Marilah kita ikuti nasib Hong Li atau Lili yang dibawa pergi oleh Bouw Hun Ti. Sesungguhnya putera Balutin ini memiliki hati yang lebih kejam dan keji daripada ayahnya. Tidak dibunuhnya Lili bukan sekali-kali timbul dari hati nuraninya, karena manusia ini agaknya tidak mempunyai pribudi sama sekali dan hatinya telah membeku terhadap segala macam kebajikan dan sudah tidak mengenal perikemanusiaan lagi, seakan-akan iblis bertubuh manusia!
Ia tidak membunuh Lili, pertama-tama untuk mendatangkan siksaan batin kepada orang tua anak itu, kedua kalinya oleh karena ia suka melihat kemungilan dan kejelitaan Lili dan diam-diam ia mengandung maksud yang amat busuk dan keji. Ia hendak merawat anak perempuan itu karena dapat membayangkan bahwa paling banyak tujuh delapan tahun kemudian, anak perempuan ini akan menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa cantiknya. Dan ia bermaksud mengambil anak ini sebagai isterinya apabila anak itu telah besar kelak! Sungguh sebuah niat yang amat busuk dan keji!
Bouw Hun Ti menuju ke tempat tinggal suhunya, yaitu Ban Sai Cinjin, seorang tua yang berwatak jauh lebih rendah daripada Bouw Hun Ti sendiri. Biarpun usianya telah lebih dari lima puluh tahun, akan tetapi Ban Sai Cinjin terkenal sebagai seorang yang gila perempuan dan di dalam rumahnya, ia mempunyai bini muda yang tidak kurang dari lima orang jumlahnya masih muda-muda lagi cantik-cantik!
Ia dapat melakukan hal ini oleh karena selain amat berpengaruh dan ditakuti orang ia juga terkenal kaya raya. Gedungnya besar dan mewah. Jubah luarnya terbuat daripada kapas halus dan tebal yang berharga amat mahal, ditambah pula dengan baju bulunya yang selalu menutup jubahnya. Juga tua bangka yang tak tahu diri ini memilih warna yang mencolok untuk pakaiannya, kalau tidak merah, tentu biru dan lain-lain warna yang membayangkan bahwa biarpun usianya telah tua, namun hatinya lebih muda daripada seorang teruna!
Ban Sai Cinjin bertempat tinggal di dusun Tong-si-bun di Propinsi Hupei yang berdekatan dan berada di sebelah barat Propinsi An-hui. Oleh karena itu, setelah keluar dari kota Shaning, Bouw Hun Ti langsung menuju ke barat dan memasuki Propinsi Hupei.
Jalan yang ditempuhnya ini berlainan dengan jalan yang ditempuh oleh Cin Hai dan isterinya, oleh karena sepasang pendekar itu yang menuju ke Tiang-an tempat tinggal kakak Lin Lin yang bernama Kwee An, melakukan perjalanan lurus ke utara.
Biarpun Bouw Hun Ti memiliki kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi oleh karena jarak yang ditempuhnya memang jauh, maka tiga hari kemudian ia baru tiba di tapal batas Propinsi Hupei. Ia merasa bingung dan juga gemas sekali oleh karena Lili yang berada dalam pengaruh totokannya itu sama sekali tidak mau makan sehingga wajah anak itu pucat sekali serta tubuhnya lemas!
Apabila berada dalam perjalanan, ia membebaskan anak itu dari totokan, akan tetapi tiap kali memasuki kampung atau kota, ia menotoknya kembali pada urat gagu anak itu agar jangan sampai berteriak minta tolong.
Pada hari ketiga itu ia tiba di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun ini adalah dusun Sin-seng-chun dan adanya dua buah rumah penginapan dan tiga buah rumah makan besar itu cukup menjadi bukti bahwa dusun itu cukup makmur dan banyak didatangi tamu dari luar!
Bouw Hun Ti menghentikan kudanya pada sebuah rumah makan yang terbaik dan mengikat tali kudanya pada patok-patok yang telah disediakan di pinggir rumah makan itu. Kemudian ia menuntun Lili memasuki rumah makan. Ia merasa gelisah sekali dan merasa takut kalau-kalau anak perempuan ini akan menderita sakit dan mati ditengah jalan.
Oleh karena itu, kali ini hendak memaksanya makan! Ia memesan arak dan masakan untuk diri sendiri dan minta semangkuk bubur untuk Lili. Setelah pesanannya dihidangkan oleh pelayan rumah makan, ia berkata kepada Lili dengan suara halus agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.
“Kau makanlah!”
Akan tetapi, seperti yang telah dilakukannya selama ia diculik oleh Si Brewok itu, Lili menggeleng kepala sambil mengatupkan bibirnya. Bouw Hun Ti benar-benar merasa kewalahan dan diam-diam ia merasa heran melihat kekerasan hati anak ini. Anak kecil baru berusia delapan tahun saja sudah berani berlaku nekad dan mogok makan selama tiga hari, sama sekali tidak mau menurut perintahnya! Ia mulai merasa ragu-ragu apakah kelak anak ini tidak hanya mendatangkan kepusingan dan kesukaran kepadanya.
“Makanlah!” katanya lagi dan kali ini kemendongkolannya membuat suaranya terdengar agak keras.
Pelayan melayaninya dengan pandang mata kasihan lalu bertanya,
“Tuan, apakah Nona kecil ini menderita sakit?”
Bouw Hun Ti memang marah sekali sehingga pelayan itu menjadi terkejut dan melangkah mundur.
“Mau apa kau tanya-tanya? Pergi!” bentak Bouw Hun Ti yang sedang marah itu dan pelayan tadi segera pergi dengan ketakutan bagaikan seekor anjing diancam dengan cambuk.
“Mau makan atau tidak?” sekali lagi Bouw Hun Ti membentak Lili, akan tetapi Lili tetap menggeleng kepala.
Bukan main marahnya Bouw Hun Ti, kalau saja di situ tidak banyak orang dan dia tidak ingin menimbulkan onar, tentu dia telah memukul kepala anak ini biar mampus seketika itu juga! Ia lalu mendapat akal dan tiba-tiba ia tersenyum menyeringai hingga mukanya nampak kejam sekali.
“Kau tidak mau makan, anak manis?”
Sambil berkata demikian, ia menepuk-nepuk punggung Lili, akan tetapi sebenarnya, di luar tahunya semua orang, ia melakukan tiam-hoat (totokan) pada jalan darah di punggung anak itu juga.
Lili merasa kesakitan yang luar biasa hebatnya menyerang seluruh tubuhnya, sehingga ia menggeliat-geliat kesakitan bagaikan cacing terkena abu panas! Kalau saja urat gagunya tidak tertotok, tentu ia akan menjerit-jerit kesakitan. Akan tetapi, karena ia tak dapat mengeluarkan suara, hanya air matanya saja mengucur turun membasahi pipinya dan kulit mukanya sampai berkerut-kerut saking besarnya penderitaan nyeri yang menyerang tubuhnya! Bibirnya digigit-gigit sampai berdarah! Bukan main besarnya penderitaan anak kecil berusia delapan tahun itu.
“Bagaimana? Kau masih mau makan atau tidak?” tanya Bouw Hun Ti sambil tersenyum iblis.
Lili biarpun masih anak-anak, akan tetapi ia adalah anak seorang pendekar besar, maka ia tahu apa artinya rasa sakit yang menyerang dirinya dengan hebat itu. Karena dapat menduga bahwa penculiknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan tentu akan terus menyiksanya apabila ia membangkang terpaksa ia menganggukkan kepalanya dan tangannya telah menggigil karena kesakitan dan kelaparan itu, lalu meraba-raba mangkuk.
“Anak baik, kau makanlah yang kenyang!” kata Bouw Hun Ti sambil menepuk-nepuk punggung anak itu.
Seketika itu juga lenyaplah rasa nyeri yang menyerang tubuh Lili tadi. Anak kecil mulai makan bubur dalam mangkuk dan sungguhpun ia makan dengan otomatis tanpa menikmati rasa bubur itu, namun .ia merasa tubuhnya segar kembali, tidak lemas seperti tadi. Maka dihabiskanlah semangkuk bubur itu tanpa mau memandang wajah penculiknya, karena ia maklum betapa penjahat itu memandangnya dengan mengejek.
Para tamu yang berada di situ, sama sekali tidak tahu akan kekejaman ini dan mereka ikut merasa lega melihat betapa “anak sakit” itu makan dengan lahapnya.
“Nah, begitulah!” kata Bouw Hun Ti kepada Lili. “Mulai sekarang, kau harus menurut segala kata-kataku, kalau tidak, tentu kau akan menderita sakit dan siapakah yang akan susah kalau terjadi demikian?”
Dalam pendengaran orang-orang lain, ucapan ini seperti ucapan seorang ayah memberi nasihat kepada anaknya, akan tetapi dalam pendengaran Lili ucapan itu merupakan ancaman bahwa kalau lain kali ia tidak menurut, ia akan menderita siksaan seperti tadi!
Akan tetapi, orang salah menduga kalau mengira bahwa diantara semua orang yang berada di tempat itu tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi sebenarnya antara Si Brewok dan anak kecil itu!
Di sudut rumah makan itu, menghadapi meja seorang diri, duduk seorang laki-laki berusia antara tiga puluh lima tahun. Orang ini berwajah putih, dan gagah, berambut hitam dan bermata tajam. Kumisnya pendek sedangkan jenggotnya hanya sekepal bagaikan jenggot kambing. Yang aneh sekali adalah pakaiannya karena pakaian yang dipakainya itu penuh dengan tambal-tambalan, akan tetapi terbuat daripada bahan yang amat bersih!
Bahkan kain berwarna putih yang digunakan untuk menambal bajunya yang hitam itu pun amat bersihnya seakan-akan kain baru yang sengaja ditambalkan disitu! Juga pengikat rambutnya yang terbuat daripada sutera itu sama sekali tidak sesuai dengan bajunya yang bertambal-tambal seperti baju seorang pengemis!
Lama sebelum Bouw Hun Ti masuk, orang ini telah masuk dan duduk di dalam restoran, dan kelakuannya telah membuat semua orang terheran. Tadinya, pelayan yang melihat seorang berbaju tambal-tambalan memasuki restoran, lalu menyambutnya dengan muka masam dan berkata dengan nada menghina,
“Tidak ada tempat untuk golongan pengemis di restoran ini!”
Orang yang berbaju tambal-tambalan itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dan menjawab,
“Yang kau layani semua ini orangnya atau pakaiannya?”
“Apa maksudmu?” tanya pelayan yang sombong itu.
“Kau memandang orang dari keadaan pakaiannya, benar-benar orang macam kau ini menyebalkan!”
“Aku tidak peduli tentang pakaian, pendeknya kau punya uang atau tidak? Bagimu, semua pesanan makanan harus dibayar dimuka!”
Sikap dan omongan pelayan ini memang benar-benar kurang ajar sekali, akan tetapi orang itu masih tetap tersenyum sabar, sungguhpun jawabannya menyatakan bahwa ia amat mendongkol.
“Berapa kau menjual kepalamu? Kiranya aku sanggup membayarnya!”
Sambil berkata demikian, orang itu merogoh sakunya dan ketika ia menarik kembali tangannya ternyata bahwa ia telah menggenggam beberapa potong uang perak dan emas!
Tentu saja pelayan itu menjadi amat malu dan juga tercengang melihat seorang berpakaian tambal-tambalan mempunyai uang perak sebanyak itu, bahkan memiliki uang emas pula. Tanpa dapat berkata apa-apa lagi ia lalu mengundurkan diri dan lain orang pelayan lalu melayani orang berbaju tambalan itu.
Sungguh amat baik untungnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja ia tahu siapa adanya orang ini, tentu ia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu tidak menyebut namanya.
Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah terkenal di segenap penjuru karena selain ilmu kepandaiannya amat tinggi, juga Lo Sian terkenal sebagai pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebetulnya adalah seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang turun gunung berbareng dengan seorang suhengnya (kakak seperguruannya).
Juga kakak seperguruannya ini selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan, kalau pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suhengnya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)! Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang seperti iblis mengamuk apabila ia menghadapi orang-orang jahat. Dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka orang-orang menjadi ngeri dan jerih melihatnya sehingga ia diberi julukan Pengemis Iblis!
Secara kebetulan saja Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu sehingga ia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguhpun ia telah memiliki pengalaman yang luas dan kenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu.
Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, ia merasa heran dan memandang juga. Ia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan mellhat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam ia mulai menaruh perhatian, sungguhpun ia hanya memandang dengan kerling matanya saja.
Ia tidak membunuh Lili, pertama-tama untuk mendatangkan siksaan batin kepada orang tua anak itu, kedua kalinya oleh karena ia suka melihat kemungilan dan kejelitaan Lili dan diam-diam ia mengandung maksud yang amat busuk dan keji. Ia hendak merawat anak perempuan itu karena dapat membayangkan bahwa paling banyak tujuh delapan tahun kemudian, anak perempuan ini akan menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa cantiknya. Dan ia bermaksud mengambil anak ini sebagai isterinya apabila anak itu telah besar kelak! Sungguh sebuah niat yang amat busuk dan keji!
Bouw Hun Ti menuju ke tempat tinggal suhunya, yaitu Ban Sai Cinjin, seorang tua yang berwatak jauh lebih rendah daripada Bouw Hun Ti sendiri. Biarpun usianya telah lebih dari lima puluh tahun, akan tetapi Ban Sai Cinjin terkenal sebagai seorang yang gila perempuan dan di dalam rumahnya, ia mempunyai bini muda yang tidak kurang dari lima orang jumlahnya masih muda-muda lagi cantik-cantik!
Ia dapat melakukan hal ini oleh karena selain amat berpengaruh dan ditakuti orang ia juga terkenal kaya raya. Gedungnya besar dan mewah. Jubah luarnya terbuat daripada kapas halus dan tebal yang berharga amat mahal, ditambah pula dengan baju bulunya yang selalu menutup jubahnya. Juga tua bangka yang tak tahu diri ini memilih warna yang mencolok untuk pakaiannya, kalau tidak merah, tentu biru dan lain-lain warna yang membayangkan bahwa biarpun usianya telah tua, namun hatinya lebih muda daripada seorang teruna!
Ban Sai Cinjin bertempat tinggal di dusun Tong-si-bun di Propinsi Hupei yang berdekatan dan berada di sebelah barat Propinsi An-hui. Oleh karena itu, setelah keluar dari kota Shaning, Bouw Hun Ti langsung menuju ke barat dan memasuki Propinsi Hupei.
Jalan yang ditempuhnya ini berlainan dengan jalan yang ditempuh oleh Cin Hai dan isterinya, oleh karena sepasang pendekar itu yang menuju ke Tiang-an tempat tinggal kakak Lin Lin yang bernama Kwee An, melakukan perjalanan lurus ke utara.
Biarpun Bouw Hun Ti memiliki kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi oleh karena jarak yang ditempuhnya memang jauh, maka tiga hari kemudian ia baru tiba di tapal batas Propinsi Hupei. Ia merasa bingung dan juga gemas sekali oleh karena Lili yang berada dalam pengaruh totokannya itu sama sekali tidak mau makan sehingga wajah anak itu pucat sekali serta tubuhnya lemas!
Apabila berada dalam perjalanan, ia membebaskan anak itu dari totokan, akan tetapi tiap kali memasuki kampung atau kota, ia menotoknya kembali pada urat gagu anak itu agar jangan sampai berteriak minta tolong.
Pada hari ketiga itu ia tiba di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun ini adalah dusun Sin-seng-chun dan adanya dua buah rumah penginapan dan tiga buah rumah makan besar itu cukup menjadi bukti bahwa dusun itu cukup makmur dan banyak didatangi tamu dari luar!
Bouw Hun Ti menghentikan kudanya pada sebuah rumah makan yang terbaik dan mengikat tali kudanya pada patok-patok yang telah disediakan di pinggir rumah makan itu. Kemudian ia menuntun Lili memasuki rumah makan. Ia merasa gelisah sekali dan merasa takut kalau-kalau anak perempuan ini akan menderita sakit dan mati ditengah jalan.
Oleh karena itu, kali ini hendak memaksanya makan! Ia memesan arak dan masakan untuk diri sendiri dan minta semangkuk bubur untuk Lili. Setelah pesanannya dihidangkan oleh pelayan rumah makan, ia berkata kepada Lili dengan suara halus agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.
“Kau makanlah!”
Akan tetapi, seperti yang telah dilakukannya selama ia diculik oleh Si Brewok itu, Lili menggeleng kepala sambil mengatupkan bibirnya. Bouw Hun Ti benar-benar merasa kewalahan dan diam-diam ia merasa heran melihat kekerasan hati anak ini. Anak kecil baru berusia delapan tahun saja sudah berani berlaku nekad dan mogok makan selama tiga hari, sama sekali tidak mau menurut perintahnya! Ia mulai merasa ragu-ragu apakah kelak anak ini tidak hanya mendatangkan kepusingan dan kesukaran kepadanya.
“Makanlah!” katanya lagi dan kali ini kemendongkolannya membuat suaranya terdengar agak keras.
Pelayan melayaninya dengan pandang mata kasihan lalu bertanya,
“Tuan, apakah Nona kecil ini menderita sakit?”
Bouw Hun Ti memang marah sekali sehingga pelayan itu menjadi terkejut dan melangkah mundur.
“Mau apa kau tanya-tanya? Pergi!” bentak Bouw Hun Ti yang sedang marah itu dan pelayan tadi segera pergi dengan ketakutan bagaikan seekor anjing diancam dengan cambuk.
“Mau makan atau tidak?” sekali lagi Bouw Hun Ti membentak Lili, akan tetapi Lili tetap menggeleng kepala.
Bukan main marahnya Bouw Hun Ti, kalau saja di situ tidak banyak orang dan dia tidak ingin menimbulkan onar, tentu dia telah memukul kepala anak ini biar mampus seketika itu juga! Ia lalu mendapat akal dan tiba-tiba ia tersenyum menyeringai hingga mukanya nampak kejam sekali.
“Kau tidak mau makan, anak manis?”
Sambil berkata demikian, ia menepuk-nepuk punggung Lili, akan tetapi sebenarnya, di luar tahunya semua orang, ia melakukan tiam-hoat (totokan) pada jalan darah di punggung anak itu juga.
Lili merasa kesakitan yang luar biasa hebatnya menyerang seluruh tubuhnya, sehingga ia menggeliat-geliat kesakitan bagaikan cacing terkena abu panas! Kalau saja urat gagunya tidak tertotok, tentu ia akan menjerit-jerit kesakitan. Akan tetapi, karena ia tak dapat mengeluarkan suara, hanya air matanya saja mengucur turun membasahi pipinya dan kulit mukanya sampai berkerut-kerut saking besarnya penderitaan nyeri yang menyerang tubuhnya! Bibirnya digigit-gigit sampai berdarah! Bukan main besarnya penderitaan anak kecil berusia delapan tahun itu.
“Bagaimana? Kau masih mau makan atau tidak?” tanya Bouw Hun Ti sambil tersenyum iblis.
Lili biarpun masih anak-anak, akan tetapi ia adalah anak seorang pendekar besar, maka ia tahu apa artinya rasa sakit yang menyerang dirinya dengan hebat itu. Karena dapat menduga bahwa penculiknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan tentu akan terus menyiksanya apabila ia membangkang terpaksa ia menganggukkan kepalanya dan tangannya telah menggigil karena kesakitan dan kelaparan itu, lalu meraba-raba mangkuk.
“Anak baik, kau makanlah yang kenyang!” kata Bouw Hun Ti sambil menepuk-nepuk punggung anak itu.
Seketika itu juga lenyaplah rasa nyeri yang menyerang tubuh Lili tadi. Anak kecil mulai makan bubur dalam mangkuk dan sungguhpun ia makan dengan otomatis tanpa menikmati rasa bubur itu, namun .ia merasa tubuhnya segar kembali, tidak lemas seperti tadi. Maka dihabiskanlah semangkuk bubur itu tanpa mau memandang wajah penculiknya, karena ia maklum betapa penjahat itu memandangnya dengan mengejek.
Para tamu yang berada di situ, sama sekali tidak tahu akan kekejaman ini dan mereka ikut merasa lega melihat betapa “anak sakit” itu makan dengan lahapnya.
“Nah, begitulah!” kata Bouw Hun Ti kepada Lili. “Mulai sekarang, kau harus menurut segala kata-kataku, kalau tidak, tentu kau akan menderita sakit dan siapakah yang akan susah kalau terjadi demikian?”
Dalam pendengaran orang-orang lain, ucapan ini seperti ucapan seorang ayah memberi nasihat kepada anaknya, akan tetapi dalam pendengaran Lili ucapan itu merupakan ancaman bahwa kalau lain kali ia tidak menurut, ia akan menderita siksaan seperti tadi!
Akan tetapi, orang salah menduga kalau mengira bahwa diantara semua orang yang berada di tempat itu tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi sebenarnya antara Si Brewok dan anak kecil itu!
Di sudut rumah makan itu, menghadapi meja seorang diri, duduk seorang laki-laki berusia antara tiga puluh lima tahun. Orang ini berwajah putih, dan gagah, berambut hitam dan bermata tajam. Kumisnya pendek sedangkan jenggotnya hanya sekepal bagaikan jenggot kambing. Yang aneh sekali adalah pakaiannya karena pakaian yang dipakainya itu penuh dengan tambal-tambalan, akan tetapi terbuat daripada bahan yang amat bersih!
Bahkan kain berwarna putih yang digunakan untuk menambal bajunya yang hitam itu pun amat bersihnya seakan-akan kain baru yang sengaja ditambalkan disitu! Juga pengikat rambutnya yang terbuat daripada sutera itu sama sekali tidak sesuai dengan bajunya yang bertambal-tambal seperti baju seorang pengemis!
Lama sebelum Bouw Hun Ti masuk, orang ini telah masuk dan duduk di dalam restoran, dan kelakuannya telah membuat semua orang terheran. Tadinya, pelayan yang melihat seorang berbaju tambal-tambalan memasuki restoran, lalu menyambutnya dengan muka masam dan berkata dengan nada menghina,
“Tidak ada tempat untuk golongan pengemis di restoran ini!”
Orang yang berbaju tambal-tambalan itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dan menjawab,
“Yang kau layani semua ini orangnya atau pakaiannya?”
“Apa maksudmu?” tanya pelayan yang sombong itu.
“Kau memandang orang dari keadaan pakaiannya, benar-benar orang macam kau ini menyebalkan!”
“Aku tidak peduli tentang pakaian, pendeknya kau punya uang atau tidak? Bagimu, semua pesanan makanan harus dibayar dimuka!”
Sikap dan omongan pelayan ini memang benar-benar kurang ajar sekali, akan tetapi orang itu masih tetap tersenyum sabar, sungguhpun jawabannya menyatakan bahwa ia amat mendongkol.
“Berapa kau menjual kepalamu? Kiranya aku sanggup membayarnya!”
Sambil berkata demikian, orang itu merogoh sakunya dan ketika ia menarik kembali tangannya ternyata bahwa ia telah menggenggam beberapa potong uang perak dan emas!
Tentu saja pelayan itu menjadi amat malu dan juga tercengang melihat seorang berpakaian tambal-tambalan mempunyai uang perak sebanyak itu, bahkan memiliki uang emas pula. Tanpa dapat berkata apa-apa lagi ia lalu mengundurkan diri dan lain orang pelayan lalu melayani orang berbaju tambalan itu.
Sungguh amat baik untungnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja ia tahu siapa adanya orang ini, tentu ia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu tidak menyebut namanya.
Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah terkenal di segenap penjuru karena selain ilmu kepandaiannya amat tinggi, juga Lo Sian terkenal sebagai pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebetulnya adalah seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang turun gunung berbareng dengan seorang suhengnya (kakak seperguruannya).
Juga kakak seperguruannya ini selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan, kalau pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suhengnya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)! Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang seperti iblis mengamuk apabila ia menghadapi orang-orang jahat. Dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka orang-orang menjadi ngeri dan jerih melihatnya sehingga ia diberi julukan Pengemis Iblis!
Secara kebetulan saja Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu sehingga ia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguhpun ia telah memiliki pengalaman yang luas dan kenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu.
Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, ia merasa heran dan memandang juga. Ia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan mellhat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam ia mulai menaruh perhatian, sungguhpun ia hanya memandang dengan kerling matanya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar