Kamis, 05 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 139

Kamangi terheran dan memandang kepada Cin Hai.
“Apakah dia lebih lihai daripada ibu, Ayah? Ibu memiliki ilmu silat yang luar biasa sekali, juga ayah angkatku, demikian kata Kwee Cin. Apakah dia lebih lihai dari mereka?”

“Ha-ha-ha, anak bodoh. Dialah orang yang paling hebat diantara kita semua. Dialah Pendekar Bodoh, dan kau beruntung sekali bisa menjadi muridnya.”

Karena Kamangis memang cerdik, ia lalu berlutut di depan Cin Hai dan memberi hormat sambil menyebut

“suhu”!

Kemudian atas perintah ayahnya, anak ini pun lalu memberi hormat kepada “ayah angkatnya” dan juga kepada Lin Lin yang disebut “subo” (isteri guru).

Perjamuan berjalan dengan lancar, gembira sampai tengah malam. Karena merasa girang sekali puteranya selamat dan permusuhan dapat dihabiskan malam itu, Malangi Khan minum arak sebanyak-banyaknya dan karena arak dari selatan memang jauh lebih keras daripada arak yang seringkali diminumnya, maka ia menjadi mabuk.

Hal ini disengaja oleh Kam Liong karena panglima muda ini ingin sekali mendengar ocehan Malangi Khan dalam mabuknya. Seperti biasa, orang tak dapat menyimpan rahasianya apabila sedang mabuk dan kalau Malangi Khan mempunyai rencana tertentu dan “perdamaian” yang diperlihatkannya itu hanya tipu belaka, tentu di dalam mabuknya Kaisar ini akan membuka rahasia. Akan tetapi, ternyata Malangi Khan tidak membuka rahasia apa-apa, kecuali nama-nama beberapa orang selir yang disayanginya!

Dengan bantuan Pendekar Bodoh, Malangi Khan lalu diantar ke dalam sebuah kamar dimana ia lalu tidur mendengkur keras sekali. Kemudian Kaisar Mongol itu ditinggalkan tidur seorang diri di dalam kamar itu, karena yang lain-lain masih melanjutkan perjamuan yang amat gembira.

Siapakah orangnya yang tidak gembira menerima berita bahwa perang dihentikan dan perdamaian membuat mereka mendapat kesempatan untuk bertemu kembali dengan keluarga masing-masing? Di dalam perjamuan itu, ikut serta para perwira dan orang gagah yang menemani pemimpin-pemimpin pasukan pengawal Malangi Khan.

Kwee An dan Ma Hoa mengantar Kamangis dan Kwee Cin tidur dan Kwee An berpesan kepada Ma Hoa agar jangan meninggalkan dua orang anak itu, karena siapa tahu kalau-kalau ada orang jahat diantara para pengikut Malangi Khan. Kemudian ia kembali ke ruang perjamuan akan tetapi ia mengambil jalan memutar ke belakang.

Tiba-tiba ia melihat bayangan orang berkelebat, dan gerakan orang ini luar biasa gesitnya. Tubuh orang itu pendek dan gemuk, mengingatkan dia akan tubuh Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, akan tetapi orang ini tidak berjenggot.

Diantara kawan-kawannya dan orang-orang gagah yang berkumpul di Alkata-san, tidak ada lagi orang yang berbentuk seperti ini tubuhnya, maka timbuilah kecurigaannya. Diam-diam ia lalu mengikuti bayangan ini yang dengan hati-hati, menggunakan kesempatan semua orang sedang makan minum untuk mendatangi jendela kamar dimana Malangi Khan tidur mendengkur dengan pulasnya!

Setibanya di luar jendela, ia lalu mencabut sepasang golok dari punggungnya dan sekali cokel saja, terbukalah jendela itu yang lalu diganjalnya dengan sebatang ranting. Kemudian, dengan gerakan gesit sekali orang ini lalu melompat ke dalam kamar.

Ternyata bahwa Malangi Khan tidurnya pulas sekali akibat pengaruh arak sehingga ia tidak mendengar sama sekali akan perbuatan orang yang mencurigakan ini. Orang ini adalah seorang Panglima Mongol yang bertubuh pendek gemuk, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ia bernama Khalinga, seorang panglima Mongol keturunan Tartar yang amat benci kepada orang-orang Han.

Hal ini tidak mengherankan oleh karena ayahnya dahulu tewas oleh orang Han, maka ia telah bermaksud untuk menumpas setiap bangsa Han yang dijumpainya. Kemudian ia terpilih menjadi panglima oleh Malangi Khan karena memang Khalinga memiliki kepandaian yang lumayan, apalagi permainan siang-to (sepasang golok) darinya amat lihai.

Ketika Khalinga mendapat kenyataan bahwa Malangi Khan menyatakan damai dengan orang-orang Han, bahkan hendak mengunjungi Kaisar dan menyatakan persahabatan, hatinya menjadi panas dan mendongkol sekali. Timbullah kebenciannya yang hebat terhadap Kaisarnya yang dianggapnya lemah, pengecut dan mengkhianati cita-cita bangsa Mongol. Oleh karena itu, diam-diam ia mendatangi tempat tidur Malangi Khan dan hendak mempergunakan kesempatan selagi kaisar itu tidur dan para tamu sedang makan minum, untuk membunuh Kaisar Malangi Khan!






Niat ini bukan semata-mata terdorong oleh kebenciannya yang tiba-tiba terhadap Malangi Khan, melainkan merupakan siasat yang amat licin dari orang pendek peranakan Tartar Mongol ini.

Kalau ia dapat membunuh Malangi Khan tanpa diketahui oleh siapapun juga, tentu peristiwa hebat ini akan melenyapkan sama sekali maksud damai dari Malangi Khan dan tentu dengan mudah ia akan dapat menghasut para panglima dan bala tentara Mongol bahwa dengan sengaja Malangi Khan dijebak ke dalam perangkap oleh orang-orang Han, kemudian diam-diam dibunuhnya!

Dengan demikian seluruh bala tentara Mongol tentu akan serentak bangkit dan memusuhi orang-orang Han dan siapa tahu kalau-kalau ia akan dapat memperoleh kedudukan tinggi!

Akan tetapi semua itu hanya mimpi atau lamunan kosong belaka karena tanpa ia ketahui, pada saat itu ia telah diikuti oleh seorang pendekar besar yang lihai, yaitu Kwee An!

Di dalam kamar Malangi Khan itu masih terang karena lilin yang bernyala di atas ciak-tai (tempat lilin) masih belum habis dan belum padam. Ketika Kwee An melihat betapa orang pendek itu mengangkat golok dan hendak membacok Malangi Khan, cepat tangan kanannya bergerak dan sebutir batu kerikil tajam melayang ke arah pergelangan tangan kiri orang yang telah mengangkat golok kiri untuk dibacokkan ke arah leher Malangi Khan itu!

Orang itu menjerit perlahan dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia merasa tangan kirinya menjadi lumpuh. Bukan main herannya ketika ia tidak mendengar suara goloknya yang terlepas itu berdentang di atas lantai, dan tiba-tiba api lilin bergoyang.

Alangkah kagetnya ketika ia menengok, ia melihat goloknya yang terlepas tadi sebelum jatuh ke atas lantai, telah disambar oleh bayangan yang gagah yang kini berdiri dengan golok rampasan itu di hadapannya sambil tersenyum mengejek. Khalinga mengenal orang ini sebagai Kwee An, ayah dari anak yang dulu ditahan didalam benteng, maka dengan nekat ia lalu menerjang dengan goloknya.

Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan Kwee An, pendekar besar yang berilmu tinggi itu. Setelah belasan jurus mereka bertempur, bukan Khalinga yang menyerang, bahkan ia menjadi pihak yang diserang kalang-kabut oleh Kwee An!

Kwee An hendak menawannya hidup-hidup, maka agak sukar ia mengalahkan lawannya. Kalau saja ia mau menurunkan tangan maut, dalam satu dua jurus saja tentu ia akan dapat membuat lawannya roboh tak bernyawa lagi atau terluka berat.

Suara golok yang beradu menimbulkan suara nyaring dan membangunkan Malangi Khan dari tidurnya.

“Hei! Kalian sedang berbuat apa disini?” tegurnya heran ketika melihat seorang panglimanya bertempur melawan Kwee An.

“Malangi Khan! Penjahat ini berusaha membunuhmu!” berkata Kwee An.

Malangi Khan bukanlah seorang Kaisar besar kalau ia tidak tahu akan watak semua panglimanya. Begitu mendengar hal ini, maklumlah dia bahwa Khalinga tentu akan menimbulkan kekeruhan, hendak membunuhnya untuk memancing permusuhan diantara orang-orang Han dan orang-orang Mongol, karena Malangi Khan tahu betul akan kebencian Khalinga terhadap orang Han.

“Khalinga, kau berani hendak mengkhianati aku?” bentaknya marah.

Khalinga berdiri dengan muka merah dan dada berombak di depan kaisarnya yang telah duduk di atas pembaringan, sedangkan Kwee An juga menunda serangannya dan memandang dengan penuh kewaspadaan.

“Malangi, kau bilang aku mengkhianati engkau? Kaulah orangnya yang mengkhianati bangsa Mongol, kau Kaisar lemah dan pengecut! Kau menyerah kepada bangsat-bangsat Han tanpa mengeluarkan setetes darah, alangkah rendah dan hinanya, alangkah pengecut. Orang macam kau harus mampus di ujung golokku!”

Sambil berkata demikian, Khalinga lalu menubruk maju dan menusukkan goloknya ke arah dada Malangi Khan! Akan tetapi Kwee An membentak marah dan sekali goloknya berkelebat, Khalinga berseru kesakitan dan goloknya terlempar ke atas lantai sedangkan tangan kanannya berlumur darah terkena ujung golok Kwee An.

Malangi Khan melompat turun, mengambil golok yang terlepas dari tangan Khalinga, lalu mengangkat golok itu untuk dibacokkan ke arah kepala Khalinga.

“Ha-ha! Kaisar pengecut, kau hendak membunuhku? Bunuhlah, ini dadaku! Aku Khalinga tidak takut mati, tidak seperti engkau!”

Melihat sikap Khalinga ini, lemaslah tangan Malangi Khan. Kaisar ini paling suka dan kagum akan kegagahan dan sikap yang berani mati dari Khalinga ini menimbulkan sayangnya.

“Khalinga, pergilah! Aku ampuni jiwamu. Akan tetapi jangan sekali-kali kau berani memperlihatkan mukamu di depanku lagi. Kembalilah kau kepada orang-orang Tartar, kau tidak berhak menyebut diri menjadi orang Mongol lagi!”

Bagaikan seekor anjing dipukul, Khalinga melompat keluar dari jendela dan melarikan diri. Setelah Kaisar menyatakan ia bukan orang Mongol lagi ia tidak berani membuka mulut memaki Malangi Khan, karena sebagai orang Tartar tentu saja ia tidak berhak mencampuri urusan Negara Mongol!

Sementara itu, ribut-ribut ini telah menarik perhatian orang dan Cin Hai diikuti yang lain-lain telah memburu ke tempat itu. Mereka masih dapat melihat betapa Malangi Khan mengampuni calon pembunuh itu, maka Cin Hai makin kagumlah kepada Kaisar Mongol ini.

Juga Kim Wi dan Kam Liong, demikian pula Tiong Kun Tojin, diam-diam memuji Kaisar yang bijaksana ini. Lebih-lebih Kam Wi mengakui kebenaran sikap Pendekar Bodoh yang berhasil menarik hati Kaisar Mongol, karena menurut hasil penyelidikan para petugas, ternyata bahwa barisan Mongol yang luar biasa besar jumlahnya telah mengurung Pegunungan Alkata-san!

Kalau saja Malangi Khan mereka ganggu dan kalau saja pecah pertempuran besar, biarpun orang-orang gagah ini tidak merasa jerih dan belum tentu mereka kalah, akan tetapi sudah pasti bahwa banyak korban akan roboh diantara kedua pihak.

Adapun Malangi Khan tentu saja merasa amat berterima kasih kepada Kwee An, karena kalau tidak kebetulan pendekar ini melihat Khalinga, tentu ia telah terbunuh oleh orang pendek itu. Dan lebih bersyukur lagi hati Kaisar ini bahwa penolongnya adalah ayah angkat dari Kamangis putera tunggalnya!

Pada keesokan harinya, Malangi Khan membawa serta seluruh pasukan dan bala tentaranya untuk kembali ke utara setelah menerima janji dari Pendekar Bodoh bahwa kelak pendekar ini akan menyusul ke utara mengunjungi istana Malangi Khan dan untuk menurunkan ilmu kepandaian kepada Pangeran Kamangis.

Kemudian, juga Kam Liong membawa kembali pasukannya ke kota raja setelah mengangkat seorang komandan untuk bertugas menjaga tapal batas utara, dengan pesan agar supaya memperkuat disiplin agar anak buahnya tidak mencari perselisihan dengan orang-orang Mongol yang berlalu-lintas membawa barang dagangan mereka.

Semua orang merasa puas dengan kesudahan dari perang besar yang akan meletus itu, hanya Cin Hai dan sekeluarganya yang merasa amat gelisah karena sampai pada waktu itu, Lili masih juga belum pulang! Terutama sekali Lin Lin merasa gelisah sekali. Oleh karena itu, ketika Goat Lan dan Hong Beng dengan disertai oleh Kwee An dan Ma Hoa kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada Kaisar tentang hasil tugas hukuman mereka dan minta dibebaskan serta diampunkan, Cin Hai dan Lin Lin tidak ikut pulang, melainkan hendak pergi mencari Lili.

Dengan diperkuat oleh laporan Kam Liong, Kaisar yang mendengar tentang kesudahan perang itu menjadi amat girang dan memuji Hong Beng serta Goat Lan sebagai sepasang pendekar yang setia dan gagah.

“Aku telah mendengar bahwa kalian berdua sudah bertunangan,” kata Kaisar dengan ramah, “biarpun kalian belum menikah, sudah sepatutnya aku memberi selamat dengan sedikit tanda mata.”

Kaisar lalu memberi hadiah kepada sepasang pendekar ini, yaitu sepasang siang-kiam (pedang pasangan) yang bergagang emas dan sebuah giok-ma (kuda kumala), yaitu sebuah perhiasan berbentuk kuda terbuat dari batu kemala yang diukir indah sekali sehingga nampaknya seperti hidup saja.

Adapun Pangeran Mahkota yang merasa amat berterima kasih kepada Goat Lan karena telah menolong nyawanya dari maut berupa penyakit hebat itu, meloloskan sebuah kancing bajunya yang terbuat dari pada intan. Kancing baju ini berbentuk bulat dan intan yang luar biasa besarnya ini terukir dengan huruf Hok (Rezeki) dan di belakangnya terukir pula dengan huruf-huruf yang berarti Putera Pangeran.

Dengan memegang kancing seperti itu berarti Goat Lan telah memegang kekuasaan yang besar, karena ke manapun juga ia pergi, asal ia memperlihatkan kancing ini kepada para pembesar negeri, ia tentu akan diterima dengan penuh penghormatan seperti orang menerima kunjungan Pangeran sendiri!

Demikianlah, setelah menghaturkan terima kasih dengan hati terharu, Hong Beng dan Goat Lan lalu meninggalkan istana dan bersama dengan Kwee An dan Ma Hoa, mereka lalu kembali ke Tiang-an.

Di sepanjang jalan mereka bergembira, apalagi Kwee Cin yang memang belum pernah menikmati perjalanan yang demikian jauh. Adapun Sin-kai Lo Sian, ketika oleh Cin Hai disuruh kembali lebih dulu ke Shaning karena suami isteri ini hendak mencari Lili, Pengemis Sakti ini menolak dengan halus dan menyatakan bahwa ia sudah bosan untuk berdiam menganggur di dalam rumah dan darah perantauannya memanggilnya untuk kembali mengadakan perantauan seperti dahulu.

**** 139 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar