Minggu, 11 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 093

Ia memandang ke sebelah dalam dan untung sekali bahwa mereka tiba di dinding yang menutupi sebuah taman bunga yang amat indahnya sehingga gadis ini menjadi takjub melihat demikian banyaknya pohon-pohon bunga yang menyerbakkan keharuman. Sayang bahwa keadaan sudah agak gelap hingga ia tidak dapat menikmati tata warna yang luar biasa dari taman bunga itu.

Saking kagumnya, Goat Lan sampai lupa kepada Hong Beng. Ia terkejut ketika mendengar seruan Hong Beng,

“Moi-moi, terimalah tongkat ini!”

Cepat ia memutar tubuhnya dan menghadap keluar lagi. Dinding itu tebal sekali, lebar permukaan dinding yang diinjaknya lebih dari dua kaki, sehingga ia boleh berdiri dengan enak dan tetap di atas dinding itu.

Hong Beng melempar tongkat panjang ke atas dan diterima oleh Goat Lan dengan mudahnya. Ketika gadis itu duduk di atas tembok, tangan kiri merangkul tembok dan tangan kanan memegang ujung tongkat yang diulur ke bawah maka ujung tongkat di bawah telah mencapai tempat yang cukup rendah bagi Hong Beng untuk melompat dan menangkapnya. Akan tetapi pemuda ini masih berkuatir kalau-kalau Goat Lan tidak akan kuat menahan berat tubuhnya dengan tongkat itu, maka sebelum meloncat ia berseru,

“Moi-moi, kalau nanti terlalu berat bagimu, kau lepaskan saja tongkat itu jangan sampai kau ikut jatuh ke bawah!”

“Kau kira aku orang apa?” bantah Goat Lan pura-pura marah, akan tetapi suaranya terdengar bersungguh-sungguh. “Kalau kau jatuh, aku pun ikut jatuh pula!”

“Eh, eh, jangan begitu, Lan-moi. Kalau kau lepaskan tongkat itu, jatuhku tidak dari tempat terlalu tinggi dan paling-paling aku hanya akan lecet-lecet saja. Akan tetapi kau… dari tempat begitu tinggi!”

“Aku juga takkan mati jatuh dari tempat setinggi ini!”

Hong Beng menjadi bingung. Ia ragu-ragu untuk melompat, karena ia maklum bahwa gadis itu betul-betul takkan membiarkan ia jatuh sendiri! Tiba-tiba pemuda itu lalu berlari ke tempat dimana terdapat pohon besar tadi.

Goat Lan memandang heran, akan tetapi ia melihat pemuda itu telah melompat naik ke atas pohon dan menggunakan pedangnya untuk membabat putus sebatang cabang yang panjang. Ketika Hong Beng sudah tiba di tempat tadi, tahulah Goat Lan bahwa pemuda itu telah mengambil dan membuat sebatang tongkat seperti tadi panjangnya, hanya saja kini tongkat ini ujungnya ada kaitannya. Pemuda yang cerdik ini telah mengambil cabang yang ada kaitannya dan kemudian ia berkata,

“Moi-moi, taruh saja tongkat itu di atas dinding, dan kau pakailah tongkat ini!”

Ia melontarkan tongkat baru ini ke atas yang disambut dengan mudahnya oleh Goat Lan. Gadis ini menjadi girang sekali, karena tentu saja dengan tongkat ini, tidak usah kuatir tunangannya akan jatuh kembali karena ia tidak kuat menahan berat tubuhnya. Ia lalu memasang kaitan tongkat itu pada dinding, dan memegang kaitan itu menjaga jangan sampai kaitannya terlepas.

“Lompatlah, Koko!” teriaknya ke bawah.

Hong Beng mengumpulkan tenaga kakinya, lalu mengenjot tubuhnya ke atas. Ketika tangannya dapat mencapai ujung tongkat yang tergantung di bawah, ia menangkap tongkat itu dan dengan cekatan sekali ia lalu naik ke atas, merayap melalui tongkat. Setelah tiba di atas dinding, ia mengomel kepada tunangannya,

“Lan-moi, lain kali jangan kau main nekad begitu. Kalau aku tidak mendapat akal ini, aku takkan berani melompat naik dan membiarkan kau jatuh ke bawah.”

Goat Lan tersenyum manis, kemudian teringat akan tugasnya lagi.
“Mari kita turun ke dalam,” katanya, “baiknya ada dua tongkat ini yang akan dapat membantu kita.”

Gadis yang berani itu lalu melompat turun lebih dulu dengan tongkat yang dipegangnya merupakan pembantu yang amat berguna. Sebelum tubuhnya tiba di tanah, ia lebih dulu menancapkan tongkat itu sehingga dapat menahan tenaga luncurannya. Setelah tenaga luncuran itu habis, ia lalu melompat ke bawah dengan ringannya. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikitpun juga.






Hong Beng segera meniru gerakan kekasihnya ini dan kini mereka berdua telah berada di dalam taman.

“Aduh indahnya kembang ini…” kata Goat Lan sambil menghampiri sekelompok bunga seruni kuning yang indah.

Gadis ini bagaikan seekor kupu-kupu. Dengan lincah dan gembira ia berlari-larian dari satu ke lain bunga, riang gembira seperti anak-anak.

“Lan-moi, apakah kita masuk ke sini hanya untuk bermain-main di taman bunga ini?” tanya Hong Beng menegur tunangannya dengan pandang mata kagum karena sungguh cocok sekali bagi seorang gadis cantik berada di taman indah penuh kembang.

“Koko, bunga ini cocok sekali untukmu!”

Goat Lan seakan-akan tidak mendengar ucapan Hong Beng. Ia memetik setangkai bunga seruni dan membawa bunga itu kepada Hong Beng. Dengan sikap yang menyayang ia lalu memasukkan tangkai kembang itu ke lubang kancing pada dada Hong Beng.

Terharu juga hati pemuda ini melihat kelembutan tunangannya. Ia meremas tangan Goat Lan, kemudian tanpa berkata-kata ia lalu memetik pula setangkai seruni merah yang ditancapkannya di atas rambut kekasihnya.

“Hayo kita mencari Pangeran,” katanya kemudian.

Ucapan ini mengusir hikmat taman bunga dan kasih sayang mesra. Keduanya lalu berjalan dengan hati-hati sekali sampai ke ujung taman bunga dimana terdapat sebuah pintu.

Tiba-tiba mereka mendengar suara orang bercakap-cakap di belakang pintu itu. Ketika mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan tahu bahwa yang bercakap-cakap itu hanyalah dua orang penjaga pintu belakang, cepat kedua orang muda perkasa ini lalu membuka pintu dengan tiba-tiba.

Dua orang penjaga yang memandang dengan celangap itu tak diberi kesempatan membuka suara. Begitu tangan Goat Lan dan Hong Beng bergerak, keduanya telah kena ditotok sehingga menjadi kaku tak dapat bergerak maupun bersuara lagi.

Hong Beng mencabut tongkatnya. Setelah membebaskan seorang penjaga dari totokannya, ia menempelkan ujung tongkat pada leher orang itu sambil berkata,

“Hayo katakan terus terang dimana kamar Pangeran Mahkota!”

Penjaga itu biarpun tubuhnya menggigil, mukanya pucat, dan bibirnya gemetar namun ia menggeleng kepalanya dan berkata,

“Tidak, tidak! Kami telah banyak menerima budi Hong-siang (Kaisar), dan Putera Mahkota amat budiman. Biarpun aku akan kau bunuh, aku takkan mengkhianati Putera Mahkola! Kau tidak boleh membunuhnya!”

Tersenyum Hong Beng mendengar ini. Ia suka dan kagum melihat kesetiaan penjaga pintu, pegawai rendah ini. Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang baik sekali.

“Dengar, sahabat. Kami berdua datang sama sekali bukan membawa maksud jahat. Kami datang hendak mengobati Putera Mahkota, akan tetapi kami dihalang-halangi oleh Bu Kwan Ji si jahanam. Maukah kau membantu kami menolong pangeranmu itu?”

Penjaga itu memandang kepada Hong Beng dengan curiga.
“Siapa tahu betul tidaknya bicaramu ini?” tanyanya.

Goat Lan turun tangan dan berkata,
“Dengarlah, Lopek (Uwa). Aku adalah murid dari Yok-ong (Raja Obat) Sin Kong Tianglo dan aku benar-benar datang hendak menolong Pangeran Mahkota. Kau percayalah dan tunjukkan kepadaku dimana tempat Pangeran itu.”

Melihat Goat Lan, lenyaplah kecurigaan penjaga itu. Gadis secantik dan seramah ini dengan sepasang mata yang indah dan halus itu tak mungkin jahat.

“Baiklah, aku akan membantumu. Kalau aku salah duga ternyata kau datang hendak melakukan kejahatan, biarlah nyawaku akan menjadi setan yang mengejar-ngejarmu! Pada waktu ini, Pangeran Mahkota berada di ruangan belakang, tak jauh dari sini. Baiknya tiga orang tabib yang biasa selalu menjaganya, kini sedang keluar, kabarnya untuk menangkap pemberontak-pemeberontak! Yang menjaga hanyalah inang pengasuh dan para pelayan saja. Mari kalian ikut padaku!”

Penjaga yang seorang lagi tidak dibebaskan dari totokan, bahkan Hong Beng lalu melepaskan ikat pinggang orang itu dan mengikat kedua tangannya agar jangan sampai terlepas dan menimbulkan ribut. Ketiganya lalu berjalan ke sebelah dalam dan tak lama kemudian mereka tiba di ruang yang dimaksudkan.

Disitu terdapat lima orang pelayan wanita, dua orang pelayan banci (thai-kam) dan empat orang penjaga yang kokoh kuat tubuhnya. Alangkah kaget semua orang ini ketika melihat penjaga itu masuk bersama dua orang muda yang elok. Empat orang penjaga itu cepat melompat menghampiri mereka dengan golok di tangan.

“Siapa kalian dan perlu apa masuk tanpa dipanggil?” bentak seorang diantara mereka.

“Kami datang hendak mengobati Pangeran!” kata Hong Beng.

“Tak seorang pun boleh mengobati Pangeran di luar tahunya ketiga tabib istana! Kalian orang-orang jahat harus ditangkap!”

Hong Beng dapat menduga bahwa empat orang penjaga ini pun tentulah kaki tangan Bu Kwan Ji, maka ia memberi tanda kepada Goat Lan. Ketika dua orang muda perkasa ini berkelebat tubuhnya dan bergerak kedua tangannya, empat orang penjaga itu roboh dengan tubuh lemas tak berdaya lagi! Tentu saja dua orang thaikam dan lima orang pelayan wanita itu menjadi ketakutan dan berdiri dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

“Kami datang bukan dengan maksud jahat,” kata Hong Beng. “Kami datang untuk mengobati Pangeran! Akan tetapi, siapa saja yang berani menghalangi kami akan kuhancurkan kepalanya!”

Sambil berkata demikian, Hong Beng lalu mencabut tongkatnya yang hitam mengkilap sehingga mereka semua menjadi takut.

“Siapakah yang membuat ribut-ribut itu?” tiba-tiba terdengar suara yang halus dan lemah.

Goat Lan cepat menengok ke arah suara itu dan terlihatlah pangeran Mahkota yang sedang berbaring di tempat tidurnya yang indah. Pangeran ini masih muda sekali, paling banyak baru empat belas tahun, tubuhnya kurus dan wajahnya pucat.

Goat Lan melompat dan berlutut di depan Pangeran yang telah duduk di atas pembaringannya itu.

“Hamba Kwee Goat Lan, murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo. Hamba datang hendak melanjutkan usaha mendiang Suhu untuk mencoba mengobati Paduka.”

Pangeran kecil itu membuka kedua matanya lebar-lebar.
“Bukankah kau kemarin dinyatakan hendak meracuniku? Obat apa yang kau kirim kesini itu? Rasanya pahit dan masam! Membuat perutku muak!”

Goat Lan bangkit berdiri.
“Paduka telah ditipu. Orang-orang jahat mengelilingi tempat ini. Yang diberikan bukan obat dari hamba, melainkan telah ditukar dengan obat lain yang jahat!” Ia mengeluarkan buah Giok-ko dan memperlihatkannya kepada Pangeran itu. “Buah inilah yang kemarin hamba persembahkan kepada Hong-siang, apakah ini pula yang Paduka makan?”

Pangeran itu menerima buah yang berkilauan seperti mutiara itu dengan kagum dan heran.

“Bukan, bukan ini, akan tetapi buah hijau yang baunya tidak enak. Buah ini wangi sekali.”

“Nah, silakan Paduka makan buah ini, dan demi Thian Yang Maha Adil, kalau Paduka percaya, penyakit Paduka pasti akan lenyap!”

Pangeran itu memandang kepada Goat Lan sampai lama, kemudian ia tersenyum lemah dan berkata,

“Kau cantik dan gagah, aku percaya kepadamu!” Dan ia lalu makan buah itu. Baru saja satu gigitan, ia berseru girang, “Manis dan wangi sekali!” Sebentar saja habislah buah itu semua. “Kalau masih ada, aku ingin makan lagi!”

Sambil berkata demikian dengan tangan kanan, Pangeran itu menutup mulut menahan kuapnya, karena ia tiba-tiba merasa mengantuk sekali.

“Sekarang harap Paduka suka beristirahat, karena baru besok pagi Paduka boleh makan sebuah lagi,” kata Goat Lan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar