“Hebat sekali, Pendekar Bodoh. Pantas kau disebut pendekar yang terbesar di dunia persilatan. Aku merasa kagum dan tunduk sekali. Ah, tinggallah bersamaku disini, kau akan kuangkat menjadi pelindung negara, menjadi raja muda yang kuberi kekuasaan penuh sebagai wakilku!” Raja Mongol itu berseru saking kagumnya.
Akan tetapi Cin Hai menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Malangi Khan yang baik, semenjak dahulu aku paling tidak suka menjadi pembesar negara. Banyak cara untuk menolong rakyat dan cara yang paling tak kusukai ialah menjadi pembesar negara, karena kedudukan menjadi sekutu harta benda dan ke dua, hal ini suka meracuni pikiran membutakan mata batin. Terima kasih atas tawaranmu yang amat ramah ini, Khan yang mulia.”
Malangi Khan mengerutkan keningnya.
“Kalau begitu apa maksudmu datang kesini? Apakah kau datang dengan niat mengacau?”
Cin Hai menggeleng kepala.
“Tidak sama sekali. Kedatanganku ini tak lain hendak menjemput keponakanku, Kwee Cin yang sedang menjadi tamu di istanamu. Orang tuanya telah amat mengharapkan kembalinya, maka harap kau suka menyuruh dia keluar agar dapat pulang bersamaku, Malangi Khan.”
Mendengar ucapan ini, Raja Mongol itu memandang tajam.
“Dan selain itu, apa lagi kehendakmu?”
“Aku mendengar bahwa seorang Turki bernama Bouw Hun Ti berada di tempat ini dan membantumu. Karena orang jahat itu telah melakukan pembunuhan terhadap ayah mertuaku, maka kuharap Khan yang mulia suka pula menyerahkan orang itu kepadaku untuk diadili!”
Malangi Khan mengangkat tangan kirinya dan pada saat itu juga pendengaran Cin Hai yang tajam dapat menangkap derap kaki ratusan orang yang mengurung ruangan itu!
“Apa maksudnya ini, Malangi Khan?” tanya Pendekar Bodoh dan sepasang matanya yang lebar dan jujur itu kini bersinar-sinar dan bergerak-gerak, menunjukkan betapa cerdiknya otak yang berada di belakang mata itu.
Malangi Khan tertawa bergelak.
“Pendekar Bodoh, kau telah kuberi kesempatan untuk mendapatkan kedudukan setinggi-tingginya yang mungkin dicapai orang di negaraku, akan tetapi kau berani sekali menolak, bahkan menuntut dikembalikannya keponakanmu dan kau hendak menangkap seorang pembantuku pula.”
Ucapan terakhir ini sesungguhnya bohong, karena biarpun tadinya Bouw Hun Ti juga membantu suhunya, Ban Sai Cinjin di benteng itu, akan tetapi belum lama ini Bouw Hun Ti telah melakuan perjalanan untuk mengumpulkan orang-orang yang kelak akan dimintai bantuan dalam menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya di puncak Thai-san.
Maka sebenarnya Bouw Hun Ti bukan merupakan pembantunya pula. Malangi Khan sengaja mengatakan demikian agar dapat mencari alasan yang berat untuk menyalahkan Pendekar Bodoh.
“Selanjutnya apa kehendakmu, Malangi Khan?” tanya Cin Hai, sedikit pun tidak merasa takut.
“Kau akan kutahan disini dan takkan kulepaskan sebelum kau nyatakan suka menerima pengangkatan atau sebelum bala tentara Tiong-goan dapat kuhancurkan!”
Cin Hai tersenyum.
“Kalau aku melarikan diri?”
Malangi Khan juga tersenyum.
“Kau dikurung oleh ribuan orang tentara yang kuat! Dan pula, begitu kau memberontak, anak itu akan kupenggal lehernya!”
“Malangi Khan, kau benar-benar cerdik dan licik! Akan tetapi siapa percaya omonganmu? Kalau aku tidak melihat sendiri anak itu, aku takkan percaya bahwa anak itu masih belum kau bunuh!”
“Pendekar Bodoh, kau kira aku Malangi Khan pembunuh anak-anak tanpa alasan?”
“Siapa tahu watak seorang Raja Besar yang licik seperti kau?”
Cin Hai sengaja menghina sehingga Kaisar itu mendelikkan mata dan memberi perintah kepada penjaga untuk membawa datang Kwee Cin.
Teganglah seluruh urat dalam tubuh Cin Hai ketika ia mendengar perintah ini. Ia mengambil keputusan untuk segera merampas Kwee Cin dan membawanya pergi dari situ. Penjagaan ribuan orang tentara Mongol sama sekali tidak ditakutinya, karena sesungguhnya dengan kepandaiannya ia dapat membobolkan kepungan itu.
Pintu belakang terbuka dan muncullah Kwee Cin dan seorang anak Mongol yang berpakaian mewah. Cin Hai dapat menduga bahwa ini tentu putera Raja Mongol itu.
“Kouw-thio (Paman)…!”
Kwee Cin berseru girang ketika ia melihat Cin Hai dan hendak berlari menghampiri, akan tetapi sekali sambar saja Malangi Khan telah menangkap lengan Kwee Cin yang ditariknya dekat. Tangan kanan Malangi Khan telah menghunus pedangnya dan dengan gerakan mengancam ia memandang kepada Cin Hai.
Pendekar Bodoh merasa lega melihat bahwa Kwee Cin berada dalam keadaan selamat dan sehat, dan dapat diduga bahwa anak itu diperlakukan dengan baik di tempat itu.
“Paman Malangi, mengapa kau memegang tanganku?”
Kwee Cin bertanya sambil memandang heran kepada Raja itu, yang menjadi bukti bagi Pendekar Bodoh bahwa biasanya Raja ini bersikap baik terhadap Kwee Cin.
Akan tetapi melihat ancaman Malangi Khan, ia tak dapat berbuat sesuatu. Ia tahu bahwa orang seperti Malangi Khan akan memegang teguh ancamannya dan kalau ia bergerak merampas Kwee Cin, tentu Raja itu akan mengerjakan pedangnya dan celakalah nasib keponakannya itu.
“Malangi Khan, jangan kau mengganggu keponakanku itu. Aku bersumpah takkan merampasnya dengan kekerasan.”
Malangi Khan memandang heran, lalu melepaskan tangan Kwee Cin. Bahkan ia lalu duduk bersandar dengan wajah lega. Pendekar Bodoh merasa kagum sekali betapa Raja ini dapat melihat orang, dan sekali ia mengeluarkan ucapan dan janji Raja itu telah percaya penuh kepadanya!
Kalau saja ia mau mempergunakan kepandaiannya, pada saat itu ia dapat menyambar Kwee Cin, akan tetapi tentu saja Cin Hai tidak mau melanggar sumpahnya. Sebetulnya sumpah tadi termasuk rencana dan siasatnya, karena biarpun kelihatan bodoh, Cin Hai sebetulnya cerdik sekali. Ia tidak melihat harapan untuk mempergunakan kekerasan, maka sengaja ia bersumpah takkan merampas Kwee Cin dengan kekerasan.
Kini melihat Malangi Khan tidak mengancam lagi kepada Kwee Cin, tiba-tiba Cin Hai menubruk maju. Malangi Khan terkejut sekali karena tak disangkanya Pendekar Bodoh mau melanggar sumpahnya. Ia hendak membentak dan memaki, akan tetapi menahan suaranya ketika melihat bahwa Pendekar Bodoh tidak merampas Kwee Cin melainkan menangkap Putera Mahkota!
Tak seorang pun dapat mengikuti gerakan Pendekar Bodoh yang demikian cepatnya sehingga tahu-tahu Pangeran Kamangis, putera tunggal Malangi Khan, telah berada di dalam pondongan Pendekar Bodoh! Dan sebelum orang dapat bergerak, Cin Hai sudah melompat keluar sambil berkata,
“Malangi Khan, kau harus kembalikan Kwee Cin baik-baik untuk ditukar dengan puteramu. Aku menanti di benteng Alkata-san!”
Para panglima dan penjaga serentak maju hendak mencegat Pendekar Bodoh, akan tetapi Malangi Khan berseru keras,
“Jangan ganggu dia, kalian anjing-anjing bodoh! Jangan serang dia!”
Raja ini takut kalau-kalau serangan anak buahnya akan mengenai tubuh puteranya, karena maklum akan kelihaian Pendekar Bodoh.
Demikianlah penuturan yang didengar dengan hati gemas dan mendongkol sekali oleh Ban Sai Cinjin ketika ia datang menghadap Malangi Khan.
“Dan sekarang bagaimana kehendak Khan yang mulia?” tanya Ban Sai Cinjin sambil mengepulkan asap huncwenya.
Kedudukan Ban Sai Cinjin sebagai sekutu boleh dibilang sejajar dengan Malangi Khan dan karena Raja Mongol ini pun maklum akan kelihaian Si Huncwe Maut, maka ia memberi kemerdekaan kepada Ban Sai Cinjin untuk bersikap sebagai seorang tamu agung.
“Sayang sekali dengan adanya seorang tokoh seperti kau, Pendekar Bodoh masih berani mengganggu tempat ini,” kata Raja itu dengan suara menyindir. “Akan tetapi sudahlah, memang sukar mencari seorang yang cukup kuat untuk menghadapi seorang sakti seperti Pendekar Bodoh. Tidak ada lain jalan, terpaksa aku harus mengantarkan keponakan Pendekar Bodoh itu ke benteng Alkata-san untuk ditukar dengan puteraku.”
“Harap Paduka berlaku hati-hati.” Ban Sai Cinjin memperingatkan. “Siapa tahu kalau-kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk mencelakakan Paduka. Biarlah saya saja yang membawa anak she Kwee itu untuk ditukarkan dengan putera Paduka.”
Beberapa orang panglima membenarkan pendapat Ban Sai Cinjin ini. Memang resikonya terlalu besar bagi maharaja itu untuk pergi sendiri melakukan penukaran tawanan, karena kalau Malangi Khan sampai tertawan musuh, berarti semua gerakan tentara Mongol akan kehilangan kepalanya. Dan selain Ban Sai Cinjin yang berkepandaian tinggi, tidak ada yang lebih baik untuk melakukan penukaran tawanan penting ini.
“Kau harus berhati-hati dan perlakukan anak itu baik-baik, karena aku pun menghendaki puteraku diperlakukan dengan baik oleh mereka!” kata Malangi Khan.
Demikianlah, dengan amat sembrono sekali Malangi Khan mempercayakan penukaran tawanan itu ke dalam tangan Ban Sai Cinjin! Kalau saja Raja ini sudah kenal betul watak Ban Sai Cinjin, tentu sama sekali ia takkan suka mempercayakan keselamatan putera tunggalnya ke dalam tangan Si Huncwe Maut ini!
Kwee Cin lalu dikeluarkan dari kamar dimana ia ditahan dan dijaga keras, kemudian Ban Sai Cinjin menjepit anak ini yang menjadi pucat sekali ketika melihat Ban Sai Cinjin. Kwee Cin ingat bahwa kakek mewah inilah yang menculiknya dahulu, dan tadinya ia sudah merasa lega karena terlindung oleh Malangi Khan dan menjadi kawan bermain dari Putera Mahkota Mongol yang baik.
Akan tetapi sekarang ia diserahkan lagi kepada kakek berhuncwe yang ditakuti dan dibencinya itu, maka ia menjadi pucat dan ingin menangis.
Setelah berpamit kepada Malangi Khan, Ban Sai Cinjin lalu melangkah keluar dari istana itu. Akan tetapi pada saat ia hendak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat, tiba-tiba dari luar benteng menyambar bayangan dua orang yang cepat sekali gerakannya.
Ketika dengan terkejut Ban Sai Cinjin memandang, alangkah herannya ketika melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, pemuda yang beberapa kali bertempur dengan dia itu, pemuda yang sudah berani mengacau di rumahnya dan membakar rumahnya di desa Tong-si-bun. Akan tetapi, pemuda ini kini dipegang lengannya oleh seorang tua yang bongkok, yang jalannya terpincang-pincang dan kalau tidak berpegang pada lengan pemuda itu agaknya pasti akan roboh terguling!
“Suhu, inilah anak itu yang harus dirampas, dan ini pula orang jahat bernama Ban Sai Cin in Si Huncwe Maut!” kata pemuda itu kepada kakek bongkok terpincang-pincang yang berpegangan pada lengannya.
Kakek itu membuka-buka matanya yang agaknya sukar dibuka, lalu mengeluarkan suara seperti ringkik kuda, disambung dengan ketawanya yang lemah,
“heh-heh-heh, berikan kepadaku anak itu…” suaranya perlahan dan lambat seperti suara kakek-kakek yang sudah tua sekali, agak menggetar pula.
Biarpun sudah pernah merasai kelihaian Lie Siong, tentu saja Ban Sai Cinjin tidak takut sama sekali terhadap anak muda itu, karena selain kepandaiannya memang masih lebih unggul daripada Lie Siong, juga di tempat itu ia mempunyai banyak pembantu.
“Apakah kau datang mengantar kematian?” bentaknya kepada Lie Siong sambil menggerakkan huncwenya di tangan kanan dan dibarengi teriakan memberi tahu kawan-kawannya.
Sebetulnya teriakan ini tidak perlu karena para panglima Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri sudah mendengar ribut-ribut dan sudah memburu keluar semua.
Akan tetapi Cin Hai menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Malangi Khan yang baik, semenjak dahulu aku paling tidak suka menjadi pembesar negara. Banyak cara untuk menolong rakyat dan cara yang paling tak kusukai ialah menjadi pembesar negara, karena kedudukan menjadi sekutu harta benda dan ke dua, hal ini suka meracuni pikiran membutakan mata batin. Terima kasih atas tawaranmu yang amat ramah ini, Khan yang mulia.”
Malangi Khan mengerutkan keningnya.
“Kalau begitu apa maksudmu datang kesini? Apakah kau datang dengan niat mengacau?”
Cin Hai menggeleng kepala.
“Tidak sama sekali. Kedatanganku ini tak lain hendak menjemput keponakanku, Kwee Cin yang sedang menjadi tamu di istanamu. Orang tuanya telah amat mengharapkan kembalinya, maka harap kau suka menyuruh dia keluar agar dapat pulang bersamaku, Malangi Khan.”
Mendengar ucapan ini, Raja Mongol itu memandang tajam.
“Dan selain itu, apa lagi kehendakmu?”
“Aku mendengar bahwa seorang Turki bernama Bouw Hun Ti berada di tempat ini dan membantumu. Karena orang jahat itu telah melakukan pembunuhan terhadap ayah mertuaku, maka kuharap Khan yang mulia suka pula menyerahkan orang itu kepadaku untuk diadili!”
Malangi Khan mengangkat tangan kirinya dan pada saat itu juga pendengaran Cin Hai yang tajam dapat menangkap derap kaki ratusan orang yang mengurung ruangan itu!
“Apa maksudnya ini, Malangi Khan?” tanya Pendekar Bodoh dan sepasang matanya yang lebar dan jujur itu kini bersinar-sinar dan bergerak-gerak, menunjukkan betapa cerdiknya otak yang berada di belakang mata itu.
Malangi Khan tertawa bergelak.
“Pendekar Bodoh, kau telah kuberi kesempatan untuk mendapatkan kedudukan setinggi-tingginya yang mungkin dicapai orang di negaraku, akan tetapi kau berani sekali menolak, bahkan menuntut dikembalikannya keponakanmu dan kau hendak menangkap seorang pembantuku pula.”
Ucapan terakhir ini sesungguhnya bohong, karena biarpun tadinya Bouw Hun Ti juga membantu suhunya, Ban Sai Cinjin di benteng itu, akan tetapi belum lama ini Bouw Hun Ti telah melakuan perjalanan untuk mengumpulkan orang-orang yang kelak akan dimintai bantuan dalam menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya di puncak Thai-san.
Maka sebenarnya Bouw Hun Ti bukan merupakan pembantunya pula. Malangi Khan sengaja mengatakan demikian agar dapat mencari alasan yang berat untuk menyalahkan Pendekar Bodoh.
“Selanjutnya apa kehendakmu, Malangi Khan?” tanya Cin Hai, sedikit pun tidak merasa takut.
“Kau akan kutahan disini dan takkan kulepaskan sebelum kau nyatakan suka menerima pengangkatan atau sebelum bala tentara Tiong-goan dapat kuhancurkan!”
Cin Hai tersenyum.
“Kalau aku melarikan diri?”
Malangi Khan juga tersenyum.
“Kau dikurung oleh ribuan orang tentara yang kuat! Dan pula, begitu kau memberontak, anak itu akan kupenggal lehernya!”
“Malangi Khan, kau benar-benar cerdik dan licik! Akan tetapi siapa percaya omonganmu? Kalau aku tidak melihat sendiri anak itu, aku takkan percaya bahwa anak itu masih belum kau bunuh!”
“Pendekar Bodoh, kau kira aku Malangi Khan pembunuh anak-anak tanpa alasan?”
“Siapa tahu watak seorang Raja Besar yang licik seperti kau?”
Cin Hai sengaja menghina sehingga Kaisar itu mendelikkan mata dan memberi perintah kepada penjaga untuk membawa datang Kwee Cin.
Teganglah seluruh urat dalam tubuh Cin Hai ketika ia mendengar perintah ini. Ia mengambil keputusan untuk segera merampas Kwee Cin dan membawanya pergi dari situ. Penjagaan ribuan orang tentara Mongol sama sekali tidak ditakutinya, karena sesungguhnya dengan kepandaiannya ia dapat membobolkan kepungan itu.
Pintu belakang terbuka dan muncullah Kwee Cin dan seorang anak Mongol yang berpakaian mewah. Cin Hai dapat menduga bahwa ini tentu putera Raja Mongol itu.
“Kouw-thio (Paman)…!”
Kwee Cin berseru girang ketika ia melihat Cin Hai dan hendak berlari menghampiri, akan tetapi sekali sambar saja Malangi Khan telah menangkap lengan Kwee Cin yang ditariknya dekat. Tangan kanan Malangi Khan telah menghunus pedangnya dan dengan gerakan mengancam ia memandang kepada Cin Hai.
Pendekar Bodoh merasa lega melihat bahwa Kwee Cin berada dalam keadaan selamat dan sehat, dan dapat diduga bahwa anak itu diperlakukan dengan baik di tempat itu.
“Paman Malangi, mengapa kau memegang tanganku?”
Kwee Cin bertanya sambil memandang heran kepada Raja itu, yang menjadi bukti bagi Pendekar Bodoh bahwa biasanya Raja ini bersikap baik terhadap Kwee Cin.
Akan tetapi melihat ancaman Malangi Khan, ia tak dapat berbuat sesuatu. Ia tahu bahwa orang seperti Malangi Khan akan memegang teguh ancamannya dan kalau ia bergerak merampas Kwee Cin, tentu Raja itu akan mengerjakan pedangnya dan celakalah nasib keponakannya itu.
“Malangi Khan, jangan kau mengganggu keponakanku itu. Aku bersumpah takkan merampasnya dengan kekerasan.”
Malangi Khan memandang heran, lalu melepaskan tangan Kwee Cin. Bahkan ia lalu duduk bersandar dengan wajah lega. Pendekar Bodoh merasa kagum sekali betapa Raja ini dapat melihat orang, dan sekali ia mengeluarkan ucapan dan janji Raja itu telah percaya penuh kepadanya!
Kalau saja ia mau mempergunakan kepandaiannya, pada saat itu ia dapat menyambar Kwee Cin, akan tetapi tentu saja Cin Hai tidak mau melanggar sumpahnya. Sebetulnya sumpah tadi termasuk rencana dan siasatnya, karena biarpun kelihatan bodoh, Cin Hai sebetulnya cerdik sekali. Ia tidak melihat harapan untuk mempergunakan kekerasan, maka sengaja ia bersumpah takkan merampas Kwee Cin dengan kekerasan.
Kini melihat Malangi Khan tidak mengancam lagi kepada Kwee Cin, tiba-tiba Cin Hai menubruk maju. Malangi Khan terkejut sekali karena tak disangkanya Pendekar Bodoh mau melanggar sumpahnya. Ia hendak membentak dan memaki, akan tetapi menahan suaranya ketika melihat bahwa Pendekar Bodoh tidak merampas Kwee Cin melainkan menangkap Putera Mahkota!
Tak seorang pun dapat mengikuti gerakan Pendekar Bodoh yang demikian cepatnya sehingga tahu-tahu Pangeran Kamangis, putera tunggal Malangi Khan, telah berada di dalam pondongan Pendekar Bodoh! Dan sebelum orang dapat bergerak, Cin Hai sudah melompat keluar sambil berkata,
“Malangi Khan, kau harus kembalikan Kwee Cin baik-baik untuk ditukar dengan puteramu. Aku menanti di benteng Alkata-san!”
Para panglima dan penjaga serentak maju hendak mencegat Pendekar Bodoh, akan tetapi Malangi Khan berseru keras,
“Jangan ganggu dia, kalian anjing-anjing bodoh! Jangan serang dia!”
Raja ini takut kalau-kalau serangan anak buahnya akan mengenai tubuh puteranya, karena maklum akan kelihaian Pendekar Bodoh.
Demikianlah penuturan yang didengar dengan hati gemas dan mendongkol sekali oleh Ban Sai Cinjin ketika ia datang menghadap Malangi Khan.
“Dan sekarang bagaimana kehendak Khan yang mulia?” tanya Ban Sai Cinjin sambil mengepulkan asap huncwenya.
Kedudukan Ban Sai Cinjin sebagai sekutu boleh dibilang sejajar dengan Malangi Khan dan karena Raja Mongol ini pun maklum akan kelihaian Si Huncwe Maut, maka ia memberi kemerdekaan kepada Ban Sai Cinjin untuk bersikap sebagai seorang tamu agung.
“Sayang sekali dengan adanya seorang tokoh seperti kau, Pendekar Bodoh masih berani mengganggu tempat ini,” kata Raja itu dengan suara menyindir. “Akan tetapi sudahlah, memang sukar mencari seorang yang cukup kuat untuk menghadapi seorang sakti seperti Pendekar Bodoh. Tidak ada lain jalan, terpaksa aku harus mengantarkan keponakan Pendekar Bodoh itu ke benteng Alkata-san untuk ditukar dengan puteraku.”
“Harap Paduka berlaku hati-hati.” Ban Sai Cinjin memperingatkan. “Siapa tahu kalau-kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk mencelakakan Paduka. Biarlah saya saja yang membawa anak she Kwee itu untuk ditukarkan dengan putera Paduka.”
Beberapa orang panglima membenarkan pendapat Ban Sai Cinjin ini. Memang resikonya terlalu besar bagi maharaja itu untuk pergi sendiri melakukan penukaran tawanan, karena kalau Malangi Khan sampai tertawan musuh, berarti semua gerakan tentara Mongol akan kehilangan kepalanya. Dan selain Ban Sai Cinjin yang berkepandaian tinggi, tidak ada yang lebih baik untuk melakukan penukaran tawanan penting ini.
“Kau harus berhati-hati dan perlakukan anak itu baik-baik, karena aku pun menghendaki puteraku diperlakukan dengan baik oleh mereka!” kata Malangi Khan.
Demikianlah, dengan amat sembrono sekali Malangi Khan mempercayakan penukaran tawanan itu ke dalam tangan Ban Sai Cinjin! Kalau saja Raja ini sudah kenal betul watak Ban Sai Cinjin, tentu sama sekali ia takkan suka mempercayakan keselamatan putera tunggalnya ke dalam tangan Si Huncwe Maut ini!
Kwee Cin lalu dikeluarkan dari kamar dimana ia ditahan dan dijaga keras, kemudian Ban Sai Cinjin menjepit anak ini yang menjadi pucat sekali ketika melihat Ban Sai Cinjin. Kwee Cin ingat bahwa kakek mewah inilah yang menculiknya dahulu, dan tadinya ia sudah merasa lega karena terlindung oleh Malangi Khan dan menjadi kawan bermain dari Putera Mahkota Mongol yang baik.
Akan tetapi sekarang ia diserahkan lagi kepada kakek berhuncwe yang ditakuti dan dibencinya itu, maka ia menjadi pucat dan ingin menangis.
Setelah berpamit kepada Malangi Khan, Ban Sai Cinjin lalu melangkah keluar dari istana itu. Akan tetapi pada saat ia hendak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat, tiba-tiba dari luar benteng menyambar bayangan dua orang yang cepat sekali gerakannya.
Ketika dengan terkejut Ban Sai Cinjin memandang, alangkah herannya ketika melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, pemuda yang beberapa kali bertempur dengan dia itu, pemuda yang sudah berani mengacau di rumahnya dan membakar rumahnya di desa Tong-si-bun. Akan tetapi, pemuda ini kini dipegang lengannya oleh seorang tua yang bongkok, yang jalannya terpincang-pincang dan kalau tidak berpegang pada lengan pemuda itu agaknya pasti akan roboh terguling!
“Suhu, inilah anak itu yang harus dirampas, dan ini pula orang jahat bernama Ban Sai Cin in Si Huncwe Maut!” kata pemuda itu kepada kakek bongkok terpincang-pincang yang berpegangan pada lengannya.
Kakek itu membuka-buka matanya yang agaknya sukar dibuka, lalu mengeluarkan suara seperti ringkik kuda, disambung dengan ketawanya yang lemah,
“heh-heh-heh, berikan kepadaku anak itu…” suaranya perlahan dan lambat seperti suara kakek-kakek yang sudah tua sekali, agak menggetar pula.
Biarpun sudah pernah merasai kelihaian Lie Siong, tentu saja Ban Sai Cinjin tidak takut sama sekali terhadap anak muda itu, karena selain kepandaiannya memang masih lebih unggul daripada Lie Siong, juga di tempat itu ia mempunyai banyak pembantu.
“Apakah kau datang mengantar kematian?” bentaknya kepada Lie Siong sambil menggerakkan huncwenya di tangan kanan dan dibarengi teriakan memberi tahu kawan-kawannya.
Sebetulnya teriakan ini tidak perlu karena para panglima Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri sudah mendengar ribut-ribut dan sudah memburu keluar semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar