Sesungguhnya, Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu biarpun hati nurani dan perikemanusiaannya amat tipis, namun ia masih mempunyai kegagahan dan keangkuhan, tidak mempunyai sifat pengecut dan rendah seperti sutenya.
Mendengar ejekan sutenya terhadap dua orang nona itu, ia merasa amat jengah dan malu. Dua orang kakek yang telah terkenal tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah membuat nama besar di kalangan kang-ouw, kini menghadapi dua orang gadis yang usianya baru belasan tahun dan telah bertempur dua ratus jurus belum juga dapat mengalahkan mereka!
Apalagi kalau ia mengingat bahwa dua orang gadis muda ini adalah anak dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng Taisu, Bu Pun Su dan Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus merobohkan atau menewaskan mereka ini.
Juga ada sedikit rasa sayang dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda yang demikian cantik jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian tingginya. Sebagai seorang ahli silat yang kawakan, tentu saja ia selalu merasa sayang kepada orang-orang muda yang berbakat dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.
Tiba-tiba Lili dan Goat Lan yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku nekad, merasa betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah. Mereka merasa heran sekali, akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun tabah dan beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan membunuh diri.
Cepat mereka mempergunakan kesempatan selagi pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil sinarnya, mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin yang amat nekad menyerang membabi buta.
Hampir saja Ban Sai Cinjin menjadi korban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu dari pihak terserang menjadi pihak penyerang, telah memberi kesempatan kepada Lili dan Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari ruangan itu!
Ban Sai Cinjin hendak mengejar akan tetapi suhengnya mencegah.
“Mereka sudah lari, jangan dikejar, Sute. Kepandaian mereka tinggi dan tak perlu pertempuran yang sudah berlangsung setengah malam ini akan diperpanjang lagi.”
Karena pundaknya juga terasa amat sakit, terpaksa Ban Sai Cinjin membatalkan niatnya. Kalau suhengnya tidak ikut mengejar, bagaimana ia dapat melawan kedua orang gadis yang lihai itu? Ia menarik napas panjang dan berkata,
“Baru anak dari Pendekar Bodoh dan seorang kawannya saja, dua orang gadis muda, sudah membuat kita tak berdaya, apalagi kalau Pendekar Bodoh sendiri dan kawan-kawannya datang menyerbu!”
Ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk mencela dan menegur suhengnya, dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu juga merasa sindiran ini. Ia menghela napas ketika menjawab,
“Kau tahu sendiri bahwa mereka adalah murid orang-orang sakti. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku kalah atau takut kepada mereka, Sute. Yang menjadikan pikiranku ruwet adalah pulangnya Ong Tek. Kalau Pangeran Ong mendengar bahwa puteranya hampir saja kau bunuh, bukankah ini berarti bahwa kita memancing permusuhan dengan para perwira kerajaan?”
“Aku tidak takut, Suheng!” jawab Ban Sai Cinjin.
Toat-beng Lo-mo tidak menjawab, hanya menarik napas panjang. Perkara sudah menjadi makin besar dan ruwet, tak ada lain jalan melainkan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
“Kam Seng, mulai sekarang kau harus melatih diri baik-baik, karena kau pun maklum bahwa pihak musuh-musuhmu ternyata terdiri dari orang-orang pandai.”
Pada siang harinya, datanglah Bouw Hun Ti membawa tiga orang tua aneh dan besarlah hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin melihat kedatangan tiga orang tua ini. Mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun), tiga orang-kakek aneh dan sakti yang sudah amat terkenal namanya di perbatasan Mancuria di utara.
Baru melihat keadaan tiga orang ini saja sudah amat aneh. Yang seorang tinggi kurus potongan tubuhnya seperti suling, sama besarnya dari kaki sampai ke kepalanya. Orang kedua gemuk dengan muka lebar dan mulut besar, berjubah pendeta Buddha, mulutnya lebar seperti terobek dari telinga ke telinga. Orang ke tiga lebih aneh lagi. Kalau orang tidak melihat mukanya, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang anak kecil. Dari pundak sampai ke kaki memang ia persis seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kalau orang melihat wajahnya, ia akan terkejut dan heran. Mukanya adalah muka seorang kakek tua berjenggot dan berkepala botak.
Sungguhpun keadaan ketiga orang ini aneh sekali, namun ilmu kepandaian mereka amat tersohor dan mereka terkenal sebagai orang-orang sakti.
Hailun Thai-lek sam-kui tadinya agak merasa segan untuk menurut bujukan Bouw Hun Ti, akan tetapi ketika mereka mendengar bahwa Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu agak takut dan gelisah serta mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, ketiga orang Iblis Geledek ini menjadi amat tertarik. Mereka lalu ikut turun gunung dan tiba di tempat tinggal Ban Sai Cinjin.
Dengan serta merta Ban Sai Cinjin yang kaya raya lalu memberi perintah kepada Hok Ti Hwesio untuk mempersiapkan hidangan-hidangan yang paling mewah dan lezat. Mereka lalu makan minum dengan riangnya. Kegelisahan yang tadi terlupakan sudah oleh Ban Sai Cinjin. Bahkan Wi Kong Siansu mulai merasa lega karena ia maklum akan kelihaian tiga orang iblis itu.
Mendengar ejekan sutenya terhadap dua orang nona itu, ia merasa amat jengah dan malu. Dua orang kakek yang telah terkenal tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah membuat nama besar di kalangan kang-ouw, kini menghadapi dua orang gadis yang usianya baru belasan tahun dan telah bertempur dua ratus jurus belum juga dapat mengalahkan mereka!
Apalagi kalau ia mengingat bahwa dua orang gadis muda ini adalah anak dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng Taisu, Bu Pun Su dan Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus merobohkan atau menewaskan mereka ini.
Juga ada sedikit rasa sayang dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda yang demikian cantik jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian tingginya. Sebagai seorang ahli silat yang kawakan, tentu saja ia selalu merasa sayang kepada orang-orang muda yang berbakat dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.
Tiba-tiba Lili dan Goat Lan yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku nekad, merasa betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah. Mereka merasa heran sekali, akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun tabah dan beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan membunuh diri.
Cepat mereka mempergunakan kesempatan selagi pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil sinarnya, mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin yang amat nekad menyerang membabi buta.
Hampir saja Ban Sai Cinjin menjadi korban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu dari pihak terserang menjadi pihak penyerang, telah memberi kesempatan kepada Lili dan Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari ruangan itu!
Ban Sai Cinjin hendak mengejar akan tetapi suhengnya mencegah.
“Mereka sudah lari, jangan dikejar, Sute. Kepandaian mereka tinggi dan tak perlu pertempuran yang sudah berlangsung setengah malam ini akan diperpanjang lagi.”
Karena pundaknya juga terasa amat sakit, terpaksa Ban Sai Cinjin membatalkan niatnya. Kalau suhengnya tidak ikut mengejar, bagaimana ia dapat melawan kedua orang gadis yang lihai itu? Ia menarik napas panjang dan berkata,
“Baru anak dari Pendekar Bodoh dan seorang kawannya saja, dua orang gadis muda, sudah membuat kita tak berdaya, apalagi kalau Pendekar Bodoh sendiri dan kawan-kawannya datang menyerbu!”
Ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk mencela dan menegur suhengnya, dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu juga merasa sindiran ini. Ia menghela napas ketika menjawab,
“Kau tahu sendiri bahwa mereka adalah murid orang-orang sakti. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku kalah atau takut kepada mereka, Sute. Yang menjadikan pikiranku ruwet adalah pulangnya Ong Tek. Kalau Pangeran Ong mendengar bahwa puteranya hampir saja kau bunuh, bukankah ini berarti bahwa kita memancing permusuhan dengan para perwira kerajaan?”
“Aku tidak takut, Suheng!” jawab Ban Sai Cinjin.
Toat-beng Lo-mo tidak menjawab, hanya menarik napas panjang. Perkara sudah menjadi makin besar dan ruwet, tak ada lain jalan melainkan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
“Kam Seng, mulai sekarang kau harus melatih diri baik-baik, karena kau pun maklum bahwa pihak musuh-musuhmu ternyata terdiri dari orang-orang pandai.”
Pada siang harinya, datanglah Bouw Hun Ti membawa tiga orang tua aneh dan besarlah hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin melihat kedatangan tiga orang tua ini. Mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun), tiga orang-kakek aneh dan sakti yang sudah amat terkenal namanya di perbatasan Mancuria di utara.
Baru melihat keadaan tiga orang ini saja sudah amat aneh. Yang seorang tinggi kurus potongan tubuhnya seperti suling, sama besarnya dari kaki sampai ke kepalanya. Orang kedua gemuk dengan muka lebar dan mulut besar, berjubah pendeta Buddha, mulutnya lebar seperti terobek dari telinga ke telinga. Orang ke tiga lebih aneh lagi. Kalau orang tidak melihat mukanya, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang anak kecil. Dari pundak sampai ke kaki memang ia persis seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kalau orang melihat wajahnya, ia akan terkejut dan heran. Mukanya adalah muka seorang kakek tua berjenggot dan berkepala botak.
Sungguhpun keadaan ketiga orang ini aneh sekali, namun ilmu kepandaian mereka amat tersohor dan mereka terkenal sebagai orang-orang sakti.
Hailun Thai-lek sam-kui tadinya agak merasa segan untuk menurut bujukan Bouw Hun Ti, akan tetapi ketika mereka mendengar bahwa Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu agak takut dan gelisah serta mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, ketiga orang Iblis Geledek ini menjadi amat tertarik. Mereka lalu ikut turun gunung dan tiba di tempat tinggal Ban Sai Cinjin.
Dengan serta merta Ban Sai Cinjin yang kaya raya lalu memberi perintah kepada Hok Ti Hwesio untuk mempersiapkan hidangan-hidangan yang paling mewah dan lezat. Mereka lalu makan minum dengan riangnya. Kegelisahan yang tadi terlupakan sudah oleh Ban Sai Cinjin. Bahkan Wi Kong Siansu mulai merasa lega karena ia maklum akan kelihaian tiga orang iblis itu.
**** 057 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar