Seperti telah dikatakan oleh Swie Kiat Siansu, waktu memang berlari amat pesatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun terbang lalu dengan cepatnya sehingga kita sendiri tidak merasakan sesuatu, tahu-tahu usia selalu bertambah tua!
Memang aneh kalau direnungkan, apabila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata setahun, sebulan maupun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti datangnya sesuatu, nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang setiap saat memperhatikan jalannya waktu? Kita semua tidak merasa dan sungguhpun masa kanak-kanak kadangkala masih suka di depan mata, peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang nyata, namun kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua.
Belasan tahun itu kalau tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja! Siapa bilang kalau hidup ini lama? Benarkah kata para pujangga bahwa hidup yang singkat ini harus kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita tidak menyesal kalau sudah terlambat!
Tak terasa lagi, sepuluh tahun telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas. Telah sepuluh tahun anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili telah berusia delapan belas tahun dan ia kini menjadi seorang gadis yang amat cantik jelita berwatak gembira suka tertawa, bermata kocak dan selalu berseri, bibirnya selalu tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek kata, ia sama benar dengan ibunya, Lin Lin, di waktu muda!
“Kalau aku melihat anak kita, aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!” kata Cin Hai sambil menengok kepada isterinya yang duduk di dekatnya.
Lin Lin yang biarpun sudah berusia hampir empat puluh tahun masih nampak cantik itu, mengerling sambil cemberut manja.
“Ah, kau ini memang tukang memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa bilang dia cantik? Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?”
Cin Hai tertawa karena ia sudah maklum bahwa isterinya ini biarpun di mulutnya mengomel namun di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di kebun belakang memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat.
Lin Lin memandang kagum lalu menghela napas.
“Betapapun juga, ada satu hal yang menyusahkan hatiku. Dia sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi bertunangan pun belum! Sampai usia berapakah ia kelak menikah?”
“Hal itu tak perlu tergesa-gesa,” jawab suaminya dengan tenang, “ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!”
Lin Lin mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku masih gadis, ilmu silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat alangkah indahnya gerakan Sian-li-san-hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang ia mainkan itu!”
Cin Hai memandang lagi ke arah Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu sedang melatih Ilmu Silat Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang amat indah dan cepat dan gerakan Sianli-san-hwa adalah sebuah diantara tipu-tipu ilmu silat ini.
Melihat gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin. Anak gadisnya ini benar-benar mengagumkan dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari pemuda manakah gerangan yang patut menjadi mantunya. Ia merasa puas dengan ikatan jodoh antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An. Akan tetapi untuk Lili, ia belum dapat memilih seorang calon mantu yang cukup sesuai dan cocok.
Sementara itu, Lili sudah menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang tuanya sedang memandangnya dan membicarakannya, ia lalu menengok dan berlari-lari menghampiri ayah ibunya. Dengan sikap manja ia duduk di dekat ibunya sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan saputangannya untuk menghapus peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh kasih sayang.
“Ibu, sekarang kau dan Ayah harus memberi perkenan kepadaku untuk pergi mengunjungi Enci Goat Lan, dan aku ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri.”
“Tak baik bagi seorang gadis muda untuk melakukan perjalanan seorang diri,” kata Cin Hai.
Lili merengut.
“Aah, Ayah selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku. Bukankah Ayah dan lbu sering bercerita betapa Ibu dulu juga seringkali merantau menambah pengalaman? Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan seorang gadis muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun, Ayah!”
Cin Hai memandang dengan muka bersungguh-sungguh.
“Lili, dulu lain lagi, karena keadaan negara tidak sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang. Pula, ayah dan ibumu dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak orang-orang jahat memusuhi kita. Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku, mereka pasti akan turun tangan dan mengganggumu.”
Lili berdiri dan dengan sikap menantang berkata keras,
“Aku tidak takut! Aku bukan puteri ayah dan ibu, bukan anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su kalau aku takut! Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam ilmu silat itu tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang orang-orang jahat? Bukankah ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang dipelajari dengan susah payah tak akan ada artinya kalau tidak dipergunakan demi kepentingan orang banyak? Seorang ahli silat yang tidak mengulurkan tangan mempergunakan kepandaiannya menolong orang tertindas, bukanlah pendekar namanya!”
Cin Hai tersenyum. Ia merasa betapa puterinya yang cerdik ini seringkali menggunakan ujar-ujar dan pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!
“Sudah, bicara dengan kau takkan ada orang bisa menang! Kalau kau hanya rindu kepada calon Sosomu (Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi, nanti kita bertiga dapat melakukan perjalanan kesana.”
Lili makin cemberut.
“Tidak, aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara. Aku ingin merantau menambah pengalaman, ingin mempergunakan kepandaian yang kupelajari untuk menolong orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku ingin mencari si jahanam Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau Ayah tidak boleh, aku… aku akan minggat!”
Cin Hai melongo dan Lin Lin segera memegang tangan puterinya.
“Hush, Lili! Jangan kau berkata begitu!”
Lili memandang kepada ibunya dan matanya berseri nakal ketika ia berkata memperingatkan,
“Ibu, lupakah kau bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari bersama Ang I Niocu? Ibu sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!”
Lin Lin tak dapat menjawab, hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak berdaya).
“Lili,” kata Cin Hai menolong isterinya, “Ibumu lain lagi. Ketika itu ibumu bercita-cita untuk menyusulku dalam usaha membalas dendam kepada musuh-musuh yang telah membasmi keluarga ibumu.”
“Apa bedanya? Sekarang pun aku hendak pergi untuk membalas dendam kepada keparat Bouw Hun Ti!” Kemudian, dara yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah dan berkata, “Ah, sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin melihat aku senang, Kalau Beng-ko lain lagi. Dia anak laki-laki, dicinta dan dimanja, semenjak kecil ikut berguru di Beng-san dan boleh merantau sesuka hatinya! Ah, aku ingin menjadi seorang anak laki-laki!”
Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam hatinya. Anak ini lebih keras kepala daripada ibunya! Akan tetapi Lin Lin berpikir lain. Hebat bisik hatinya, anak ini malah lebih gagah dan bersemangat daripada ayahnya!
“Sudahlah, Lili jangan marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!” kata Cin Hai.
“Baiklah, kami akan merundingkan hal ini.”
Setelah Lili kembali ke dalam kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.
“Bagaimana baiknya?” tanya Lin Lin dengan gelisah “Kalau ia memaksa dan pergi, apakah kiranya tidak berbahaya?”
“Berbahaya sih tidak,” jawab suaminya setelah berpikir keras. “Kepandaian Lili sudah lebih dari cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang I Niocu ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan. Akan tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tidak hanya kepandaian silat tinggi saja yang dapat menjaga keselamatan tubuh. Banyak akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya daripada kepandaian silat lawan.”
“Kalau begitu, kita harus melarangnya pergi!” kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran.
Pendekar Bodoh menggelengkan kepalanya.
“Melarang pun tidak benar. Anak itu lebih keras kepala daripada engkau!”
“Hm, jadi aku keras kepala, ya? Mengapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?”
Cin Hai tertawa.
“Justeru kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu. Sudahlah, jangan kita bercekcok karena urusan ini, kita sudah cukup tua bukan anak-anak lagi.”
“Kau yang mulai!”
“Begini saja baiknya. Mulai sekarang kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan semua rahasia penjahat-penjahat di dunia kang-ouw agar terbuka matanya terhadap tipu-tipu muslihat yang keji. Kalau ia sudah tahu akan segala hal itu, barulah kita memberi perkenan kepadanya untuk merantau dengan dibatasi waktunya. Pergi ke Tiang-an takkan lebih dari dua bulan pulang pergi, dan kalau memberi waktu tiga atau empat bulan saja, ia takkan berani pergi terlalu jauh.”
Karena tidak dapat mencari jalan lain yang lebih baik terpaksa Lin Lin menyatakan persetujuannya.
Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang tuanya ini. Ia segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua tipu-tipu busuk dari orang-orang golongan hek-to (jalan hitam, yaitu para penjahat). Sampai hampir dua pekan ia menerima wejangan dan nasihat, memperhatikan semua cerita dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang jahat. Kemudian ia mempelajari pula peta perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-hui tempat tinggal mereka, melalui Propinsi Ho-nan dan memasuki Propinsi Hopei menuju ke Tiang-an yang terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho.
Lin Lin yang amat sayang kepada puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada hentinya memberi nasihat-nasihat agar dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda yang amat kuat dan baik menjadi tunggangan Lili, dan gadis itu membawa bungkusan besar berisi pakaian, uang, bahkan obat-obat untuk menjaga diri.
Pedangnya Liong-coan-kiam, pemberian ayahnya tergantung di pinggangnya. Bajunya berkembang merah dengan pinggiran biru, celananya putih bersih dari sutera mahal. Sepatunya berkembang dan ia nampak cantik jelita dan gagah sekali.
Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika mereka melihat puteri mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap demikian gagahnya.
“Ayah, Ibu, aku berangkat!” katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.
“Hati-hatilah di perjalananmu,” kata Cin Hai.
“Sampaikan salam kami kepada Kwee pekhu sekeluarga,” pesan Lin Lin.
Kemudian berangkatlah Lili. Ia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning lalu langsung menuju ke utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis berseri-seri, sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa seperti seekor burung yang terbang bebas merdeka di angkasa raya.
Apakah ia akan langsung menuju ke Tiang-an sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh ayah ibunya? Ah, tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasihat orang tuanya dan langsung menuju ke tempat tinggal pekhunya (uwaknya) di Tiang-an.
Tidak, maksud tujuannya dengan perantauannya ini sesungguhnya adalah untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti! Pergi mengunjungi Goat Lan di Tiang-an hanya menjadi alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya agar ia diperbolehkan pergi!
Oleh karena inilah maka ia lalu membelok ke barat setelah keluar dari kota Shaning! Bukan Tiang-an yang ditujunya, melainkan Tong-sin-bun, dusun tempat tinggal Ban Sai Cinjin!
Ia hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam kelenteng besar dalam hutan kelenteng milik Ban Sai Cinjin dimana dulu ia dan Sin-kai Lo Sian menolong Thio Kam Seng! Dulu ia suka menggigil ngeri kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan lihai itu, akan tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin biarpun raja iblis sendiri muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut!
Memang aneh kalau direnungkan, apabila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata setahun, sebulan maupun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti datangnya sesuatu, nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang setiap saat memperhatikan jalannya waktu? Kita semua tidak merasa dan sungguhpun masa kanak-kanak kadangkala masih suka di depan mata, peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang nyata, namun kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua.
Belasan tahun itu kalau tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja! Siapa bilang kalau hidup ini lama? Benarkah kata para pujangga bahwa hidup yang singkat ini harus kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita tidak menyesal kalau sudah terlambat!
Tak terasa lagi, sepuluh tahun telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas. Telah sepuluh tahun anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili telah berusia delapan belas tahun dan ia kini menjadi seorang gadis yang amat cantik jelita berwatak gembira suka tertawa, bermata kocak dan selalu berseri, bibirnya selalu tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek kata, ia sama benar dengan ibunya, Lin Lin, di waktu muda!
“Kalau aku melihat anak kita, aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!” kata Cin Hai sambil menengok kepada isterinya yang duduk di dekatnya.
Lin Lin yang biarpun sudah berusia hampir empat puluh tahun masih nampak cantik itu, mengerling sambil cemberut manja.
“Ah, kau ini memang tukang memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa bilang dia cantik? Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?”
Cin Hai tertawa karena ia sudah maklum bahwa isterinya ini biarpun di mulutnya mengomel namun di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di kebun belakang memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat.
Lin Lin memandang kagum lalu menghela napas.
“Betapapun juga, ada satu hal yang menyusahkan hatiku. Dia sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi bertunangan pun belum! Sampai usia berapakah ia kelak menikah?”
“Hal itu tak perlu tergesa-gesa,” jawab suaminya dengan tenang, “ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!”
Lin Lin mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku masih gadis, ilmu silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat alangkah indahnya gerakan Sian-li-san-hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang ia mainkan itu!”
Cin Hai memandang lagi ke arah Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu sedang melatih Ilmu Silat Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang amat indah dan cepat dan gerakan Sianli-san-hwa adalah sebuah diantara tipu-tipu ilmu silat ini.
Melihat gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin. Anak gadisnya ini benar-benar mengagumkan dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari pemuda manakah gerangan yang patut menjadi mantunya. Ia merasa puas dengan ikatan jodoh antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An. Akan tetapi untuk Lili, ia belum dapat memilih seorang calon mantu yang cukup sesuai dan cocok.
Sementara itu, Lili sudah menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang tuanya sedang memandangnya dan membicarakannya, ia lalu menengok dan berlari-lari menghampiri ayah ibunya. Dengan sikap manja ia duduk di dekat ibunya sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan saputangannya untuk menghapus peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh kasih sayang.
“Ibu, sekarang kau dan Ayah harus memberi perkenan kepadaku untuk pergi mengunjungi Enci Goat Lan, dan aku ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri.”
“Tak baik bagi seorang gadis muda untuk melakukan perjalanan seorang diri,” kata Cin Hai.
Lili merengut.
“Aah, Ayah selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku. Bukankah Ayah dan lbu sering bercerita betapa Ibu dulu juga seringkali merantau menambah pengalaman? Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan seorang gadis muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun, Ayah!”
Cin Hai memandang dengan muka bersungguh-sungguh.
“Lili, dulu lain lagi, karena keadaan negara tidak sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang. Pula, ayah dan ibumu dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak orang-orang jahat memusuhi kita. Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku, mereka pasti akan turun tangan dan mengganggumu.”
Lili berdiri dan dengan sikap menantang berkata keras,
“Aku tidak takut! Aku bukan puteri ayah dan ibu, bukan anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su kalau aku takut! Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam ilmu silat itu tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang orang-orang jahat? Bukankah ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang dipelajari dengan susah payah tak akan ada artinya kalau tidak dipergunakan demi kepentingan orang banyak? Seorang ahli silat yang tidak mengulurkan tangan mempergunakan kepandaiannya menolong orang tertindas, bukanlah pendekar namanya!”
Cin Hai tersenyum. Ia merasa betapa puterinya yang cerdik ini seringkali menggunakan ujar-ujar dan pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!
“Sudah, bicara dengan kau takkan ada orang bisa menang! Kalau kau hanya rindu kepada calon Sosomu (Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi, nanti kita bertiga dapat melakukan perjalanan kesana.”
Lili makin cemberut.
“Tidak, aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara. Aku ingin merantau menambah pengalaman, ingin mempergunakan kepandaian yang kupelajari untuk menolong orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku ingin mencari si jahanam Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau Ayah tidak boleh, aku… aku akan minggat!”
Cin Hai melongo dan Lin Lin segera memegang tangan puterinya.
“Hush, Lili! Jangan kau berkata begitu!”
Lili memandang kepada ibunya dan matanya berseri nakal ketika ia berkata memperingatkan,
“Ibu, lupakah kau bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari bersama Ang I Niocu? Ibu sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!”
Lin Lin tak dapat menjawab, hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak berdaya).
“Lili,” kata Cin Hai menolong isterinya, “Ibumu lain lagi. Ketika itu ibumu bercita-cita untuk menyusulku dalam usaha membalas dendam kepada musuh-musuh yang telah membasmi keluarga ibumu.”
“Apa bedanya? Sekarang pun aku hendak pergi untuk membalas dendam kepada keparat Bouw Hun Ti!” Kemudian, dara yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah dan berkata, “Ah, sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin melihat aku senang, Kalau Beng-ko lain lagi. Dia anak laki-laki, dicinta dan dimanja, semenjak kecil ikut berguru di Beng-san dan boleh merantau sesuka hatinya! Ah, aku ingin menjadi seorang anak laki-laki!”
Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam hatinya. Anak ini lebih keras kepala daripada ibunya! Akan tetapi Lin Lin berpikir lain. Hebat bisik hatinya, anak ini malah lebih gagah dan bersemangat daripada ayahnya!
“Sudahlah, Lili jangan marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!” kata Cin Hai.
“Baiklah, kami akan merundingkan hal ini.”
Setelah Lili kembali ke dalam kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.
“Bagaimana baiknya?” tanya Lin Lin dengan gelisah “Kalau ia memaksa dan pergi, apakah kiranya tidak berbahaya?”
“Berbahaya sih tidak,” jawab suaminya setelah berpikir keras. “Kepandaian Lili sudah lebih dari cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang I Niocu ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan. Akan tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tidak hanya kepandaian silat tinggi saja yang dapat menjaga keselamatan tubuh. Banyak akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya daripada kepandaian silat lawan.”
“Kalau begitu, kita harus melarangnya pergi!” kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran.
Pendekar Bodoh menggelengkan kepalanya.
“Melarang pun tidak benar. Anak itu lebih keras kepala daripada engkau!”
“Hm, jadi aku keras kepala, ya? Mengapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?”
Cin Hai tertawa.
“Justeru kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu. Sudahlah, jangan kita bercekcok karena urusan ini, kita sudah cukup tua bukan anak-anak lagi.”
“Kau yang mulai!”
“Begini saja baiknya. Mulai sekarang kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan semua rahasia penjahat-penjahat di dunia kang-ouw agar terbuka matanya terhadap tipu-tipu muslihat yang keji. Kalau ia sudah tahu akan segala hal itu, barulah kita memberi perkenan kepadanya untuk merantau dengan dibatasi waktunya. Pergi ke Tiang-an takkan lebih dari dua bulan pulang pergi, dan kalau memberi waktu tiga atau empat bulan saja, ia takkan berani pergi terlalu jauh.”
Karena tidak dapat mencari jalan lain yang lebih baik terpaksa Lin Lin menyatakan persetujuannya.
Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang tuanya ini. Ia segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua tipu-tipu busuk dari orang-orang golongan hek-to (jalan hitam, yaitu para penjahat). Sampai hampir dua pekan ia menerima wejangan dan nasihat, memperhatikan semua cerita dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang jahat. Kemudian ia mempelajari pula peta perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-hui tempat tinggal mereka, melalui Propinsi Ho-nan dan memasuki Propinsi Hopei menuju ke Tiang-an yang terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho.
Lin Lin yang amat sayang kepada puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada hentinya memberi nasihat-nasihat agar dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda yang amat kuat dan baik menjadi tunggangan Lili, dan gadis itu membawa bungkusan besar berisi pakaian, uang, bahkan obat-obat untuk menjaga diri.
Pedangnya Liong-coan-kiam, pemberian ayahnya tergantung di pinggangnya. Bajunya berkembang merah dengan pinggiran biru, celananya putih bersih dari sutera mahal. Sepatunya berkembang dan ia nampak cantik jelita dan gagah sekali.
Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika mereka melihat puteri mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap demikian gagahnya.
“Ayah, Ibu, aku berangkat!” katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.
“Hati-hatilah di perjalananmu,” kata Cin Hai.
“Sampaikan salam kami kepada Kwee pekhu sekeluarga,” pesan Lin Lin.
Kemudian berangkatlah Lili. Ia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning lalu langsung menuju ke utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis berseri-seri, sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa seperti seekor burung yang terbang bebas merdeka di angkasa raya.
Apakah ia akan langsung menuju ke Tiang-an sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh ayah ibunya? Ah, tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasihat orang tuanya dan langsung menuju ke tempat tinggal pekhunya (uwaknya) di Tiang-an.
Tidak, maksud tujuannya dengan perantauannya ini sesungguhnya adalah untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti! Pergi mengunjungi Goat Lan di Tiang-an hanya menjadi alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya agar ia diperbolehkan pergi!
Oleh karena inilah maka ia lalu membelok ke barat setelah keluar dari kota Shaning! Bukan Tiang-an yang ditujunya, melainkan Tong-sin-bun, dusun tempat tinggal Ban Sai Cinjin!
Ia hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam kelenteng besar dalam hutan kelenteng milik Ban Sai Cinjin dimana dulu ia dan Sin-kai Lo Sian menolong Thio Kam Seng! Dulu ia suka menggigil ngeri kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan lihai itu, akan tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin biarpun raja iblis sendiri muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar