Selasa, 16 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 040

Dengan penuh penghormatan, Cin Hai dan isterinya lalu mengurus jenazah itu, menggali tanah dan mengubur jenazah itu sebagaimana mestinya. Mereka bersembahyang dengan sederhana, menunda keberangkatan mereka sampai pada keesokan harinya lagi untuk memberi penghormatan terakhir.

Kalau kiranya manusia mati masih mempunyai roh, dan kalau rohnya ini pandai melihat dan berpikir, maka roh Swie Kiat Siansu tentu akan merasa berterima kasih sekali melihat sepasang suami isteri ini.

Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Hai dan isterinya meninggalkan tempat itu dan terus menuju ke selatan. Di sepanjang jalan tiada hentinya mereka berdua mencari keterangan dan menyelidiki tentang Ang I Niocu dan juga tentang Bouw Hun Ti.

Tanpa mendengar keterangan sesuatu tentang kedua orang yang dicari-carinya itu, akhirnya mereka sampai di Beng-san dan mendaki gunung itu dengan cepat.

Baru saja mereka tiba di lereng gunung, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring memanggil mereka.

“Ayah… lbu…!!”

Cin Hai dan Lin Lin cepat menengok dengan wajah berubah, dan alangkah kaget, heran dan girang hati mereka ketika melihat di atas sebuah puncak berdiri Lili bersama Hong Beng dan seorang anak laki-laki lain lagi!

Lin Lin berlari seperti terbang cepatnya ke arah anaknya itu sambil menangis. Cin Hai juga berlari mengejar isterinya, akan tetapi kali ini ia kalah cepat! Kegirangan agaknya telah membuat nyonya muda itu seakan-akan terbang saja dan ilmu berlari cepatnya makin hebat.

Juga Lili dan Hong Beng berlari turun dari puncak. Setelah berhadapan, Lin Lin lalu menubruk Lili sambil mencium anaknya itu dan menangis tersedu-sedu.

“Lili… Lili… anak nakal… kau selamat, Nak?” dengan megap-megap Lin Lin bertanya.

Lili juga menangis saking girangnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia menengok kepada ayahnya yang juga sudah datang ke situ lalu tersenyum!

“Ayah dan Ibu tidak marah…?” tanyanya.

“Mengapa marah? Tidak, anakku, tidak!” jawab Cin Hai.

“Kenapa Kong-kong tidak ikut datang?” tanya lagi Lili dan mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Lin Lin menangis lagi.

Hong Beng maju mendekati ibunya dan melihat ibunya menangis sedih kali ini, ia lalu menyentuh pundak ibunya yang masih berlutut memeluk Lili.

“Ibu, apakah yang terjadi dengan Kong-kong?”

Karena Lin Lin tidak dapat menjawab, Cin Hai yang maju dan berkata tenang,
“Kong-kongmu telah ditewaskan oleh orang-orang yang menculik Lili. Maka kalian belajarlah baik-baik agar kelak dapat mencari musuh besar ini.”

Lili yang amat sayang kepada engkongnya, menjerit ketika mendengar berita ini.
“Apa…?” Ia memandang kepada ayahnya dengan mata bernyala. “Engkong di… dibunuh oleh bangsat itu…?”

Ketika Cin Hai menganggukkan kepalanya, Lili merangkul ibunya dan menangis keras. Adapun Hong Beng yang juga amat sayang kepada kong-kongnya itu, berdiri dengan muka muram dan pemuda cilik ini mengepal tinju dan membanting-banting kakinya sambil berkata perlahan,

“Jahanam…! Jahanam…!” Akan tetapi ia tidak mengeluarkan air mata.

Diam-diam Cin Hai menjadi bangga melihat ketenangan dan kekuatan hati puteranya ini, maka ia lalu menarik tangan Lili, mendekapnya dan berkata halus,

“Lili, lihat kakakmu itu. Kau tidak boleh berhati lemah dan menangis seperti seorang anak cengeng! Kewajibanmulah untuk kelak membalas sakit hati kong-kongmu.”






Mendengar ucapan ayahnya, bangkit semangat Lili dan dengan muka masih basah air mata ia berkata,

“Ayah, aku bersumpah untuk mencari keparat Bouw Hun Ti dan menghancurkan kepalanya!”

Lin Lin juga sudah dapat menguasai keharuan hatinya dan nyonya muda ini teringat kepada pemuda cilik yang tadi bersama kedua anaknya. Ternyata pemuda itu masih berdiri tak jauh dari mereka dan hanya diam saja sambil memandang dengan mata berduka.

Anak ini adalah Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang menjadi murid Sin-kai Lo-sian atau kini menjadi suheng dari Lili. Melihat betapa Lili dan Hong Beng bertemu kembali dengan kedua orang tua mereka, hatinya menjadi perih dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri yang sudah ditinggal mati oleh ayah ibunya.

“Eh, anak itu siapakah?” tanya Lin Lin kepada Lili.

Baru Lili teringat kepada suhengnya ini dan ia lalu melambaikan tangan kepadanya.

“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”

“Kam Seng, kau kesinilah bertemu dengan ayah bundaku!”

Dengan malu-malu Kam Seng lalu bertindak maju dan memberi hormat sambil menjura kepada Cin Hai dan Lin Lin.

“Dia bernama Thio Kam Seng, murid dari Suhu,” kata Lili.

“Suhu? Siapakah Suhumu?” tanya Cin Hai terheran.

Lili lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia diculik oleh Bouw Hun Ti, lalu tertolong oleh Sin-kai Lo sian dan dibawa ke atas Gunung Beng-san ini dan kemudian dilatih oleh Mo-kai Nyo Tiang Le, suheng dari Lo Sian atau supek mereka.

Cin Hai dan Lin Lin merasa girang sekali mendengar penuturan ini dan mereka amat berterima kasih kepada Sin-kai Lo Sian, pengemis sakti yang sudah mereka dengar namanya itu.

“Dimana dia, penolong dan suhumu itu? Kami harus bertemu dengan dia untuk menghaturkan terima kasih,” kata Lin Lin.

“Dia sudah turun gunung, Ibu. Katanya hendak pergi ke Shaning untuk mencari Ayah dan Ibu, melaporkan keadaanku yang sudah tertolong.”

Pada saat itu, dari puncak gunung nampak bayangan orang yang cepat sekali berlari mendatangi.

“Nah, itu dia Supek datang!” kata Kam Seng ketika melihat bayangan itu.

Cin Hai dan Lin Lin cepat menengok dan mereka melihat seorang yang berpakaian pengemis datang berlari cepat sekali dari atas.

Mo-kai Nyo Tiang Le biarpun sudah seringkali mendengar nama Pendekar Bodoh akan tetapi belum pernah bertemu muka, maka ia tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Dari atas ia tadi melihat seorang laki-laki dan seorang wanita bercakap-cakap dengan tiga orang anak itu, maka cepat ia menghampiri karena ia berkhawatir kalau-kalau kedua orang itu adalah orang-orang jahat. Ketika melihat dua orang itu bersikap gagah dan berwajah elok, ia lalu bertanya kepada Lili,

“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”

“Supek, mereka ini adalah ayah bundaku!” kata Lili dengan girang dan tersenyum, sama sekali lenyap rasa dukanya yang tadi! Memang watak gadis cilik ini benar-benar sama dengan ibunya.

Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali mendengar pengakuan ini. Ia memandang dengan penuh perhatian kepada Cin Hai yang sementara itu bersama isterinya telah menjura kepadanya untuk memberi hormat.

“Ah, jadi kau ini adalah Pendekar Bodoh yang bernama Sie Cin Hai? Maaf, maaf! Aku tidak mengenal orang pandai!” Nyo Tiang Le cepat menjura dan membalas penghormatan itu.

“Nyo Loheng (Saudara Tua Nyo) terlalu sungkan!” jawab Cin Hai merendah. “Sesungguhnya kami berdua yang harus menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan hatimu, terutama sekali kepada adikmu yang telah menolong nyawa puteri kami. Mudah-mudahan saja budi ini akan terbalas oleh Thian apabila kami tiada kesempatan untuk membalasnya.”

Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa terbahak-bahak dengan gembira sekali, sehingga Lili dan Kam Seng memandang karena jarang mereka menyaksikan supek mereka ini sedemikian gembiranya.

“Pendekar Bodoh, kau seperti anak kecil saja!” kata Pengemis Iblis Mo-kai Nyo Tiang Le setelah tertawa bergelak. “Diantara kita masih perlukah bicara tentang budi? Sekarang Lili telah bertemu dengan kalian, suami isteri pendekar yang kepandaiannya tinggi sekali, maka sudah cukup lama kiranya aku tinggal di tempat ini mengganggu Pok Pok Sianjin! Lili, yang baik-baiklah kau belajar ilmu kepandaian agar kelak jangan sampai terculik orang lagi. Ha-ha-ha! Kam Seng, kau ikutlah padaku turun gunung!”

Setelah berkata demikian, Mo-kai menyambar lengan tangan Kam Seng dan berlari pergi dari situ dengan cepat.

Lili tertegun menyaksikan sikap ini, akan tetapi Cin Hai hanya tersenyum saja dan berkata,

“Memang orang-orang kang-ouw selalu mempunyai watak yang aneh sekali. Kita harus catat nama Mo-kai Nyo Tiang Le itu sebagai seorang sahabat baik. Marilah kita naik ke puncak untuk menghadap Pok Pok Sianjin!”

Mereka beramai-ramai lalu pergi ke atas puncak dan menghadap Pok Pok Sianjin yang menerima kedatangan mereka dengan girang.

“Pendekar Bodoh, kebetulan sekali kau dan isterimu datang! Apakah kalian sudah bertemu dengan Sin-kai Lo Sian?”

Setelah memberi hormat, Cin Hai menjawab,
“Belum, Locianpwe.”

Ia lalu menceritakan perjalanannya mencari Lili, dan betapa mereka bertemu pula dengan Swie Kiat Siansu yang meninggal dunia karena penyakit dan usia tua. Pok Pok Sianjin menarik napas panjang.

“Aah, semua kawan-kawan telah meninggalkan aku! Mereka sudah bebas dan senang! Tinggal aku seorang tua bangka yang harus mengalami penderitaan entah beberapa tahun lagi.”

Cin Hai dan Lin Lin tidak lama tinggal di tempat itu, hanya tiga hari, ini pun karena Hong Beng selalu menahan mereka. Akhirnya mereka turun gunung bersama Lili, setelah memesan kepada Hong Beng untuk belajar ilmu dari Pok Pok Sianjin dengan giat dan rajin.

Pemuda cilik ini diam-diam merasa amat kesepian setelah adik perempuannya turun gunung mengikuti ayah ibunya, akan tetapi Hong Beng memang seorang pemuda pendiam dan selain tenang, juga ia memiliki kekuatan batin yang cukup tabah. Kesunyiannya ini ia tutup dengan ketekunannya belajar ilmu silat sehingga Pok Pok Sianjin merasa makin gembira menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang berbakat ini.

Demikianlah, kalau Sie Hong Beng dengan rajin mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, Lili juga menerima latihan ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan ia menerima pula Ilmu Silat Kipas Maut yang diwariskan oleh Swie Kiat Siansu untuknya.

Biarpun Lili mempunyai watak yang lincah dan tidak dapat tekun belajar, akan tetapi apabila ia teringat akan kematian kakeknya, ia lalu mengerahkan semangatnya dan mempelajari ilmu silat dengan giatnya sehingga ayah bundanya merasa girang juga melihat perubahan ini.

**** 040 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar