Selasa, 20 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 112

“Aku akan memperhatikan omonganmu, Sin-houw-enghiong. Akan tetapi terlebih dulu aku akan membantu Nona Lilani mencari bangsanya!” Maka pergilah Lo Sian menyusul Lie Siong dan Lilani yang telah berangkat lebih dulu.

Setelah mengalami peristiwa yang tidak enak itu yang disebabkan oleh keadaannya sebagai seorang gadis Haimi, Lilani lalu berganti pakaian. Ia merasa malu dan menyesal sekali mendengar betapa bangsanya telah dibawa sesat oleh Saliban sehingga suku bangsa Haimi kini dipandang sebagai musuh oleh orang-orang gagah dari dunia kang-ouw.

Untuk mencegah terjadinya hal seperti yang tadi dialami ketika bertemu dengan Sin-houw-enghiong Kam Wi, Lilani lalu mengenakan pakaian seperti seorang gadis Han, bahkan rambutnya lalu diubah susunannya sehingga kini benar-benar ia merupakan seorang gadis Han yang cantik.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan cepat, sama sekali tidak menyangka bahwa diam-diam Sin-houw-enghiong Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu masih membayangi mereka.

Kam Wi merasa curiga kepada mereka yang disangkanya mata-mata bangsa Mongol. Kehadiran Lo Sian memang menimbulkan kepercayaannya, akan tetapi sebaliknya sikap Lo Sian yang amat berbeda dengan dahulu, mengembalikan kecurigaannya. Ia tadi telah menyaksikan kelihaian pemuda tampan yang mengawani gadis itu, maka khawatirlah ia kalau-kalau mereka itu benar-benar hendak menggabungkan diri dengan kaum pengacau.

Pada suatu pagi, tibalah mereka di dusun yang berada di sebelah selatan kaki Gunung Alkata-san. Dusun itu cukup ramai dan di situ banyak sekali orang gagah dari berbagai golongan.

Memang amat mengherankan orang kalau melihat di tempat yang jauh di sebelah utara itu begitu banyak terdapat orang-orang dari selatan. Mereka ini adalah orang-orang yang biasa melakukan perdagangan dengan orang-orang Mongol dan biarpun keadaan amat mengkhawatirkan dengan timbulnya bahaya perang, namun orang-orang yang ulet ini masih saja mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar.

Ketika Lo Sian dan kedua orang kawannya sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

“Hai, bangsat muda, kebetulan sekali aku bertemu dengan kau disini!”

Orang ini ketika dilihat ternyata adalah Ban Sai Cinjin! Sebagaimana telah diketahui, Ban Sai Cinjin pernah bentrok dengan Lie Siong dan pemuda itu mengamuk dan membunuh beberapa orang murid dan kawan Ban Sai Cinjin ketika orang-orang muda itu mengganggu Lilani dahulu. Kini melihat pemuda ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin sehingga ia menegur di jalan raya.

Ban Sai Cinjin bukan seorang diri di situ, akan tetapi ditemani oleh seorang pengemis tua yang menyeramkan. Rambutnya dipotong pendek dan berdiri kaku seperti kawat. Pengemis menyeramkan ini sesungguhnya bukan lain adalah Coa-ong Lojin, ketua dari perkumpulan Coa-tung Kai-pang!

Sebagaimana telah dituturkan, dua orang pengurus kelas satu dari Coa-tung Kai-pang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Hong Beng yang diangkat menjadi ketua dari Hek-tung Kai-pang.

Dalam usahanya mencari kawan-kawan, Ban Sai Cinjin berhasil pula menempel raja pengemis yang terkenal galak dan ganas ini dan kini mereka berada di utara karena memang Ban Sai Cinjin telah mengadakan persekutuan dengan Malangi Khan. Yang menjadi perantara adalah muridnya sendiri yaitu Bouw Hun Ti yang telah lebih dahulu menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan membantu mereka.

Setelah Ban Sai Cinjin tidak berhasil mengadakan persekutuan jahat dengan Perwira Bu Kwan Ji, maka kakek jahat ini lalu pergi dan langsung menuju ke utara. Ia mengubah cita-citanya. Kini ia berusaha menggunakan kekuatan tentara Mongol, berpura-pura membantu Malangi Khan untuk kemudian setelah mendapat kemenangan, merampas kedudukan tinggi di kerajaan!

Ia terkenal hartawan dan dengan mempergunakan hartanya, banyak orang yang gagah-gagah yang terbujuk oleh Ban Sai Cinjin untuk membantu usahanya yang penuh khianat ini.

Ketika secara tiba-tiba Ban Sai Cinjin melihat Lie Siong, tak tertahan lagi ia segera membentak dan memandang dengan penuh kebencian. Sebaliknya, Lie Siong yang sudah pernah melihat Ban Sai Cinjin juga timbul marahnya.

“Setan tua, kau berada disini? Orang macam kau tentu tidak mempunyai maksud baik!” bentak Lie Siong sambil mencabut pedangnya.






Akan tetapi pada saat itu, Ban Sai Cinjin telah melihat Lo Sian dan kakek ini memandang dengan wajah berubah. Ketika kakek mewah ini melihat betapa Lo Sian seakan-akan tidak mengenalnya, ia menjadi lega dan bertanya,

“Pengemis tua ini bukankah gurumu?” kata-kata ini mengandung sindiran dan juga percobaan untuk menguji apakah Lo Sian masih belum sembuh dari pengaruh racun yang dulu ia jejalkan ke mulutnya.

“Bangsat tua tak usah banyak mulut! Minggirlah dan beri kami jalan sebelum kesabaranku habis!” kata Lie Siong.

Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali Lie Siong rnenyerang saja kakek itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia sudah maklum akan kepandaian Ban Sai Cinjin, dan dengan adanya Lo Sian dan Lilani di situ, akan lebih beratlah tugasnya.

Kepandaian kedua orang ini masih jauh untuk dapat menghadapi Ban Sai Cinjin dan kalau kakek mewah ini mengganggu mereka, akan sukarlah baginya untuk melindungi mereka. Oleh karena ini maka Lie Siong menahan kesabarannya dan kalau mungkin hendak menjauhi kakek lihai ini tanpa pertempuran.

Akan tetapi pengemis yang menyeramkan itu ketika melihat Lo Sian, rambutnya dan jenggotnya yang kaku seakan-akan menjadi semakin kaku, sepasang matanya memandang marah.

“Bukankah kau yang bernama Sin-kai Lo Sian?” tanyanya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Lo Sian.

Sesungguhnya pada saat itu Lo Sian sedang memandang kepada Ban Sai Cinjin dengan mata terbelalak. Ia merasa seperti pernah melihat orang tua yang berpakaian mewah dengan baju bulu itu, akan tetapi lupa lagi dimana. Ketika mendengar orang menyebutkan namanya, ia lalu memandang kepada pengemis yang menyeramkan itu sambil menjawab,

“Benar, kawan. Aku adalah Lo Sian.”

“Bagus!” seru Coa-ong Lojin dengan marah. “Kaulah yang menjadi biang keladi dan mengacau perkumpulanku ketika aku pergi. Tidak ingatkah kau?”

Memang dahulu di waktu mudanya, pernah Lo Sian mengobrak-abrik Coa-tung Kai-pang, akan tetapi tentu saja ia tidak ingat lagi akan hal itu.

Ia hendak menjawab, akan tetapi tidak diberi kesempatan oleh Coa-ong Lojin yang telah menyerangnya dengan tangan kosong. Ilmu silat dari raja pengemis ini benar-benar hebat. Sepasang lengannya bergerak bagaikan dua ekor ular dan mengarah kepada leher dan lambung Lo Sian.

Lie Siong melihat hebatnya serangan ini, maka cepat ia melompat dan menggerakkan pedangnya menahan serangan itu sambil membentak,

“Pengemis hina, jangan berlaku sombong di depan kami!”

Coa-ong Lojin terkejut sekali melihat berkelebatnya sinar pedang di tangan Lie Siong. Sungguhpun pedang itu tidak diserangkan kepadanya, hanya dipergunakan untuk menjaga Lo Sian, namun lidah pedang naga yang panjang berwarna merah itu menyambar ke jurusan urat nadi tangan kanannya.

Sambil berseru keras ia menarik kembali tangannya dan kemudian menyerang Lie Siong dengan hebat. Dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu sebatang tongkat bengkak-bengkok seperti ular telah berada di tangannya dan tongkat itu dipergunakan untuk menyerang dada Lie Siong.

Tentu saja pemuda ini tidak berlaku lambat dan cepat menangkis dengan keras untuk mematahkan tongkat itu. Akan tetapi ia kaget sekali karena ternyata bahwa tongkat itu sama sekali tidak menjadi rusak ketika beradu dengan pedangnya dan ketika mereka bertempur, Lie Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu tongkat pengemis ini hebat luar biasa!

Memang, Coa-ong Lojin adalah seorang berilmu tinggi dan ia sendiri yang menciptakan Ilmu Tongkat Hoa-tung-hwat ini. Seorang yang telah dapat menciptakan ilmu silat tentu dapat dibayangkan betapa tinggi dan mahir dia dalam hal ilmu silat.

Tentu saja Lie Siong tidak mau kalah, untungnya ia telah mempelajari gin-kang luar biasa dari ibunya, dan dalam hal ilmu silat, ibunya telah menggemblengnya semenjak kecil sehingga ia telah memiliki kepandaian yang tinggi.

Lo Sian ketika melihat betapa Lie Siong telah bertempur dengan hebat, tidak mau tinggal diam dan demikian pula Lilani. Mereka berdua maju bersama untuk membantu Lie Siong. Akan tetapi dari samping berkelebat bayangan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dibarengi suaranya yang parau.

“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel. Kau masih belum melupakan ilmu silatmu?”

Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin lalu menghadapi Lilani dan Lo Sian. Tentu saja kedua orang itu bukan lawannya dan sebentar saja ujung huncwenya telah dapat menotok roboh Lilani dan Lo Sian! Kemudian sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin menyerbu dan membantu Coa-ong Lojin mengeroyok Lie Siong!

Kalau hanya menghadapi Coa-ong Lojin atau Ban Sai Cinjin seorang saja Lie Siong pasti akan dapat mempertahankan diri dan belum tentu kalah. Akan tetapi kini ia dikeroyok oleh dua orang kakek yang lihai itu, tentu saja ia menjadi repot sekali. Apalagi ia merasa amat gelisah ketika melihat betapa Lo Sian dan Lilani telah dirobohkan oleh Ban Sai Cinjin.

Kebenciannya terhadap Ban Sai Cinjin meluap-luap dan pedang naganya ditujukan terus untuk merobohkan kakek mewah ini. Oleh karena perhatiannya terutama ditujukan untuk menghadapi kakek ini, maka setelah pertempuran berjalan hampir lima puluh jurus, ujung tongkat ular dari Coa-ong Lojin dengan tepat menotok pundaknya dari kanan.

Lie Siong mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terhuyung-huyung, pedangnya terlepas dari pegangan dan robohlah ia tak sadarkan diri lagi!

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak.
“Kita bawa mereka ke rumahku!” katanya setelah mengambil pedang Lie Siong, dan Coa-ong Lojin lalu berlari cepat, menuju ke rumah gedung milik Ban Sai Cinjin.

Di kota ini Ban Sai Cinjin amat berpengaruh. Kota ini telah ditinggalkan oleh para petugas dan penjaga, maka siapa yang berani menghalangi kakek mewah yang kaya dan lihai ini? Ketika tadi terjadi pertempuran, orang-orang telah meninggalkan jalan itu sehingga sepi.

Setelah tiba di dalam gedung, Ban Sai Cinjin lalu melemparkan tubuh Lie Siong dalam sebuah kamar.

“Dia yang paling berbahaya,” katanya.

Kemudian ia membawa Lo Sian dan Lilani ke dalam ruang depan. Dengan sekali tepuk saja Lilani dan Lo Sian siuman kembali dari keadaan yang tak berdaya. Lilani segera menghampiri Lo Sian dan memegang tangan kanan pengemis ini dengan wajah pucat dan penuh kekuatiran. Sebaliknya Lo Sian tetap tenang, berdiri memandang kepada Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin.

“Ban Sai Cinjin, apakah yang hendak kau lakukan kepada dua orang ini?” tanya Coa-ong Lojin sambil tertawa-tawa dan menenggak arak yang sudah tersedia di atas meja. Matanya yang besar itu mengerling ke arah Lilani penuh gairah.

Ban Sai Cinjin tersenyum.
“Kalau kau suka bunga Haimi ini, ambillah,” katanya kepada kawannya itu yang hanya tertawa saja. “Dia sudah menyebabkan kematian banyak orang tamuku, bahkan rumahku sampai dibakar oleh pemuda tadi! Adapun pengemis ini… ah, lihat, bukankah dia seperti boneka hidup?” Ia mendekati Lo Sian yang menentang pandang matanya dengan berani.

“Lo Sian, kau benar-benar sudah lupa kepadaku?”

Sesungguhnya Lo Sian sama sekali tidak ingat lagi kepada Ban Sai Cinjin, akan tetapi ia telah mendengar banyak dari Lili tentang kakek mewah ini, maka dengan senyum mengejek ia berkata,

“Sungguhpun ingatanku sudah banyak berkurang dan aku tak pernah bertemu kau, akan tetapi aku sudah cukup banyak mendengar namamu, Ban Sai Cinjin! Kau seorang pandai yang jahat dan tidak berperikemanusiaan. Kalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah. Akan tetapi jangan kau mengganggu Nona ini, karena dia hendak mencari dan kembali kepada bangsanya, orang-orang Haimi. Dan pula, pemuda itu harap kau bebaskan, jangan kau mengganggu putera seorang pendekar besar yang berjiwa bersih. Dia adalah putera dari pendekar besar Lie Kong Sian, harap kau mengingat nama ayahnya dan melepaskannya!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar