“Sudah cukup…!”
Keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing, hati Lie Siong merasa puas sekali dan diam-diam Ang I Niocu yang nampak berpeluh pada jidatnya itu makin sayang dan bangga terhadap puteranya. Kini kepandaian puteranya itu tidak kalah olehnya!
“Siong-ji, sekarang orang-orang sudah tahu akan tempat tinggal kita, bahkan hwesio gundul tadi sudah mengetahui siapa adanya kita! Kurasa tak perlu lagi kita lebih lama tinggal di tempat ini!”
Lie Siong menatap wajah ibunya. Ia girang sekali, akan tetapi kegirangan ini sama sekali tidak membayang pada wajahnya yang elok.
“Jadi, kita turun gunung?” tanyanya penuh harapan.
Betapapun keras hatinya sehingga ia seringkali berbantah dengan ibunya, namun Lie Siong adalah seorang anak yang berbakti dan sama sekali ia tidak mau memaksa pergi kalau ibunya belum memberi persetujuannya.
Akan tetapi ibunya menggeleng kepala.
“Bukan kita, akan tetapi engkau sendiri! Sudah lama kau ingin merantau, bukan? Nah, sekarang kepandaianmu sudah cukup. Kau pergi dan carilah pengalaman di dunia kang-ouw!”
“Akan tetapi, bagaimana dengan kau, Ibu…? Kau akan kesunyian, hidup seorang diri di tempat ini…”
Ibunya mencabut pedang Liong-cu-kiam yang ampuh tadi.
“Aku sudah mempunyai kawan. Liong-cu-kiam ini adalah kawanku yang amat setia, pedang inilah yang memberi kenang-kenangan kepadaku.”
Sambil berkata demikian, ia mengusap-usap pedang itu dengan tangannya, penuh kasih sayang.
“Ibu, dari manakah kau memperoleh Liong-cu-kiam itu?”
Ibunya menghela napas panjang dan teringatlah ia akan segala pengalaman dengan Pendekar Bodoh ketika mendapatkan pedang itu (baca Pendekar Bodoh).
“Sesungguhnya, Susiok-couw Bu Pun Su yang memberi pedang ini kepadaku. Masih ada sebatang lagi, yang lebih panjang, dan yang sekarang terjatuh ke dalam tangan Pendekar Bodoh.”
“Ah, aku ingin sekali menyaksikan kelihaian orang tua yang menjadi susiok-couwmu itu, Ibu.”
“Anak bodoh, jangan sembarangan bicara! Susiok-couw Bu Pun Su adalah seorang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Tidak ada tokoh di dunia ini yang dapat mengimbanginya, dan sekarang yang mewarisi kepandaiannya hanyalah Pendekar Bodoh seorang sungguhpun ibumu pernah mendapat latihan darinya.”
“Hemm, aku pun sejak dulu ingin sekali bertemu dengan Pendekar Bodoh yang seringkali Ibu puji-puji.”
“Pergilah dan kau tentu akan bertemu dengan mereka yang pandai itu. Pergi dan berlakulah hati-hati, jangan membikin malu nama ibumu.”
Setelah berkata demikian, Ang I Niocu mengajak puteranya kembali ke dalam gua lalu mengumpulkan pakaian puteranya. Ia mengeluarkan pula beberapa stel pakaian warna kuning dengan leher baju merah. Memang, semenjak masih kecil, Lie Siong selalu diberi oleh ibunya pakaian warna putih atau kuning sehingga lama kelamaan pemuda itu hanya suka mengenakan pakaian putih atau kuning saja.
“Nah, kau pergilah, Anakku. Kau telah tahu dimana tempat tinggal sahabat-sahabatku, carilah mereka dan jangan kau membikin malu ibumu. Juga kau sudah tahu siapa adanya tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat dan yang pernah bermusuhan dengan ibumu. Hati-hatilah terhadap mereka. Kurasa ayahmu tidak berada di Pulau Pek-le-to lagi, karena ayahmu tentu mencari kita. Kasihan ayahmu itu, kau carilah kepadanya dan mintakan ampun ibumu yang telah meninggalkan dia. Berangkatlah, doaku besertamu selamanya.”
“Selamat tinggal, Ibu. Dan… Ibu hendak ke manakah? Bilakah aku dapat bertemu dengan Ibu lagi?”
“Tak perlu kau bingungkan soal ibumu, Nak. Aku boleh jadi berada disini atau di tempat lain, akan tetapi jangan khawatir, kita pasti akan bertemu kembali kelak.”
Berat hati Lie Siong ketika hendak meninggalkan tempat itu. Ia telah melangkah keluar dari gua, akan tetapi tiba-tiba ia kembali lagi dan memeluk ibunya.
“Ibu, berjanjilah bahwa kita pasti akan bertemu lagi.”
Ang I Niocu merasa terharu dan ia tersenyum, senyum yang sudah bertahun-tahun meninggalkan bibirnya. Ia mendekap kepala puteranya dan mencium jidat puteranya yang tercinta itu.
“Jangan gelisah, Siong-ji. Apa kau kira aku senang hati berpisah dengan kau untuk selamanya? Percayalah, pasti aku akan bertemu kembali dengan engkau, Anakku.”
Maka berangkatlah Lie Siong, membawa sebungkus pakaian yang diikatkan di punggungnya, dan pedangnya Sin-liong-kiam, atas kehendak ibunya, disembunyikan di balik mantelnya yang panjang.
Ketika ia telah keluar dari hutan tempat tinggalnya dan memasuki hutan berikutnya, ia mendengar suara riuh rendah dan ternyata bahwa dari bawah gunung nampak dua puluh orang lebih sedang naik menuju ke hutan itu.
Mereka ini adalah penebang-penebang pohon yang bersenjata lengkap, mengiringkan enam orang yang bukan lain adalah para pengusaha kayu. Mereka ini merasa penasaran ketika mendengar cerita tiga orang penebang pohon yang bertemu dengan sepasang “siluman” itu dan kini setelah mengumpulkan dua puluh lebih orang-orang yang dianggap paling kuat dan gagah diantaranya sebagian besar murid-murid dari Pek I Hosiang, lalu beramai-ramai naik ke atas gunung hendak menyerbu dan menangkap siluman-siluman itu!
Lie Siong tertarik hatinya melihat orang banyak ini, terutama ketika dia melihat mereka itu berhenti dan bersorak seakan-akan menonton sesuatu yang menarik hati. Ketika Lie Siong tiba di dekat tempat itu, ternyata ia melihat empat orang yang bertubuh kuat sedang mendemonstrasikan tenaga mereka.
Keempat orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang paling pandai. Tadi ketika mereka berjalan naik, mereka tiada hentinya membicarakan sepasang siluman itu dan timbul hati ngeri dan takut diantara sebagian besar para penebang pohon.
Oleh karena itu, untuk membakar semangat para kawan, empat orang yang terkuat itu lalu memperlihatkan tenaga mereka dan memang mereka ini kuat sekali! Sebatang pohon yang besarnya tak kurang dari tubuh enam orang menjadi satu, telah diikat batangnya dengan seutas tambang yang besar dan amat kuat, kemudian empat orang itu lalu mengerahkan tenaga, menarik tambang itu.
Urat-uratnya menonjol pada dada dan tangan mereka yang telanjang karena untuk demonstrasi ini, mereka sengaja menanggalkan baju agar tidak robek. Memang sukar dipercaya kehebatan tenaga mereka. Empat ekor kerbau belum tentu akan dapat menarik pohon itu sehingga tumbang, akan tetapi ketika empat orang ini mengerahkan tenaga, terdengar suara keras sekali dan pohon itu roboh berikut akar-akarnya!
Karena semua orang sedang menonton pertunjukan ini dengan penuh perhatian maka tak seorang pun diantara mereka melihat Lie Siong yang diam-diam berdiri diantara mereka yang menonton demonstrasi itu.
Berbareng dengan robohnya pohon itu, terdengar sorak-sorai memuji, karena siapakah yang tidak kagum menyaksikan tenaga luar biasa dari empat orang jagoan itu? Empat orang itu memandang ke sekeliling dengan bangga dan mengangkat dada, akan tetapi tiba-tiba seorang diantara mereka yang berjenggot pendek, melihat Lie Siong.
Ia merasa heran karena tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika ia melihat betapa pemuda yang lemah-lembut ini tidak ikut bersorak memuji. Memang tak seorang pun diantara mereka mengenal Lie Siong, karena tiga orang penebang pohon yang pernah ia robohkan itu tidak berani ikut bersama rombongan ini. Si Jenggot Pendek melangkah maju dan menegur,
“Eh, Sobat! Kau ini siapakah dan mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menghargai kepandaian kami? Ketahuilah, hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian kami berempatlah maka sepasang siluman Pek-ang-siang-mo itu akan ditumpas!”
Semua orang kini memandang kepada Lie Siong dengan heran karena mereka pun tidak mengenal pemuda ini dan tidak tahu pula kapan pemuda ini datang disitu.
Lie Siong merasa mendongkol sekali melihat kesombongan mereka, terutama sekali mendengar betapa mereka hendak membasmi sepasang iblis yang ia dapat menduga tentu dimaksudkan ibunya dan dia sendiri. Dengan wajah tenang dan tidak berubah sedikitpun juga, ia berkata acuh tak acuh,
“Apa sih anehnya tenaga kalian berempat? Lebih baik kalian pergi dan jangan masuk ke dalam hutan di atas ini.”
“Eh, eh, mengapa kau berkata demikian?” tanya Si Jenggot Pendek.
“Karena tenagamu yang hanya dapat merobohkan pohon lapuk itu takkan ada gunanya. Kalau kalian pergunakan untuk menarik lawan biarpun hanya satu kakinya saja kalian tidak akan mampu merobohkannya!”
Bukan main marahnya empat orang jagoan itu dan semua orang juga memandang dengan heran dan marah.
“Orang muda, kau tahanlah lidahmu! Kalau kau bicara sembarangan saja, dengan sekali pukul aku akan menghancurkan kepalamu!” kata seorang diantara empat jagoan itu yang bertubuh besar pendek.
“Siapa bicara sembarangan? Kalianlah yang bermata buta dan sombong.”
“Kau bicara sungguh-sungguh?” kata Si Jenggot Pendek sambil tersenyum menghina. “Kalau begitu, kau berani membiarkan sebelah kakimu kami tarik dengan tambang dan kau merasa pasti bahwa kami takkan dapat merobohkanmu?”
Semua orang tertawa mengejek mendengar ini, dan enam orang pengusaha itu berdiri sekelompok dan berbisik-bisik karena mereka juga merasa sangat heran melihat keberanian pemuda tampan ini.
Akan tetapi Lie Siong masih bersikap tenang dan dingin.
“Mengapa tidak berani? Kalau kau bisa menarik sebelah kakiku dengan tambang dan dapat merobohkan aku, barulah kalian patut naik ke hutan itu.”
“Bagus!” seru Si Jenggot Pendek. “Akan tetapi kalau kakimu sampai terbetot putus dari tubuhmu, jangan kau persalahkan kami, anak muda yang manis!” Terdengar suara orang tertawa disusul dengan ejekan, “Kalau kakinya sudah copot, bagaimana ia bisa mengeluarkan kata-kata lagi?”
Kembali terdengar semua orang tertawa geli sungguhpun mereka memandang makin tertarik dan dengan penuh perhatian. Semua orang menduga-duga siapa gerangan pemuda yang mencari penyakit ini. Apakah dia berotak miring?
“Boleh, aku berjanji,” jawab Lie Siong yang hendak mempermainkan orang-orang sombong itu, “sebaliknya kalian semua harus berjanji bahwa apabila kalian tak dapat merobohkan sebelah kakiku selama hidup kalian tidak akan mengganggu dan menebang pohon di hutan itu!”
“Jadi!!” seru Si Jenggot Pendek, tidak memikirkan lagi keheranan hati yang timbul karena ucapan pemuda ini seakan-akan membela sepasang siluman di hutan itu!
Semua orang lalu mundur dan membuat lingkaran, berdiri mengelilingi pemuda itu. Para pengusaha berdiri sekelompok sedangkan para penebang kayu berdiri di kelompok tersendiri, tidak berani mendekati para “thauwke” (majikan) itu.
Empat orang kuat itu lalu mempersiapkan tambang besar tadi. Si Jenggot Pendek memegang ujung tambang dan menghampiri Lie Siong sambil bertanya menyeringai,
“Kau sudah siap?”
Lie Siong menurunkan buntalan pakaiannya dan menaruh di atas tanah bawah pohon, kemudian ia kembali ke tengah lapangan itu, dan berdiri dengan satu kaki, mengangkat kaki kirinya ke depan, dan kedua tangannya ditaruh di belakang. Sikapnya demikian enak dan seakan-akan tak bertenaga sama sekali sehingga semua orang tertawa mengejek.
Kalau orang yang memiliki kepandaian silat, tentu akan memasang bhesi (kuda-kuda) yang teguh, mengerahkan tenaga pada kaki yang hendak ditarik. Akan tetapi mengapa pemuda ini berdiri seakan-akan sedang makan angin menikmati sinar bulan purnama? Sungguh lucu dan menggelikan. Jangan kata hendak ditarik dengan tambang oleh empat orang yang bertenaga gajah, sedangkan kalau ada angin besar bertiup saja, agaknya pemuda itu akan rubuh.
Tentu saja mereka itu tidak tahu bahwa Lie Siong diam-diam telah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Ban-kin-cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati) dan cara berdiri itu adalah bhesi (kuda-kuda) dari Ilmu Silat Sianli-utauw (Ilmu Silat Bidadari), yaitu disebut Berdiri Dengan Kaki Berakar!
Keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing, hati Lie Siong merasa puas sekali dan diam-diam Ang I Niocu yang nampak berpeluh pada jidatnya itu makin sayang dan bangga terhadap puteranya. Kini kepandaian puteranya itu tidak kalah olehnya!
“Siong-ji, sekarang orang-orang sudah tahu akan tempat tinggal kita, bahkan hwesio gundul tadi sudah mengetahui siapa adanya kita! Kurasa tak perlu lagi kita lebih lama tinggal di tempat ini!”
Lie Siong menatap wajah ibunya. Ia girang sekali, akan tetapi kegirangan ini sama sekali tidak membayang pada wajahnya yang elok.
“Jadi, kita turun gunung?” tanyanya penuh harapan.
Betapapun keras hatinya sehingga ia seringkali berbantah dengan ibunya, namun Lie Siong adalah seorang anak yang berbakti dan sama sekali ia tidak mau memaksa pergi kalau ibunya belum memberi persetujuannya.
Akan tetapi ibunya menggeleng kepala.
“Bukan kita, akan tetapi engkau sendiri! Sudah lama kau ingin merantau, bukan? Nah, sekarang kepandaianmu sudah cukup. Kau pergi dan carilah pengalaman di dunia kang-ouw!”
“Akan tetapi, bagaimana dengan kau, Ibu…? Kau akan kesunyian, hidup seorang diri di tempat ini…”
Ibunya mencabut pedang Liong-cu-kiam yang ampuh tadi.
“Aku sudah mempunyai kawan. Liong-cu-kiam ini adalah kawanku yang amat setia, pedang inilah yang memberi kenang-kenangan kepadaku.”
Sambil berkata demikian, ia mengusap-usap pedang itu dengan tangannya, penuh kasih sayang.
“Ibu, dari manakah kau memperoleh Liong-cu-kiam itu?”
Ibunya menghela napas panjang dan teringatlah ia akan segala pengalaman dengan Pendekar Bodoh ketika mendapatkan pedang itu (baca Pendekar Bodoh).
“Sesungguhnya, Susiok-couw Bu Pun Su yang memberi pedang ini kepadaku. Masih ada sebatang lagi, yang lebih panjang, dan yang sekarang terjatuh ke dalam tangan Pendekar Bodoh.”
“Ah, aku ingin sekali menyaksikan kelihaian orang tua yang menjadi susiok-couwmu itu, Ibu.”
“Anak bodoh, jangan sembarangan bicara! Susiok-couw Bu Pun Su adalah seorang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Tidak ada tokoh di dunia ini yang dapat mengimbanginya, dan sekarang yang mewarisi kepandaiannya hanyalah Pendekar Bodoh seorang sungguhpun ibumu pernah mendapat latihan darinya.”
“Hemm, aku pun sejak dulu ingin sekali bertemu dengan Pendekar Bodoh yang seringkali Ibu puji-puji.”
“Pergilah dan kau tentu akan bertemu dengan mereka yang pandai itu. Pergi dan berlakulah hati-hati, jangan membikin malu nama ibumu.”
Setelah berkata demikian, Ang I Niocu mengajak puteranya kembali ke dalam gua lalu mengumpulkan pakaian puteranya. Ia mengeluarkan pula beberapa stel pakaian warna kuning dengan leher baju merah. Memang, semenjak masih kecil, Lie Siong selalu diberi oleh ibunya pakaian warna putih atau kuning sehingga lama kelamaan pemuda itu hanya suka mengenakan pakaian putih atau kuning saja.
“Nah, kau pergilah, Anakku. Kau telah tahu dimana tempat tinggal sahabat-sahabatku, carilah mereka dan jangan kau membikin malu ibumu. Juga kau sudah tahu siapa adanya tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat dan yang pernah bermusuhan dengan ibumu. Hati-hatilah terhadap mereka. Kurasa ayahmu tidak berada di Pulau Pek-le-to lagi, karena ayahmu tentu mencari kita. Kasihan ayahmu itu, kau carilah kepadanya dan mintakan ampun ibumu yang telah meninggalkan dia. Berangkatlah, doaku besertamu selamanya.”
“Selamat tinggal, Ibu. Dan… Ibu hendak ke manakah? Bilakah aku dapat bertemu dengan Ibu lagi?”
“Tak perlu kau bingungkan soal ibumu, Nak. Aku boleh jadi berada disini atau di tempat lain, akan tetapi jangan khawatir, kita pasti akan bertemu kembali kelak.”
Berat hati Lie Siong ketika hendak meninggalkan tempat itu. Ia telah melangkah keluar dari gua, akan tetapi tiba-tiba ia kembali lagi dan memeluk ibunya.
“Ibu, berjanjilah bahwa kita pasti akan bertemu lagi.”
Ang I Niocu merasa terharu dan ia tersenyum, senyum yang sudah bertahun-tahun meninggalkan bibirnya. Ia mendekap kepala puteranya dan mencium jidat puteranya yang tercinta itu.
“Jangan gelisah, Siong-ji. Apa kau kira aku senang hati berpisah dengan kau untuk selamanya? Percayalah, pasti aku akan bertemu kembali dengan engkau, Anakku.”
Maka berangkatlah Lie Siong, membawa sebungkus pakaian yang diikatkan di punggungnya, dan pedangnya Sin-liong-kiam, atas kehendak ibunya, disembunyikan di balik mantelnya yang panjang.
Ketika ia telah keluar dari hutan tempat tinggalnya dan memasuki hutan berikutnya, ia mendengar suara riuh rendah dan ternyata bahwa dari bawah gunung nampak dua puluh orang lebih sedang naik menuju ke hutan itu.
Mereka ini adalah penebang-penebang pohon yang bersenjata lengkap, mengiringkan enam orang yang bukan lain adalah para pengusaha kayu. Mereka ini merasa penasaran ketika mendengar cerita tiga orang penebang pohon yang bertemu dengan sepasang “siluman” itu dan kini setelah mengumpulkan dua puluh lebih orang-orang yang dianggap paling kuat dan gagah diantaranya sebagian besar murid-murid dari Pek I Hosiang, lalu beramai-ramai naik ke atas gunung hendak menyerbu dan menangkap siluman-siluman itu!
Lie Siong tertarik hatinya melihat orang banyak ini, terutama ketika dia melihat mereka itu berhenti dan bersorak seakan-akan menonton sesuatu yang menarik hati. Ketika Lie Siong tiba di dekat tempat itu, ternyata ia melihat empat orang yang bertubuh kuat sedang mendemonstrasikan tenaga mereka.
Keempat orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang paling pandai. Tadi ketika mereka berjalan naik, mereka tiada hentinya membicarakan sepasang siluman itu dan timbul hati ngeri dan takut diantara sebagian besar para penebang pohon.
Oleh karena itu, untuk membakar semangat para kawan, empat orang yang terkuat itu lalu memperlihatkan tenaga mereka dan memang mereka ini kuat sekali! Sebatang pohon yang besarnya tak kurang dari tubuh enam orang menjadi satu, telah diikat batangnya dengan seutas tambang yang besar dan amat kuat, kemudian empat orang itu lalu mengerahkan tenaga, menarik tambang itu.
Urat-uratnya menonjol pada dada dan tangan mereka yang telanjang karena untuk demonstrasi ini, mereka sengaja menanggalkan baju agar tidak robek. Memang sukar dipercaya kehebatan tenaga mereka. Empat ekor kerbau belum tentu akan dapat menarik pohon itu sehingga tumbang, akan tetapi ketika empat orang ini mengerahkan tenaga, terdengar suara keras sekali dan pohon itu roboh berikut akar-akarnya!
Karena semua orang sedang menonton pertunjukan ini dengan penuh perhatian maka tak seorang pun diantara mereka melihat Lie Siong yang diam-diam berdiri diantara mereka yang menonton demonstrasi itu.
Berbareng dengan robohnya pohon itu, terdengar sorak-sorai memuji, karena siapakah yang tidak kagum menyaksikan tenaga luar biasa dari empat orang jagoan itu? Empat orang itu memandang ke sekeliling dengan bangga dan mengangkat dada, akan tetapi tiba-tiba seorang diantara mereka yang berjenggot pendek, melihat Lie Siong.
Ia merasa heran karena tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika ia melihat betapa pemuda yang lemah-lembut ini tidak ikut bersorak memuji. Memang tak seorang pun diantara mereka mengenal Lie Siong, karena tiga orang penebang pohon yang pernah ia robohkan itu tidak berani ikut bersama rombongan ini. Si Jenggot Pendek melangkah maju dan menegur,
“Eh, Sobat! Kau ini siapakah dan mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menghargai kepandaian kami? Ketahuilah, hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian kami berempatlah maka sepasang siluman Pek-ang-siang-mo itu akan ditumpas!”
Semua orang kini memandang kepada Lie Siong dengan heran karena mereka pun tidak mengenal pemuda ini dan tidak tahu pula kapan pemuda ini datang disitu.
Lie Siong merasa mendongkol sekali melihat kesombongan mereka, terutama sekali mendengar betapa mereka hendak membasmi sepasang iblis yang ia dapat menduga tentu dimaksudkan ibunya dan dia sendiri. Dengan wajah tenang dan tidak berubah sedikitpun juga, ia berkata acuh tak acuh,
“Apa sih anehnya tenaga kalian berempat? Lebih baik kalian pergi dan jangan masuk ke dalam hutan di atas ini.”
“Eh, eh, mengapa kau berkata demikian?” tanya Si Jenggot Pendek.
“Karena tenagamu yang hanya dapat merobohkan pohon lapuk itu takkan ada gunanya. Kalau kalian pergunakan untuk menarik lawan biarpun hanya satu kakinya saja kalian tidak akan mampu merobohkannya!”
Bukan main marahnya empat orang jagoan itu dan semua orang juga memandang dengan heran dan marah.
“Orang muda, kau tahanlah lidahmu! Kalau kau bicara sembarangan saja, dengan sekali pukul aku akan menghancurkan kepalamu!” kata seorang diantara empat jagoan itu yang bertubuh besar pendek.
“Siapa bicara sembarangan? Kalianlah yang bermata buta dan sombong.”
“Kau bicara sungguh-sungguh?” kata Si Jenggot Pendek sambil tersenyum menghina. “Kalau begitu, kau berani membiarkan sebelah kakimu kami tarik dengan tambang dan kau merasa pasti bahwa kami takkan dapat merobohkanmu?”
Semua orang tertawa mengejek mendengar ini, dan enam orang pengusaha itu berdiri sekelompok dan berbisik-bisik karena mereka juga merasa sangat heran melihat keberanian pemuda tampan ini.
Akan tetapi Lie Siong masih bersikap tenang dan dingin.
“Mengapa tidak berani? Kalau kau bisa menarik sebelah kakiku dengan tambang dan dapat merobohkan aku, barulah kalian patut naik ke hutan itu.”
“Bagus!” seru Si Jenggot Pendek. “Akan tetapi kalau kakimu sampai terbetot putus dari tubuhmu, jangan kau persalahkan kami, anak muda yang manis!” Terdengar suara orang tertawa disusul dengan ejekan, “Kalau kakinya sudah copot, bagaimana ia bisa mengeluarkan kata-kata lagi?”
Kembali terdengar semua orang tertawa geli sungguhpun mereka memandang makin tertarik dan dengan penuh perhatian. Semua orang menduga-duga siapa gerangan pemuda yang mencari penyakit ini. Apakah dia berotak miring?
“Boleh, aku berjanji,” jawab Lie Siong yang hendak mempermainkan orang-orang sombong itu, “sebaliknya kalian semua harus berjanji bahwa apabila kalian tak dapat merobohkan sebelah kakiku selama hidup kalian tidak akan mengganggu dan menebang pohon di hutan itu!”
“Jadi!!” seru Si Jenggot Pendek, tidak memikirkan lagi keheranan hati yang timbul karena ucapan pemuda ini seakan-akan membela sepasang siluman di hutan itu!
Semua orang lalu mundur dan membuat lingkaran, berdiri mengelilingi pemuda itu. Para pengusaha berdiri sekelompok sedangkan para penebang kayu berdiri di kelompok tersendiri, tidak berani mendekati para “thauwke” (majikan) itu.
Empat orang kuat itu lalu mempersiapkan tambang besar tadi. Si Jenggot Pendek memegang ujung tambang dan menghampiri Lie Siong sambil bertanya menyeringai,
“Kau sudah siap?”
Lie Siong menurunkan buntalan pakaiannya dan menaruh di atas tanah bawah pohon, kemudian ia kembali ke tengah lapangan itu, dan berdiri dengan satu kaki, mengangkat kaki kirinya ke depan, dan kedua tangannya ditaruh di belakang. Sikapnya demikian enak dan seakan-akan tak bertenaga sama sekali sehingga semua orang tertawa mengejek.
Kalau orang yang memiliki kepandaian silat, tentu akan memasang bhesi (kuda-kuda) yang teguh, mengerahkan tenaga pada kaki yang hendak ditarik. Akan tetapi mengapa pemuda ini berdiri seakan-akan sedang makan angin menikmati sinar bulan purnama? Sungguh lucu dan menggelikan. Jangan kata hendak ditarik dengan tambang oleh empat orang yang bertenaga gajah, sedangkan kalau ada angin besar bertiup saja, agaknya pemuda itu akan rubuh.
Tentu saja mereka itu tidak tahu bahwa Lie Siong diam-diam telah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Ban-kin-cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati) dan cara berdiri itu adalah bhesi (kuda-kuda) dari Ilmu Silat Sianli-utauw (Ilmu Silat Bidadari), yaitu disebut Berdiri Dengan Kaki Berakar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar