Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi, Lie Siong mengerti bahwa permainan gundu ini bukanlah sembarang permainan. Sentilan pada gundu itu merupakan gerakan melepas am-gi (senjata rahasia) yang hebat sekali, digerakkan oleh tenaga lwee-kang yang tinggi.
Oleh karena itu, mempelajari menyentil gundu seperti yang diajarkan oleh kakek ini, sama halnya dengan mempertinggi tenaga lwee-kang dan kepandaian melepas am-gi. Oleh karena itu, ia memperhatikan dengan seksama ajaran-ajaran gurunya yang diberikan sambil bermain-main ini.
Akan tetapi kakek ini ternyata telah menjadi pikun benar-benar sehingga namanya sendiri pun ia tidak tahu lagi! Juga ia mengerti ilmu-ilmu silat tinggi akan tetapi tidak tahu lagi namanya ilmu-ilmu silat itu sungguhpun ia masih dapat menggerakkannya dengan amat sempurna.
Lie Song menjadi girang sekali dan sedikit demi sedikit suhunya mulai memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Kemudian pemuda ini teringat akan Kwee Cin yang diculik oleh Ban Sai Cinjin, maka ia lalu berkata kepada suhunya beberapa hari kemudian,
“Suhu, ada seorang anak kecil she Kwee diculik oleh orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin. Anak itu berada di dalam benteng orang-orang Mongol dan teecu tidak dapat menolongnya. Sukakah Suhu menolong anak itu? Kasihan, Suhu, kalau tidak ditolong nyawa anak itu terancam bahaya.”
Lie Song dalam beberapa hari berkumpul dengan suhunya, tahu bahwa kakek ini paling suka kepada anak kecil, maka sengaja menceritakan keadaan Kwee Cin dan menyebutnya anak kecil pula.
“Hmm, apakah dia kawanmu bermain?”
Lie Siong hanya menganggukkan kepalanya dan mendesak supaya suhunya suka menolong anak kecil itu dan membantunya menangkap atau membunuh musuh besarnya yang bernama Ban Sai Cinjin yang juga menculik anak kecil ltu.
“Apakah kau kira aku tukang bunuh orang?” tiba-tiba kakek itu berkata dengan muka murka dan marah.
Sampai lama dia diam saja tidak mau bicara dengan Lie Siong, bahkan tidak mau mengajak pemuda itu bermain-main. Lie Siong terkejut dan tahu bahwa suhunya marah dan “ngambul”, merajuk seperti anak kecil yang tersinggung hatinya. Maka ia tidak berani bicara tentang pembunuhan. Pada sore harinya barulah gurunya mau mengajaknya bermain-main lagi dan kembali Lie Siong membujuknya untuk menolong Kwee Cin.
Akhirnya kakek itu mau juga dan setelah mereka hendak berangkat, dengan berpegang pada lengan Lie Siong, kakek itu berjalan terpincang-pincang keluar dari hutan dan mendaki bukit dimana terdapat perbentengan orang Mongol itu.
Alangkah girangnya hati Lie Siong ketika mendapat kenyataan bahwa biarpun berpegang kepada lengannya, gurunya ini bukan merupakan beban, bahkan sebaliknya. Ia seakan-akan didorong oleh tenaga yang hebat sekali dan ketika ia menggerakkan kedua kaki menggunakan ilmu lari cepatnya, ia dapat berlari jauh lebih cepat daripada kalau ia berlari sendiri! Juga ketika ia melompati jurang, ia merasa tubuhnya ringan sekali. Ia tahu bahwa tanpa disengaja, gurunya telah mengeluarkan kelihaiannya dan tentu saja ia menjadi amat girang dan kagum sekali.
Demikianlah, dengan amat mudahnya Lie Siong membawa suhunya memasuki istana Malangi Khan dan berhasil merampas Kwee Cin. Ia makin girang sekali menyaksikan kelihaian suhunya yang benar-benar di luar persangkaannya itu. Ia kini makin kenal baik keadaan suhunya dan tahu bahwa suhunya adalah seorang kakek yang sudah amat tua, terlalu tua sehingga berubah seperti kanak-kanak, berkepandaian yang luar biasa tingginya, tidak suka membunuh, dan paling senang bermain gundu.
Dari istana Malangi Khan, ia langsung membawa suhunya dan Kwee Cin ke benteng tentara kerajaan di Pegunungan Alkata-san. Memang Lie Siong bermaksud untuk mengembalikan Kwee Cin kepada orang tuanya di benteng Alkata-san, kemudian menghilang dengan suhunya dari orang banyak untuk mempelajari ilmu silat yang tinggi. Ia ingin belajar sampai dapat mengimbangi atau melebihi kepandaian Lili, Hong Beng, Goat Lan, atau kepandaian Pendekar Bodoh sekalipun!
Oleh karena itu, mempelajari menyentil gundu seperti yang diajarkan oleh kakek ini, sama halnya dengan mempertinggi tenaga lwee-kang dan kepandaian melepas am-gi. Oleh karena itu, ia memperhatikan dengan seksama ajaran-ajaran gurunya yang diberikan sambil bermain-main ini.
Akan tetapi kakek ini ternyata telah menjadi pikun benar-benar sehingga namanya sendiri pun ia tidak tahu lagi! Juga ia mengerti ilmu-ilmu silat tinggi akan tetapi tidak tahu lagi namanya ilmu-ilmu silat itu sungguhpun ia masih dapat menggerakkannya dengan amat sempurna.
Lie Song menjadi girang sekali dan sedikit demi sedikit suhunya mulai memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Kemudian pemuda ini teringat akan Kwee Cin yang diculik oleh Ban Sai Cinjin, maka ia lalu berkata kepada suhunya beberapa hari kemudian,
“Suhu, ada seorang anak kecil she Kwee diculik oleh orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin. Anak itu berada di dalam benteng orang-orang Mongol dan teecu tidak dapat menolongnya. Sukakah Suhu menolong anak itu? Kasihan, Suhu, kalau tidak ditolong nyawa anak itu terancam bahaya.”
Lie Song dalam beberapa hari berkumpul dengan suhunya, tahu bahwa kakek ini paling suka kepada anak kecil, maka sengaja menceritakan keadaan Kwee Cin dan menyebutnya anak kecil pula.
“Hmm, apakah dia kawanmu bermain?”
Lie Siong hanya menganggukkan kepalanya dan mendesak supaya suhunya suka menolong anak kecil itu dan membantunya menangkap atau membunuh musuh besarnya yang bernama Ban Sai Cinjin yang juga menculik anak kecil ltu.
“Apakah kau kira aku tukang bunuh orang?” tiba-tiba kakek itu berkata dengan muka murka dan marah.
Sampai lama dia diam saja tidak mau bicara dengan Lie Siong, bahkan tidak mau mengajak pemuda itu bermain-main. Lie Siong terkejut dan tahu bahwa suhunya marah dan “ngambul”, merajuk seperti anak kecil yang tersinggung hatinya. Maka ia tidak berani bicara tentang pembunuhan. Pada sore harinya barulah gurunya mau mengajaknya bermain-main lagi dan kembali Lie Siong membujuknya untuk menolong Kwee Cin.
Akhirnya kakek itu mau juga dan setelah mereka hendak berangkat, dengan berpegang pada lengan Lie Siong, kakek itu berjalan terpincang-pincang keluar dari hutan dan mendaki bukit dimana terdapat perbentengan orang Mongol itu.
Alangkah girangnya hati Lie Siong ketika mendapat kenyataan bahwa biarpun berpegang kepada lengannya, gurunya ini bukan merupakan beban, bahkan sebaliknya. Ia seakan-akan didorong oleh tenaga yang hebat sekali dan ketika ia menggerakkan kedua kaki menggunakan ilmu lari cepatnya, ia dapat berlari jauh lebih cepat daripada kalau ia berlari sendiri! Juga ketika ia melompati jurang, ia merasa tubuhnya ringan sekali. Ia tahu bahwa tanpa disengaja, gurunya telah mengeluarkan kelihaiannya dan tentu saja ia menjadi amat girang dan kagum sekali.
Demikianlah, dengan amat mudahnya Lie Siong membawa suhunya memasuki istana Malangi Khan dan berhasil merampas Kwee Cin. Ia makin girang sekali menyaksikan kelihaian suhunya yang benar-benar di luar persangkaannya itu. Ia kini makin kenal baik keadaan suhunya dan tahu bahwa suhunya adalah seorang kakek yang sudah amat tua, terlalu tua sehingga berubah seperti kanak-kanak, berkepandaian yang luar biasa tingginya, tidak suka membunuh, dan paling senang bermain gundu.
Dari istana Malangi Khan, ia langsung membawa suhunya dan Kwee Cin ke benteng tentara kerajaan di Pegunungan Alkata-san. Memang Lie Siong bermaksud untuk mengembalikan Kwee Cin kepada orang tuanya di benteng Alkata-san, kemudian menghilang dengan suhunya dari orang banyak untuk mempelajari ilmu silat yang tinggi. Ia ingin belajar sampai dapat mengimbangi atau melebihi kepandaian Lili, Hong Beng, Goat Lan, atau kepandaian Pendekar Bodoh sekalipun!
**** 135 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar