Alangkah terkejutnya hati Hong Beng dan Goat Lan ketika mereka mendengar dari pelayan hotel bahwa keluarga Pangeran Ong telah ditangkap oleh perwira-perwira istana!
Hal ini adalah sebuah hal yang aneh dan mengejutkan orang, maka tentu saja berita ini tersiar dengan cepatnya sehingga pelayan itu pun mendengar lalu menyampaikan kepada semua tamu hotel.
“Sungguh aneh, agaknya dunia akan kiamat!” pelayan yang doyan cerita itu menutup penuturannya. “Pangeran Ong adalah seorang yang amat berpengaruh dan ditakuti, ia selalu dekat dengan Hong-siang karena kabarnya ia masih saudara dari Hong-houw (Permaisuri). Akan tetapi siapa tahu akan nasib orang? Ah, kasihan, Pangeran Ong sekeluarga terkenal amat dermawan dan budiman. Apalagi puteranya, Ong Kongcu yang suka sekali datang kesini dan bercakap-cakap dengan semua orang. Ia amat peramah dan tidak sombong, naik kuda mengelilingi kota, bergaul dengan semua orang, tidak seperti putera-putera bangsawan lain yang besar kepala dan…”
Baru sampai disitu kata-katanya, tiba-tiba ia menutup mulut dan wajahnya menjadi pucat. Serombongan perwira berbaris menuju ke hotel itu dengan sikap galak dan mengancam!
Ributlah semua orang dan semua tamu bersembunyi di kamar masing-masing. Pelayan itu terpaksa dengan kaki gemetar menuju ke pintu bersama pelayan-pelayan lain mengiringi pengurus hotel menyambut barisan itu.
“Pelayan itu terlampau lancang mulut, tentu ia akan ditangkap!” terdengar seorang tamu berkata perlahan.
Akan tetapi Hong Beng dan Goat Lan berpikir lain. Mereka saling pandang dan cepat masuk ke kamar masing-masing. Sekejap kemudian mereka telah keluar pula dan telah menggendong semua barang-barang mereka, siap untuk meninggalkan tempat itu!
Benar saja dugaan mereka, begitu mereka keluar dari kamar, pengurus hotel dan para pelayan yang agaknya bercakap-cakap dengan para perwira, lalu menudingkan jari mereka ke arah Hong Beng dan Goat Lan. Tiba-tiba Bu Kwan Ji dan perwira-perwira kelas satu dari istana maju menyerbu dan mengurung kedua orang muda itu!
Goat Lan memandang kepada kedua orang hwesio yang seperti telah dikenalnya itu, akan tetapi ia lupa lagi dimana ia pernah bertemu dengan mereka. Ia tidak diberi kesempatan untuk mengingat-ingat hal itu, karena mereka telah mengeroyok dan kepandaian mereka ternyata tidak boleh dipandang ringan.
Ban Sai Cinjin sendiri sudah amat tangguh, juga dua orang hwesio dan tosu itu merupakan tandingan-tandingan yang tak boleh dibuat main-main. Bu Kwan Ji dan tujuh orang perwira kelas satu dari istana yang sudah menjadi kaki tangannya juga memiliki kepandaian yang cukup hebat, maka Goat Lan dan Hong Beng cepat mencabut senjata mereka.
Hong Beng mengeluarkan tongkat hitamnya, yaitu tongkat tanda pangkat sebagai ketua Hek-tung Kai-pang, sedangkan Goat Lan lalu mencabut sepasang bambu runcingnya.
Tempat dimana mereka bertempur itu amat sempit, maka Hong Beng lalu berseru,
“Hayo kita keluar!”
Goat Lan mengerti maksud tunangannya maka ia lalu menerjang pengeroyoknya dan merobohkan seorang perwira. Demikian pula Hong Beng berhasil mengemplang kepala seorang perwira dan bersama Goat Lan cepat melompat ke halaman hotel.
Disini tempatnya lebih luas sehingga mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Akan tetapi baru saja kaki mereka menginjak halaman hotel tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar dari luar. Cepat mereka menggerakkan senjata dan memutarnya melindungi tubuh. Ketika mereka memandang, ternyata bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang banyak sekali jumlahnya!
Jalan keluar tidak ada lagi dan terpaksa Hong Beng dan Goat Lan lalu menghadapi lagi serbuan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang sudah mengejar pula sampai disitu. Hal ini menguntungkan bagi kedua orang muda itu karena dengan adanya keroyokan para perwira, maka pasukan pemanah itu tidak berani mempergunakan anak panah mereka lagi.
Pertempuran berjalan seru sekali. Yang amat mendesak adalah Ban Sai Cinjin. Kali ini karena banyak kawannya, Ban Sai Cinjin bertempur dengan semangat besar dan huncwenya benar-benar merupakan senjata maut bagi Hong Beng dan Goat Lan. Sekali saja mereka terkena pukulan huncwe yang selalu ditujukan ke arah kepala mereka, akan celakalah mereka!
Ketika kedua orang muda itu terpaksa hendak menggunakan tangan besi dan membunuh para pengeroyoknya untuk dapat mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan lapat-lapat terdengar oleh Hong Beng dan Goat Lan.
“Bantu pangcu kita…!”
Keadaan pasukan yang tadinya mengurung tempat itu, tiba-tiba menjadi heboh dan geger. Ternyata mereka telah diserang secara tiba-tiba dan dari belakang oleh serombongan pengemis bertongkat hitam!
Ternyata bahwa tadi ketika Hong Beng melompat keluar dari dalam hotel dan dikeroyok oleh para perwira, ada beberapa orang anggauta Hek-tung Kai-pang berada di luar hotel itu. Melihat betapa pemuda gagah itu bersenjatakan tongkat hitam yang mereka kenal sebagai tongkat pusaka dari Hek-tung Kai-pang, tahulah mereka bahwa pemuda ini tentulah pangcu yang baru sebagaimana telah mereka dengar dari para pemimpin cabang mereka.
Sebentar saja, atas bunyi siulan rahasia mereka, datanglah berpuluh-puluh pengemis anggauta Hek-tung Kai-pang, bahkan para pemimpin yang berkedudukan di kota raja secara sembunyi-sembunyi juga muncul dan melakukan pengeroyokan terhadap para tentara kerajaan yang mengurung itu!
Hong Beng merasa girang sekali. Bersama Goat Lan ia lalu melompat jauh dan mencari jalan keluar dari tempat dimana para pengemis tongkat hitam itu menyerbu. Sambil memutar tongkat hitamnya dan merobohkan beberapa belas tentara yang mengeroyok, ia berseru,
“Aku pergi, lekas kalian mencari jalan aman!”
Setelah berkata demikian, ia dan Goat Lan melompat ke atas genteng dan melenyapkan diri di balik wuwungan rumah-rumah yang tinggi. Juga kawanan jembel yang setia itu lalu melarikan diri ke sana ke mari, memecah rombongan sehingga sukarlah bagi barisan kerajaan untuk mengejar mereka.
Juga tidak ada perintah mengejar para pengemis itu, sebaliknya Bu Kwan Ji berteriak-teriai memerintahkan anak buahnya untuk mengejar dua orang muda tadi! Akan tetapi kemanakah mereka harus mengejar? Dua orang muda itu melompat ke atas genteng bagaikan dua ekor burung walet saja, dan biarpun para perwira mengikuti Ban Sai Cinjin mengejar, akan tetap mereka ini tertinggal jauh oleh Ban Sai Cinjin yang gerakannya cepat sekali.
Setelah mengejar agak jauh dan mendapatkan dirinya hanya sendiri saja, Ban Sai Cinjin menjadi gentar. Kalau hanya seorang diri, andaikata ia dapat menyusul, bagaimana ia akan dapat menangkap kedua orang muda yang lihai itu? Terpaksa ia menunda kejarannya dan membiarkan kedua orang muda itu melarikan diri dengan cepat.
“Tutup semua pintu gerbang! Perkuat penjagaan! Jangan biarkan mereka lolos dari kota!” seru Bu Kwan Ji dengan marah sekali.
Di dalam kemarahannya terhadap Hong Beng dan Goat Lan, perwira ini sampai lupa kepada para pengemis tongkat hitam yang tadi menolong kedua orang muda itu!
Hong Beng dan Goat Lan lari terus sampai di ujung kota yang sunyi.
“Mari ikut aku!” gadis itu mengajak tunangannya dengan suara tegas.
“Kemana, Moi-moi?” tanya Hong Beng.
“Ke istana, mencari Pangeran Mahkota!”
Hong Beng mempunyai pikiran yang cerdas dan mudah menangkap maksud kata-kata orang, maka ia diam saja dan keduanya lalu berlari menuju ke istana yang megah itu. Untung bagi mereka bahwa semua penjagaan dikerahkan untuk menjaga seluruh pintu gerbang dan merondai dinding kota sebagaimana yang diperintahkan oleh Bu Kwan Ji, sehingga di dalam kotanya sendiri hanya beberapa orang perwira saja melakukan penggeledahan disana-sini.
Senja hari telah mendatang dan keadaan telah hampir gelap ketika keduanya telah tiba di dekat dinding tinggi yang mengelilingi istana kaisar.
Tidak mudah bagi kedua orang muda itu untuk dapat memasuki istana dan melalui dinding yang tinggi sekali itu. Untuk masuk lewat depan tidak mungkin sekali dan masuk dengan jalan melompati dinding yang begitu tinggi, juga sukar.
Mereka berjalan ke sana ke mari mencari dinding yang agak rendah, akan tetapi sia-sia belaka. Ada beberapa batang pohon yang cukup tinggi untuk menjadi jembatan, akan tetapi pohon-pohon ini letaknya jauh dari dinding, sehingga melompat dari pohon ke atas dinding, bahkan lebih sukar daripada melompat dari atas tanah. Mereka duduk di bawah dinding dengan hati kecewa, keduanya tidak mengeluarkan suara dan termenung memutar otak. Tiba-tiba Hong Beng berkata girang,
“Ah, aku mendapat akal, Lan-moi! Kau tentu akan dapat masuk ke dalam dengan melompat ke atas dinding.”
“Bagaimana aku dapat melompati dinding setinggi itu, Koko?”
“Kau melompat lebih dulu dan aku mendorongmu dari bawah! Dengan meminjam tanganku, bukankah kau akan dapat melompat lagi ke atas?”
Untuk sesaat Goat Lan memandang kepada tunangannya dengan sepasang matanya yang seperti mata burung Hong itu, kemudian wajahnya berseri girang.
“Ah, benar juga kata-katamu, Koko. Mengapa aku tidak dapat berpikir sampai disitu?”
Tiba-tiba Hong Beng mengerutkan keningnya.
“Sayangnya, hanya kau saja yang bisa masuk ke dalam istana untuk mencari Pangeran dan mengobatinya. Bagaimana hatiku bisa tenteram kalau membiarkan kau masuk seorang diri di tempat berbahaya itu? Dengan menanti kembalimu di luar dinding ini aku akan merasa seakan-akan berdiri di atas besi panas!”
Kini Goat Lan yang berkata dengan gembira,
“Mengapa susah-susah? Pohon itu dapat menolongmu!”
Giliran Hong Beng yang sekarang memandang kepada tunangannya dengan mata bodoh karena sungguh-sungguh ia tidak mengerti apa maksud gadis itu.
“Pohon itu letaknya terlalu jauh dari dinding, bagaimana pohon itu bisa menolongku?”
“Koko, kau tidak ingat kepada cabangnya yang panjang!” seru gadis itu yang segera melompat ke arah pohon besar dan kemudian ia melompat ke atas, memilih cabang yang panjang dan kuat.
Dengan sekali renggut saja patahlah cabang itu yang cepat dibersihkan daun-daunnya sehingga merupakan sebatang tongkat panjang.
“Nah, kalau aku sudah berhasil sampai di atas, kau lemparkan tongkat ini kepadaku. Kemudian kau melompat dan kuterima dengan tongkat ini, bukankah beres?”
Girang sekali hati Hong Beng. Ia menangkap tangan Goat Lan sambil memuji,
“Moi-moi, kau benar-benar hebat! Kau cerdik sekali dan… dan… cantik manis!”
“Hush, bukan waktunya untuk bersendau-gurau, Koko!” kata Goat Lan merengut dan mencubit lengan pemuda itu, akan tetapi sepasang matanya bersinar bangga dan kerlingnya menyambar hati Hong Beng, menyuburkan cinta kasih yang sudah berakar di dalam hati pemuda itu.
“Nah, sekarang melompatlah, Moi-moi. Melompatlah dengan lurus ke atas, dekat dinding, kemudian tarik kakimu ke atas sehingga kalau aku sudah menyusul di bawahmu, kau dapat mengenjotkan kakimu di atas tanganku!”
Goat Lan mengangguk maklum, lalu membereskan pakaiannya, mengikat erat tali pinggangnya dan membereskan letak buntalan pakaian dan obat yang berada di punggungnya.
“Siap, Koko!” kata gadis itu sambil menghampiri dinding.
Hong Beng berdiri di belakangnya dan ketika gadis itu melompat ke atas, ia pun menyusul di bawahnya! Keduanya mempergunakan gerak lompat Pek-liong-seng-thian (Naga Putih Naik ke Langit).
Tubuh Goat Lan yang ringan itu meluncur pesat ke atas dan ketika ia merasa bahwa tenaga luncurannya telah hampir habis, ia lalu menarik kedua kakinya ke atas. Tepat pada saat melayang turun kembali, ia merasa betapa kedua tangan Hong Beng yang kuat telah menyangga sepasang telapak kakinya.
Goat Lan diam-diam memuji tunangannya ini karena dengan gerakan ini ternyata bahwa tenaga lompatan Hong Beng masih menang sedikit jika dibandingkan dengan tenaga loncatannya. Karena kini mendapat tempat untuk kedua kakinya, Goat Lan lalu mengenjot lagi ke atas dan tubuhnya melayang makin tinggi sehingga ia dapat mencapai dinding itu. Tangannya menyambar pinggiran dinding dan sekali ia mengayun tubuh ke atas, ia telah berada di atas dinding yang tinggi itu!
Hal ini adalah sebuah hal yang aneh dan mengejutkan orang, maka tentu saja berita ini tersiar dengan cepatnya sehingga pelayan itu pun mendengar lalu menyampaikan kepada semua tamu hotel.
“Sungguh aneh, agaknya dunia akan kiamat!” pelayan yang doyan cerita itu menutup penuturannya. “Pangeran Ong adalah seorang yang amat berpengaruh dan ditakuti, ia selalu dekat dengan Hong-siang karena kabarnya ia masih saudara dari Hong-houw (Permaisuri). Akan tetapi siapa tahu akan nasib orang? Ah, kasihan, Pangeran Ong sekeluarga terkenal amat dermawan dan budiman. Apalagi puteranya, Ong Kongcu yang suka sekali datang kesini dan bercakap-cakap dengan semua orang. Ia amat peramah dan tidak sombong, naik kuda mengelilingi kota, bergaul dengan semua orang, tidak seperti putera-putera bangsawan lain yang besar kepala dan…”
Baru sampai disitu kata-katanya, tiba-tiba ia menutup mulut dan wajahnya menjadi pucat. Serombongan perwira berbaris menuju ke hotel itu dengan sikap galak dan mengancam!
Ributlah semua orang dan semua tamu bersembunyi di kamar masing-masing. Pelayan itu terpaksa dengan kaki gemetar menuju ke pintu bersama pelayan-pelayan lain mengiringi pengurus hotel menyambut barisan itu.
“Pelayan itu terlampau lancang mulut, tentu ia akan ditangkap!” terdengar seorang tamu berkata perlahan.
Akan tetapi Hong Beng dan Goat Lan berpikir lain. Mereka saling pandang dan cepat masuk ke kamar masing-masing. Sekejap kemudian mereka telah keluar pula dan telah menggendong semua barang-barang mereka, siap untuk meninggalkan tempat itu!
Benar saja dugaan mereka, begitu mereka keluar dari kamar, pengurus hotel dan para pelayan yang agaknya bercakap-cakap dengan para perwira, lalu menudingkan jari mereka ke arah Hong Beng dan Goat Lan. Tiba-tiba Bu Kwan Ji dan perwira-perwira kelas satu dari istana maju menyerbu dan mengurung kedua orang muda itu!
Goat Lan memandang kepada kedua orang hwesio yang seperti telah dikenalnya itu, akan tetapi ia lupa lagi dimana ia pernah bertemu dengan mereka. Ia tidak diberi kesempatan untuk mengingat-ingat hal itu, karena mereka telah mengeroyok dan kepandaian mereka ternyata tidak boleh dipandang ringan.
Ban Sai Cinjin sendiri sudah amat tangguh, juga dua orang hwesio dan tosu itu merupakan tandingan-tandingan yang tak boleh dibuat main-main. Bu Kwan Ji dan tujuh orang perwira kelas satu dari istana yang sudah menjadi kaki tangannya juga memiliki kepandaian yang cukup hebat, maka Goat Lan dan Hong Beng cepat mencabut senjata mereka.
Hong Beng mengeluarkan tongkat hitamnya, yaitu tongkat tanda pangkat sebagai ketua Hek-tung Kai-pang, sedangkan Goat Lan lalu mencabut sepasang bambu runcingnya.
Tempat dimana mereka bertempur itu amat sempit, maka Hong Beng lalu berseru,
“Hayo kita keluar!”
Goat Lan mengerti maksud tunangannya maka ia lalu menerjang pengeroyoknya dan merobohkan seorang perwira. Demikian pula Hong Beng berhasil mengemplang kepala seorang perwira dan bersama Goat Lan cepat melompat ke halaman hotel.
Disini tempatnya lebih luas sehingga mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Akan tetapi baru saja kaki mereka menginjak halaman hotel tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar dari luar. Cepat mereka menggerakkan senjata dan memutarnya melindungi tubuh. Ketika mereka memandang, ternyata bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang banyak sekali jumlahnya!
Jalan keluar tidak ada lagi dan terpaksa Hong Beng dan Goat Lan lalu menghadapi lagi serbuan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang sudah mengejar pula sampai disitu. Hal ini menguntungkan bagi kedua orang muda itu karena dengan adanya keroyokan para perwira, maka pasukan pemanah itu tidak berani mempergunakan anak panah mereka lagi.
Pertempuran berjalan seru sekali. Yang amat mendesak adalah Ban Sai Cinjin. Kali ini karena banyak kawannya, Ban Sai Cinjin bertempur dengan semangat besar dan huncwenya benar-benar merupakan senjata maut bagi Hong Beng dan Goat Lan. Sekali saja mereka terkena pukulan huncwe yang selalu ditujukan ke arah kepala mereka, akan celakalah mereka!
Ketika kedua orang muda itu terpaksa hendak menggunakan tangan besi dan membunuh para pengeroyoknya untuk dapat mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan lapat-lapat terdengar oleh Hong Beng dan Goat Lan.
“Bantu pangcu kita…!”
Keadaan pasukan yang tadinya mengurung tempat itu, tiba-tiba menjadi heboh dan geger. Ternyata mereka telah diserang secara tiba-tiba dan dari belakang oleh serombongan pengemis bertongkat hitam!
Ternyata bahwa tadi ketika Hong Beng melompat keluar dari dalam hotel dan dikeroyok oleh para perwira, ada beberapa orang anggauta Hek-tung Kai-pang berada di luar hotel itu. Melihat betapa pemuda gagah itu bersenjatakan tongkat hitam yang mereka kenal sebagai tongkat pusaka dari Hek-tung Kai-pang, tahulah mereka bahwa pemuda ini tentulah pangcu yang baru sebagaimana telah mereka dengar dari para pemimpin cabang mereka.
Sebentar saja, atas bunyi siulan rahasia mereka, datanglah berpuluh-puluh pengemis anggauta Hek-tung Kai-pang, bahkan para pemimpin yang berkedudukan di kota raja secara sembunyi-sembunyi juga muncul dan melakukan pengeroyokan terhadap para tentara kerajaan yang mengurung itu!
Hong Beng merasa girang sekali. Bersama Goat Lan ia lalu melompat jauh dan mencari jalan keluar dari tempat dimana para pengemis tongkat hitam itu menyerbu. Sambil memutar tongkat hitamnya dan merobohkan beberapa belas tentara yang mengeroyok, ia berseru,
“Aku pergi, lekas kalian mencari jalan aman!”
Setelah berkata demikian, ia dan Goat Lan melompat ke atas genteng dan melenyapkan diri di balik wuwungan rumah-rumah yang tinggi. Juga kawanan jembel yang setia itu lalu melarikan diri ke sana ke mari, memecah rombongan sehingga sukarlah bagi barisan kerajaan untuk mengejar mereka.
Juga tidak ada perintah mengejar para pengemis itu, sebaliknya Bu Kwan Ji berteriak-teriai memerintahkan anak buahnya untuk mengejar dua orang muda tadi! Akan tetapi kemanakah mereka harus mengejar? Dua orang muda itu melompat ke atas genteng bagaikan dua ekor burung walet saja, dan biarpun para perwira mengikuti Ban Sai Cinjin mengejar, akan tetap mereka ini tertinggal jauh oleh Ban Sai Cinjin yang gerakannya cepat sekali.
Setelah mengejar agak jauh dan mendapatkan dirinya hanya sendiri saja, Ban Sai Cinjin menjadi gentar. Kalau hanya seorang diri, andaikata ia dapat menyusul, bagaimana ia akan dapat menangkap kedua orang muda yang lihai itu? Terpaksa ia menunda kejarannya dan membiarkan kedua orang muda itu melarikan diri dengan cepat.
“Tutup semua pintu gerbang! Perkuat penjagaan! Jangan biarkan mereka lolos dari kota!” seru Bu Kwan Ji dengan marah sekali.
Di dalam kemarahannya terhadap Hong Beng dan Goat Lan, perwira ini sampai lupa kepada para pengemis tongkat hitam yang tadi menolong kedua orang muda itu!
Hong Beng dan Goat Lan lari terus sampai di ujung kota yang sunyi.
“Mari ikut aku!” gadis itu mengajak tunangannya dengan suara tegas.
“Kemana, Moi-moi?” tanya Hong Beng.
“Ke istana, mencari Pangeran Mahkota!”
Hong Beng mempunyai pikiran yang cerdas dan mudah menangkap maksud kata-kata orang, maka ia diam saja dan keduanya lalu berlari menuju ke istana yang megah itu. Untung bagi mereka bahwa semua penjagaan dikerahkan untuk menjaga seluruh pintu gerbang dan merondai dinding kota sebagaimana yang diperintahkan oleh Bu Kwan Ji, sehingga di dalam kotanya sendiri hanya beberapa orang perwira saja melakukan penggeledahan disana-sini.
Senja hari telah mendatang dan keadaan telah hampir gelap ketika keduanya telah tiba di dekat dinding tinggi yang mengelilingi istana kaisar.
Tidak mudah bagi kedua orang muda itu untuk dapat memasuki istana dan melalui dinding yang tinggi sekali itu. Untuk masuk lewat depan tidak mungkin sekali dan masuk dengan jalan melompati dinding yang begitu tinggi, juga sukar.
Mereka berjalan ke sana ke mari mencari dinding yang agak rendah, akan tetapi sia-sia belaka. Ada beberapa batang pohon yang cukup tinggi untuk menjadi jembatan, akan tetapi pohon-pohon ini letaknya jauh dari dinding, sehingga melompat dari pohon ke atas dinding, bahkan lebih sukar daripada melompat dari atas tanah. Mereka duduk di bawah dinding dengan hati kecewa, keduanya tidak mengeluarkan suara dan termenung memutar otak. Tiba-tiba Hong Beng berkata girang,
“Ah, aku mendapat akal, Lan-moi! Kau tentu akan dapat masuk ke dalam dengan melompat ke atas dinding.”
“Bagaimana aku dapat melompati dinding setinggi itu, Koko?”
“Kau melompat lebih dulu dan aku mendorongmu dari bawah! Dengan meminjam tanganku, bukankah kau akan dapat melompat lagi ke atas?”
Untuk sesaat Goat Lan memandang kepada tunangannya dengan sepasang matanya yang seperti mata burung Hong itu, kemudian wajahnya berseri girang.
“Ah, benar juga kata-katamu, Koko. Mengapa aku tidak dapat berpikir sampai disitu?”
Tiba-tiba Hong Beng mengerutkan keningnya.
“Sayangnya, hanya kau saja yang bisa masuk ke dalam istana untuk mencari Pangeran dan mengobatinya. Bagaimana hatiku bisa tenteram kalau membiarkan kau masuk seorang diri di tempat berbahaya itu? Dengan menanti kembalimu di luar dinding ini aku akan merasa seakan-akan berdiri di atas besi panas!”
Kini Goat Lan yang berkata dengan gembira,
“Mengapa susah-susah? Pohon itu dapat menolongmu!”
Giliran Hong Beng yang sekarang memandang kepada tunangannya dengan mata bodoh karena sungguh-sungguh ia tidak mengerti apa maksud gadis itu.
“Pohon itu letaknya terlalu jauh dari dinding, bagaimana pohon itu bisa menolongku?”
“Koko, kau tidak ingat kepada cabangnya yang panjang!” seru gadis itu yang segera melompat ke arah pohon besar dan kemudian ia melompat ke atas, memilih cabang yang panjang dan kuat.
Dengan sekali renggut saja patahlah cabang itu yang cepat dibersihkan daun-daunnya sehingga merupakan sebatang tongkat panjang.
“Nah, kalau aku sudah berhasil sampai di atas, kau lemparkan tongkat ini kepadaku. Kemudian kau melompat dan kuterima dengan tongkat ini, bukankah beres?”
Girang sekali hati Hong Beng. Ia menangkap tangan Goat Lan sambil memuji,
“Moi-moi, kau benar-benar hebat! Kau cerdik sekali dan… dan… cantik manis!”
“Hush, bukan waktunya untuk bersendau-gurau, Koko!” kata Goat Lan merengut dan mencubit lengan pemuda itu, akan tetapi sepasang matanya bersinar bangga dan kerlingnya menyambar hati Hong Beng, menyuburkan cinta kasih yang sudah berakar di dalam hati pemuda itu.
“Nah, sekarang melompatlah, Moi-moi. Melompatlah dengan lurus ke atas, dekat dinding, kemudian tarik kakimu ke atas sehingga kalau aku sudah menyusul di bawahmu, kau dapat mengenjotkan kakimu di atas tanganku!”
Goat Lan mengangguk maklum, lalu membereskan pakaiannya, mengikat erat tali pinggangnya dan membereskan letak buntalan pakaian dan obat yang berada di punggungnya.
“Siap, Koko!” kata gadis itu sambil menghampiri dinding.
Hong Beng berdiri di belakangnya dan ketika gadis itu melompat ke atas, ia pun menyusul di bawahnya! Keduanya mempergunakan gerak lompat Pek-liong-seng-thian (Naga Putih Naik ke Langit).
Tubuh Goat Lan yang ringan itu meluncur pesat ke atas dan ketika ia merasa bahwa tenaga luncurannya telah hampir habis, ia lalu menarik kedua kakinya ke atas. Tepat pada saat melayang turun kembali, ia merasa betapa kedua tangan Hong Beng yang kuat telah menyangga sepasang telapak kakinya.
Goat Lan diam-diam memuji tunangannya ini karena dengan gerakan ini ternyata bahwa tenaga lompatan Hong Beng masih menang sedikit jika dibandingkan dengan tenaga loncatannya. Karena kini mendapat tempat untuk kedua kakinya, Goat Lan lalu mengenjot lagi ke atas dan tubuhnya melayang makin tinggi sehingga ia dapat mencapai dinding itu. Tangannya menyambar pinggiran dinding dan sekali ia mengayun tubuh ke atas, ia telah berada di atas dinding yang tinggi itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar