Baiklah, kita meninggalkan Kam Liong yang menuju ke rumah Sie Cin Hai di Shaning. Mari kita mendahuluinya ke Shaning dan menengok keadaan keluarga Sie ini.
Semenjak Sin-kai Lo Sian Si Pengemis Sakti tinggal di rumah keluarga Sie, baik Lili maupun suami isteri Sie merasa terhibur dari kedukaan mereka karena kematian Yousuf. Sungguhpun kematian Yousuf telah terjadi belasan tahun yang lalu, namun tiap kali teringat oleh mereka bahwa pembunuhnya, yakni Bouw Hun Ti, belum terbalas, mereka merasa sedih sekali.
Akan tetapi, kini dengan adanya Lo Sian, seakan-akan Yousuf masih belum mati. Keadaan dan sikap Lo Sian ini hampir sama dengan kakek Turki itu. Juga seperti Yousuf, Lo Sian amat suka minum arak wangi, amat suka pula bernyanyi-nyanyi dan mendongeng.
Berbeda dengan Yousuf yang suka mendongeng cerita-cerita Turki, adalah Lo Sian pandai sekali mendongeng cerita-cerita Tiongkok kuno. Dia boleh lupa akan keadaan pengalamannya yang lampau, yakni segala hal yang menyangkut dengan dirinya, akan tetapi ternyata ia tidak melupakan dongeng-dongeng yang terjejal di dalam ingatannya ketika ia masih kecil!
Lili tidak sabar menanti kedatangan Hong Beng, karena ia telah memperhitungkan bahwa Hong Beng dan Goat Lan seharusnya sudah datang. Kemanakah gerangan perginya dua orang itu? Lili menyesal sekali mengapa dulu dia tidak ikut saja. Alangkah senangnya kalau mereka itu mengalami hal-hal yang hebat dan berbahaya!
Baiknya di rumah ada Lo Sian yang disebutnya pek-pek atau twa-pek. Kedua orang tuanya, yakni Sie Cin Hai dan Lin Lin, telah mendengar penuturannya yang banyak dilebih-lebihkan tentang pertemuan antara Goat Lan dan Hong Beng sehingga suami isteri itu merasa girang sekali. Memang Lili amat nakal, jenaka dan lucu. Katanya ketika ia menceritakan hal kakaknya dan Goat Lan,
“Engko Hong Beng agaknya tak dapat berpisah lagi dari Enci Lan! Ah, kalau Ayah dan Ibu melihat betapa tadinya sebelum mengetahui bahwa mereka telah saling jatuh cinta!” Gadis itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan lengan baju.
“Apa maksudmu?” tanya ayahnya mengerutkan kening.
Lili menceritakan betapa ia telah menggoda Hong Beng dan Goat Lan sehingga kedua orang muda yang tidak saling mengenal itu sampai bertempur!
“Ah, kau nakal sekali, Lili!” ayahnya menegur. “Kenakalan seperti itu berbahaya sekali. Kenapa kau seperti anak kecil saja?”
Lili tidak merasa aneh melihat teguran ayahnya, karena memang semenjak kecil, hanya ayahnya saja yang selalu menegurnya. Akan tetapi ia maklum betul-betul bahwa ayahnya ini hanya galak di luarnya saja, padahal di dalam hati amat menyayang dan memanjakannya.
“Mengapa, Ayah? Bukankah dengan demikian mereka jadi saling mengenal tingkat kepandaian masing-masing?”
Kemudian ia lalu melanjutkan penuturannya, betapa Goat Lan merasa berkuatir ketika mendengar Hong Beng ditantang pibu okeh para pemimpin Hek-tung Kai-pang.
Setelah selesai dengan penuturannya dan gadis ini pergi ke belakang mengunjungi Lo Sian di kebun dimana Lo Sian mengerjakan taman bunga, membuangi daun kering dan rumput, Pendekar Bodoh berkata kepada isterinya,
“Ah, kurang pantas sekali kalau Hong Beng melakukan perjalanan berdua saja dengan Goat Lan. Mereka itu belum menikah dan sudah terlalu lama mereka pergi berdua. Hal ini tidak baik… tidak baik…” Ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Apanya yang tidak baik?” Lin Lin membantah. “Mereka sudah bertunangan.”
“Masih belum pantas melakukan perjalanan bersama dalam masa pertunangan, itu melanggar adat kesopanan kita,” kata suaminya.
“Ah, kau terlalu kukuh! Tidak ingatkah kau betapa dahulu kita sebelum menikah juga melakukan perantauan, bahkan lebih jauh dan lebih lama lagi? Asalkan kita dapat menjaga kesopanan, apa salahnya? Lagi pula, aku percaya penuh Beng-ji akan tahu menjaga kesopanan, demikian pula Goat Lan.”
“Kita lain lagi, isteriku,” kata Cin Hai. “Ketika kita melakukan perjalanan bersama, kita sudah yatim piatu. Akan tetapi anak-anak itu masih ada orang tuanya. Boleh saja secara kebetulan mereka bertemu di jalan dan menyelesaikan urusan bersama, akan tetapi tidak untuk selanjutnya merantau dan tidak pulang sampai sekarang!”
“Sudahlah, suamiku, mengapa ribut-ribut? Siapa tahu kalau mereka juga menjumpai urusan yang penting? Lebih baik untuk menenteramkan hati, kita pergi mnengunjungi Enci Hwa dan suaminya di Tiang-an, menetapkan hari pernikahan kedua anak itu. Sekalian kita melihat-lihat kalau-kalau mereka sudah pulang kesana.”
Sie Cin Hai menyetujui pikiran isterinya ini. Demikianlah, pada keesokan harinya kedua suami-isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke Tiang-an.
Lili yang ditinggalkan berdua dengan Lo Sian, melewatkan waktunya bersama Pengemis Sakti ini. Dicobanya terus menerus oleh Lili untuk mengembalikan ingatan bekas suhunya ini, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka. Kini Lo Sian nampak senang dan gembira selalu. Di dalam rumah keluarga Sie, ia seperti seekor burung yang akhirnya menemukan sarang yang baik. Badannya menjadi segar dan gemuk dan tiap hari ia minum arak yang selalu disediakan oleh keluarga Sie.
Untuk menyenangkan hati Lo Sian yang telah menolong jiwanya dan telah melepas budi besar, Lili lalu menyuruh pelayan membeli arak terbaik dari Hang-ciu sehingga Lo Sian merasa girang bukan main. Dengan ditemani oleh Lili, seringkali ia minum arak di loteng belakang sambil menikmati keindahan taman bunga yang dirawatnya dan yang berada di bawah loteng itu.
Pada malam hari itu, Lo Sian nampak masih duduk di atas loteng di bagian belakang rumah, minum arak seorang diri. Baru saja datang seguci besar arak wangi yang dibeli oleh Lili dan gadis itu bahkan membuat kue yang diberikan kepada suhunya. Pengemis Sakti ini makan minum seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi.
Ketika Lili yang berada di bagian bawah mendengar suara nyanyian suhunya, ia merasa heran. Suara pengemis Sakti itu tidak seperti biasanya, kini terdengar bernada sedih. Ia cepat naik ke atas loteng dan melihat betapa bekas suhunya itu minum arak langsung dari guci dan kaki kirinya ditumpangkan di atas meja!
“Pek-pek, kau kenapakah?” tanya Lili sambil menghampiri kakek itu.
Lo Sian menunda minumnya dan ketika ia menengok kepada Lili, gadis ini terkejut melihat pipi Lo Sian telah basah dengan air mata!
“Pek-pek, mengapa kau bersedih?”
Lo Sian terpaksa tersenyum ketika ia memandang wajah Lili. Alangkah sukanya ia kepada gadis ini, seperti kepada puterinya sendiri.
“Tidak, Lili, aku tidak bersedih. Dengan kau dan orang tuamu yang mulia berada di dekatku, bagaimana aku dapaf bersedih? Hanya aku menyesal sekali, Lili, menyesal bahwa aku telah menjadi seorang yang begini tiada guna! Aku hanya menjadi pengganggu orang tuamu, aku telah banyak mengecewakan. Kau dan orang tuamu karena tidak mampu mengingat-ingat hal yang telah terjadi. Terutama sekali aku tidak dapat ingat lagi dimana dan bagaimana Lie Kong Sian Tai-hiap meninggal dunia! Ah, aku menjadi sebuah boneka hidup!”
“Pek-pek, mengapa hal begitu saja dibuat menyesal? Kau tidak berdaya dan bukan salahmu kalau kau kehilangan ingatanmu. Lebih baik menghibur hati, agar tubuhmu menjadi sehat dan siapa tahu kalau kesehatanmu akan dapat memulihkan ingatanmu. Dengan banyak berpikir serta banyak pusing, kurasa tidak akan mendatangkan manfaat bagi ingatammu, Pek-pek.”
“Kau betul, Lili. Kau selalu benar, sungguh aneh seorang gadis muda seperti kau dapat mengeluarkan ucapan yang demikian bijaksana. Pantas benar kau menjadi puteri Pendekar Bodoh…”
Lili tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menghampiri meja dan menyalakan lilin di atas meja yang belum dipasang oleh Lo Sian. Melihat kue-kue di atas piring belum termakan oleh Lo Sian, Lili bertanya,
“Eh, kenapa kue-kue ini belum kau makan, Pek-pek?”
“Nanti dulu, aku lebih senang minum arak yang wangi dan enak ini! Kau pandai benar memilih arak baik!”
Setelah berkata demikian, Lo Sian lalu mengangkat guci besar itu dengan kedua tangannya, menuangkan isinya yang masih setengah itu langsung ke mulutnya dengan sikap seperti tadi, yaitu kaki kiri di atas meja!
Lili hanya berdiri di belakang Pengemis Sakti itu sambil tersenyum geli, karena ia menduga bahwa Lo Sian tentu sudah setengah mabuk. Akan tetapi pada saat itu, Lili terkejut sekali melihat berkelebatnya sesosok bayangan hitam yang melayang turun bagaikan seekor burung besar dari atas wuwungan! Bayangan itu gerakannya gesit sekali dan melihat betapa ia melayang dengan kedua lengan dikembangkan, dapat diduga bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Lo Sian yang sedang enak minum arak, tidak melihat berkelebatnya bayangan itu, akan tetapi Lili yang bermata tajam tentu saja dapat melihatnya. Dengan amat kuatir, gadis ini lalu meninggalkan Lo Sian, berlari turun ke bawah melalui anak tangga untuk mencegat bayangan tadi di bawah. Lo Sian masih saja minum arak, kakek ini tidak heran melihat Lili berlari-larian yang sudah menjadi kebiasaan gadis jenaka ini
Ketika tiba di bawah, Lili tidak melihat bayangan orang. Cepat ia melompat keluar dan mengelilingi rumahnya. Bayangan tadi dilihatnya melompat ke bawah ke arah depan rumah, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak lagi? Apakah ia salah lihat? Tak mungkin, pikirnya, dan dengan penasaran sekali ia lalu menyelidiki seluruh pinggir rumahnya.
Ketika tidak menemukan sesuatu, ia cepat masuk lagi ke dalam rumah dan tiba-tiba ia teringat bahwa ayah bundanya mempunyai banyak musuh. Cepat ia menuju ke kamar ayah dan ibunya yang berada di sebelah dalam. Kagetlah ia ketika melihat bahwa kamar ayah bundanya ternyata telah kemasukan orang, karena pintu kamar yang tadinya terkunci dibuka dengan paksa! Cepat ia ke dalam dan di situ kosong saja. Hanya sebuah lemari kayu, tempat pakaian ayah bundanya telah dibongkar orang dengan paksa dan kini terbuka dengan isinya berantakan ke bawah.
Ia merasa heran, karena pakaian itu masih utuh, tidak ada yang hilang, demikian pula tempat uang tidak diganggu. Siapakah bayangan tadi dan apa maksudnya membongkar lemari dan memasuki kamar ayah bundanya? Ia cepat mengejar lagi keluar dari kamar. Lili marah sekali dan ingin ia menangkap maling itu. Kini ia berlari menuju ke belakang.
Makin marah dan gemas hatinya melihat tiga orang pelayan rumahnya, seorang pelayan laki-laki dan dua orang pelayan wanita telah berada dalam keadaan tertotok di ruangan belakang. Ketika ia menghampiri mereka untuk membebaskan mereka dari totokan, ia mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya ketika melihat bahwa ketiga orang pelayan ini terkena totokan yang sama dengan ilmu totok yang dipelajarinya sendiri yakni ilmu totok dari Ilmu Silat Kong-ciak-sinna!
Tiba-tiba teringatlah dia akan sesuatu dan mukanya menjadi merah padam. Siapa lagi kalau bukan pemuda kurang ajar yang telah merampas sepatunya dulu? Pemuda yang mengaku putera Ang I Niocu? Hanya pemuda itu saja yang pandai Ilmu Silat Kong-ciak-sinna!
Kalau memang betul bayangan orang yang menjadi maling ini ternyata adalah pemuda putera Ang I Niocu yang belum diketahui namanya itu, mengapa ia datang seperti seorang maling? Tak mungkin putera Ang I Niocu melakukan hal ini!
Tiba-tiba ia teringat kepada Lo Sian yang berada di atas loteng dan wajahnya menjadi pucat ketika ia teringat betapa dulu di rumah Thian Kek Hwesio, pemuda itu pernah menyerang Lo Sian karena marah mendengar Pengemis Sakti itu menyatakan bahwa Lie Kong Sian telah mati!
Ia cepat berlari-lari melalui anak tangga menuju ke loteng dan alangkah kagetnya ketika ia melihat guci arak yang tadi diminum oleh Lo Sian, kini telah menggeletak di atas lantai dan isinya mengalir keluar. Lo Sian sendiri tidak kelihatan pergi kemana!
Lili menjadi bingung. Ia mencari ke sana ke mari, akan tetapi biarpun ia memanggil-manggil, tetap saja ia tidak dapat menemukan Lo Sian. Marah sekali hati gadis ini. Segera diambilnya Pedang Liong-coan-kiam dan kipasnya, kemudian dengan cepat sekali ia lalu melompat keluar rumah dan mencari di sekitar rumah itu.
Tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang sedang bertempur dengan hebatnya. Karena malam itu gelap, Lili hanya dapat melihat bahwa yang bertempur itu adalah dua orang laki-laki yang masih muda.
“Bangsat rendah, berani sekali kalian mengganggu rumahku!” seru Lili dengan marah sekali.
Ia tidak tahu yang mana diantara kedua orang ini yang tadi datang ke rumahnya, akan tetapi ia lalu menyerbu mereka! Akan tetapi, kedua orang muda itu ketika mendengar suaranya, tiba-tiba mereka lalu menghentikan pertempuran, bahkan keduanya lalu berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Semenjak Sin-kai Lo Sian Si Pengemis Sakti tinggal di rumah keluarga Sie, baik Lili maupun suami isteri Sie merasa terhibur dari kedukaan mereka karena kematian Yousuf. Sungguhpun kematian Yousuf telah terjadi belasan tahun yang lalu, namun tiap kali teringat oleh mereka bahwa pembunuhnya, yakni Bouw Hun Ti, belum terbalas, mereka merasa sedih sekali.
Akan tetapi, kini dengan adanya Lo Sian, seakan-akan Yousuf masih belum mati. Keadaan dan sikap Lo Sian ini hampir sama dengan kakek Turki itu. Juga seperti Yousuf, Lo Sian amat suka minum arak wangi, amat suka pula bernyanyi-nyanyi dan mendongeng.
Berbeda dengan Yousuf yang suka mendongeng cerita-cerita Turki, adalah Lo Sian pandai sekali mendongeng cerita-cerita Tiongkok kuno. Dia boleh lupa akan keadaan pengalamannya yang lampau, yakni segala hal yang menyangkut dengan dirinya, akan tetapi ternyata ia tidak melupakan dongeng-dongeng yang terjejal di dalam ingatannya ketika ia masih kecil!
Lili tidak sabar menanti kedatangan Hong Beng, karena ia telah memperhitungkan bahwa Hong Beng dan Goat Lan seharusnya sudah datang. Kemanakah gerangan perginya dua orang itu? Lili menyesal sekali mengapa dulu dia tidak ikut saja. Alangkah senangnya kalau mereka itu mengalami hal-hal yang hebat dan berbahaya!
Baiknya di rumah ada Lo Sian yang disebutnya pek-pek atau twa-pek. Kedua orang tuanya, yakni Sie Cin Hai dan Lin Lin, telah mendengar penuturannya yang banyak dilebih-lebihkan tentang pertemuan antara Goat Lan dan Hong Beng sehingga suami isteri itu merasa girang sekali. Memang Lili amat nakal, jenaka dan lucu. Katanya ketika ia menceritakan hal kakaknya dan Goat Lan,
“Engko Hong Beng agaknya tak dapat berpisah lagi dari Enci Lan! Ah, kalau Ayah dan Ibu melihat betapa tadinya sebelum mengetahui bahwa mereka telah saling jatuh cinta!” Gadis itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan lengan baju.
“Apa maksudmu?” tanya ayahnya mengerutkan kening.
Lili menceritakan betapa ia telah menggoda Hong Beng dan Goat Lan sehingga kedua orang muda yang tidak saling mengenal itu sampai bertempur!
“Ah, kau nakal sekali, Lili!” ayahnya menegur. “Kenakalan seperti itu berbahaya sekali. Kenapa kau seperti anak kecil saja?”
Lili tidak merasa aneh melihat teguran ayahnya, karena memang semenjak kecil, hanya ayahnya saja yang selalu menegurnya. Akan tetapi ia maklum betul-betul bahwa ayahnya ini hanya galak di luarnya saja, padahal di dalam hati amat menyayang dan memanjakannya.
“Mengapa, Ayah? Bukankah dengan demikian mereka jadi saling mengenal tingkat kepandaian masing-masing?”
Kemudian ia lalu melanjutkan penuturannya, betapa Goat Lan merasa berkuatir ketika mendengar Hong Beng ditantang pibu okeh para pemimpin Hek-tung Kai-pang.
Setelah selesai dengan penuturannya dan gadis ini pergi ke belakang mengunjungi Lo Sian di kebun dimana Lo Sian mengerjakan taman bunga, membuangi daun kering dan rumput, Pendekar Bodoh berkata kepada isterinya,
“Ah, kurang pantas sekali kalau Hong Beng melakukan perjalanan berdua saja dengan Goat Lan. Mereka itu belum menikah dan sudah terlalu lama mereka pergi berdua. Hal ini tidak baik… tidak baik…” Ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Apanya yang tidak baik?” Lin Lin membantah. “Mereka sudah bertunangan.”
“Masih belum pantas melakukan perjalanan bersama dalam masa pertunangan, itu melanggar adat kesopanan kita,” kata suaminya.
“Ah, kau terlalu kukuh! Tidak ingatkah kau betapa dahulu kita sebelum menikah juga melakukan perantauan, bahkan lebih jauh dan lebih lama lagi? Asalkan kita dapat menjaga kesopanan, apa salahnya? Lagi pula, aku percaya penuh Beng-ji akan tahu menjaga kesopanan, demikian pula Goat Lan.”
“Kita lain lagi, isteriku,” kata Cin Hai. “Ketika kita melakukan perjalanan bersama, kita sudah yatim piatu. Akan tetapi anak-anak itu masih ada orang tuanya. Boleh saja secara kebetulan mereka bertemu di jalan dan menyelesaikan urusan bersama, akan tetapi tidak untuk selanjutnya merantau dan tidak pulang sampai sekarang!”
“Sudahlah, suamiku, mengapa ribut-ribut? Siapa tahu kalau mereka juga menjumpai urusan yang penting? Lebih baik untuk menenteramkan hati, kita pergi mnengunjungi Enci Hwa dan suaminya di Tiang-an, menetapkan hari pernikahan kedua anak itu. Sekalian kita melihat-lihat kalau-kalau mereka sudah pulang kesana.”
Sie Cin Hai menyetujui pikiran isterinya ini. Demikianlah, pada keesokan harinya kedua suami-isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke Tiang-an.
Lili yang ditinggalkan berdua dengan Lo Sian, melewatkan waktunya bersama Pengemis Sakti ini. Dicobanya terus menerus oleh Lili untuk mengembalikan ingatan bekas suhunya ini, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka. Kini Lo Sian nampak senang dan gembira selalu. Di dalam rumah keluarga Sie, ia seperti seekor burung yang akhirnya menemukan sarang yang baik. Badannya menjadi segar dan gemuk dan tiap hari ia minum arak yang selalu disediakan oleh keluarga Sie.
Untuk menyenangkan hati Lo Sian yang telah menolong jiwanya dan telah melepas budi besar, Lili lalu menyuruh pelayan membeli arak terbaik dari Hang-ciu sehingga Lo Sian merasa girang bukan main. Dengan ditemani oleh Lili, seringkali ia minum arak di loteng belakang sambil menikmati keindahan taman bunga yang dirawatnya dan yang berada di bawah loteng itu.
Pada malam hari itu, Lo Sian nampak masih duduk di atas loteng di bagian belakang rumah, minum arak seorang diri. Baru saja datang seguci besar arak wangi yang dibeli oleh Lili dan gadis itu bahkan membuat kue yang diberikan kepada suhunya. Pengemis Sakti ini makan minum seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi.
Ketika Lili yang berada di bagian bawah mendengar suara nyanyian suhunya, ia merasa heran. Suara pengemis Sakti itu tidak seperti biasanya, kini terdengar bernada sedih. Ia cepat naik ke atas loteng dan melihat betapa bekas suhunya itu minum arak langsung dari guci dan kaki kirinya ditumpangkan di atas meja!
“Pek-pek, kau kenapakah?” tanya Lili sambil menghampiri kakek itu.
Lo Sian menunda minumnya dan ketika ia menengok kepada Lili, gadis ini terkejut melihat pipi Lo Sian telah basah dengan air mata!
“Pek-pek, mengapa kau bersedih?”
Lo Sian terpaksa tersenyum ketika ia memandang wajah Lili. Alangkah sukanya ia kepada gadis ini, seperti kepada puterinya sendiri.
“Tidak, Lili, aku tidak bersedih. Dengan kau dan orang tuamu yang mulia berada di dekatku, bagaimana aku dapaf bersedih? Hanya aku menyesal sekali, Lili, menyesal bahwa aku telah menjadi seorang yang begini tiada guna! Aku hanya menjadi pengganggu orang tuamu, aku telah banyak mengecewakan. Kau dan orang tuamu karena tidak mampu mengingat-ingat hal yang telah terjadi. Terutama sekali aku tidak dapat ingat lagi dimana dan bagaimana Lie Kong Sian Tai-hiap meninggal dunia! Ah, aku menjadi sebuah boneka hidup!”
“Pek-pek, mengapa hal begitu saja dibuat menyesal? Kau tidak berdaya dan bukan salahmu kalau kau kehilangan ingatanmu. Lebih baik menghibur hati, agar tubuhmu menjadi sehat dan siapa tahu kalau kesehatanmu akan dapat memulihkan ingatanmu. Dengan banyak berpikir serta banyak pusing, kurasa tidak akan mendatangkan manfaat bagi ingatammu, Pek-pek.”
“Kau betul, Lili. Kau selalu benar, sungguh aneh seorang gadis muda seperti kau dapat mengeluarkan ucapan yang demikian bijaksana. Pantas benar kau menjadi puteri Pendekar Bodoh…”
Lili tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menghampiri meja dan menyalakan lilin di atas meja yang belum dipasang oleh Lo Sian. Melihat kue-kue di atas piring belum termakan oleh Lo Sian, Lili bertanya,
“Eh, kenapa kue-kue ini belum kau makan, Pek-pek?”
“Nanti dulu, aku lebih senang minum arak yang wangi dan enak ini! Kau pandai benar memilih arak baik!”
Setelah berkata demikian, Lo Sian lalu mengangkat guci besar itu dengan kedua tangannya, menuangkan isinya yang masih setengah itu langsung ke mulutnya dengan sikap seperti tadi, yaitu kaki kiri di atas meja!
Lili hanya berdiri di belakang Pengemis Sakti itu sambil tersenyum geli, karena ia menduga bahwa Lo Sian tentu sudah setengah mabuk. Akan tetapi pada saat itu, Lili terkejut sekali melihat berkelebatnya sesosok bayangan hitam yang melayang turun bagaikan seekor burung besar dari atas wuwungan! Bayangan itu gerakannya gesit sekali dan melihat betapa ia melayang dengan kedua lengan dikembangkan, dapat diduga bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Lo Sian yang sedang enak minum arak, tidak melihat berkelebatnya bayangan itu, akan tetapi Lili yang bermata tajam tentu saja dapat melihatnya. Dengan amat kuatir, gadis ini lalu meninggalkan Lo Sian, berlari turun ke bawah melalui anak tangga untuk mencegat bayangan tadi di bawah. Lo Sian masih saja minum arak, kakek ini tidak heran melihat Lili berlari-larian yang sudah menjadi kebiasaan gadis jenaka ini
Ketika tiba di bawah, Lili tidak melihat bayangan orang. Cepat ia melompat keluar dan mengelilingi rumahnya. Bayangan tadi dilihatnya melompat ke bawah ke arah depan rumah, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak lagi? Apakah ia salah lihat? Tak mungkin, pikirnya, dan dengan penasaran sekali ia lalu menyelidiki seluruh pinggir rumahnya.
Ketika tidak menemukan sesuatu, ia cepat masuk lagi ke dalam rumah dan tiba-tiba ia teringat bahwa ayah bundanya mempunyai banyak musuh. Cepat ia menuju ke kamar ayah dan ibunya yang berada di sebelah dalam. Kagetlah ia ketika melihat bahwa kamar ayah bundanya ternyata telah kemasukan orang, karena pintu kamar yang tadinya terkunci dibuka dengan paksa! Cepat ia ke dalam dan di situ kosong saja. Hanya sebuah lemari kayu, tempat pakaian ayah bundanya telah dibongkar orang dengan paksa dan kini terbuka dengan isinya berantakan ke bawah.
Ia merasa heran, karena pakaian itu masih utuh, tidak ada yang hilang, demikian pula tempat uang tidak diganggu. Siapakah bayangan tadi dan apa maksudnya membongkar lemari dan memasuki kamar ayah bundanya? Ia cepat mengejar lagi keluar dari kamar. Lili marah sekali dan ingin ia menangkap maling itu. Kini ia berlari menuju ke belakang.
Makin marah dan gemas hatinya melihat tiga orang pelayan rumahnya, seorang pelayan laki-laki dan dua orang pelayan wanita telah berada dalam keadaan tertotok di ruangan belakang. Ketika ia menghampiri mereka untuk membebaskan mereka dari totokan, ia mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya ketika melihat bahwa ketiga orang pelayan ini terkena totokan yang sama dengan ilmu totok yang dipelajarinya sendiri yakni ilmu totok dari Ilmu Silat Kong-ciak-sinna!
Tiba-tiba teringatlah dia akan sesuatu dan mukanya menjadi merah padam. Siapa lagi kalau bukan pemuda kurang ajar yang telah merampas sepatunya dulu? Pemuda yang mengaku putera Ang I Niocu? Hanya pemuda itu saja yang pandai Ilmu Silat Kong-ciak-sinna!
Kalau memang betul bayangan orang yang menjadi maling ini ternyata adalah pemuda putera Ang I Niocu yang belum diketahui namanya itu, mengapa ia datang seperti seorang maling? Tak mungkin putera Ang I Niocu melakukan hal ini!
Tiba-tiba ia teringat kepada Lo Sian yang berada di atas loteng dan wajahnya menjadi pucat ketika ia teringat betapa dulu di rumah Thian Kek Hwesio, pemuda itu pernah menyerang Lo Sian karena marah mendengar Pengemis Sakti itu menyatakan bahwa Lie Kong Sian telah mati!
Ia cepat berlari-lari melalui anak tangga menuju ke loteng dan alangkah kagetnya ketika ia melihat guci arak yang tadi diminum oleh Lo Sian, kini telah menggeletak di atas lantai dan isinya mengalir keluar. Lo Sian sendiri tidak kelihatan pergi kemana!
Lili menjadi bingung. Ia mencari ke sana ke mari, akan tetapi biarpun ia memanggil-manggil, tetap saja ia tidak dapat menemukan Lo Sian. Marah sekali hati gadis ini. Segera diambilnya Pedang Liong-coan-kiam dan kipasnya, kemudian dengan cepat sekali ia lalu melompat keluar rumah dan mencari di sekitar rumah itu.
Tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang sedang bertempur dengan hebatnya. Karena malam itu gelap, Lili hanya dapat melihat bahwa yang bertempur itu adalah dua orang laki-laki yang masih muda.
“Bangsat rendah, berani sekali kalian mengganggu rumahku!” seru Lili dengan marah sekali.
Ia tidak tahu yang mana diantara kedua orang ini yang tadi datang ke rumahnya, akan tetapi ia lalu menyerbu mereka! Akan tetapi, kedua orang muda itu ketika mendengar suaranya, tiba-tiba mereka lalu menghentikan pertempuran, bahkan keduanya lalu berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar