*

*

Ads

Selasa, 16 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 039

Kita tinggalkan dulu Lie Siong dan Lilani yang melakukan pelayaran dalam usaha mereka mencari tempat tinggal Kwee An atau Pendekar Bodoh untuk mendapatkan tempat tinggal dan tempat menumpang bagi gadis itu.

Marilah kita menengok keadaan Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, Lin Lin, yang melakukan perjalanan ke perbatasan utara, bahkan memasuki daerah Mongol untuk mencari Ang I Niocu!

Dengan hati penuh keharuan dan kegelisahan Cin Hai dan Lin Lin hendak kembali ke selatan perbatasan Mongol dimana dulu Ang I Niocu dan Lin Lin pernah mengadakan perantauan. Mereka mencari keterangan di sana-sini, mengadakan kunjungan ke berbagai tempat dan pegunungan, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.

Pada suatu hari, ketika dengan putus harapan Cin Hai dan Lin Lin hendak kembali ke selatan dan tiba di dalam sebuah hutan, mereka mendengar orang bernyanyi dengan suara nyaring.

“Ah kipas sial, kipas butut!
Apakah jasamu terhadapku?
Hanya mendatangkan nama besar yang kosong.
Menambah musuh menjauhkan sahabat.
Kau tidak mampu merenggut nyawaku.
Yang jemu dan telah lama terkurung.
Kau tetap hanya menghibur badan.
Mengusir hawa panas mendatangkan angin.
Ah, kipas butut, kipas sial!”

Hutan itu liar dan sunyi, maka tentu saja Cin Hai dan Lin Lin terheran-heran mendengar nyanyian ini, karena selain kata-katanya amat aneh, juga suara itu nyaring sekali sehingga menggema di seluruh hutan!

Suami isteri ini saling pandang dan cepat menghampiri arah datangnya suara. Mereka tertegun melihat seorang kakek tua sekali tengah duduk di bawah sebatang pohon besar sambil menggunakan sebuah kipas yang benar-benar sudah butut untuk mengipasi tubuhnya yang gemuk.

Pakaian kakek ini hampir telanjang tidak terurus dan tubuhnya sudah kotor penuh debu dan lumpur. Kalau saja tidak melihat kipas yang terbuat daripada kulit harimau itu tentu suami isteri pendekar ini tidak mengenal orangnya. Cin Hai yang lebih dulu mengenalnya dan segera berseru keras,

“Swie Kiat Siansu! Locianpwe, mengapa kau berada disini?” Ia lalu menghampiri bersama isterinya, dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

Kakek tua renta yang gemuk itu memandang dengan bermalas-malasan, kemudian ia tertawa bergelak dan memukul-mukul kepalanya dengan kipasnya.

“Ha-ha-ha-ha! Pendekar Bodoh…! Agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadaku sehingga disaat terakhir masih dapat bertemu dengan engkau! Alangkah sempitnya dunia ini? Dan alangkah cepatnya sang waktu berlari.” Ia memandang kepada Lin Lin dan berkata pula, “Agaknya kalian sedang menderita, akan tetapi jangan ceritakan hal itu kepadaku, aku sudah cukup kenyang mendengar penderitaan manusia sehingga menjadi bosan. Eh, Nyonya muda, coba kau buatkan masakan yang cocok untukku, nanti kuberikan kipasku yang butut ini kepadamu.”

Lin Lin diam-diam merasa mendongkol. Untuk apakah kipas butut itu baginya? Akan tetapi dengan muka girang Cin Hai berkata kepadanya,

“Kau tangkaplah seekor kelinci dan panggang itu untuk Locianpwe.”

Lin Lin memandang kepada suaminya, akan tetapi karena ia telah percaya kepada suaminya yang sesungguhnya tidak bodoh itu, ia lalu bangkit berdiri dan berlari memasuki hutan.

“Ha-ha, Pendekar Bodoh, kau baik sekali. Berapa orangkah anakmu sekarang?”

“Dua orang, Locianpwe, seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Putera teecu itu kini sedang belajar di bawah asuhan Pok Pok Sianjin.”

Kembali kakek gemuk itu tertawa bergelak.
“Bagus, bagus! Setan tua dari barat itu agaknya tidak mau mampus sambil membawa kepandaiannya yang akan membikin pusing saja di neraka! Baiklah, kalau begitu, aku pun akan meninggalkan kipas ini kepada anakmu yang perempuan itu. Akan tetapi aku harus makan dulu, telah dua pekan lebih aku tidak makan sama sekali!”






Sambil berkata demikian, kakek ini lalu menggunakan tangan kanannya untuk menekan tanah dan berpindah tempat duduk.

Terkejutlah Cin Hai ketika melihat bahwa kakek ini menderita penyakit hebat sekali, agaknya tangan dan kaki kirinya telah lumpuh tak dapat digerakkan lagi! Sungguh mengherankan, dalam keadaan demikian dan dua pekan tidak makan, kakek ini masih saja nampak gemuk dan sehat!

“Maafkan, Locianpe. Apakah Locianpwe menderita sakit?”

Swie Kiat Siansu mengangguk-angguk dan menghela napas.
“Agaknya dosaku terlalu besar sehingga sebelum mampus harus menderita dulu. Setelah tua, darahku jalan terlampau cepat dan memecahkan urat-urat syaraf, membuat semua urat-urat di setengah tubuhku pecah-pecah. Akan tetapi tidak apa, dalam keadaan sakit atau tidak, kematian akan datang juga akhirnya!”

Cin Hai teringat akan keadaan orang tua ini pada belasan tahun yang lalu. Swie Kiat Siansu adalah seorang diantara “empat besar” yang menjagoi di seluruh daratan Tiongkok. Pada masa itu, Bu Pun Su (guru Cin Hai dan Lin Lin) dan Hok Peng Taisu (guru Ma Hoa) merupakan tokoh besar dari selatan dan timur, adapun Pok Pok Sianjin adalah tokoh dari barat. Tokoh dari utara yang paling terkenal adalah Swie Kiat Siansu inilah!

Empat orang ini, yaitu Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swie Kiat Siansu terkenal sebagai empat besar dan kepandaian mereka telah mencapai tingkat tertinggi hingga jarang bertemu tandingan! Hanya sayang sekali bahwa Swie Kiat Siansu telah salah dalam memilih murid. Dua orang muridnya yang bernama Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu menjadi perwira-perwira Mongol dan berwatak jahat sekali. Swie Kiat Siansu ini bersama Pok Pok Sianjin pernah mengadakan pibu (adu kepandaian silat) menghadapi Hok Peng Taisu dan Bu Pun yang diwakili Pendekar Bodoh (bacalah cerita Pendekar Bodoh).

Kini melihat keadaan orang tua ini, diam-diam Cin Hai menghela napas dan teringatlah ia bahwa ia sendiri kelak takkan terlepas daripada pengaruh usia tua dan kematian. Akan tetapi, mendengar bahwa kakek ini hendak menyerahkan kipasnya kepada puterinya, ia menjadi girang sekali. Menyerahkan senjata berarti menyerahkan atau menurunkan ilmu silat, dan kipas kakek ini memang merupakan senjatanya yang paling lihai dan yang telah membuat namanya menjadi terkenal sekali.

Tak lama kemudian, Lin Lin datang sambil membawa dua ekor kelinci putih yang gemuk. Ia tertawa manis sekali dan berkata,

“Aku sengaja menangkap keduanya agar pasangan ini tidak terpisah, biarpun sudah berpindah tempat ke dalam perut!”

Swie Kiat Siansu tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha! Pantas saja kau dan suamimu Pendekar Bodoh ini dapat hidup rukun dan damai, tidak tahunya kau dapat menghargai kesetiaan dan kecintaan! Lekas masak… lekas masak… aku tidak tahan lagi menghadapi cacing-cacing perutku!”

Cin Hai lalu membuat api dan setelah kedua kelinci itu disembelih dan dibersihkan, dagingnya lalu dipanggang. Tak lama kemudian terciumlah bau yang sedap dan menimbulkan selera, Swie Kiat Siansu menahan air liurnya ketika tercium bau sedap ini olehnya.

“Aduh, cacing perutku makin menggeliat-geliat. Lekas bawa kesini!”

Lin Lin tersenyum senang, karena ucapan ini secara tidak langsung menyatakan pujian atas pekerjaannya. Wanita manapun juga di dunia ini mempunyai dua macam kesenangan yang sama, yaitu mendapat pujian tentang kepandaiannya atau kelezatan masakannya. Ia lalu membawa daging yang sudah merah dan mengebulkan uap dan kesedapan itu kepada Swie Kiat Siansu. Kakek tua yang hanya dapat menggerakkan tangan kanannya itu lalu menerima daging itu dan makan dengan amat lahapnya.

Cin Hai dan Lin Lin memandang kagum karena biarpun daging itu baru saja keluar dari api dan amat panas, akan tetapi kakek itu dapat memakannya demikian enak dan sekali-kali tidak kelihatan kepanasan! Tanpa menawarkannya kepada Cin Hai dan Lin Lin yang terpaksa memandang sambil menelan ludah, kakek itu makan terus dengan enak dan lahapnya sampai lenyaplah daging dua ekor kelinci itu berpindah ke dalam perutnya!

Swie Kiat Siansu menggunakan tangan kanannya yang masih berminyak untuk mengelus-elus perutnya yang gendut, lalu ia tertawa dan berkata,

“Aah, yang senang saja kalian sepasang kelinci tinggal di perutku!” ia tertawa lagi, kemudian berkata. “Sayang tidak ada arak…”

“Jangan khawatir, Locianpwe, teecu membawa bekal arak,” kata Cin Hai yang cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalannya.

Berserilah wajah kakek itu.
“Bagus, bagus! Kau baik sekali! Ah, benar-benar Thian telah memimpin kalian suami isteri ke tempat ini untuk menyenangkan hatiku di saat terakhir ini dan untuk menerima warisan dariku!”

Ia lalu minum arak itu dan nampak senang sekali. Tiap kali habis menenggak arak, ia menjulurkan lidah dari mulut dan diputarnya lidah itu menghapus kedua bibirnya dengan puas sekali.

Lin Lin juga merasa girang ketika mendengar bahwa kakek itu hendak menurunkan ilmu silat dan kepandaian mainkan senjata kipas itu kepada puterinya, maka ia pun bersiap sedia untuk memasak apa saja yang dibutuhkan kakek ini.

Dua pekan lebih Cin Hai dengan tekun mempelajari ilmu silat tinggi dari Swie Kiat Siansu untuk kemudian dipelajarkan kepada puterinya. Karena Cin Hai telah memiliki dasar ilmu silat tinggi dan memiliki pengertian dasar dan pokok segala macam ilmu silat, maka setelah memperhatikan dan mempelajari selama dua pekan, ia telah dapat menerima semua kepandaian itu.

Pada malam ke lima belas, setelah memberikan keterangan-keterangan terakhir dan memberikan kipas itu kepada Cin Hai, Swie Kiat Siansu berkata puas,

“Nah, bebaslah aku dari kipas sial dan butut itu! Eh, Nyonya muda, tolong kau panggangkan sepasang kelinci lagi untukku!”

“Baik, Locianpwe,” jawab Lin Lin yang selama itu selalu mengurus keperluan Swie Kiat Siansu yang membawa mereka tinggal di sebuah gua di hutan itu.

Setelah sepasang kelinci didapatkan dan dagingnya dimasak, kembali kakek itu makan dengan enaknya dan menghabiskan persediaan arak yang tinggal seguci lagi dari Cin Hai. Setelah makan kenyang, ia lalu menjatuhkan tubuhnya terlentang di atas tanah, berkata,

“Besok kalian boleh pergi!” dan sebentar kemudan ia tidur mendengkur!

Cin Hai dan Lin Lin teringat akan Bu Pun Su, guru mereka yang juga memiliki adat yang amat aneh seperti kakek ini pula. Dengan perlahan mereka lalu keluar dari gua itu dan makan buah-buahan yang dikumpulkan oleh Lin Lin.

“Besok kita disuruh pergi,” kata Cin Hai. “Karena Ang I Niocu tidak ada kabarnya, lebih baik kita kembali mencari anak kita dan mampir di Beng-san menengok putera kita.”

Teringat akan puteri mereka, Sie Hong Li atau Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti, Lin Lin tiba-tiba merasa berduka sekali dan menunda makannya, memandang dengan mata melamun ke tempat jauh. Perlahan-lahan dua titik air mata mengalir turun membasahi pipinya.

“Isteriku, jangan kau berduka. Percayalah bahwa Thian pasti akan melindungi Lili,”

Cin Hai menghibur sambil menepuk-nepuk pundak isterinya. Mendengar hiburan ini, Lin Lin makin terharu dan sedih sehingga ia lalu menangis terisak sambil menjatuhkan kepalanya di atas pundak suaminya.

Cin Hai membiarkan saja karena untuk melepaskan kedukaan, memang tidak ada yang lebih baik daripada tangis dan air mata. Karena besok pagi mereka harus pergi, maka sekali lagi Cin Hai menghafal dan melatih ilmu silat yang diturunkan oleh Swie Kiat Siansu sehingga malam itu mereka berada di luar gua dan melatih ilmu silat dengan amat rajinnya.

Dasar suami isteri ini memang gemar sekali akan ilmu silat maka berlatih semalam penuh di bawah sinar bulan itu merupakan hiburan yang amat baik bagi kedukaan hati mereka karena lenyapnya puteri mereka.

Akan tetapi, alangkah kagetnya sepasang suami isteri ini ketika pada keesokan harinya mereka memasuki gua tempat tinggal Swie Kiat Siansu, mereka mendapatkan kakek itu telah menggeletak tak bergerak dan tak bernapas lagi!

Ternyata setelah makan kenyang dan tidur, kakek yang usianya sudah seratus lebih ini dan yang terserang penyakit berat telah menghembuskan napas terakhir, hal yang sudah lama dinanti-nantinya!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar