belas jurus Lu Tong Kui masih dapat mempertahankan diri, akan tetapi akhirnya ia berteriak ngeri dan roboh tak bernyawa pula karena dadanya telah tertembus oleh pedang di tangan Lie Kong Sian!
Pendekar dari Pulau Pek-le-to ini untuk sesaat berdiri terkesima dan merasa sedikit menyesal telah membunuh orang ini yang sesungguhnya di luar kehendaknya semula. Kemudian ia teringat kepada Bouw Hun Ti, lalu mengejar secepatnya ke arah orang she Bouw itu tadi melarikan diri.
Lo Sian yang mengejar sampai disitu merasa kagum sekali dan berseru,
“Lie Kong Sian, Tai-hiap…! Tunggu dulu! Lili sudah berada di tangan yang aman sentausa!”
Akan tetapi Lie Kong Sian telah pergi jauh dan Lo Sian tidak dapat menyusul kecepatan lari pendekar itu sehingga Si Pengemis Sakti ini hanya menggeleng-geleng kepala dan kemudian pergi dari situ, tidak mengalami kesibukan karena terjadinya pembunuhan ini.
“Bouw Hun Ti telah berada di tempat ini dengan susioknya, maka tentu ia melarikan diri menuju ke tempat tinggal gurunya yang tak jauh dari sini,” pikir Lo Sian dan ia lalu berlari cepat menuju ke dusun Tong-si-bun, tempat tinggal Ban Sai Cinjin.
Hari telah sore ketika ia tiba di dusun itu dan melihat betapa rumah Ban Sai Cinjin sunyi saja, ia lalu menuju ke hutan dimana ia bersama Lili menolong Thio Kam Seng anak yatim piatu itu dari siksaan seorang hwesio kecil yang mendiami kuil megah dari Ban Sai Cinjin.
Dugaannya memang tepat sekali. Ketika ia tiba di dekat kuil itu, ia menyaksikan pertempuran yang hebat sekali tengah berlangsung antara Lie Kong Sian dan Ban Sai Cinjin sendiri!
Seperti juga dulu ia mengintai dari balik tetumbuhan yang rindang, menonton pertempuran luar biasa dahsyatnya itu. Hwesio kecil yang kejam dulu itu berdiri tak jauh dari tempat pertempuran dan di dekatnya berdiri pula Bouw Hun Ti yang bertolak pinggang.
Tak jauh dari tempat itu berdiri pula seorang yang melihat dari keadaan pakaiannya, adalah seorang dusun yang kebetulan lewat disitu telah menonton pertempuran dengan mata terbelalak penuh kegelisahan dan ketakutan. Orang dusun ini rupanya masih muda.
Lie Kong Sian memang telah mendapatkan jejak musuhnya dan mengejar terus sampai ke tempat itu. Ia masih melihat berkelebatnya bayangan Bouw Hun Ti memasuki kuil yang amat mentereng di dalam hutan itu. Lie Kong Sian ragu-ragu untuk masuk ke dalam kuil, karena ia adalah seorang yang menghargai peraturan dan kesopanan. Tak berani ia secara sembarangan memasuki kuil tanpa seijin kepala hwesio yang menguasai kelenteng. Maka ia lalu berseru keras,
“Bouw Hun Ti manusia jahat! Jangan kau mengotori kelenteng suci dengan telapak kakimu yang hitam! Keluarlah untuk menerima kematian secara laki-laki!”
Beberapa kali Lie Kong Sian berteriak-teriak dari luar kuil dan tak lama kemudian, dari dalam kuil itu keluarlah seorang gemuk pendek yang sudah tua akan tetapi wajahnya masih kemerah-merahan tanda bahwa ia sehat sekali. Pakaiannya amat mengherankan karena mewahnya dan rambutnya yang sudah putih itu disisir rapi dan dikuncir ke belakang.
Di luar pakaiannya yang terbuat daripada sutera halus dan mahal itu, ia mengenakan sebuah baju luar terbuat daripada bulu yang amat halus dan mahal. Sepatunya juga baru dan mengkilat dan pada tangan kanannya ia memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjang. Kepala huncwe itu masih mengepulkan asap tembakau yang berbau harum, tanda bahwa tembakau yang diisapnya adalah tembakau yang mahal.
Lie Kong Sian tertegun. Ia belum pernah bertemu dengan orang ini, dan melihat potongan tubuhnya dan huncwe yang luar biasa itu, ia menduga bahwa orang ini tentulah Si Huncwe Maut yang terkenal pula dengan sebutan Ban Sai Cinjin.
Akan tetapi mengapa Ban Sai Cinjin yang disohorkan sebagai seorang pemeluk kebatinan kelihatan begini pesolek? Maka Lie Kong Sian merasa ragu-ragu dan hanya memandang dengan mata menyinarkan cahaya tajam.
Sebaliknya, kakek yang sebenarnya memang Ban Sai Cinjin dengan tenang keluar dari kuil diikuti oleh seorang hwesio kecil berkepala gundul dan bermata liar, lalu ia menjura kepada Lie Kong Sian dan berkata,
“Selamat datang di kuilku, Pek-le-to Tai-hiap (Pendekar Besar dari Pulau Pek-le.-to)! Sungguh satu kehormatan besar sekali mendapat kunjungan seorang gagah seperti kau. Hanya anehnya, sepanjang pendengaranku, Lie Kong Sian adalah pendekar besar yang penyabar dan tenang, akan tetapi mengapa sekarang ia mengunjungi sebuah kuil dengan pedang di tangan dan iblis maut membayang pada mukanya?”
Ucapan ini sungguhpun cukup pantas dan merendah, akan tetapi mengandung ejekan, terutama sekali tekanan kata-katanya.
Lie Kong Sian juga menjura sebagai balas penghormatan, lalu bertanya,
“Kalau tidak salah dugaanku, Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) tentu yang disebut Ban Sai Cinjin si Huncwe Maut. Betulkah dugaanku ini?”
Ban Sai Cinjin tertawa dengan suara ketawanya yang aneh.
“Hehe, hehe, hehe, he-he-he, ha-ha-ha!”
Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu, hanya dengan amat tenangnya lalu mengetuk-ngetuk keluar abu tembakau dari kepala pipanya kemudian dengan masih tenang seakan-akan sedang menikmati waktu senggang seorang diri, ia membuka kantong tembakau yang tergantung pada pipa itu, mengeluarkan tembakau warna hitam yang dijemputnya dengan ibu jari, menutup kantong itu kembali dan menggantungkannya lagi pada pipanya.
Dengan mata meram-melek ia menggelintir-gelintir tembakau itu di ibu jari dan telunjuk tangan kiri, lalu dimasukkannya ke dalam mulut huncwe tempat tembakau.
Setelah itu, barulah ia memandang kepada Lie Kong Sian yang menjadi gemas juga melihat sikap yang angkuh dan memandang rendah ini.
“Kau menduga tepat. Aku telah kenal dengan mendiang gurumu, Han Le Sianjin! Lie Kong Sian, apakah keperluanmu maka datang mengunjungi kuilku dengan pedang di tangan?”
Lie Kong Sian adalah seorang pendekar yang jujur, tabah dan tidak suka menyembunyikan perbuatannya sendiri. Ia tahu bahwa Lu Tong Kui yang terbunuh olehnya tadi adalah sute dari Ban Sai Cinjin, maka tak perlu kiranya ia menyembunyikan permusuhannya dengan Bouw Hun Ti dan pembunuhannya terhadap Lu Tong Kui tadi, katanya,
Nama Ang I Niocu sudah amat terkenal dan tak seorang pun di kalangan kang-ouw yang belum mendengar namanya sungguhpun jarang yang pernah bertemu dengan pendekar wanita itu.
Kalau Ang I Niocu yang tersohor gagah perkasa itu kabarnya masih kalah oleh suaminya yang bernama Lie Kong Sian, maka tentu saja nama ini menggetarkan hati Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti! Apalagi Bouw Hun Ti, karena sebagai suheng dari Pendekar Bodoh yang telah diganggunya, dibunuh mertuanya dan diculik puterinya, tentu saja Lie Kong Sian takkan memberi ampun kepadanya! Lo Sian menjadi girang sekali.
“Hemm, kau kah yang bernama Lie Kong Sian, pendekar dari Pulau Pek-le-to itu? Tak kusangka bahwa orangnya hanya sebegini saja!”
Lu Tong Kui mengejek untuk memperbesar semangat sendiri, kemudian tanpa menanti jawaban ia menyerang dengan pedangnya.
Lie Kong Sian cepat mengelak sambil mencabut keluar pedangnya pula. Pedang ini bersinar gemilang dan amat tajam, karena ini adalah pedang Cian-hong-kiam yang dulu ia terima dari isterinya sebagai tanda perjodohan ketika belum menikah. Dengan gerakan yang luar biasa cepat dan kuatnya, Lie Kong Sian membalas dengan serangan hebat sehingga Lu Tong Kui harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian agar jangan sampai dirobohkan dengan mudah.
Bouw Hun Ti yang melihat susioknya terdesak, lalu mengambil kembali goloknya yang tadi terlepas dari pegangan, lalu membantu susioknya itu mengeroyok Lie Kong Sian.
Lo Sian tentu saja tidak mau mendiamkan hal ini dan ia pun bergerak maju sambil berseru,
“Bangsat pengecut, jangan main keroyokan!”
Akan tetapi Lie Kong Sian lalu berkata kepadanya,
“Sahabat, jangan kau turut campur! Biarkan aku sendiri memberi hajaran kepada penculik rendah ini. Yang diculik adalah keponakanku, maka aku yang berhak menghajar!”
Mendengar suara ini, Lo Sian melangkah mundur lagi karena ia tidak mau menyinggung perasaan pendekar gagah itu. Pula, ia melihat betapa Lie Kong Sian biarpun dikeroyok dua, tetapi masih dapat mendesak kedua lawannya, dan maklum pula bahwa kepandaiannya sendiri masih kurang cukup kuat sehingga bantuannya bahkan hanya merupakah gangguan saja bagi pergerakan Lie Kong Sian.
Memang ilmu pedang dari Lie Kong Sian bukan main hebatnya. Pendekar ini adalah murid dari mendiang Han Le Sianjin yang menjadi sute dari Bu Pun Su, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Biarpun Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti juga bukan sembarang orang dan kepandaian mereka sudah termasuk tinggi dan lihai, namun menghadapi Lie Kong Sian, mereka tidak banyak berdaya dan setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, maklumlah mereka bahwa kalau dilanjutkan mereka tentu akan roboh di tangan pendekar besar dari Pulau Pek-le-to ini!
Lu Tong Kui adalah seorang yang licik dan juga pandai melihat gelagat. Daripada roboh di tangan Lie Kong Sian, lebih baik melarikan diri saja, pikirnya. Ia tak usah merasa malu melakukan hal ini, karena kalah dalam pertandingan melawan seorang gagah perkasa seperti Lie Kong Sian, bukanlah merupakan hal yang amat memalukan.
“Mari kita pergi!” katanya dengan cepat sambil menyerang hebat ke arah kedua kaki Lie Kong Sian.
Bouw Hun Ti memang sudah mengeluarkan keringat dingin karena takut dan gelisahnya, kini mendengar susioknya yang dibarengi dengan serangan hebat sehingga Lie Kong Sian tidak dapat menekannya, ia lalu melompat dari rumah makan.
“Bouw Hun Ti, jangan lari sebelum lehermu kupatahkan!” seru Lie Kong Sian menyampok pedang Lu Tong Kui dan tubuhnya berkelebat keluar mengejar Bouw Hun Ti.
Karena gerak Lie Kong Sian gesit sekali dan gin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi, maka dengan dua kali lompatan saja ia telah dapat menyusul dan mengirim bacokan dengan pedangnya dari belakang.
Bouw Hun Ti bukanlah orang lemah dan mendengar suara angin pedang dari belakang, ia cepat membalikkan tubuh dan menangkis pedang itu dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya.
“Trang!!”
Goloknya beradu dengan pedang sedemikian kerasnya sehingga telapak tangannya serasa akan pecah kulitnya. Ketika ia melihat, ternyata bahwa goloknya telah terbabat putus menjadi dua oleh pedang lawannya! Dan pada saat itu, pedang Lie Kong Sian menyambar dengan cepatnya menusuk dadanya.
Bouw Hun Ti dengan suara kaget melempar tubuh ke belakang, akan tetapi ujung pedang itu masih menyerempet pundaknya dan melukai kulit pundak sehingga pecah dan darah membasahi pakaiannya! Ia terhuyung ke belakang dan tak tertahan lagi tubuhnya jatuh terjengkang!
Untung baginya, ketika Lie Kong Sian hendak menambahkan dengan tusukan maut datang Lu Tong Kui yang menyerang Lie Kong Sian dari belakang sehingga pendekar Pulau Pek-le-to itu terpaksa membalikkan tubuh untuk menghadapi Lu Tong Kui.
Bouw Hun Ti merangkak bangun dan melihat musuh tangguh itu telah ditahan oleh susioknya, ia lalu melarikan diri secepatnya pergi dari tempat itu!
“Bouw Huii Ti, bangsat rendah, jangan lari!” seru Lie Kong Sian yang hendak mengejar kembali, akan tetapi Lu Tong Kui menyerangnya sedemikian rupa sehingga ia tak dapat melanjutkan niatnya mengejar musuh itu.
“Orang she Lu, jangan kau terlalu mendesak!” kata Lie Kong Sian. “Aku tidak mempunyai permusuhan denganmu dan tidak bermaksud membunuhmu. Yang hendak kubikin mampus hanya bangsat rendah Bouw Hun Ti itu. Minggirlah!”
Akan tetapi Lu Tong Kui tidak menurut, bahkan mendesak makin hebat.
“Kalau begitu, agaknya kau pun telah bosan hidup!” teriak Lie Kong Sian marah dan pedangnya segera diputar cepat sekali.
Gerakannya berubah dan kini pedangnya merupakan seekor naga yang ganas sekali, menyambar-nyambar tak mengenal ampun. Beberapa belas jurus Lu Tong Kui masih dapat mempertahankan diri, akan tetapi akhirnya ia berteriak ngeri dan roboh tak bernyawa pula karena dadanya telah tertembus oleh pedang di tangan Lie Kong Sian!
Pendekar dari Pulau Pek-le-to ini untuk sesaat berdiri terkesima dan merasa sedikit menyesal telah membunuh orang ini yang sesungguhnya di luar kehendaknya semula. Kemudian ia teringat kepada Bouw Hun Ti, lalu mengejar secepatnya ke arah orang she Bouw itu tadi melarikan diri.
Lo Sian yang mengejar sampai disitu merasa kagum sekali dan berseru,
“Lie Kong Sian, Tai-hiap…! Tunggu dulu! Lili sudah berada di tangan yang aman sentausa!”
Akan tetapi Lie Kong Sian telah pergi jauh dan Lo Sian tidak dapat menyusul kecepatan lari pendekar itu sehingga Si Pengemis Sakti ini hanya menggeleng-geleng kepala dan kemudian pergi dari situ, tidak mengalami kesibukan karena terjadinya pembunuhan ini.
“Bouw Hun Ti telah berada di tempat ini dengan susioknya, maka tentu ia melarikan diri menuju ke tempat tinggal gurunya yang tak jauh dari sini,” pikir Lo Sian dan ia lalu berlari cepat menuju ke dusun Tong-si-bun, tempat tinggal Ban Sai Cinjin.
Hari telah sore ketika ia tiba di dusun itu dan melihat betapa rumah Ban Sai Cinjin sunyi saja, ia lalu menuju ke hutan dimana ia bersama Lili menolong Thio Kam Seng anak yatim piatu itu dari siksaan seorang hwesio kecil yang mendiami kuil megah dari Ban Sai Cinjin.
Dugaannya memang tepat sekali. Ketika ia tiba di dekat kuil itu, ia menyaksikan pertempuran yang hebat sekali tengah berlangsung antara Lie Kong Sian dan Ban Sai Cinjin sendiri!
Seperti juga dulu ia mengintai dari balik tetumbuhan yang rindang, menonton pertempuran luar biasa dahsyatnya itu. Hwesio kecil yang kejam dulu itu berdiri tak jauh dari tempat pertempuran dan di dekatnya berdiri pula Bouw Hun Ti yang bertolak pinggang.
Tak jauh dari tempat itu berdiri pula seorang yang melihat dari keadaan pakaiannya, adalah seorang dusun yang kebetulan lewat disitu telah menonton pertempuran dengan mata terbelalak penuh kegelisahan dan ketakutan. Orang dusun ini rupanya masih muda.
Lie Kong Sian memang telah mendapatkan jejak musuhnya dan mengejar terus sampai ke tempat itu. Ia masih melihat berkelebatnya bayangan Bouw Hun Ti memasuki kuil yang amat mentereng di dalam hutan itu. Lie Kong Sian ragu-ragu untuk masuk ke dalam kuil, karena ia adalah seorang yang menghargai peraturan dan kesopanan. Tak berani ia secara sembarangan memasuki kuil tanpa seijin kepala hwesio yang menguasai kelenteng. Maka ia lalu berseru keras,
“Bouw Hun Ti manusia jahat! Jangan kau mengotori kelenteng suci dengan telapak kakimu yang hitam! Keluarlah untuk menerima kematian secara laki-laki!”
Beberapa kali Lie Kong Sian berteriak-teriak dari luar kuil dan tak lama kemudian, dari dalam kuil itu keluarlah seorang gemuk pendek yang sudah tua akan tetapi wajahnya masih kemerah-merahan tanda bahwa ia sehat sekali. Pakaiannya amat mengherankan karena mewahnya dan rambutnya yang sudah putih itu disisir rapi dan dikuncir ke belakang.
Di luar pakaiannya yang terbuat daripada sutera halus dan mahal itu, ia mengenakan sebuah baju luar terbuat daripada bulu yang amat halus dan mahal. Sepatunya juga baru dan mengkilat dan pada tangan kanannya ia memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjang. Kepala huncwe itu masih mengepulkan asap tembakau yang berbau harum, tanda bahwa tembakau yang diisapnya adalah tembakau yang mahal.
Lie Kong Sian tertegun. Ia belum pernah bertemu dengan orang ini, dan melihat potongan tubuhnya dan huncwe yang luar biasa itu, ia menduga bahwa orang ini tentulah Si Huncwe Maut yang terkenal pula dengan sebutan Ban Sai Cinjin.
Akan tetapi mengapa Ban Sai Cinjin yang disohorkan sebagai seorang pemeluk kebatinan kelihatan begini pesolek? Maka Lie Kong Sian merasa ragu-ragu dan hanya memandang dengan mata menyinarkan cahaya tajam.
Sebaliknya, kakek yang sebenarnya memang Ban Sai Cinjin dengan tenang keluar dari kuil diikuti oleh seorang hwesio kecil berkepala gundul dan bermata liar, lalu ia menjura kepada Lie Kong Sian dan berkata,
“Selamat datang di kuilku, Pek-le-to Tai-hiap (Pendekar Besar dari Pulau Pek-le.-to)! Sungguh satu kehormatan besar sekali mendapat kunjungan seorang gagah seperti kau. Hanya anehnya, sepanjang pendengaranku, Lie Kong Sian adalah pendekar besar yang penyabar dan tenang, akan tetapi mengapa sekarang ia mengunjungi sebuah kuil dengan pedang di tangan dan iblis maut membayang pada mukanya?”
Ucapan ini sungguhpun cukup pantas dan merendah, akan tetapi mengandung ejekan, terutama sekali tekanan kata-katanya.
Lie Kong Sian juga menjura sebagai balas penghormatan, lalu bertanya,
“Kalau tidak salah dugaanku, Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) tentu yang disebut Ban Sai Cinjin si Huncwe Maut. Betulkah dugaanku ini?”
Ban Sai Cinjin tertawa dengan suara ketawanya yang aneh.
“Hehe, hehe, hehe, he-he-he, ha-ha-ha!”
Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu, hanya dengan amat tenangnya lalu mengetuk-ngetuk keluar abu tembakau dari kepala pipanya kemudian dengan masih tenang seakan-akan sedang menikmati waktu senggang seorang diri, ia membuka kantong tembakau yang tergantung pada pipa itu, mengeluarkan tembakau warna hitam yang dijemputnya dengan ibu jari, menutup kantong itu kembali dan menggantungkannya lagi pada pipanya.
Dengan mata meram-melek ia menggelintir-gelintir tembakau itu di ibu jari dan telunjuk tangan kiri, lalu dimasukkannya ke dalam mulut huncwe tempat tembakau.
Setelah itu, barulah ia memandang kepada Lie Kong Sian yang menjadi gemas juga melihat sikap yang angkuh dan memandang rendah ini.
“Kau menduga tepat. Aku telah kenal dengan mendiang gurumu, Han Le Sianjin! Lie Kong Sian, apakah keperluanmu maka datang mengunjungi kuilku dengan pedang di tangan?”
Lie Kong Sian adalah seorang pendekar yang jujur, tabah dan tidak suka menyembunyikan perbuatannya sendiri. Ia tahu bahwa Lu Tong Kui yang terbunuh olehnya tadi adalah sute dari Ban Sai Cinjin, maka tak perlu kiranya ia menyembunyikan permusuhannya dengan Bouw Hun Ti dan pembunuhannya terhadap Lu Tong Kui tadi, katanya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar