Kota Shaning terletak di lembah Sungai Yang-ce yang mengalir melalui Propinsi An-hui. Kota ini cukup besar dan penduduknya padat terbukti dari bangunan-bangunan rumah yang berhimpit-himpitan. Berbeda dengan tempat-tempat di sekitar lembah Sungai Huai yang juga mengalir melalui Propinsi An-hui dan yang seringkali membanjiri kanan kirinya, lembah di sekitar Sungai Yang-ce amat subur dan makmur.
Demikianpun keadaan kota Shaning. Kebahagiaan mereka terpancar keluar dari seri wajah penduduknya. Nelayan-nelayan di sepanjang Sungai Yang-ce melakukan pekerjaan mereka sambil bernyanyi gembira, petani-petani mengerjakan sawah-ladang dengan giat dan muka berseri, yakin akan hasil tanah yang diolahnya, para penggembala menghalau hewan ternaknya dengan ayem dan senang sambil memperdengarkan suara suling bambunya di kala mereka duduk di bawah pohon memandang dan menjaga hewan-hewan yang sedang makan rumput yang hijau segar. Juga di dalam kotanya sendiri nampak kemakmuran dengan adanya pedagang-pedagang yang menjual kebutuhan penduduk dengan harga murah.
Pembesar-pembesar setempat melakukan tugas mereka dengan amat baik, jujur, dan adil, berbeda sekali dengan sebagian besar petugas yang mempergunakan kedudukan dan kekuasaan mereka untuk menghisap rakyat dan memenuh kantung mereka sendiri. Hal ini tidak terjadi karena kebetulan saja pejabat-pejabat di Shaning adalah orang-orang yang baik budi, akan tetapi terutama sekali karena pengaruh seorang pendekar besar yang bertempat tinggal di kota Shaning.
Pendekar inilah yang membuat para pembesar merasa takut untuk bertindak tidak adil atau memeras rakyat, bahkan dengan adanya pendekar ini, maka daerah di sekitar Shaning menjadi aman sekali. Tidak ada seorang pun perampok yang berani mengganggu daerah ini.
Memang tidak mengherankan apabila para petualang dari kalangan Hek-to (jalan hitam atau dunia penjahat) tidak berani melakukan kejahatan di daerah itu, karena pendekar ini bukan lain adalah Sie Cin Hai, pendekar berilmu tinggi yang telah membuat gempar seluruh dunia persilatan, dan telah diakui kelihaiannya oleh tokoh-tokoh persilatan di empat penjuru.
Selain pendekar ini yang di kalangan kang-ouw mendapat nama julukan Pendekar Bodoh, juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang tak kurang-kurang lihainya, karena isterinya ini adalah bekas su-moinya (adik seperguruan) sendiri, yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat cantik jelita.
Di samping sepasang suami isteri yang tinggi ilmu kepandaiannya itu, masih ada lagi seorang yang juga amat disegani, yakni ayah angkatnya Nyonya Sie yang bernama Yo Se Fu.
Melihat warna kulitnya dan potongan mukanya, orang akan menduga bahwa Yo Se Fu ini bukanlah seorang Han. Memang betul, kakek tua yang disebut Yo Se Fu ini berasal dari Turki dan dahulu namanya adalah Yousuf, seorang bangsawan Turki yang selain berilmu tinggi juga amat baik budi.
Di dalam cerita Pendekar Bodoh, diceritakan bahwa Yousuf atau Yo Se Fu ini telah diangkat sebagai ayah oleh Lin Lin atau Kwee Lin yang sekarang menjadi Nyonya Sie Cin Hai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, juga Yo Se Fu memiliki ilmu hoat-sut (sihir) yang cukup tinggi.
Dengan adanya keluarga inilah, maka kota Shaning menjadi tenteram dan damai. Rumah mereka yang besar mendatangkan rasa aman di dalam hati semua penduduk Shaning, seakan-akan di dalam rumah besar itu terdapat ribuan orang penjaga keamanan yang boleh dipercaya.
Pada suatu pagi yang cerah. Semua penduduk Shaning telah keluar dari pintu rumah masing-masing untuk melakukan pekerjaan mereka. Ada yang pergi ke ladang untuk mencangkul tanah, ada yang pergi ke sungai untuk mulai dengan pekerjaan mereka mencari ikan atau menambangkan perahu, ada pula yang pergi untuk berdagang dan lain-lain.
Yang amat menarik adalah kenyataan bahwa pintu rumah para penduduk itu dibiarkan terbuka begitu saja sungguhpun di antaranya ada yang sama sekali kosong ditinggalkan oleh para penghuninya yang pergi bekerja. Memang telah lama sekali penduduk Shaning tidak mengenal adanya perampokan atau pencurian sehingga mereka boleh meninggalkan rumah-rumahnya dengan pintu terbuka dan dengan hati aman!
Kalau pada pagi hari itu di jalan raya yang banyak toko-tokonya itu keadaan amat ramainya, di lorong-lorong kecil tempat tinggal para petani dan nelayan amatlah sunyinya karena semua orang pergi meninggalkan rumah untuk bekerja.
Tiba-tiba terdengar suara nyanyian memecah kesunyian sebuah lorong kecil yang diapit oleh dua deretan rumah di kanan kiri. Suara nyanyian itu merdu sekali, dan dari suaranya yang bening dan tinggi nadanya itu dapat diduga bahwa yang bernyanyi adalah seorang anak perempuan. Selain merdu sekali, juga suara itu terdengar amat gembira dan jenaka.
“PLak! Plok! Plak Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya sudah tua,
Jalannya kaya onta!!!”
Dari sebuah tikungan di lorong itu muncullah penyanyinya. Cocok benar dengan suaranya yang bening merdu, anak perempuan yang kurang lebih berusia delapan tahun itu luar biasa cantik dan manisnya. Rambutnya yang hitam dan panjang itu dikuncir dua, dengan jambul di atas kepala, di kanan kiri yang membuatnya nampak lucu sekali. Mukanya halus dan putih kemerahan, dengan sepasang mata yang indah bening bagaikan mata burung Hong.
Kesegaran mukanya ini makin jelas karena hiasan setangkai bunga merah di atas telinga kanannya, dan melihat bunga merah itu, orang akan membandingkannya dengan mulut kecil mungil dan merah yang selalu tersenyum gembira itu. Baik dari matanya yang bersinar-sinar, atau dari hidungnya yang kecil mancung dan dikembang-kempiskan dengan cara lucu, maupun dari mulutnya yang tersenyum-senyum, nampak kegembiraan yang membuat wajah ayu itu selalu berseri-seri.
Pakaian yang dipakainya juga pantas sekali, menambah kemungilan dan kelucuannya. Bajunya berwarna merah dengan pinggiran putih. Celananya berwarna putih bersih dengan pita lebar warna hijau di bagian bawah, sepatunya yang kecil berwarna hitam. Baik baju maupun celananya terbuat daripada sutera mahal yang indah dan juga sepatunya yang baru dan baik itu menunjukkan bahwa ia adalah anak seorang yang berkeadaan cukup baik, dan kejenakaannya menunjukkan kemanjaan.
Siapakah anak perempuan yang amat lucu dan menyenangkan hati setiap orang yang memandangnya ini?
Kalau pertanyaan ini diajukan kepada penduduk kota Shaning, setiap orang, baik ia petani, nelayan, maupun pedagang, baik ia anak kecil, orang dewasa, maupun kakek-kakek, akan dapat menjawabnya dengan cepat. Ia adalah anak kedua dari pendekar Sie Cin Hai. Anak perempuan ini bernama Sie Hong Li, akan tetapi ibunya yang amat memanjakannya biasa menyebutnya Lili dan untuk memudahkan, lebih baik kita pun menyebut Lili saja kepadanya.
Lili memang memiliki sifat periang dan jenaka, sungguhpun harus diakui bahwa kadang-kadang ia amat bengal sehingga seringkali dimarahi ayahnya. Jauh bedanya dengan kakaknya yang dua tahun lebih tua darinya, yakni putera sulung keluarga Sie yang bernama Sie Hong Beng.
Semenjak kecilnya Hong Beng menunjukkan sifat pendiam akan tetapi matanya yang bersinar-sinar bagaikan bintang pagi itu mencerminkan kecerdasan otak yang luar biasa. Sebaliknya, Lili tak begitu maju dalam hal pelajaran membaca dan menulis. Sebetulnya bukan karena anak perempuan ini terlalu bodoh, akan tetapi karena ia memang tidak suka duduk diam dan tekun belajar.
Diwaktu menghafalkan pelajaran, pikirannya melayang kepada kesenangan bermain-main dan bahkan seringkali ia mengganggu dan menggoda kakaknya yang sedang tekun belajar sehingga ia mendapat omelan dari ayahnya. Kalau sudah begitu, tentu ibunya yang akan datang menghibur dan memanjanva, atau juga kakeknya, ialah Yousuf yang amat mencintanya. Hal ini membuat Lili menjadi makin bengal.
Betapapun juga, dalam hal pelajaran ilmu silat harus diakui bahwa Lili memiliki bakat yang luar biasa dan baik sekali. Gerakan-gerakan kaki tangannya lemas dan indah kadang-kadang mengingatkan ayah atau ibunya kepada Ang I Niocu, seorang pendekar wanita kenamaan yang meniadi sahabat baik mereka dan yang tinggal bersama suaminya di seberang laut, di sebuah pulau kecil.
Oleh karena bakatnya ini maka biarpun usianya baru saja delapan tahun dan sungguhpun ia tidak dapat menandingi kakaknya yang memang luar biasa cerdik dan pandainya itu, Lili telah menjadi seorang anak yang pandai ilmu silat dan laki-laki dewasa yang biasa saja jangan harap akan dapat mengalahkannya!
Lili memang benar-benar nakal. Hampir setiap hari ia pergi dari rumah, pergi ke kampung-kampung, bermain-main dengan kawan-kawan sekampung atau… berkelahi! Memang luar biasa sekali, apalagi pada zaman itu, seorang anak perempuan selalu mencari jago-jago kecil di setiap kampung dan mengajaknya mengadu kepalan!
Dan akibatnya selalu tentu Lili yang menang dan jago kecil itu mendapat telur yang menjendol di kepala atau pipinya menjadi matang biru. Kalau sudah begitu, orang tua anak itulah yang akan datang mengadu sehingga seringkali Lili dimarahi keras oleh ayahnya.
“Lili! Apakah kelak kau akan menjadi tukang pukul orang? Sungguh tak tahu malu, anak perempuan bertingkah sekasar itu!”
Ayahnya mengomel, akan tetapi diluar tahunya Cin Hai biarpun telah dimarahi oleh ayahnya, Lili masih dapat mendongeng di depan ibunya atau kakeknya tentang jalannya “pertempuran” yang tadinya ia lakukan dengan anak laki-laki itu!
Demikianlah, pada hari itu seperti biasa, Lili telah mulai “keluyuran” dan keluar dari rumah pagi-pagi sekali. Kali ini ia lebih bebas daripada biasanya, oleh karena telah ada sepekan ini ayah ibunya pergi ke barat untuk mengantarkan kakaknya, Hong Beng, ke tempat pertapaan seorang kakek sakti bernama Pok Pok Sianjin yang juga terkenal sebagai ahli silat nomor satu di bagian barat!
Sepuluh tahun yang lalu, sebelum Hong Beng terlahir bahkan sebelum Sie Cin Hai menikah dengan Lin Lin, kakek sakti ini pernah berjanji kepada Cin Hai bahwa ia kelak akan memberi pelajaran ilmu silat tongkat kepada keturunan Pendekar Bodoh, maka kini setelah Hong Beng berusia sepuluh tahun, Cin Hai bersama isterinya lalu membawa putera mereka ini ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menagih janji, sekalian melakukan perjalanan melancong untuk menghibur hati.
Lili yang hanya tinggal berdua dengan kakeknya, tentu saja lebih bebas karena Yousuf memang amat memanjakan cucu perempuannya ini. Sambil bernyanyi lagu-lagu lucu yang ia pelajari dari Yousuf karena kakek asal Turki ini seringkali mendongeng kisah-kisah kuno kepada kedua cucunya, dongeng Turki yang didongengkan sambil bernyanyi. Lili berjalan sambil berlompatan meniru larinya kuda yang dinyanyikannya dalam lagu “Kisah Si Tolol Naik Kuda”.
Lorong kecil yang dilaluinya itu dipasangi batu-batu lebar dan rata di bagian tengah, dijajarkan memanjang dan jalan batu ini dipergunakan pada waktu musim hujan karena jalan kecil itu tentu akan menjadi amat becek berlumpur.
Kini Lili melompat-lompat dari batu ke batu sambil bernyanyi gembira, kadang-kadang diseling oleh suara lucu meniru bunyi ringkik kuda, sehingga siapa saja yang melihat kelucuan dan kegembiraan anak perempuan ini, tentu akan ikut tertawa gembira.
Memang Lili sedang gembira sekali. Betapa tidak? Ayah ibunya tidak berada di rumah, ini berarti bahwa ia tidak usah menghafalkan pelajaran membaca kitab-kitab kuno yang sukar itu, tak usah menghafalkan ujar-ujar dan sajak-sajak kuno yang seringkali membingungkan kepalanya. Sebetulnya, oleh ibunya telah ditinggalkan pelajaran-pelajaran yang harus dihafal dan ditulisnya, dan Yousuf mendapat tugas untuk mengawasinya, akan tetapi, kakek ini tidak kuat menghadapi senyum atau rengek Lili dan sekali saja anak perempuan ini dengan pandang mata manja menyatakan keinginannya hendak pergi bermain, Yousuf tak dapat dan tidak tega melarangnya pula!
Ketika Lili sedang berlompatan sambil menyanyi dengan riangnya, tiba-tiba ia mendengar bunyi derap kaki kuda yang sesungguhnya. Ia berhenti dan berdiri di atas jalan batu itu dengan mata dipentang lebar. Dari sebuah tikungan jauh di depan muncullah tiga orang penunggang kuda, seorang di depan dan yang dua di belakangnya. Dan ketika melihat penunggang kuda yang di depan itu, tak terasa lagi, Lili memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya berkata perlahan,
“Ah, dia itu benar-benar Si Tolol Menunggang Kuda yang didongengkan oleh Kong-kong (Kakek)!”
Penunggang kuda yang di depan itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Mukanya cukup tampan, dan hidungnya mancung, akan tetapi ia memelihara cambang bauk yang membuatnya menjadi brewok dari bawah telinga sampai di dagu dan bawah hidungnya, menutupi mulutnya. Kepala dibungkus dengan ikat kepala yang lebar, menyembunyikan semua rambutnya, dan ikat kepala ini berwarna merah. Pakaiannya berwarna putih dan sepatunya tinggi sampai ke lutut, terbuat daripada kulit. Di pinggang kirinya nampak gagang sebatang golok dengan ronce-ronce sutera merah.
Kuda yang ditungganginya putih dan bagus, dengan kendali warna merah pula. Pendeknya, seorang setengah tua yang gagah. Lili menganggapnya seperti Si Tolol Naik Kuda yang tadi dinyanyikan oleh karena memang di dalam dongeng kakeknya itu, terdapat seorang laki-laki tampan yang naik kuda, akan tetapi karena ketolotannya, ia seringkali menghadapi hal-hal yang lucu.
Dua orang menunggang kuda di belakang Si Brewok ini adalah dua orang pemuda, seorang berjubah putih dan yang ke dua berjubah hitam, keduanya memakai topi putih yang bentuknya segi empat.
Demikianpun keadaan kota Shaning. Kebahagiaan mereka terpancar keluar dari seri wajah penduduknya. Nelayan-nelayan di sepanjang Sungai Yang-ce melakukan pekerjaan mereka sambil bernyanyi gembira, petani-petani mengerjakan sawah-ladang dengan giat dan muka berseri, yakin akan hasil tanah yang diolahnya, para penggembala menghalau hewan ternaknya dengan ayem dan senang sambil memperdengarkan suara suling bambunya di kala mereka duduk di bawah pohon memandang dan menjaga hewan-hewan yang sedang makan rumput yang hijau segar. Juga di dalam kotanya sendiri nampak kemakmuran dengan adanya pedagang-pedagang yang menjual kebutuhan penduduk dengan harga murah.
Pembesar-pembesar setempat melakukan tugas mereka dengan amat baik, jujur, dan adil, berbeda sekali dengan sebagian besar petugas yang mempergunakan kedudukan dan kekuasaan mereka untuk menghisap rakyat dan memenuh kantung mereka sendiri. Hal ini tidak terjadi karena kebetulan saja pejabat-pejabat di Shaning adalah orang-orang yang baik budi, akan tetapi terutama sekali karena pengaruh seorang pendekar besar yang bertempat tinggal di kota Shaning.
Pendekar inilah yang membuat para pembesar merasa takut untuk bertindak tidak adil atau memeras rakyat, bahkan dengan adanya pendekar ini, maka daerah di sekitar Shaning menjadi aman sekali. Tidak ada seorang pun perampok yang berani mengganggu daerah ini.
Memang tidak mengherankan apabila para petualang dari kalangan Hek-to (jalan hitam atau dunia penjahat) tidak berani melakukan kejahatan di daerah itu, karena pendekar ini bukan lain adalah Sie Cin Hai, pendekar berilmu tinggi yang telah membuat gempar seluruh dunia persilatan, dan telah diakui kelihaiannya oleh tokoh-tokoh persilatan di empat penjuru.
Selain pendekar ini yang di kalangan kang-ouw mendapat nama julukan Pendekar Bodoh, juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang tak kurang-kurang lihainya, karena isterinya ini adalah bekas su-moinya (adik seperguruan) sendiri, yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat cantik jelita.
Di samping sepasang suami isteri yang tinggi ilmu kepandaiannya itu, masih ada lagi seorang yang juga amat disegani, yakni ayah angkatnya Nyonya Sie yang bernama Yo Se Fu.
Melihat warna kulitnya dan potongan mukanya, orang akan menduga bahwa Yo Se Fu ini bukanlah seorang Han. Memang betul, kakek tua yang disebut Yo Se Fu ini berasal dari Turki dan dahulu namanya adalah Yousuf, seorang bangsawan Turki yang selain berilmu tinggi juga amat baik budi.
Di dalam cerita Pendekar Bodoh, diceritakan bahwa Yousuf atau Yo Se Fu ini telah diangkat sebagai ayah oleh Lin Lin atau Kwee Lin yang sekarang menjadi Nyonya Sie Cin Hai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, juga Yo Se Fu memiliki ilmu hoat-sut (sihir) yang cukup tinggi.
Dengan adanya keluarga inilah, maka kota Shaning menjadi tenteram dan damai. Rumah mereka yang besar mendatangkan rasa aman di dalam hati semua penduduk Shaning, seakan-akan di dalam rumah besar itu terdapat ribuan orang penjaga keamanan yang boleh dipercaya.
Pada suatu pagi yang cerah. Semua penduduk Shaning telah keluar dari pintu rumah masing-masing untuk melakukan pekerjaan mereka. Ada yang pergi ke ladang untuk mencangkul tanah, ada yang pergi ke sungai untuk mulai dengan pekerjaan mereka mencari ikan atau menambangkan perahu, ada pula yang pergi untuk berdagang dan lain-lain.
Yang amat menarik adalah kenyataan bahwa pintu rumah para penduduk itu dibiarkan terbuka begitu saja sungguhpun di antaranya ada yang sama sekali kosong ditinggalkan oleh para penghuninya yang pergi bekerja. Memang telah lama sekali penduduk Shaning tidak mengenal adanya perampokan atau pencurian sehingga mereka boleh meninggalkan rumah-rumahnya dengan pintu terbuka dan dengan hati aman!
Kalau pada pagi hari itu di jalan raya yang banyak toko-tokonya itu keadaan amat ramainya, di lorong-lorong kecil tempat tinggal para petani dan nelayan amatlah sunyinya karena semua orang pergi meninggalkan rumah untuk bekerja.
Tiba-tiba terdengar suara nyanyian memecah kesunyian sebuah lorong kecil yang diapit oleh dua deretan rumah di kanan kiri. Suara nyanyian itu merdu sekali, dan dari suaranya yang bening dan tinggi nadanya itu dapat diduga bahwa yang bernyanyi adalah seorang anak perempuan. Selain merdu sekali, juga suara itu terdengar amat gembira dan jenaka.
“PLak! Plok! Plak Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya sudah tua,
Jalannya kaya onta!!!”
Dari sebuah tikungan di lorong itu muncullah penyanyinya. Cocok benar dengan suaranya yang bening merdu, anak perempuan yang kurang lebih berusia delapan tahun itu luar biasa cantik dan manisnya. Rambutnya yang hitam dan panjang itu dikuncir dua, dengan jambul di atas kepala, di kanan kiri yang membuatnya nampak lucu sekali. Mukanya halus dan putih kemerahan, dengan sepasang mata yang indah bening bagaikan mata burung Hong.
Kesegaran mukanya ini makin jelas karena hiasan setangkai bunga merah di atas telinga kanannya, dan melihat bunga merah itu, orang akan membandingkannya dengan mulut kecil mungil dan merah yang selalu tersenyum gembira itu. Baik dari matanya yang bersinar-sinar, atau dari hidungnya yang kecil mancung dan dikembang-kempiskan dengan cara lucu, maupun dari mulutnya yang tersenyum-senyum, nampak kegembiraan yang membuat wajah ayu itu selalu berseri-seri.
Pakaian yang dipakainya juga pantas sekali, menambah kemungilan dan kelucuannya. Bajunya berwarna merah dengan pinggiran putih. Celananya berwarna putih bersih dengan pita lebar warna hijau di bagian bawah, sepatunya yang kecil berwarna hitam. Baik baju maupun celananya terbuat daripada sutera mahal yang indah dan juga sepatunya yang baru dan baik itu menunjukkan bahwa ia adalah anak seorang yang berkeadaan cukup baik, dan kejenakaannya menunjukkan kemanjaan.
Siapakah anak perempuan yang amat lucu dan menyenangkan hati setiap orang yang memandangnya ini?
Kalau pertanyaan ini diajukan kepada penduduk kota Shaning, setiap orang, baik ia petani, nelayan, maupun pedagang, baik ia anak kecil, orang dewasa, maupun kakek-kakek, akan dapat menjawabnya dengan cepat. Ia adalah anak kedua dari pendekar Sie Cin Hai. Anak perempuan ini bernama Sie Hong Li, akan tetapi ibunya yang amat memanjakannya biasa menyebutnya Lili dan untuk memudahkan, lebih baik kita pun menyebut Lili saja kepadanya.
Lili memang memiliki sifat periang dan jenaka, sungguhpun harus diakui bahwa kadang-kadang ia amat bengal sehingga seringkali dimarahi ayahnya. Jauh bedanya dengan kakaknya yang dua tahun lebih tua darinya, yakni putera sulung keluarga Sie yang bernama Sie Hong Beng.
Semenjak kecilnya Hong Beng menunjukkan sifat pendiam akan tetapi matanya yang bersinar-sinar bagaikan bintang pagi itu mencerminkan kecerdasan otak yang luar biasa. Sebaliknya, Lili tak begitu maju dalam hal pelajaran membaca dan menulis. Sebetulnya bukan karena anak perempuan ini terlalu bodoh, akan tetapi karena ia memang tidak suka duduk diam dan tekun belajar.
Diwaktu menghafalkan pelajaran, pikirannya melayang kepada kesenangan bermain-main dan bahkan seringkali ia mengganggu dan menggoda kakaknya yang sedang tekun belajar sehingga ia mendapat omelan dari ayahnya. Kalau sudah begitu, tentu ibunya yang akan datang menghibur dan memanjanva, atau juga kakeknya, ialah Yousuf yang amat mencintanya. Hal ini membuat Lili menjadi makin bengal.
Betapapun juga, dalam hal pelajaran ilmu silat harus diakui bahwa Lili memiliki bakat yang luar biasa dan baik sekali. Gerakan-gerakan kaki tangannya lemas dan indah kadang-kadang mengingatkan ayah atau ibunya kepada Ang I Niocu, seorang pendekar wanita kenamaan yang meniadi sahabat baik mereka dan yang tinggal bersama suaminya di seberang laut, di sebuah pulau kecil.
Oleh karena bakatnya ini maka biarpun usianya baru saja delapan tahun dan sungguhpun ia tidak dapat menandingi kakaknya yang memang luar biasa cerdik dan pandainya itu, Lili telah menjadi seorang anak yang pandai ilmu silat dan laki-laki dewasa yang biasa saja jangan harap akan dapat mengalahkannya!
Lili memang benar-benar nakal. Hampir setiap hari ia pergi dari rumah, pergi ke kampung-kampung, bermain-main dengan kawan-kawan sekampung atau… berkelahi! Memang luar biasa sekali, apalagi pada zaman itu, seorang anak perempuan selalu mencari jago-jago kecil di setiap kampung dan mengajaknya mengadu kepalan!
Dan akibatnya selalu tentu Lili yang menang dan jago kecil itu mendapat telur yang menjendol di kepala atau pipinya menjadi matang biru. Kalau sudah begitu, orang tua anak itulah yang akan datang mengadu sehingga seringkali Lili dimarahi keras oleh ayahnya.
“Lili! Apakah kelak kau akan menjadi tukang pukul orang? Sungguh tak tahu malu, anak perempuan bertingkah sekasar itu!”
Ayahnya mengomel, akan tetapi diluar tahunya Cin Hai biarpun telah dimarahi oleh ayahnya, Lili masih dapat mendongeng di depan ibunya atau kakeknya tentang jalannya “pertempuran” yang tadinya ia lakukan dengan anak laki-laki itu!
Demikianlah, pada hari itu seperti biasa, Lili telah mulai “keluyuran” dan keluar dari rumah pagi-pagi sekali. Kali ini ia lebih bebas daripada biasanya, oleh karena telah ada sepekan ini ayah ibunya pergi ke barat untuk mengantarkan kakaknya, Hong Beng, ke tempat pertapaan seorang kakek sakti bernama Pok Pok Sianjin yang juga terkenal sebagai ahli silat nomor satu di bagian barat!
Sepuluh tahun yang lalu, sebelum Hong Beng terlahir bahkan sebelum Sie Cin Hai menikah dengan Lin Lin, kakek sakti ini pernah berjanji kepada Cin Hai bahwa ia kelak akan memberi pelajaran ilmu silat tongkat kepada keturunan Pendekar Bodoh, maka kini setelah Hong Beng berusia sepuluh tahun, Cin Hai bersama isterinya lalu membawa putera mereka ini ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menagih janji, sekalian melakukan perjalanan melancong untuk menghibur hati.
Lili yang hanya tinggal berdua dengan kakeknya, tentu saja lebih bebas karena Yousuf memang amat memanjakan cucu perempuannya ini. Sambil bernyanyi lagu-lagu lucu yang ia pelajari dari Yousuf karena kakek asal Turki ini seringkali mendongeng kisah-kisah kuno kepada kedua cucunya, dongeng Turki yang didongengkan sambil bernyanyi. Lili berjalan sambil berlompatan meniru larinya kuda yang dinyanyikannya dalam lagu “Kisah Si Tolol Naik Kuda”.
Lorong kecil yang dilaluinya itu dipasangi batu-batu lebar dan rata di bagian tengah, dijajarkan memanjang dan jalan batu ini dipergunakan pada waktu musim hujan karena jalan kecil itu tentu akan menjadi amat becek berlumpur.
Kini Lili melompat-lompat dari batu ke batu sambil bernyanyi gembira, kadang-kadang diseling oleh suara lucu meniru bunyi ringkik kuda, sehingga siapa saja yang melihat kelucuan dan kegembiraan anak perempuan ini, tentu akan ikut tertawa gembira.
Memang Lili sedang gembira sekali. Betapa tidak? Ayah ibunya tidak berada di rumah, ini berarti bahwa ia tidak usah menghafalkan pelajaran membaca kitab-kitab kuno yang sukar itu, tak usah menghafalkan ujar-ujar dan sajak-sajak kuno yang seringkali membingungkan kepalanya. Sebetulnya, oleh ibunya telah ditinggalkan pelajaran-pelajaran yang harus dihafal dan ditulisnya, dan Yousuf mendapat tugas untuk mengawasinya, akan tetapi, kakek ini tidak kuat menghadapi senyum atau rengek Lili dan sekali saja anak perempuan ini dengan pandang mata manja menyatakan keinginannya hendak pergi bermain, Yousuf tak dapat dan tidak tega melarangnya pula!
Ketika Lili sedang berlompatan sambil menyanyi dengan riangnya, tiba-tiba ia mendengar bunyi derap kaki kuda yang sesungguhnya. Ia berhenti dan berdiri di atas jalan batu itu dengan mata dipentang lebar. Dari sebuah tikungan jauh di depan muncullah tiga orang penunggang kuda, seorang di depan dan yang dua di belakangnya. Dan ketika melihat penunggang kuda yang di depan itu, tak terasa lagi, Lili memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya berkata perlahan,
“Ah, dia itu benar-benar Si Tolol Menunggang Kuda yang didongengkan oleh Kong-kong (Kakek)!”
Penunggang kuda yang di depan itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Mukanya cukup tampan, dan hidungnya mancung, akan tetapi ia memelihara cambang bauk yang membuatnya menjadi brewok dari bawah telinga sampai di dagu dan bawah hidungnya, menutupi mulutnya. Kepala dibungkus dengan ikat kepala yang lebar, menyembunyikan semua rambutnya, dan ikat kepala ini berwarna merah. Pakaiannya berwarna putih dan sepatunya tinggi sampai ke lutut, terbuat daripada kulit. Di pinggang kirinya nampak gagang sebatang golok dengan ronce-ronce sutera merah.
Kuda yang ditungganginya putih dan bagus, dengan kendali warna merah pula. Pendeknya, seorang setengah tua yang gagah. Lili menganggapnya seperti Si Tolol Naik Kuda yang tadi dinyanyikan oleh karena memang di dalam dongeng kakeknya itu, terdapat seorang laki-laki tampan yang naik kuda, akan tetapi karena ketolotannya, ia seringkali menghadapi hal-hal yang lucu.
Dua orang menunggang kuda di belakang Si Brewok ini adalah dua orang pemuda, seorang berjubah putih dan yang ke dua berjubah hitam, keduanya memakai topi putih yang bentuknya segi empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar