Akan tetapi, setelah ia bertempur menghadapi Lie Siong, ia menjadi terkejut sekali oleh karena ilmu silat pemuda elok ini benar-benar hebat dan lihai sekali. Pedang yang berbentuk naga itu selain amat keras sehingga tidak menjadi rusak oleh pedang mustikanya, juga amat berbahaya.
Pedang itu kalau menyabet tidak akan melukai kulit, akan tetapi akan meremukkan tulang dan otot, sedangkan tanduk pedang naga itu dapat digunakan untuk menusuk bagian tubuh yang berbahaya. Yang lebih istimewa lagi adalah lidah pedang naga yang panjang itu, karena lidah ini dapat berputar-putar melakukan sambaran-sambaran tersendiri dan menotok jalan darah. Bahkan beberapa kali lidah merah ini mencoba untuk melibat pedang di tangannya untuk dirampasnya!
Kam Liong teringat akan nama-nama pendekar besar yang pernah ia dengar dari ayahnya. Menurut ayahnya, ilmu pedangnya atau ilmu silatnya harus dipergunakan dengan amat hati-hati apabila menghadapi mereka atau murid dan keturunan mereka.
“Apakah kau putera Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh?” Ia bertanya sambil menangkis sebuah tusukan ke arah lehernya.
“Aku tidak kenal Pendekar Bodohl” jawab Lie Siong dengan hati mangkel karena lagi-lagi ia mendengar nama pendekar ini disebut-sebut orang!
Ia lalu menyerang lebih hebat lagi dan mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiamsut, pedangnya berputar demikian hebatnya seakan-akan berubah menjadi lima putaran sehingga nampak bagaikan lima bunga teratai, sesuai dengan namanya, yaitu Ngo-lian-hoan-kiamsut (Ilmu Pedang Lima Bunga Teratai).
Kam Liong terkejut melihat ilmu pedang ini dan terpaksa ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri, dan untuk sementara ia mencurahkan perhatiannya terhadap pertahanannya sehingga tak sempat bertanya lagi.
Akan tetapi, setelah ia terdesak, ia lalu menggunakan gerak tipu Pek-hong-koan-jit (Bianglala Putih Menutup Matahari). Pedang mustikanya berputar cepat sekali sehingga merupakan payung penutup tubuhhya yang amat rapat dan kuat.
“Kalau begitu, tentulah putera Kwee An Locianpwe!” kata Kam Liong lagi, menduga-duga.
Karena kalau bukan putera Pendekar Bodoh, hanya putera atau murid Kwee An Locianpwe saja yang memiliki kepandalan sedemikian hebatnya, demikian ia berpikir.
“Jangan mengobrol! Aku tidak kenal orang she Kwee itu!” jawab Lie Siong dengan marah dan ia pun merasa penasaran sekali karena telah bertempur lima puluh jurus lebih, belum juga dapat mengalahkan panglima muda yang lihai ini.
Ia lalu berseru keras dan dengan pedang di tangan kanan mainkan Ilmu Pedang Sin-liong-kiamsut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakan oleh ibunya sendiri untuk menyesuaikan pedang yang dipergunakannya, ia lalu menggunakan tangan kirinya untuk menyerang dengan Ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut yang membuat tangan kirinya mengeluarkan uap putih!
Pek-in-hoatsut sudah terkenal sekali kelihaiannya, dan kepandaian ini adalah warisan dari Guru Besar Bu Pun Su, tidak saja pukulannya yang amat lihai, bahkan uap putih itu saja kalau menyambar lawan dapat mematahkan tenaga lwee-kang dan dapat mendatangkan luka di dalam tubuh.
Akan tetapi ilmu pedang itu pun luar biasa hebatnya. Ketika Ang I Niocu menciptakan ilmu pedang ini untuk puteranya, ilmu pedang ini disesuaikan dengan bentuk Pedang Naga Sakti itu, sehingga di dalam gerakannya ini terdapat totokan-totokan jalan darah, dan juga lidah pedang naga yang panjang itu dipergunakan dengan ilmu melempar tali kepandalan tunggal dari Lie Kong Sian!
Bukan main terkejutnya hati Kam Liong ketika menyaksikan serangan lawannya yang hebat ini, ia terkejut dan cepat mengelak dari serangan pukulan Pek-in-hoatsut, akan tetapi lidah pedang naga itu telah berhasil membelit pedangnya dan sekali Lie Siong mengerahkan tenaga, pedang itu telah terbetot terlepas dari pegangan Kam Liong!
Kam Liong kaget sekali dan berteriak keras sambil melempar tubuhnya ke belakang lalu membuat gerakan melompat berjungkir balik beberapa kali ke belakang. Inilah gerakan Naga Sakti Menembus Awan yang amat indah sehingga diam-diam Lie Siong kagum juga melihat gerakan lawannya.
“Pergi…! Pergi kalian dari sini!” bentaknya sambil menggerakkan tangan kanan sehingga pedang Kam Liong yang terampas tadi tahu-tahu terlepas dan meluncur ke arah dada pemiliknya!
Kam Liong tidak keburu menyambut dan terpaksa cepat menjatuhkan tubuhnya sehingga pedangnya itu meluncur terus dan menancap pada dada seorang perwira yang berdiri di belakangnya! Perwira itu menjerit dan tewas dengan dada tertembus pedang!
“Kau… kau tentu putera Ang I Niocu!” seru Kam Liong dalam dugaannya sambil mencabut pedangnya dan memandang kagum.
Mendengar ini, Lie Siong terkejut sekali dan juga marah.
“Apakah kau ingin mampus?” bentaknya sambil menggerakkan tubuh menerjang, akan tetapi Kam Liong yang sudah tahu akan kelihaian pemuda elok ini tidak berani melawan dan melarikan diri!
Lie Siong hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar keluhan orang Haimi yang menggeletak mandi darah itu, maka ia menunda niatnya hendak mengejar dan menghampiri orang tua yang terluka tadi.
Ketika ia berlutut, ternyata orang tua itu keadaannya payah sekali. Tubuhnya penuh luka dan darah telah keluar banyak sehingga napasnya tinggal satu-satu.
“Orang muda…” katanya terengah-engah, “kau gagah sekali… tak ubahnya Pendekar Bodoh sendiri… kau tentu berbudi… seperti Pendekar Bodoh pula… kau tolonglah puteriku… Lilani… ia tentu mendapat susah dari putera kepala daerah she Gui itu! Lekas, tolonglah… ia yatim piatu… tolong anakku…!”
Melihat keadaan orang tua itu sudah tak ada harapan lagi, Lie Siong lalu bertanya,
“Dimana dia…? Dimana anakmu itu?”
“Di… di rumahku, di ujung barat kota Tatung, tak jauh dari sini… kau cepat tolonglah dia… hanya kaulah orang satu-satunya yang menjadi harapanku…” tiba-tiba orang tua itu menarik napas panjang dan ternyata napas itu adalah tarikan yang terakhir!
Lie Siong cepat bangun berdiri dan membentak kepada perwira yang terluka dan yang ditinggalkan oleh kawan-kawannya.
“Kau harus rawat jenazahnya baik-baik, kalau tidak, awas! Lain kali aku datang mengambil kepalamu!”
Perwira itu mengangguk-angguk dengan muka pucat.
“Baik, baik… Hohan!”
Lie Siong lalu melompat pergi dan berlari cepat sekali menuju ke kota Tatung yang berada di sebelah selatan hutan itu.
Setibanya di kota itu, Lie Siong lalu menuju ke ujung barat dan dengan mudah saja ia mencari keterangan tentang rumah tempat tinggal seorang bangsa Haimi bernama Manako. Ketika ia menanyakan kepada seorang tetangga orang Haimi itu karena rumah yang dicarinya ternyata tertutup, tetangga itu memandangnya dengan ragu-ragu dan muka takut.
“Kongcu, kau mencari Manako, apakah kau masih keluarganya?”
“Bukan, aku hanya sahabatnya. Aku mau bertemu dengan Nona Lilani, puterinya.”
Muka orang yang nampak ketakutan itu menjadi makin pucat. Ia memberi isarat dengan jari tangannya ditaruh ke depan mulut lalu berkata perlahan,
“Sst, Kongcu, jangan kau bicara terlalu keras tentang gadis itu. Lebih baik lekas kau pergilah dari sini dan jangan katakan kepada siapapun juga bahwa kau telah kenal dengan Nona itu…! Aku kasihan kepadamu karena kau adalah orang Han bukan bangsa Haimi.”
Lie Siong memandang tajam dan sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah memegang tengkuk orang itu dengan keras sehingga orang yang dipegangnya menjadi terkejut dan ketakutan. Tangan yang mencekik tengkuknya seakan-akan sepasang jepitan baja yang kuat sekali.
“Hayo, lekas katakan, apa yang telah terjadi dengan Lilani, dan dimana ia berada!”
“Am… ampun, Hohan…! Gadis itu baru tadi telah dibawa pergi oleh sepasukan perajurit, ditangkap oleh Gui-siauw-ya!”
“Kau maksudkan Gui-siauwya putera Kepala Daerah?”
“Benar, Hohan.”
“Dimana rumah Kepala Daerah itu?”
Orang itu cepat-cepat menunjuk ke arah timur dan berkata,
“Di tengah kota ini, bangunan yang tertinggi dan terbesar.”
Lie Siong melepaskan pegangannya dan sekali ia berkelebat, lenyaplah tubuhnya dari depan orang yang menjadi bengong dan bergemetaran seluruh tubuhnya itu.
Mudah saja untuk mencari gedung besar Kepala Daerah she Gui di kota itu, karena gedungnya besar dan tinggi, berada di tengah-tengah kota. Tanpa banyak peraturan lagi, Lie Siong lalu memasuki pintu gerbang dan ketika empat orang penjaga pintu menegur dan menghampirinya, dengan beberapa kali menggerakkan kaki tangannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri. Ia terus masuk ke dalam didahului oleh seorang penjaga yang bergegas lari memberi laporan tentang datangnya seorang pengamuk muda yang lihai.
Dengan diiringkan oleh serombongan penjaga, Gui-taijin sendiri keluar dari ruang dalam, bersama Kam Liong, panglima muda yang menjadi tamunya.
Begitu melihat pembesar ini, Lie Siong melompat dan menangkap lengannya.
“Hayo lepaskan Lilani, kalau tidak kepalamu akan kuhancurkan!” katanya dengan bengis.
Pembesar Gui yang sudah setengah tua itu memandang heran dan gelisah, lalu bentaknya marah,
“Siapakah kau dan apa maksudmu?”
Juga Kam Siong lalu maju dan menjura ke arah Lie Siong.
“Taihiap, harap kau bersabar dulu, ada urusan dapat diurus dan ada persoalan dapat dirundingkan. Sesungguhnya kami tidak mengerti akan maksud kedatanganmu ini, dan siapakah adanya Lilani?”
Lie Siong mengerling tajam dan dengan heran ia melihat bahwa wajah panglima muda itu tidak membayangkan kebohongan. Akan tetapi ia lalu berkata dengan penuh sindiran.
“Bagus! Kalian telah membunuh orang Haimi itu dan merampas puterinya, sekarang masih berpura-pura tidak tahu?”
“Siapa yang membunuh orang dan siapa yang merampas puterinya?” Gui Taijin berseru marah. “Jangan menuduh sembarangan saja!”
Kam Liong yang berdiri di samping dengan muka merah lalu berkata kepadanya,
“Sesungguhnya memang ada pembunuhan atas diri orang Haimi itu. Akan tetapi menurut keterangan puteramu orang Haimi itu adalah seorang pemberontak, oleh karena itulah maka ketika aku dimintai bantuan, aku lalu membantu puteramu. Akan tetapi tentang perampasan gadis itu, aku sama sekali tidak tahu!”
Sesungguhnya, Gui Taijin ini tidak tahu sama sekali tentang urusan puteranya, dan segala peristiwa yang terjadi tadi adalah di luar kehendak dan pengetahuannya. Puteranya bertindak seorang diri untuk melampiaskan nafsu jahatnya dan mempergunakan kedudukannya sebagai putera Kepala Daerah.
“Apakah artinya semua ini?” Gui Taijin membentak marah kepada para penjaga yang berdiri dengan ketakutan. “Dimana adanya Gui Kongcu? Benarkah ia telah merampas anak gadis orang?”
Seorang penjaga dengan ketakutan lalu memberi hormat dan melapor,
“Kongcu telah membawa gadis itu ke rumah peristirahatan Taijin di dekat sungai.”
“Keparat…!” seru Gui Taijin, akan tetapi pada saat itu, Lie Siong sudah melompat maju dan dengan mudah ia telah menangkap penjaga yang bicara tadi, mengempitnya dan membawanya melompat keluar dari situ.
“Kau harus tunjukkan kepadaku dimana adanya tempat itu!” katanya.
Biarpun ia sedang marah kepada puteranya, kini melihat betapa pemuda yang lihai itu hendak mengejar ke sana, Gui Taijin merasa berkhawatir juga. Ia lalu mengerahkan perajurit-perajuritnya dan dengan cepat melakukan pengejaran pula, didampingi oleh Kam Liong yang diam-diam merasa benci kepada putera Kepala Daerah itu.
Pedang itu kalau menyabet tidak akan melukai kulit, akan tetapi akan meremukkan tulang dan otot, sedangkan tanduk pedang naga itu dapat digunakan untuk menusuk bagian tubuh yang berbahaya. Yang lebih istimewa lagi adalah lidah pedang naga yang panjang itu, karena lidah ini dapat berputar-putar melakukan sambaran-sambaran tersendiri dan menotok jalan darah. Bahkan beberapa kali lidah merah ini mencoba untuk melibat pedang di tangannya untuk dirampasnya!
Kam Liong teringat akan nama-nama pendekar besar yang pernah ia dengar dari ayahnya. Menurut ayahnya, ilmu pedangnya atau ilmu silatnya harus dipergunakan dengan amat hati-hati apabila menghadapi mereka atau murid dan keturunan mereka.
“Apakah kau putera Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh?” Ia bertanya sambil menangkis sebuah tusukan ke arah lehernya.
“Aku tidak kenal Pendekar Bodohl” jawab Lie Siong dengan hati mangkel karena lagi-lagi ia mendengar nama pendekar ini disebut-sebut orang!
Ia lalu menyerang lebih hebat lagi dan mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiamsut, pedangnya berputar demikian hebatnya seakan-akan berubah menjadi lima putaran sehingga nampak bagaikan lima bunga teratai, sesuai dengan namanya, yaitu Ngo-lian-hoan-kiamsut (Ilmu Pedang Lima Bunga Teratai).
Kam Liong terkejut melihat ilmu pedang ini dan terpaksa ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri, dan untuk sementara ia mencurahkan perhatiannya terhadap pertahanannya sehingga tak sempat bertanya lagi.
Akan tetapi, setelah ia terdesak, ia lalu menggunakan gerak tipu Pek-hong-koan-jit (Bianglala Putih Menutup Matahari). Pedang mustikanya berputar cepat sekali sehingga merupakan payung penutup tubuhhya yang amat rapat dan kuat.
“Kalau begitu, tentulah putera Kwee An Locianpwe!” kata Kam Liong lagi, menduga-duga.
Karena kalau bukan putera Pendekar Bodoh, hanya putera atau murid Kwee An Locianpwe saja yang memiliki kepandalan sedemikian hebatnya, demikian ia berpikir.
“Jangan mengobrol! Aku tidak kenal orang she Kwee itu!” jawab Lie Siong dengan marah dan ia pun merasa penasaran sekali karena telah bertempur lima puluh jurus lebih, belum juga dapat mengalahkan panglima muda yang lihai ini.
Ia lalu berseru keras dan dengan pedang di tangan kanan mainkan Ilmu Pedang Sin-liong-kiamsut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakan oleh ibunya sendiri untuk menyesuaikan pedang yang dipergunakannya, ia lalu menggunakan tangan kirinya untuk menyerang dengan Ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut yang membuat tangan kirinya mengeluarkan uap putih!
Pek-in-hoatsut sudah terkenal sekali kelihaiannya, dan kepandaian ini adalah warisan dari Guru Besar Bu Pun Su, tidak saja pukulannya yang amat lihai, bahkan uap putih itu saja kalau menyambar lawan dapat mematahkan tenaga lwee-kang dan dapat mendatangkan luka di dalam tubuh.
Akan tetapi ilmu pedang itu pun luar biasa hebatnya. Ketika Ang I Niocu menciptakan ilmu pedang ini untuk puteranya, ilmu pedang ini disesuaikan dengan bentuk Pedang Naga Sakti itu, sehingga di dalam gerakannya ini terdapat totokan-totokan jalan darah, dan juga lidah pedang naga yang panjang itu dipergunakan dengan ilmu melempar tali kepandalan tunggal dari Lie Kong Sian!
Bukan main terkejutnya hati Kam Liong ketika menyaksikan serangan lawannya yang hebat ini, ia terkejut dan cepat mengelak dari serangan pukulan Pek-in-hoatsut, akan tetapi lidah pedang naga itu telah berhasil membelit pedangnya dan sekali Lie Siong mengerahkan tenaga, pedang itu telah terbetot terlepas dari pegangan Kam Liong!
Kam Liong kaget sekali dan berteriak keras sambil melempar tubuhnya ke belakang lalu membuat gerakan melompat berjungkir balik beberapa kali ke belakang. Inilah gerakan Naga Sakti Menembus Awan yang amat indah sehingga diam-diam Lie Siong kagum juga melihat gerakan lawannya.
“Pergi…! Pergi kalian dari sini!” bentaknya sambil menggerakkan tangan kanan sehingga pedang Kam Liong yang terampas tadi tahu-tahu terlepas dan meluncur ke arah dada pemiliknya!
Kam Liong tidak keburu menyambut dan terpaksa cepat menjatuhkan tubuhnya sehingga pedangnya itu meluncur terus dan menancap pada dada seorang perwira yang berdiri di belakangnya! Perwira itu menjerit dan tewas dengan dada tertembus pedang!
“Kau… kau tentu putera Ang I Niocu!” seru Kam Liong dalam dugaannya sambil mencabut pedangnya dan memandang kagum.
Mendengar ini, Lie Siong terkejut sekali dan juga marah.
“Apakah kau ingin mampus?” bentaknya sambil menggerakkan tubuh menerjang, akan tetapi Kam Liong yang sudah tahu akan kelihaian pemuda elok ini tidak berani melawan dan melarikan diri!
Lie Siong hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar keluhan orang Haimi yang menggeletak mandi darah itu, maka ia menunda niatnya hendak mengejar dan menghampiri orang tua yang terluka tadi.
Ketika ia berlutut, ternyata orang tua itu keadaannya payah sekali. Tubuhnya penuh luka dan darah telah keluar banyak sehingga napasnya tinggal satu-satu.
“Orang muda…” katanya terengah-engah, “kau gagah sekali… tak ubahnya Pendekar Bodoh sendiri… kau tentu berbudi… seperti Pendekar Bodoh pula… kau tolonglah puteriku… Lilani… ia tentu mendapat susah dari putera kepala daerah she Gui itu! Lekas, tolonglah… ia yatim piatu… tolong anakku…!”
Melihat keadaan orang tua itu sudah tak ada harapan lagi, Lie Siong lalu bertanya,
“Dimana dia…? Dimana anakmu itu?”
“Di… di rumahku, di ujung barat kota Tatung, tak jauh dari sini… kau cepat tolonglah dia… hanya kaulah orang satu-satunya yang menjadi harapanku…” tiba-tiba orang tua itu menarik napas panjang dan ternyata napas itu adalah tarikan yang terakhir!
Lie Siong cepat bangun berdiri dan membentak kepada perwira yang terluka dan yang ditinggalkan oleh kawan-kawannya.
“Kau harus rawat jenazahnya baik-baik, kalau tidak, awas! Lain kali aku datang mengambil kepalamu!”
Perwira itu mengangguk-angguk dengan muka pucat.
“Baik, baik… Hohan!”
Lie Siong lalu melompat pergi dan berlari cepat sekali menuju ke kota Tatung yang berada di sebelah selatan hutan itu.
Setibanya di kota itu, Lie Siong lalu menuju ke ujung barat dan dengan mudah saja ia mencari keterangan tentang rumah tempat tinggal seorang bangsa Haimi bernama Manako. Ketika ia menanyakan kepada seorang tetangga orang Haimi itu karena rumah yang dicarinya ternyata tertutup, tetangga itu memandangnya dengan ragu-ragu dan muka takut.
“Kongcu, kau mencari Manako, apakah kau masih keluarganya?”
“Bukan, aku hanya sahabatnya. Aku mau bertemu dengan Nona Lilani, puterinya.”
Muka orang yang nampak ketakutan itu menjadi makin pucat. Ia memberi isarat dengan jari tangannya ditaruh ke depan mulut lalu berkata perlahan,
“Sst, Kongcu, jangan kau bicara terlalu keras tentang gadis itu. Lebih baik lekas kau pergilah dari sini dan jangan katakan kepada siapapun juga bahwa kau telah kenal dengan Nona itu…! Aku kasihan kepadamu karena kau adalah orang Han bukan bangsa Haimi.”
Lie Siong memandang tajam dan sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah memegang tengkuk orang itu dengan keras sehingga orang yang dipegangnya menjadi terkejut dan ketakutan. Tangan yang mencekik tengkuknya seakan-akan sepasang jepitan baja yang kuat sekali.
“Hayo, lekas katakan, apa yang telah terjadi dengan Lilani, dan dimana ia berada!”
“Am… ampun, Hohan…! Gadis itu baru tadi telah dibawa pergi oleh sepasukan perajurit, ditangkap oleh Gui-siauw-ya!”
“Kau maksudkan Gui-siauwya putera Kepala Daerah?”
“Benar, Hohan.”
“Dimana rumah Kepala Daerah itu?”
Orang itu cepat-cepat menunjuk ke arah timur dan berkata,
“Di tengah kota ini, bangunan yang tertinggi dan terbesar.”
Lie Siong melepaskan pegangannya dan sekali ia berkelebat, lenyaplah tubuhnya dari depan orang yang menjadi bengong dan bergemetaran seluruh tubuhnya itu.
Mudah saja untuk mencari gedung besar Kepala Daerah she Gui di kota itu, karena gedungnya besar dan tinggi, berada di tengah-tengah kota. Tanpa banyak peraturan lagi, Lie Siong lalu memasuki pintu gerbang dan ketika empat orang penjaga pintu menegur dan menghampirinya, dengan beberapa kali menggerakkan kaki tangannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri. Ia terus masuk ke dalam didahului oleh seorang penjaga yang bergegas lari memberi laporan tentang datangnya seorang pengamuk muda yang lihai.
Dengan diiringkan oleh serombongan penjaga, Gui-taijin sendiri keluar dari ruang dalam, bersama Kam Liong, panglima muda yang menjadi tamunya.
Begitu melihat pembesar ini, Lie Siong melompat dan menangkap lengannya.
“Hayo lepaskan Lilani, kalau tidak kepalamu akan kuhancurkan!” katanya dengan bengis.
Pembesar Gui yang sudah setengah tua itu memandang heran dan gelisah, lalu bentaknya marah,
“Siapakah kau dan apa maksudmu?”
Juga Kam Siong lalu maju dan menjura ke arah Lie Siong.
“Taihiap, harap kau bersabar dulu, ada urusan dapat diurus dan ada persoalan dapat dirundingkan. Sesungguhnya kami tidak mengerti akan maksud kedatanganmu ini, dan siapakah adanya Lilani?”
Lie Siong mengerling tajam dan dengan heran ia melihat bahwa wajah panglima muda itu tidak membayangkan kebohongan. Akan tetapi ia lalu berkata dengan penuh sindiran.
“Bagus! Kalian telah membunuh orang Haimi itu dan merampas puterinya, sekarang masih berpura-pura tidak tahu?”
“Siapa yang membunuh orang dan siapa yang merampas puterinya?” Gui Taijin berseru marah. “Jangan menuduh sembarangan saja!”
Kam Liong yang berdiri di samping dengan muka merah lalu berkata kepadanya,
“Sesungguhnya memang ada pembunuhan atas diri orang Haimi itu. Akan tetapi menurut keterangan puteramu orang Haimi itu adalah seorang pemberontak, oleh karena itulah maka ketika aku dimintai bantuan, aku lalu membantu puteramu. Akan tetapi tentang perampasan gadis itu, aku sama sekali tidak tahu!”
Sesungguhnya, Gui Taijin ini tidak tahu sama sekali tentang urusan puteranya, dan segala peristiwa yang terjadi tadi adalah di luar kehendak dan pengetahuannya. Puteranya bertindak seorang diri untuk melampiaskan nafsu jahatnya dan mempergunakan kedudukannya sebagai putera Kepala Daerah.
“Apakah artinya semua ini?” Gui Taijin membentak marah kepada para penjaga yang berdiri dengan ketakutan. “Dimana adanya Gui Kongcu? Benarkah ia telah merampas anak gadis orang?”
Seorang penjaga dengan ketakutan lalu memberi hormat dan melapor,
“Kongcu telah membawa gadis itu ke rumah peristirahatan Taijin di dekat sungai.”
“Keparat…!” seru Gui Taijin, akan tetapi pada saat itu, Lie Siong sudah melompat maju dan dengan mudah ia telah menangkap penjaga yang bicara tadi, mengempitnya dan membawanya melompat keluar dari situ.
“Kau harus tunjukkan kepadaku dimana adanya tempat itu!” katanya.
Biarpun ia sedang marah kepada puteranya, kini melihat betapa pemuda yang lihai itu hendak mengejar ke sana, Gui Taijin merasa berkhawatir juga. Ia lalu mengerahkan perajurit-perajuritnya dan dengan cepat melakukan pengejaran pula, didampingi oleh Kam Liong yang diam-diam merasa benci kepada putera Kepala Daerah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar