Mari kita mengikuti perjalanan Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dengan Lin Lin isterinya yang menuju ke Tiang-an untuk mengunjungi Kwee An dan Ma Hoa untuk membicarakan tentang perjodohan putera mereka.
Mereka melakukan perjalanan berkuda dan seperti biasa, Lin Lin bergembira di dalam perjalanan itu sehingga suaminya seringkali memandang dengan kagum karena merasa seakan-akan isterinya ini masih seperti dulu saja! Baginya, Lin Lin sampai sekarang tidak berubah, masih seperti Lin Lin di waktu remaja puteri, lincah dan jenaka.
Pada suatu hari, ketika sepasang suami isteri pendekar ini berada di sebelah selatan Tiang-an, kurang lebih tiga puluh li lagi dari Tiang-an, dan mereka sedang menjalankan kuda dengan cepat, tiba-tiba pada sebuah tikungan jalan, hampir saja kuda mereka beradu dengan seekor kuda yang dilarikan cepat dari depan!
Penunggang kuda itu seorang pemuda yang tampan dan gagah, cepat menarik kendali kudanya dan sambil mengeluarkan suara keras, kudanya yang besar itu berhenti dengan tiba-tiba, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik!
Pemuda ini adalah Kam Liong, panglima muda yang sedang menuju ke selatan untuk mengadakan pemeriksaan pada penjagaan di selatan, serta sekalian hendak singgah di Shaning untuk mengabarkan kepada Pendekar Bodoh tentang malapetaka yang menimpa diri puteranya.
Kam Liong membelalakkan matanya dan tadinya ia hendak marah kepada dua orang penunggang kuda itu, akan tetapi akhirnya ia menjadi heran dan terkejut sekali betapa dua orang penunggang kuda itu pun dapat menghentikan kuda mereka dengan tiba-tiba dan tenang saja, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.
Dia sendiri yang terkenal sebagai seorang ahli penunggang kuda hanya dapat menghentikan larinya kuda dengan kekerasan sehingga kudanya merasa sakit pada hidungnya dan berjingkrak-jingkrak, akan tetapi bagaimanakah kedua orang itu demikian tenang dan kuda mereka berhenti seakan-akan empat kaki kuda mereka tiba-tiba berakar pada tanah? Ia dapat menduga bahwa dua orang yang nampaknya gagah ini tentulah orang-orang berkepandaian tinggi, maka cepat Kam Liong melompat turun dari kudanya dan menjura dengan hormatnya.
“Harap Ji-wi sudi memberi maaf kepada siauwte kalau siauwte mendatangkan kekagetan kepada Ji-wi.”
“Siapa yang kaget?” jawab Lin Lin sambil tersenyum manis karena ia merasa suka kepada pemuda yang sopan ini. “Kalau ada yang kaget, agaknya kudamu itulah yang kaget.”
Merah muka Kam Liong mendengar ucapan nyonya setengah tua yang cantik itu. Biarpun nyonya itu mengatakan bahwa yang kaget adalah kudanya, akan tetapi tentu mereka itu telah melihat bahwa yang kaget sebenarnya adalah dia sendiri!
“Siauwte she Kam bernama Liong,” ia memperkenalkan diri, “karena siauwte mempunyai urusan penting, maka buru-buru membalapkan kuda. Sungguh amat hebat kepandaian Ji-wi menunggang kuda, benar-benar membuat siauwte tunduk sekali.”
Cin Hai dan Lin Lin memandang tajam. Jadi inikah pemuda putera Panglima Hong Sin seperti yang telah diceritakan oleh Lili itu? Tentu saja mereka tidak menduga sama sekali oleh karena Kam Liong memang selalu berpakaian biasa saja apabila melakukan pemeriksaan.
“Kaukah putera dari Panglima Kam Hong Sin?” tanya Cin Hai tiba-tiba dengan langsung, sesuai dengan wataknya yang jujur.
Kam Liong tertegun.
“Benar, Lo-enghiong, tidak tahu siauwte berhadapan dengan siapakah?”
“Ayahmu seorang yang jujur dan baik,” kata Cin Hai tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu, “kami kenal baik dengan ayahmu itu. Sayang kami belum dapat bertemu lagi sebelum ia gugur dalam perjalanan.”
Kam Liong memandang makin tajam dan tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Cepat ia mengerling ke arah nyonya itu dan sekilas memandang saja lenyaplah keraguannya. Wajah nyonya itu sama benar dengan wajah Lili, gadis yang dirindukannya!
Dengan hati berdebar girang ia menjura lagi sambil berkata,
“Salahkah kalau siauwte mengatakan bahwa Sie-taihiap, Pendekar Bodoh yang terhormat bersama dengan isteri yang siauwte hadapi ini?”
“Pandangan matamu tajam juga, orang muda. Kau tidak menduga salah,” jawab Lin Lin.
Tiba-tiba Kam Liong menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan senyum di bibir, kemudian terpaksa mereka pun melompat turun dari kuda.
Cin Hai cepat memegang pundak Kam Liong untuk mengangkatnya bangun. Pemuda ini amat cerdik. Ia tertarik oleh Lili dan ingin sekali meminang gadis itu menjadi isterinya, maka kini bertemu dengan orang tua gadis itu, cepat ia memberi hormat. Ketika merasa betapa kedua tangan Cin Hai menyentuh pundaknya, Kam Liong sengaia mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga Seribu Kati) untuk memperlihatkan kesanggupannya.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika pundaknya yang tadinya dikeraskan oleh tenaga Jeng-king-kang itu ketika tersentuh dan tertekan oleh jari-jari tangan Cin Hai, tiba-tiba lenyap tenaganya sama sekali dan tubuhnya berubah menjadi lemas, sehingga ia terpaksa menurut saja ketika ia diangkat bangun.
“Mohon ampun sebanyaknya bahwa siauwte yang bodoh bermata buta, tidak melihat dan mengenal pendekar-pendekat besar! Sesungguhnya, pertemuan ini amat membahagiakan hatiku, karena sesungguhnya siauwte memang hendak pergi ke Shaning ingin bertemu dengan Ji-wi.”
“Ada keperluan apakah Ciangkun hendak bertemu dengan kami?” tanya Cin Hai sambil memandang dengan penuh perhatian, karena sesungguhnya ia tidak begitu suka untuk berhubungan dengan segala perwira atau panglima kerajaan.
Hatinya masih terluka oleh sepak terjang para perwira kerajaan yang banyak menyusahkan hidupnya di waktu ia muda dulu (baca cerita Pendekar Bodoh).
Akan tetapi, Lin Lin hatinya tertarik oleh kesopanan pemuda ini. Biarpun ia memiliki kedudukan tinggi, akan tetap pandai sekali membawa diri, tidak sombong dan sopan santun.
Bagi pembaca yang sudah pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Lin Lin sendiri adalah puteri dari seorang perwira maka tentu saja dia tidak merasakan ketidak sukaan terhadap kaum perwira seperti yang dirasakan oleh suaminya.
“Tentu ada keperluan yang amat penting sehingga Ciangkun meninggalkan kota raja untuk mencari kami,” kata Lin Lin dengan suara lebih halus.
“Sesungguhnya, siauwte membawa berita yang amat penting mengenai keadaan putera Ji-wi, yaitu Sie Hong Beng.”
“Dia dimana? Apa yang terjadi?”
Lin Lin mendesak dengan muka berubah mengandung kekuatiran. Sudah lajimnya para lbu selalu menguatirkan keadaan puteranya. Cin Hai tetap tenang saja dan hanya sinar matanya yang mendesak kepada Kam Liong untuk cepat-cepat menceritakan apa yang telah terjadi atas diri Hong Beng.
Kam Liong lalu menuturkan dengan sejelasnya betapa Goat Lan dan Hong Beng dengan kekerasan telah berhasil menolong Putera Mahkota, dan betapa kemudian Goat Lan diberi karunia, diangkat menjadi selir pertama untuk Putera Mahkota yang ditolak dengan tegas oleh Giok Lan sehingga gadis itu dihukum buang ke utara dan dikawani oleh Hong Beng! Tentu saja ia tidak lupa untuk menuturkan betapa ia telah menyusul kedua orang muda itu dan memberi kuda serta memberi petunjuk.
“Siauwte telah memberi tahu kepada Saudara Hong Beng dan Nona Kwee agar supaya mereka dan para pengawal mereka mengambil kedudukan di lereng Gunung Alkata-san, dimana siauwte dahulu mempunyai sebuah benteng yang cukup baik kedudukannya dan kuat. Kalau siauwte sudah selesai tugas siauwte ke selatan, siauwte juga akan memimpin pasukan ke utara. Hal ini penting sekali oleh karena bukan hanya bangsa Tartar saja yang mengacau, akan tetapi ada desas-desus yang mengabarkan bahwa kini bangsa Mongol di utara di bawah pimpinan raja mereka, Malangi Khan, juga hendak menyerbu ke selatan!”
Mendengar penuturan pemuda ini, Cin Hai menggigit bibirnya, akan tetapi Lin Lin membanting-banting kedua kakinya dengan gemas.
“Kaisar bu-to (tiada pribudi)! Sudah ditolong nyawa anaknya, masih tidak berterima kasih, bahkan hendak menjadikan calon mantuku sebagai selir Putera Mahkota! Dia kira macam apakah Goat Lan itu? Sungguh tak tahu membedakan orang!”
Kam Liong adalah seorang panglima muda yang mempunyai kesetiaan terhadap Kaisar, seperti ayahnya dahulu. Oleh karena itu, mendengar betapa Lin Lin memaki Kaisar, ia menjadi tak senang juga. Ia pun terkejut mendengar bahwa Goat Lan adalah tunangan Hong Beng sebagaimana baru saja disebut oleh Lin Lin bahwa Goat Lan adalah calon mantunya. Untuk membela nama Kaisar, Kam Liong berkata,
“Sayang sekali bahwa Nona Kwee Goat Lan atau Saudara Sie Hong Beng tidak berterus terang saja kepada Hong-siang bahwa mereka berdua sudah bertunangan. Kalau Kaisar mengetahui akan hal ini, siauwte merasa pasti Nona Kwee takkan dipaksa menjadi selir Putera Mahkota. Sesungguhnya, menjadi selir pertama dari Putera Mahkota adalah suatu kehormatan yang tinggi sekali, karena siapa tahu kalau Putera Mahkota kelak menjadi kaisar dan selir pertama amat dicintanya, wanita itu mempunyai harapan untuk menjadi permaisuri? Dengan penolakan Nona Kwee, penolakan secara langsung di hadapan para menteri dan pembesar tinggi, sudah tentu saja Kaisar terhina sekali sehingga menjatuhkan hukum buang. Siauwte menjelaskan hal ini agar Ji-wi tidak menjadi salah mengerti.”
Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk bahkan Cin Hai lalu menarik napas panjang dan berkata,
“Semenjak dahulu sampai sekarang, selalu kaum bangsawan dan pembesar mempunyai kekuasaan dan kebenaran tersendiri, tanah yang mereka injak berada di atas kepala rakyat kecil!”
“Kita harus menyusul Beng-ji ke utara!” kata Lin Lin. “Baiknya kita memberi tahu kepada Engko An dan Enci Ma Hoa tentang hal ini. Mereka juga berhak mendengar berita perihal puteri mereka.”
“Ke utara bukan tempat dekat dan tidak dapat dilakukan dalam waktu pendek. Kalau kita langsung kesana, bagaimana dengan Lili? Apakah dia takkan gelisah dan menanti-nanti kita?” kata Cin Hai.
Kedua suami-isteri ini dalam ketegangannya sampai lupa bahwa disitu masih ada Kam Liong yang diam-diam mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Maaf, Ji-wi harap jangan mengira kurang ajar. Akan tetapi sesungguhnya perjalanan siauwte ke selatan akan melalui Shaning. Kalau kiranya Ji-wi tidak berkeberatan, siauwte dapat menyampaikan berita ini ke rumah ji-wi, karena siauwte pernah mendapat kehormatan bertemu dengan puteri Ji-wi.”
Cin Hai mengerutkan keningnya, akan tetapi Lin Lin menjawab dengan girang,
“Bagus, kau baik sekali, Ciangkun. Lili juga sudah menceritakan pertemuannya denganmu. Baiklah, kalau kau melalui Shaning, tolong kau beritahukan kepada puteri kami bahwa kami mungkin akan terus ke utara untuk menyusul Hong Beng.”
Kam Liong girang sekali, akan tetapi ia tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya, hanya menyatakan kesanggupannya dengan sikap sopan. Mereka lalu berpisah, kedua suami-isteri pendekar itu cepat mengaburkan kudanya ke Tiang-an, adapun Kam Liong dengan hati girang lalu menuju ke Shaning.
Ketika tiba di pekarangan depan rumah gedung yang ditinggali oleh Kwee An di Tiang-an, seorang pelayan tua yang segera mengenal mereka lalu menyambut dan memegang kendali kuda mereka untuk dibawa ke kandang kuda.
“Selamat datang, Sie-taihiap berdua, selamat datang!” katanya girang.
Terdengar suara teriakan girang dan seorang anak laki-laki yang bermuka putih dan bundar berusia kurang lebih sembilan tahun berlari keluar dari pintu depan.
“Kouw-kouw dan Kouw-thio datang…” serunya.
“Cin-ji (Anak Cin), kau sudah besar sekarang!” seru Lin Lin yang segera menyambut anak itu dengan kedua tangat terbuka.
Dipeluknya Kwee Cin, anak ke dua dari Kwee An dan Ma Hoa dengan girang dan. ketika Cin Hai memeluknya pula, anak itu berbisik kepadanya,
“Kouw-thio (Paman, suami Bibi), kapan kau mau mengajarku Liong-cu Kiam-sut?”
Cin Hai tertawa. Ketika anak ini baru berusia lima tahun, anak ini telah pula mengajukan permintaan untuk belajar ilmu pedang darinya. Dan sekarang anak ini menanyakan hal itu pula, sungguh seorang anak yang teguh kehendaknya.
“Bukankah ilmu pedang ayahmu juga bagus sekali? Dan ilmu bambu runcing ibumu tiada keduanya di dunia ini!” kata Cin Hai.
Mereka melakukan perjalanan berkuda dan seperti biasa, Lin Lin bergembira di dalam perjalanan itu sehingga suaminya seringkali memandang dengan kagum karena merasa seakan-akan isterinya ini masih seperti dulu saja! Baginya, Lin Lin sampai sekarang tidak berubah, masih seperti Lin Lin di waktu remaja puteri, lincah dan jenaka.
Pada suatu hari, ketika sepasang suami isteri pendekar ini berada di sebelah selatan Tiang-an, kurang lebih tiga puluh li lagi dari Tiang-an, dan mereka sedang menjalankan kuda dengan cepat, tiba-tiba pada sebuah tikungan jalan, hampir saja kuda mereka beradu dengan seekor kuda yang dilarikan cepat dari depan!
Penunggang kuda itu seorang pemuda yang tampan dan gagah, cepat menarik kendali kudanya dan sambil mengeluarkan suara keras, kudanya yang besar itu berhenti dengan tiba-tiba, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik!
Pemuda ini adalah Kam Liong, panglima muda yang sedang menuju ke selatan untuk mengadakan pemeriksaan pada penjagaan di selatan, serta sekalian hendak singgah di Shaning untuk mengabarkan kepada Pendekar Bodoh tentang malapetaka yang menimpa diri puteranya.
Kam Liong membelalakkan matanya dan tadinya ia hendak marah kepada dua orang penunggang kuda itu, akan tetapi akhirnya ia menjadi heran dan terkejut sekali betapa dua orang penunggang kuda itu pun dapat menghentikan kuda mereka dengan tiba-tiba dan tenang saja, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.
Dia sendiri yang terkenal sebagai seorang ahli penunggang kuda hanya dapat menghentikan larinya kuda dengan kekerasan sehingga kudanya merasa sakit pada hidungnya dan berjingkrak-jingkrak, akan tetapi bagaimanakah kedua orang itu demikian tenang dan kuda mereka berhenti seakan-akan empat kaki kuda mereka tiba-tiba berakar pada tanah? Ia dapat menduga bahwa dua orang yang nampaknya gagah ini tentulah orang-orang berkepandaian tinggi, maka cepat Kam Liong melompat turun dari kudanya dan menjura dengan hormatnya.
“Harap Ji-wi sudi memberi maaf kepada siauwte kalau siauwte mendatangkan kekagetan kepada Ji-wi.”
“Siapa yang kaget?” jawab Lin Lin sambil tersenyum manis karena ia merasa suka kepada pemuda yang sopan ini. “Kalau ada yang kaget, agaknya kudamu itulah yang kaget.”
Merah muka Kam Liong mendengar ucapan nyonya setengah tua yang cantik itu. Biarpun nyonya itu mengatakan bahwa yang kaget adalah kudanya, akan tetapi tentu mereka itu telah melihat bahwa yang kaget sebenarnya adalah dia sendiri!
“Siauwte she Kam bernama Liong,” ia memperkenalkan diri, “karena siauwte mempunyai urusan penting, maka buru-buru membalapkan kuda. Sungguh amat hebat kepandaian Ji-wi menunggang kuda, benar-benar membuat siauwte tunduk sekali.”
Cin Hai dan Lin Lin memandang tajam. Jadi inikah pemuda putera Panglima Hong Sin seperti yang telah diceritakan oleh Lili itu? Tentu saja mereka tidak menduga sama sekali oleh karena Kam Liong memang selalu berpakaian biasa saja apabila melakukan pemeriksaan.
“Kaukah putera dari Panglima Kam Hong Sin?” tanya Cin Hai tiba-tiba dengan langsung, sesuai dengan wataknya yang jujur.
Kam Liong tertegun.
“Benar, Lo-enghiong, tidak tahu siauwte berhadapan dengan siapakah?”
“Ayahmu seorang yang jujur dan baik,” kata Cin Hai tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu, “kami kenal baik dengan ayahmu itu. Sayang kami belum dapat bertemu lagi sebelum ia gugur dalam perjalanan.”
Kam Liong memandang makin tajam dan tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Cepat ia mengerling ke arah nyonya itu dan sekilas memandang saja lenyaplah keraguannya. Wajah nyonya itu sama benar dengan wajah Lili, gadis yang dirindukannya!
Dengan hati berdebar girang ia menjura lagi sambil berkata,
“Salahkah kalau siauwte mengatakan bahwa Sie-taihiap, Pendekar Bodoh yang terhormat bersama dengan isteri yang siauwte hadapi ini?”
“Pandangan matamu tajam juga, orang muda. Kau tidak menduga salah,” jawab Lin Lin.
Tiba-tiba Kam Liong menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan senyum di bibir, kemudian terpaksa mereka pun melompat turun dari kuda.
Cin Hai cepat memegang pundak Kam Liong untuk mengangkatnya bangun. Pemuda ini amat cerdik. Ia tertarik oleh Lili dan ingin sekali meminang gadis itu menjadi isterinya, maka kini bertemu dengan orang tua gadis itu, cepat ia memberi hormat. Ketika merasa betapa kedua tangan Cin Hai menyentuh pundaknya, Kam Liong sengaia mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga Seribu Kati) untuk memperlihatkan kesanggupannya.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika pundaknya yang tadinya dikeraskan oleh tenaga Jeng-king-kang itu ketika tersentuh dan tertekan oleh jari-jari tangan Cin Hai, tiba-tiba lenyap tenaganya sama sekali dan tubuhnya berubah menjadi lemas, sehingga ia terpaksa menurut saja ketika ia diangkat bangun.
“Mohon ampun sebanyaknya bahwa siauwte yang bodoh bermata buta, tidak melihat dan mengenal pendekar-pendekat besar! Sesungguhnya, pertemuan ini amat membahagiakan hatiku, karena sesungguhnya siauwte memang hendak pergi ke Shaning ingin bertemu dengan Ji-wi.”
“Ada keperluan apakah Ciangkun hendak bertemu dengan kami?” tanya Cin Hai sambil memandang dengan penuh perhatian, karena sesungguhnya ia tidak begitu suka untuk berhubungan dengan segala perwira atau panglima kerajaan.
Hatinya masih terluka oleh sepak terjang para perwira kerajaan yang banyak menyusahkan hidupnya di waktu ia muda dulu (baca cerita Pendekar Bodoh).
Akan tetapi, Lin Lin hatinya tertarik oleh kesopanan pemuda ini. Biarpun ia memiliki kedudukan tinggi, akan tetap pandai sekali membawa diri, tidak sombong dan sopan santun.
Bagi pembaca yang sudah pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Lin Lin sendiri adalah puteri dari seorang perwira maka tentu saja dia tidak merasakan ketidak sukaan terhadap kaum perwira seperti yang dirasakan oleh suaminya.
“Tentu ada keperluan yang amat penting sehingga Ciangkun meninggalkan kota raja untuk mencari kami,” kata Lin Lin dengan suara lebih halus.
“Sesungguhnya, siauwte membawa berita yang amat penting mengenai keadaan putera Ji-wi, yaitu Sie Hong Beng.”
“Dia dimana? Apa yang terjadi?”
Lin Lin mendesak dengan muka berubah mengandung kekuatiran. Sudah lajimnya para lbu selalu menguatirkan keadaan puteranya. Cin Hai tetap tenang saja dan hanya sinar matanya yang mendesak kepada Kam Liong untuk cepat-cepat menceritakan apa yang telah terjadi atas diri Hong Beng.
Kam Liong lalu menuturkan dengan sejelasnya betapa Goat Lan dan Hong Beng dengan kekerasan telah berhasil menolong Putera Mahkota, dan betapa kemudian Goat Lan diberi karunia, diangkat menjadi selir pertama untuk Putera Mahkota yang ditolak dengan tegas oleh Giok Lan sehingga gadis itu dihukum buang ke utara dan dikawani oleh Hong Beng! Tentu saja ia tidak lupa untuk menuturkan betapa ia telah menyusul kedua orang muda itu dan memberi kuda serta memberi petunjuk.
“Siauwte telah memberi tahu kepada Saudara Hong Beng dan Nona Kwee agar supaya mereka dan para pengawal mereka mengambil kedudukan di lereng Gunung Alkata-san, dimana siauwte dahulu mempunyai sebuah benteng yang cukup baik kedudukannya dan kuat. Kalau siauwte sudah selesai tugas siauwte ke selatan, siauwte juga akan memimpin pasukan ke utara. Hal ini penting sekali oleh karena bukan hanya bangsa Tartar saja yang mengacau, akan tetapi ada desas-desus yang mengabarkan bahwa kini bangsa Mongol di utara di bawah pimpinan raja mereka, Malangi Khan, juga hendak menyerbu ke selatan!”
Mendengar penuturan pemuda ini, Cin Hai menggigit bibirnya, akan tetapi Lin Lin membanting-banting kedua kakinya dengan gemas.
“Kaisar bu-to (tiada pribudi)! Sudah ditolong nyawa anaknya, masih tidak berterima kasih, bahkan hendak menjadikan calon mantuku sebagai selir Putera Mahkota! Dia kira macam apakah Goat Lan itu? Sungguh tak tahu membedakan orang!”
Kam Liong adalah seorang panglima muda yang mempunyai kesetiaan terhadap Kaisar, seperti ayahnya dahulu. Oleh karena itu, mendengar betapa Lin Lin memaki Kaisar, ia menjadi tak senang juga. Ia pun terkejut mendengar bahwa Goat Lan adalah tunangan Hong Beng sebagaimana baru saja disebut oleh Lin Lin bahwa Goat Lan adalah calon mantunya. Untuk membela nama Kaisar, Kam Liong berkata,
“Sayang sekali bahwa Nona Kwee Goat Lan atau Saudara Sie Hong Beng tidak berterus terang saja kepada Hong-siang bahwa mereka berdua sudah bertunangan. Kalau Kaisar mengetahui akan hal ini, siauwte merasa pasti Nona Kwee takkan dipaksa menjadi selir Putera Mahkota. Sesungguhnya, menjadi selir pertama dari Putera Mahkota adalah suatu kehormatan yang tinggi sekali, karena siapa tahu kalau Putera Mahkota kelak menjadi kaisar dan selir pertama amat dicintanya, wanita itu mempunyai harapan untuk menjadi permaisuri? Dengan penolakan Nona Kwee, penolakan secara langsung di hadapan para menteri dan pembesar tinggi, sudah tentu saja Kaisar terhina sekali sehingga menjatuhkan hukum buang. Siauwte menjelaskan hal ini agar Ji-wi tidak menjadi salah mengerti.”
Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk bahkan Cin Hai lalu menarik napas panjang dan berkata,
“Semenjak dahulu sampai sekarang, selalu kaum bangsawan dan pembesar mempunyai kekuasaan dan kebenaran tersendiri, tanah yang mereka injak berada di atas kepala rakyat kecil!”
“Kita harus menyusul Beng-ji ke utara!” kata Lin Lin. “Baiknya kita memberi tahu kepada Engko An dan Enci Ma Hoa tentang hal ini. Mereka juga berhak mendengar berita perihal puteri mereka.”
“Ke utara bukan tempat dekat dan tidak dapat dilakukan dalam waktu pendek. Kalau kita langsung kesana, bagaimana dengan Lili? Apakah dia takkan gelisah dan menanti-nanti kita?” kata Cin Hai.
Kedua suami-isteri ini dalam ketegangannya sampai lupa bahwa disitu masih ada Kam Liong yang diam-diam mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Maaf, Ji-wi harap jangan mengira kurang ajar. Akan tetapi sesungguhnya perjalanan siauwte ke selatan akan melalui Shaning. Kalau kiranya Ji-wi tidak berkeberatan, siauwte dapat menyampaikan berita ini ke rumah ji-wi, karena siauwte pernah mendapat kehormatan bertemu dengan puteri Ji-wi.”
Cin Hai mengerutkan keningnya, akan tetapi Lin Lin menjawab dengan girang,
“Bagus, kau baik sekali, Ciangkun. Lili juga sudah menceritakan pertemuannya denganmu. Baiklah, kalau kau melalui Shaning, tolong kau beritahukan kepada puteri kami bahwa kami mungkin akan terus ke utara untuk menyusul Hong Beng.”
Kam Liong girang sekali, akan tetapi ia tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya, hanya menyatakan kesanggupannya dengan sikap sopan. Mereka lalu berpisah, kedua suami-isteri pendekar itu cepat mengaburkan kudanya ke Tiang-an, adapun Kam Liong dengan hati girang lalu menuju ke Shaning.
Ketika tiba di pekarangan depan rumah gedung yang ditinggali oleh Kwee An di Tiang-an, seorang pelayan tua yang segera mengenal mereka lalu menyambut dan memegang kendali kuda mereka untuk dibawa ke kandang kuda.
“Selamat datang, Sie-taihiap berdua, selamat datang!” katanya girang.
Terdengar suara teriakan girang dan seorang anak laki-laki yang bermuka putih dan bundar berusia kurang lebih sembilan tahun berlari keluar dari pintu depan.
“Kouw-kouw dan Kouw-thio datang…” serunya.
“Cin-ji (Anak Cin), kau sudah besar sekarang!” seru Lin Lin yang segera menyambut anak itu dengan kedua tangat terbuka.
Dipeluknya Kwee Cin, anak ke dua dari Kwee An dan Ma Hoa dengan girang dan. ketika Cin Hai memeluknya pula, anak itu berbisik kepadanya,
“Kouw-thio (Paman, suami Bibi), kapan kau mau mengajarku Liong-cu Kiam-sut?”
Cin Hai tertawa. Ketika anak ini baru berusia lima tahun, anak ini telah pula mengajukan permintaan untuk belajar ilmu pedang darinya. Dan sekarang anak ini menanyakan hal itu pula, sungguh seorang anak yang teguh kehendaknya.
“Bukankah ilmu pedang ayahmu juga bagus sekali? Dan ilmu bambu runcing ibumu tiada keduanya di dunia ini!” kata Cin Hai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar