Lo Sian tertawa ha-ha-hi-hi dan sebelum ikut berlari pergi bersama Lili, ia menengok kepada Lie Siong dan berkata,
“Orang gagah tidak akan mendatangkan air mata pada seorang gadis cantik! Ha-ha-ha!”
Ketika dua orang itu telah pergi merupakan dua titik bayangan yang jauh, Lie Siong masih berdiri termenung, pedang di tangan. Pertemuan ini berkesan dalam-dalam di hatinya. Tidak saja ia terpesona oleh kepandaian dan kecantikan Lili, akan tetapi juga kata-kata Lo Sian mengiris jantungnya.
Ia baru sadar dari lamunannya ketika Lilani memegang tangannya dan berkata dengan suara menggetar,
“Tai-hiap, jangan kau tinggalkan Lilani!”
Lie Siong menghela napas berulang dan ketika ia memandang kepada Lilani, timbullah rasa iba yang besar.
“Lilani, aku telah melakukan dosa besar terhadapmu…”
“Bukan kau, Tai-hiap, akan tetapi kita berdua. Akan tetapi perbuatan kita itu bukanlah dosa bagiku…”
Memang, sesungguhnya hubungan antara pria dan wanita diluar perkawinan yang dirayakan, bagi Lilani bukan merupakan hal yang aneh atau melanggar. Suku bangsanya yang amat sederhana keadaan hidupnya itu tidak menitik beratkan kepada upacara, akan tetapi lebih percaya kepada kesetiaan dan kasih di hati. Upacara dapat dilakukan kemudian, karena sekali dua orang telah menanam cinta kasih tak pernah ada atau jarang sekali ada yang memutuskannya atau mengingkari janjinya.
Lie Siong dapat menduga akan hal ini, maka dengan hati perih ia berkata,
“Lilani, ketahuilah bahwa sesungguhnya aku kasihan dan sayang kepadamu, akan tetapi… aku tidak mencintamu dan tidak mungkin menjadi suamimu!”
Ucapan ini bagaikan sebuah pedang runcing menikam ulu hati Lilani, akar tetapi gadis ini mempertahankan sakit hatinya dan sambil meramkan matanya menahan air mata, ia berkata,
“Bagaimanakah seorang perempuan rendah dan bodoh seperti aku ini dapat mengharapkan cinta kasihmu, Tai-hiap? Aku sudah akan merasa bangga dan bahagia apabila selama hidup aku dapat menjadi pelayanmu. Aku tidak dapat hidup jauh darimu, dan aku tidak mau ikut lain orang kecuali kalau dapat bertemu dan mengumpulkan suku bangsaku kembali!”
Berat sekali hati Lie Siong mendengar ini.
“Lilani, akan kucoba untuk mengembalikan kau kepada suku bangsamu.”
“Tai-hiap,” tiba-tiba gadis itu berkata sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu, “kau tidak mencintaiku, hal ini aku dapat mengerti. Akan tetapi… bukankah kau jatuh cinta kepada… gadis tadi?”
Lie Siong meloncat mundur bagaikan disengat ular kakinya.
“Apa maksudmu…? Dari mana kau mempunyai pikiran seperti itu? Aku tidak kenal padanya, dan sekali bertemu kami telah bertempur. Mengapa kau menyangka demikian?”
Lilani tersenyum sedih.
“Orang bertempur bukan seperti yang kau lakukan tadi, Tai-hiap. Kau dan gadis itu tadi bukan bertempur, akan tetapi menari-nari gembira! Alangkah indahnya tarian itu dan terus terang saja, kau memang cocok dengan dia. Tadi aku merasa seolah-olah melihat sepasang dewa-dewi sedang menari!”
Hampir saja Lie Siong tertawa bergelak saking geli hatinya, sungguhpun hatinya tergerak pula oleh ucapan ini dan wajah Lili terbayang di depan matanya.
“Lilani, kau sungguh lucu! Ketahuilah bahwa ilmu silat yang kami mainkan tadi memang merupakan ilmu silat tarian yang tidak sembarang orang dapat menarikannya. Ilmu silat itu disebut ilmu Silat Sian-li-utauw (Tarian Bidadari) dan aku pun masih heran memikirkan bagaimana gadis tadi dapat memainkannya. Padahal ilmu silat itu adalah ciptaan dari ibuku sendiri!”
Dengan hati masih ingin sekali tahu siapa adanya gadis yang pandai mainkan Sianli-utauw itu, Lie Siong melanjutkan perjalanannya bersama Lilani. Pemuda ini mengambil keputusan untuk mengikuti jejak Lili dan hendak bertanya siapa sebetulnya gadis aneh itu. Ada hubungan apakah antara gadis itu dengan ibunya? Mengapa pula gadis itu pandai mainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lebih hebat daripada kepandaiannya sendiri? Apakah gadis itu ada hubungannya dengan Pendekar Bodoh?
Berkali-kali Lilani berkata dengan penuh perasaan,
“Tai-hiap, aku mempunyai perasaan bahwa kau mencinta gadis itu dan agaknya kau memang berjodoh dengan dia! Melihat kalian berdua bersilat seperti menari itu, ah, alangkah cocoknya!”
Diam-diam Lie Siong merasa heran sekali melihat sikap gadis ini. Baru saja menyatakan cinta kasihnya dan sekarang sudah membicarakan gadis lain tanpa ada sikap cemburu sedikitpun juga! Benar-benar gadis yang berhati putih bersih, bersikap sederhana dan harus dikasihani.
“Tidak, Lilani. Aku memang akan mencarinya untuk menantangnya bertempur. Aku belum puas kalau belum mengalahkan dia, sebagai tanda dan bukti kepadamu bahwa persangkaanmu itu tidak benar!”
“Jangan, Tai-hiap. Dia kelihatan galak dan lihai sekali. Bagaimana kalau kau sampai terluka? Ah…”
“Aku harus menghadapinya!” kata Lie Siong berkeras. “Selain aku ingin menguji kepandaiannya, juga ingin tahu dari mana ia mencuri Sianli-utauw dan Pek-in Hoatsut.”
“Orang gagah tidak akan mendatangkan air mata pada seorang gadis cantik! Ha-ha-ha!”
Ketika dua orang itu telah pergi merupakan dua titik bayangan yang jauh, Lie Siong masih berdiri termenung, pedang di tangan. Pertemuan ini berkesan dalam-dalam di hatinya. Tidak saja ia terpesona oleh kepandaian dan kecantikan Lili, akan tetapi juga kata-kata Lo Sian mengiris jantungnya.
Ia baru sadar dari lamunannya ketika Lilani memegang tangannya dan berkata dengan suara menggetar,
“Tai-hiap, jangan kau tinggalkan Lilani!”
Lie Siong menghela napas berulang dan ketika ia memandang kepada Lilani, timbullah rasa iba yang besar.
“Lilani, aku telah melakukan dosa besar terhadapmu…”
“Bukan kau, Tai-hiap, akan tetapi kita berdua. Akan tetapi perbuatan kita itu bukanlah dosa bagiku…”
Memang, sesungguhnya hubungan antara pria dan wanita diluar perkawinan yang dirayakan, bagi Lilani bukan merupakan hal yang aneh atau melanggar. Suku bangsanya yang amat sederhana keadaan hidupnya itu tidak menitik beratkan kepada upacara, akan tetapi lebih percaya kepada kesetiaan dan kasih di hati. Upacara dapat dilakukan kemudian, karena sekali dua orang telah menanam cinta kasih tak pernah ada atau jarang sekali ada yang memutuskannya atau mengingkari janjinya.
Lie Siong dapat menduga akan hal ini, maka dengan hati perih ia berkata,
“Lilani, ketahuilah bahwa sesungguhnya aku kasihan dan sayang kepadamu, akan tetapi… aku tidak mencintamu dan tidak mungkin menjadi suamimu!”
Ucapan ini bagaikan sebuah pedang runcing menikam ulu hati Lilani, akar tetapi gadis ini mempertahankan sakit hatinya dan sambil meramkan matanya menahan air mata, ia berkata,
“Bagaimanakah seorang perempuan rendah dan bodoh seperti aku ini dapat mengharapkan cinta kasihmu, Tai-hiap? Aku sudah akan merasa bangga dan bahagia apabila selama hidup aku dapat menjadi pelayanmu. Aku tidak dapat hidup jauh darimu, dan aku tidak mau ikut lain orang kecuali kalau dapat bertemu dan mengumpulkan suku bangsaku kembali!”
Berat sekali hati Lie Siong mendengar ini.
“Lilani, akan kucoba untuk mengembalikan kau kepada suku bangsamu.”
“Tai-hiap,” tiba-tiba gadis itu berkata sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu, “kau tidak mencintaiku, hal ini aku dapat mengerti. Akan tetapi… bukankah kau jatuh cinta kepada… gadis tadi?”
Lie Siong meloncat mundur bagaikan disengat ular kakinya.
“Apa maksudmu…? Dari mana kau mempunyai pikiran seperti itu? Aku tidak kenal padanya, dan sekali bertemu kami telah bertempur. Mengapa kau menyangka demikian?”
Lilani tersenyum sedih.
“Orang bertempur bukan seperti yang kau lakukan tadi, Tai-hiap. Kau dan gadis itu tadi bukan bertempur, akan tetapi menari-nari gembira! Alangkah indahnya tarian itu dan terus terang saja, kau memang cocok dengan dia. Tadi aku merasa seolah-olah melihat sepasang dewa-dewi sedang menari!”
Hampir saja Lie Siong tertawa bergelak saking geli hatinya, sungguhpun hatinya tergerak pula oleh ucapan ini dan wajah Lili terbayang di depan matanya.
“Lilani, kau sungguh lucu! Ketahuilah bahwa ilmu silat yang kami mainkan tadi memang merupakan ilmu silat tarian yang tidak sembarang orang dapat menarikannya. Ilmu silat itu disebut ilmu Silat Sian-li-utauw (Tarian Bidadari) dan aku pun masih heran memikirkan bagaimana gadis tadi dapat memainkannya. Padahal ilmu silat itu adalah ciptaan dari ibuku sendiri!”
Dengan hati masih ingin sekali tahu siapa adanya gadis yang pandai mainkan Sianli-utauw itu, Lie Siong melanjutkan perjalanannya bersama Lilani. Pemuda ini mengambil keputusan untuk mengikuti jejak Lili dan hendak bertanya siapa sebetulnya gadis aneh itu. Ada hubungan apakah antara gadis itu dengan ibunya? Mengapa pula gadis itu pandai mainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lebih hebat daripada kepandaiannya sendiri? Apakah gadis itu ada hubungannya dengan Pendekar Bodoh?
Berkali-kali Lilani berkata dengan penuh perasaan,
“Tai-hiap, aku mempunyai perasaan bahwa kau mencinta gadis itu dan agaknya kau memang berjodoh dengan dia! Melihat kalian berdua bersilat seperti menari itu, ah, alangkah cocoknya!”
Diam-diam Lie Siong merasa heran sekali melihat sikap gadis ini. Baru saja menyatakan cinta kasihnya dan sekarang sudah membicarakan gadis lain tanpa ada sikap cemburu sedikitpun juga! Benar-benar gadis yang berhati putih bersih, bersikap sederhana dan harus dikasihani.
“Tidak, Lilani. Aku memang akan mencarinya untuk menantangnya bertempur. Aku belum puas kalau belum mengalahkan dia, sebagai tanda dan bukti kepadamu bahwa persangkaanmu itu tidak benar!”
“Jangan, Tai-hiap. Dia kelihatan galak dan lihai sekali. Bagaimana kalau kau sampai terluka? Ah…”
“Aku harus menghadapinya!” kata Lie Siong berkeras. “Selain aku ingin menguji kepandaiannya, juga ingin tahu dari mana ia mencuri Sianli-utauw dan Pek-in Hoatsut.”
**** 073 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar