“He, Nona! Kau tak boleh pergi sebelum menyerahkan kitab itu kepada kami.!” Ketiga orang kakek itu mengejarnya dengan gerakan mereka yang juga amat cepatnya.
Goat Lan telah memiliki gin-kang yang luar biasa sekali dan ia telah melatih diri untuk dapat berlari secepat kijang melompat. Sebentar saja ia telah lari jauh meninggalkan hutan itu dan ketika ia tiba di lembah sungai yang bercadas dan penuh batu karang, para pengejarnya telah dapat menyusulnya!
“Nona, kau harus mengalah terhadap kami orang-orang tua!” seru Lam Mou Couwsu yang segera menggerakkan rantai bajanya yang menyambar ke arah kedua kaki Goat Lan bagaikan seekor ular menyerang!
Goat Lan mempergunakan gin-kangnya melompat tinggi sambil tersenyum dan mengejek,
“Kalian ini tua bangka-tua bangka yang benar-benar jahat dan curang! Tidak malukah mengeroyok seorang gadis muda yang bertangan kosong?”
Pada saat itu, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu telah menyerang dengan totokan pada pinggangnya, akan tetapi biarpun tubuh Goat Lan masih berada di udara, gadis ini dapat menggerakkan kaki dan tangan kanan untuk miringkan tubuh sehingga totokan ini pun tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, begitu tubuhnya turun di atas tanah, ia telah dikurung kembali dengan rapat dan hebat oleh desakan-desakan tiga orang kakek lihai itu.
Goat Lan berada dalam keadaan amat terdesak dan berbahaya sekali. Tiba-tiba terdengar seruan orang yang amat nyaring sehingga membuat anak telinga terasa sakit. Seruan ini dibarengi dengan berkelebatnya bayangan merah yang cepat dan kuat sekali gerakannya.
Sinar pedang berkilau ketika orang yang berpakaian merah ini menggerakkan pedangnya dan terdengar suara keras tiga kali “Trang! Trang! Trang!” disusul oleh seruan kakek dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang melihat betapa ujung senjata mereka semuanya telah terbabat putus! Tanpa banyak cakap lagi ketiga orang kakek aneh ini lalu melompat pergi dan melarikan diri dari situ!
Ketika Goat Lan memandang, ternyata yang datang menolongnya adalah seorang wanita tua sekali. Wanita ini berpakaian serba merah, memegang sebatang pedang yang berkilauan cahayanya dan yang telah dimasukkannya kembali ke sarung pedangnya.
Rambut wanita ini telah putih semua, kulit mukanya penuh keriput menyatakan bahwa usianya sudah amat tua, akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam dan bening sekali seperti mata seorang anak kecil atau mata seorang gadis yang elok!
“Siapakah kau yang begitu bodoh memasuki hutan liar seperti ini?” tanya nenek ini dan biarpun suaranya nyaring dan merdu, akan tetapi terdengar galak sekali. Pandang matanya seakan-akan hendak menembus jantung Goat Lan.
Gadis ini cepat menjura dengan penuh hormat, lalu ia menjawab,
“Terima kasih banyak, kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, entah bagaimana dengan nasibku. Aku bernama Kwee Goat Lan, puteri dari Kwee An di Tiang-an.”
Nenek itu memandang tajam.
“Hemm, jauh-jauh kau dari Tiang-an sampai di tempat ini, ada keperluan apakah?”
Entah mengapa, terhadap nenek ini, Goat Lan menaruh kepercayaan besar. Sungguhpun sikap nenek ini amat galak, akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang menimbulkan penghormatan dan kepercayaannya. Agaknya sepasang mata yang bening itulah!
“Sesungguhnya, aku menjalankan tugas dari Suhu Sin Kong Tianglo yang sudah meninggal dunia, untuk mencari obat “to-hio-giok-ko” yang katanya tumbuh di sekitar lembah sungai ini. Tidak tahunya, obat belum ditemukan, sebaliknva aku mendapat gangguan dari Hailun Thai-lek Sam-kui itu. Baiknya kau orang tua yang amat gagah perkasa datang menolongku.”
“Bodoh!” Nenek itu mencela. “Hanya karena mereka kaget melihat ketajaman pokiamku (pedang mustikaku) saja yang menolongmu. Kalau mereka tidak lari, belum tentu aku dapat mengalahkan mereka! Kau katakan tadi hendak mencari to-hio-giok-ko? Untuk apakah?”
“Untuk mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.”
Dengan terus terang Goat Lan lalu menceritakan pengalamannya yang didengarkan oleh nenek itu dengan tidak sabar.
“Bodoh! Benar-benar bodoh! Mengapa mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong nyawa orang? Gila dan ganjil sekali.”
“Mohon tanya, siapakah sebenarnya Suthai ini?”
Goat Lan menyebut suthai karena ia mengira bahwa wanita ini tentulah seorang pertapa yang mengasingkan diri.
Nenek itu tidak menjawab untuk beberapa saat. Kemudian ia menggerakkan tangan dan menjawab.
“Tak usah kau pusingkan hal itu. Kau mau mencari To-hio-giok-ko, marilah kau ikut padaku!”
Goat Lan menjadi girang sekali dan tidak merasa sakit hati karena nenek itu tidak mau mengaku siapa namanya. Yang paling penting baginya adalah mendapatkan buah dan daun itu, agar ia dapat menyelesaikan tugasnya dan dapat pulang.
Nenek itu membawanya ke utara dan sekitar dua jauhnya dari situ, mereka memasuki sebuah hutan kecil yang gelap. Senjakala telah menghilang, terganti malam penuh bintang yang membuat cahaya redup dan sayu membayang di sekitar hutan itu.
“Untung kau bertemu dengan aku, kalau tidak, apabila kau mencari obat itu di siang hari, sampai selama hidupmu pun kau takkan berhasil.”
Goat Lan tidak mengerti apa maksud ucapan ini akan tetapi diam-diam ia berpikir, siapakah gerangan wanita aneh ini? Inikah yang dianggap siluman oleh kakek petani itu? Wanita inikah yang telah mengalahkan tiga puluh orang perampok?
Mereka lalu pergi ke dekat sungai dan tiba-tiba wanita tua itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang besar.
“Kau lihat, bukankah buah itu mengeluarkan sinar seperti mutiara? Itulah yang disebut giok-ko (buah mutiara) dan daunnya juga seperti golok bentuknya, maka disebut to-hio (daun golok). Nah, kau ambillah buah dan daun itu.”
Bukan main girangnya hati Goat Lan. Ia segera melompat dan bergantung pada cabang terendah kemudian ia mengayun tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu. Tadinya ia merasa heran melihat buah yang besarnya hanya sekepalan tangan itu nampak berkilau dari bawah, seakan-akan yang bergantungan pada pohon itu bukan buah, melainkan batu-batu giok!
Akan tetapi setelah dekat, tahulah ia mengapa buah-buah itu berkilau. Ternyata bahwa buah-buah itu mengeluarkan semacam getah dari kulitnya dan getah ini amat bening sehingga ketika tertimpa cahaya bintang lalu berkilau di dalam gelap! Daun-daunnya berwarna hijau, bentuknya seperti golok-golok kecil dan ujungnya runcing.
Cepat ia memetik lima butir buah dan mengumpulkan belasan daun. Semua buah dan daun itu ia masukkan ke dalam buntalan pakaiannya yang bergantung di punggungnya. Lalu ia melompat turun di depan nenek yang masih memandang dengan mata tajam itu.
Goat Lan menjura di depan nenek itu.
“Suthai, alangkah besar pertolonganmu kepadaku, tidak saja kau telah membantuku mengusir Thai-lek Sam-kui, akan tetapi kau juga telah menolongku mendapatkan obat ini. Hanya sayangnya, Suthai belum memberitahukan nama sehingga aku tidak tahu kepada siapa aku harus selalu mengingat budi ini.”
Mendengar ucapan yang sopan santun dan ramah ini, wajah nenek itu yang tadinya muram dan galak lalu melembut dan senyum membayang di bibirnya.
“ANAK baik, kau tadi mengaku bahwa kau adalah puteri dari Kwee An, seorang pendekar yang sudah lama kukenal namanya yang besar. Oleh karena itu, mengapa aku tidak mau menolongmu? Keturunan orang baik-baik tentu dimana pun juga ia berada akan mendapat bantuan orang lain. Soal aku dan namaku, tak perlu kau ingat lagi, anakku. Sekarang lebih baik kau ikut ke goaku untuk bermalam, karena di dalam hutan ini, tidak mungkin kau dapat melanjutkan perjalananmu. Besok pagi-pagi boleh kau melanjutkan perjalanan.”
Setelah berkata demikian, nenek itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi tanpa menengok lagi, seakan-akan ia telah merasa pasti bahwa gadis itu tentu akan mengikutinya. Suaranya tadi biarpun amat ramah, akan tetapi mengandung pengaruh yang besar. Goat Lan tidak rnembantah dan berjalan mengikuti nenek itu.
Mereka tiba di depan sebuah goa diantara batu-batu karang yang tinggi dan dengan tangannya nenek itu mempersilakan Goat Lan masuk ke dalam. Heranlah nona itu ketika memasuki goa yang dari luar nampak besar dan hitam, karena ternyata bahwa di dalam goa itu terdapat sebuah lampu bernyala terang dan keadaan kamar itu bersih sekali. Hanya terdapat sebuah pembaringan terbuat daripada kayu di tempat itu, maka Goat Lan lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.
“Jangan kau duduk disitu, itu tempatku bersamadhi. Kau pakailah pembaringan dan tidurlah!” kata nenek tadi.
Tentu saja Goat Lan merasa sungkan sekali. Sebagai seorang tamu, bagaimana ia bisa merampas tempat tidur nyonya rumah yang hanya satu-satunya itu?
“Tidak, Suthai, biarlah aku mengaso sambil duduk disini saja. Suthai tidurlah di pembaringan itu.”
“Anak bandel! Mana ada aturan yang muda harus mengalah terhadap yang tua? Kau tidurlah disitu dan kalau membandel terhadapku, lebih baik kau keluarlah lagi!”
Goat Lan menjadi terkejut dan biarpun ia merasa amat mendongkol menyaksikan kekasaran orang, akan tetapi ia tetap menurut. Sambil tersenyum sungkan ia lalu duduk di atas pembaringan itu, merasa sungkan sekali untuk merebahkan dirinya.
“Kau tidurlah!” kembali nenek itu memerintah sambil menduduki batu dalam keadaan bersila seperti orang bersamadhi.
Goat Lan memang sudah merasa lelah sekali sehabis bertempur melawan tiga orang kakek yang lihai itu, maka ia lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan itu.
“Kau bilang tadi bahwa kau adalah puteri dari Kwee An dan Ma Hoa? Apakah kau puteri tunggal mereka?” tiba-tiba nenek itu bertanya.
Goat Lan tercengang mendengar pertanyaan ini karena sepanjang ingatannya, ia belum pernah menyebutkan nama ibunya. Akan tetapi ia menjawab juga.
“Betul, Suthai, aku adalah puteri tunggal mereka. Kenalkah Suthai kepada ayah-bundaku?”
Akan tetapi nenek itu hanya berkata singkat.
“Kau tidurlah dan berangkat pagi-pagi.”
Karena nenek itu nampak meramkan kedua matanya, Goat Lan tidak berani mengganggunya lagi. Dengan heran ia menduga-duga siapakah gerangan nenek yang aneh dan yang agaknya telah mengenal ayah-bundanya ini, dan akhirnya ia tidur nyenyak.
Menjelang fajar, ketika sadar dari pulasnya, Goat Lan mendengar suara isak tangis tertahan. Ia menjadi heran sekali dan tanpa menggerakkan tubuhnya, ia membuka mata dan mengerling ke arah nenek itu. Ternyata bahwa nenek itu tidak duduk bersamadhi sebagaimana yang dilihatnya sebelum ia tidur, akan tetapi kini nenek itu menggunakan kedua tangannya menutup mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang menahan tangis dan sedu sedan! Tentu saja Goat Lan merasa terkejut dan heran, akan tetapi ia tidak berani bergerak dan hanya memandang nenek itu melalui bulu matanya.
Tiba-tiba nenek itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Giok Lan yang masih rebah telentang dengan mata meram. Untuk beberapa saat lamanya, nenek itu menatap wajah Goat Lan, lalu berisik perlahan,
“Kau puteri tunggal Ma Hoa… alangkah cantik dan gagah, ah, sayang Siong-ji tidak berada disini…”
Setelah berkata demikian, nenek itu melangkah maju, membungkuk dan mencium jidat Goat Lan yang berkulit halus dan putih.
Ketika nenek itu menciumnya, Goat Lan mencium bau yang harum seperti bau bunga Ci-lan dan setelah nenek itu melangkah mundur sambil menghela napas berulang-ulang, Goat Lan membuka sedikit matanya. Di dalam keadaan yang suram, ia melihat tubuh nenek itu yang masih langsing dan penuh, rambutnya terlepas dan panjang sekali, sedikit pun tidak nampak ubannya dan rambut itu di dalam gelap kelihatan hitam dan berombak. Wajahnya yang memang baik bentuknya itu tidak kelihatan keriputnya, hanya kelihatan sebagai bayang-bayang hitam dari wajah wanita yang cantik sekali!
Bagaikan mendapat cahaya penerangan kilat, tiba-tiba timbul dugaan yang pasti dalam pikiran Goat Lan. Tanpa disadarinya, ia berseru keras,
“Ang I Niocu…!!”
Goat Lan telah memiliki gin-kang yang luar biasa sekali dan ia telah melatih diri untuk dapat berlari secepat kijang melompat. Sebentar saja ia telah lari jauh meninggalkan hutan itu dan ketika ia tiba di lembah sungai yang bercadas dan penuh batu karang, para pengejarnya telah dapat menyusulnya!
“Nona, kau harus mengalah terhadap kami orang-orang tua!” seru Lam Mou Couwsu yang segera menggerakkan rantai bajanya yang menyambar ke arah kedua kaki Goat Lan bagaikan seekor ular menyerang!
Goat Lan mempergunakan gin-kangnya melompat tinggi sambil tersenyum dan mengejek,
“Kalian ini tua bangka-tua bangka yang benar-benar jahat dan curang! Tidak malukah mengeroyok seorang gadis muda yang bertangan kosong?”
Pada saat itu, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu telah menyerang dengan totokan pada pinggangnya, akan tetapi biarpun tubuh Goat Lan masih berada di udara, gadis ini dapat menggerakkan kaki dan tangan kanan untuk miringkan tubuh sehingga totokan ini pun tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, begitu tubuhnya turun di atas tanah, ia telah dikurung kembali dengan rapat dan hebat oleh desakan-desakan tiga orang kakek lihai itu.
Goat Lan berada dalam keadaan amat terdesak dan berbahaya sekali. Tiba-tiba terdengar seruan orang yang amat nyaring sehingga membuat anak telinga terasa sakit. Seruan ini dibarengi dengan berkelebatnya bayangan merah yang cepat dan kuat sekali gerakannya.
Sinar pedang berkilau ketika orang yang berpakaian merah ini menggerakkan pedangnya dan terdengar suara keras tiga kali “Trang! Trang! Trang!” disusul oleh seruan kakek dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang melihat betapa ujung senjata mereka semuanya telah terbabat putus! Tanpa banyak cakap lagi ketiga orang kakek aneh ini lalu melompat pergi dan melarikan diri dari situ!
Ketika Goat Lan memandang, ternyata yang datang menolongnya adalah seorang wanita tua sekali. Wanita ini berpakaian serba merah, memegang sebatang pedang yang berkilauan cahayanya dan yang telah dimasukkannya kembali ke sarung pedangnya.
Rambut wanita ini telah putih semua, kulit mukanya penuh keriput menyatakan bahwa usianya sudah amat tua, akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam dan bening sekali seperti mata seorang anak kecil atau mata seorang gadis yang elok!
“Siapakah kau yang begitu bodoh memasuki hutan liar seperti ini?” tanya nenek ini dan biarpun suaranya nyaring dan merdu, akan tetapi terdengar galak sekali. Pandang matanya seakan-akan hendak menembus jantung Goat Lan.
Gadis ini cepat menjura dengan penuh hormat, lalu ia menjawab,
“Terima kasih banyak, kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, entah bagaimana dengan nasibku. Aku bernama Kwee Goat Lan, puteri dari Kwee An di Tiang-an.”
Nenek itu memandang tajam.
“Hemm, jauh-jauh kau dari Tiang-an sampai di tempat ini, ada keperluan apakah?”
Entah mengapa, terhadap nenek ini, Goat Lan menaruh kepercayaan besar. Sungguhpun sikap nenek ini amat galak, akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang menimbulkan penghormatan dan kepercayaannya. Agaknya sepasang mata yang bening itulah!
“Sesungguhnya, aku menjalankan tugas dari Suhu Sin Kong Tianglo yang sudah meninggal dunia, untuk mencari obat “to-hio-giok-ko” yang katanya tumbuh di sekitar lembah sungai ini. Tidak tahunya, obat belum ditemukan, sebaliknva aku mendapat gangguan dari Hailun Thai-lek Sam-kui itu. Baiknya kau orang tua yang amat gagah perkasa datang menolongku.”
“Bodoh!” Nenek itu mencela. “Hanya karena mereka kaget melihat ketajaman pokiamku (pedang mustikaku) saja yang menolongmu. Kalau mereka tidak lari, belum tentu aku dapat mengalahkan mereka! Kau katakan tadi hendak mencari to-hio-giok-ko? Untuk apakah?”
“Untuk mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.”
Dengan terus terang Goat Lan lalu menceritakan pengalamannya yang didengarkan oleh nenek itu dengan tidak sabar.
“Bodoh! Benar-benar bodoh! Mengapa mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong nyawa orang? Gila dan ganjil sekali.”
“Mohon tanya, siapakah sebenarnya Suthai ini?”
Goat Lan menyebut suthai karena ia mengira bahwa wanita ini tentulah seorang pertapa yang mengasingkan diri.
Nenek itu tidak menjawab untuk beberapa saat. Kemudian ia menggerakkan tangan dan menjawab.
“Tak usah kau pusingkan hal itu. Kau mau mencari To-hio-giok-ko, marilah kau ikut padaku!”
Goat Lan menjadi girang sekali dan tidak merasa sakit hati karena nenek itu tidak mau mengaku siapa namanya. Yang paling penting baginya adalah mendapatkan buah dan daun itu, agar ia dapat menyelesaikan tugasnya dan dapat pulang.
Nenek itu membawanya ke utara dan sekitar dua jauhnya dari situ, mereka memasuki sebuah hutan kecil yang gelap. Senjakala telah menghilang, terganti malam penuh bintang yang membuat cahaya redup dan sayu membayang di sekitar hutan itu.
“Untung kau bertemu dengan aku, kalau tidak, apabila kau mencari obat itu di siang hari, sampai selama hidupmu pun kau takkan berhasil.”
Goat Lan tidak mengerti apa maksud ucapan ini akan tetapi diam-diam ia berpikir, siapakah gerangan wanita aneh ini? Inikah yang dianggap siluman oleh kakek petani itu? Wanita inikah yang telah mengalahkan tiga puluh orang perampok?
Mereka lalu pergi ke dekat sungai dan tiba-tiba wanita tua itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang besar.
“Kau lihat, bukankah buah itu mengeluarkan sinar seperti mutiara? Itulah yang disebut giok-ko (buah mutiara) dan daunnya juga seperti golok bentuknya, maka disebut to-hio (daun golok). Nah, kau ambillah buah dan daun itu.”
Bukan main girangnya hati Goat Lan. Ia segera melompat dan bergantung pada cabang terendah kemudian ia mengayun tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu. Tadinya ia merasa heran melihat buah yang besarnya hanya sekepalan tangan itu nampak berkilau dari bawah, seakan-akan yang bergantungan pada pohon itu bukan buah, melainkan batu-batu giok!
Akan tetapi setelah dekat, tahulah ia mengapa buah-buah itu berkilau. Ternyata bahwa buah-buah itu mengeluarkan semacam getah dari kulitnya dan getah ini amat bening sehingga ketika tertimpa cahaya bintang lalu berkilau di dalam gelap! Daun-daunnya berwarna hijau, bentuknya seperti golok-golok kecil dan ujungnya runcing.
Cepat ia memetik lima butir buah dan mengumpulkan belasan daun. Semua buah dan daun itu ia masukkan ke dalam buntalan pakaiannya yang bergantung di punggungnya. Lalu ia melompat turun di depan nenek yang masih memandang dengan mata tajam itu.
Goat Lan menjura di depan nenek itu.
“Suthai, alangkah besar pertolonganmu kepadaku, tidak saja kau telah membantuku mengusir Thai-lek Sam-kui, akan tetapi kau juga telah menolongku mendapatkan obat ini. Hanya sayangnya, Suthai belum memberitahukan nama sehingga aku tidak tahu kepada siapa aku harus selalu mengingat budi ini.”
Mendengar ucapan yang sopan santun dan ramah ini, wajah nenek itu yang tadinya muram dan galak lalu melembut dan senyum membayang di bibirnya.
“ANAK baik, kau tadi mengaku bahwa kau adalah puteri dari Kwee An, seorang pendekar yang sudah lama kukenal namanya yang besar. Oleh karena itu, mengapa aku tidak mau menolongmu? Keturunan orang baik-baik tentu dimana pun juga ia berada akan mendapat bantuan orang lain. Soal aku dan namaku, tak perlu kau ingat lagi, anakku. Sekarang lebih baik kau ikut ke goaku untuk bermalam, karena di dalam hutan ini, tidak mungkin kau dapat melanjutkan perjalananmu. Besok pagi-pagi boleh kau melanjutkan perjalanan.”
Setelah berkata demikian, nenek itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi tanpa menengok lagi, seakan-akan ia telah merasa pasti bahwa gadis itu tentu akan mengikutinya. Suaranya tadi biarpun amat ramah, akan tetapi mengandung pengaruh yang besar. Goat Lan tidak rnembantah dan berjalan mengikuti nenek itu.
Mereka tiba di depan sebuah goa diantara batu-batu karang yang tinggi dan dengan tangannya nenek itu mempersilakan Goat Lan masuk ke dalam. Heranlah nona itu ketika memasuki goa yang dari luar nampak besar dan hitam, karena ternyata bahwa di dalam goa itu terdapat sebuah lampu bernyala terang dan keadaan kamar itu bersih sekali. Hanya terdapat sebuah pembaringan terbuat daripada kayu di tempat itu, maka Goat Lan lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.
“Jangan kau duduk disitu, itu tempatku bersamadhi. Kau pakailah pembaringan dan tidurlah!” kata nenek tadi.
Tentu saja Goat Lan merasa sungkan sekali. Sebagai seorang tamu, bagaimana ia bisa merampas tempat tidur nyonya rumah yang hanya satu-satunya itu?
“Tidak, Suthai, biarlah aku mengaso sambil duduk disini saja. Suthai tidurlah di pembaringan itu.”
“Anak bandel! Mana ada aturan yang muda harus mengalah terhadap yang tua? Kau tidurlah disitu dan kalau membandel terhadapku, lebih baik kau keluarlah lagi!”
Goat Lan menjadi terkejut dan biarpun ia merasa amat mendongkol menyaksikan kekasaran orang, akan tetapi ia tetap menurut. Sambil tersenyum sungkan ia lalu duduk di atas pembaringan itu, merasa sungkan sekali untuk merebahkan dirinya.
“Kau tidurlah!” kembali nenek itu memerintah sambil menduduki batu dalam keadaan bersila seperti orang bersamadhi.
Goat Lan memang sudah merasa lelah sekali sehabis bertempur melawan tiga orang kakek yang lihai itu, maka ia lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan itu.
“Kau bilang tadi bahwa kau adalah puteri dari Kwee An dan Ma Hoa? Apakah kau puteri tunggal mereka?” tiba-tiba nenek itu bertanya.
Goat Lan tercengang mendengar pertanyaan ini karena sepanjang ingatannya, ia belum pernah menyebutkan nama ibunya. Akan tetapi ia menjawab juga.
“Betul, Suthai, aku adalah puteri tunggal mereka. Kenalkah Suthai kepada ayah-bundaku?”
Akan tetapi nenek itu hanya berkata singkat.
“Kau tidurlah dan berangkat pagi-pagi.”
Karena nenek itu nampak meramkan kedua matanya, Goat Lan tidak berani mengganggunya lagi. Dengan heran ia menduga-duga siapakah gerangan nenek yang aneh dan yang agaknya telah mengenal ayah-bundanya ini, dan akhirnya ia tidur nyenyak.
Menjelang fajar, ketika sadar dari pulasnya, Goat Lan mendengar suara isak tangis tertahan. Ia menjadi heran sekali dan tanpa menggerakkan tubuhnya, ia membuka mata dan mengerling ke arah nenek itu. Ternyata bahwa nenek itu tidak duduk bersamadhi sebagaimana yang dilihatnya sebelum ia tidur, akan tetapi kini nenek itu menggunakan kedua tangannya menutup mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang menahan tangis dan sedu sedan! Tentu saja Goat Lan merasa terkejut dan heran, akan tetapi ia tidak berani bergerak dan hanya memandang nenek itu melalui bulu matanya.
Tiba-tiba nenek itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Giok Lan yang masih rebah telentang dengan mata meram. Untuk beberapa saat lamanya, nenek itu menatap wajah Goat Lan, lalu berisik perlahan,
“Kau puteri tunggal Ma Hoa… alangkah cantik dan gagah, ah, sayang Siong-ji tidak berada disini…”
Setelah berkata demikian, nenek itu melangkah maju, membungkuk dan mencium jidat Goat Lan yang berkulit halus dan putih.
Ketika nenek itu menciumnya, Goat Lan mencium bau yang harum seperti bau bunga Ci-lan dan setelah nenek itu melangkah mundur sambil menghela napas berulang-ulang, Goat Lan membuka sedikit matanya. Di dalam keadaan yang suram, ia melihat tubuh nenek itu yang masih langsing dan penuh, rambutnya terlepas dan panjang sekali, sedikit pun tidak nampak ubannya dan rambut itu di dalam gelap kelihatan hitam dan berombak. Wajahnya yang memang baik bentuknya itu tidak kelihatan keriputnya, hanya kelihatan sebagai bayang-bayang hitam dari wajah wanita yang cantik sekali!
Bagaikan mendapat cahaya penerangan kilat, tiba-tiba timbul dugaan yang pasti dalam pikiran Goat Lan. Tanpa disadarinya, ia berseru keras,
“Ang I Niocu…!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar