Dengan hati mengkal Lie Siong berlari, akan tetapi ia tidak berlari terlalu cepat karena kalau ia melakukan hal ini, tentu Lilani akan tertinggal jauh. Oleh karena itu, maka sebentar saja ia telah tersusul oleh Lo Sian yang mengejarnya.
“Perlahan dulu, Anak Siong!” kata Sin-kai Lo Sian setelah dapat menyusul pemuda itu.
Lie Siong berhenti karena Lilani telah mendahuluinya berhenti menanti datangnya pengemis tua itu.
“Mengapa kau meninggalkan mereka begitu saja? Bukankah mereka itu kawan-kawan baik ibu dan ayahmu? Kau telah mereka tolong, akan tetapi kau meninggalkan mereka seakan-akan seorang yang marah, kenapakah?” Lo Sian menegur Lie Siong yang mendengar dengan kepala ditundukkan.
“Alangkah rendah pandangan mereka terhadapku,” hanya ini yang diucapkan oleh Lie Siong karena sesungguhnya ia tidak suka hal itu dibicarakan lagi. “Lopek, kau menyusulku ada apakah? Karena kau sendiri tidak tahu dan tidak ingat lagi apa yang telah terjadi dengan mendiang ayahku, aku tak perlu mengganggumu lagi. Kembalilah kau kepada mereka dan ceritakan bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak tahu diri dan tak tahu menerima budi. Biarlah namaku, nama ibu dan ayahku, mereka lupakan!”
Lo Sian tertegun melihat sikap yang dingin dan kaku ini. Ia benar-benar merasa heran sekali melihat keadaan dan watak pemuda yang aneh ini.
“Lie Siong, setelah beberapa lama aku melakukan perjalanan bersamamu, belum juga aku dapat mengerti watakmu, sungguhpun harus kuakui bahwa aku suka kepadamu. Aku menyusulmu bukan untuk mengganggumu, melainkan karena aku kini telah dapat menduga siapa adanya pembunuh ayahmu dan dimana kiranya dapat menemukan makam ayahmu.”
“Siapa pembunuhnya? Dimana makamnya?” suara Lie Siong terdengar menggetar dan wajahnya memucat.
Lo Sian lalu menceritakan tentang ucapan dan sikap Ban Sai Cinjin ketika tadi hendak membunuhnya.
“Tak salah lagi,” katanya sebagai penutup penuturannya, “pembunuh ayahmu pasti bukan lain orang adalah Ban Sai Cinjin sendiri! Dan kurasa, untuk mencari jejak ayahmu atau makamnya, kita harus pergi ke tempat tinggal Ban Sai Cinjin, yaitu di dusun Tong-sin-bun!”
“Di tempat dimana aku pernah membakar rumahnya?”
Lo Sian mengangguk.
“Dekat dusun itu terdapat sebuah kuil milik Ban Sai Cinjin dan kalau tidak salah, di situlah kita akan dapat menemui jejak-jejak ayahmu atau makamnya. Kalau kau kehendaki, mari kuantarkan kau kesana untuk menyelidiki.”
“Kembali ke Tong-sin-bun?” kata Lie Siong ragu-ragu. “Kita telah tiba sejauh ini…” Ia menengok ke arah Lilani. “Kita sudah dekat dengan tempat dimana kita akan menemukan rombongan suku bangsa Haimi. Lebih baik kita mencari suku bangsa itu lebih dulu untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya. Setelah itu, barulah kita kembali ke selatan untuk menyelidiki hal ini.”
Lo Sian menyatakan setuju dan demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara menuju ke kaki Gunung Alaka-san di sebelah barat. Di sepanjang jalan Lie Siong berkata bahwa kalau memang betul ayahnya telah terbunuh oleh Ban Sai Cinjin ia bersumpah untuk membalas dendam dan akan mencari serta membunuh Ban Sai Cinjin, biarpun untuk itu ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
**** 117 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar