*

*

Ads

Kamis, 05 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 140

Ke manakah perginya Lili, gadis remaja yang cantik dan gagah berani itu? Mari kita ikuti perjalanannya yang penuh bahaya. Sebagaimana telah diketahui, Lili yang berani dan bengal ketika mendengar bahwa Goat Lan dan Hong Beng pergi ke benteng orang Mongol untuk menolong Kwee Cin, menjadi tergerak hatinya dan malam-malam ia lalu minggat dari benteng Alkata-san untuk menyusul kakaknya dan calon sosonya (kakak ipar) itu.

Ia mempergunakan ilmu lari cepat di malam terang bulan dan ia merasa gembira sekali. Melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar di malam disinari bulan itu sama sekali tidak membuat hatinya menjadi takut, sebaliknya ia malah demikian gembira sehingga ia berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi kecil seperti ketika ia masih kanak-kanak dahulu.

Akan tetapi oleh karena selama hidupnya Lili belum pernah menginjak daerah ini dan iapun masih belum berpengalaman dalam hal mencari jalan dengan hanya mengandalkan petunjuk lisan dari seorang Haimi tua seperti Nurhacu itu, maka tanpa disadarinya kedua kakinya menyeleweng dan makin jauh ia meninggalkan arah tujuannya!

Ia membelok ke barat menuju ke rimba raya di atas sebuah bukit yang gelap dan menghitam mengerikan. Setelah malam hampir terganti fajar, kian jauhlah ia tersasar dan makin bingunglah hati Lili.

Menurut Nurhacu, hutan yang dilaluinya ini tidak panjang dan sebelum fajar ia telah dapat keluar dari hutan ini dan tiba di padang rumput dari mana benteng orang-orang Mongol akan tampak. Akan tetapi sekarang sudah menjelang fajar, hutan yang dilalui ini makin lama makin liar dan makin padat oleh pohon-pohon raksasa.

Ia menjadi mendongkol sekali kepada Nurhacu, disangkanya sengaja memberi petunjuk menyesatkan. Mulai lenyaplah kegembiraan wajahnya, terganti oleh kemarahan yang terlihat pada bibirnya yang cemberut.

Akan tetapi dasar watak Lili amat gembira, setelah fajar terganti pagi dan matahari mulai bersinar, timbul kembali kegembiraannya bersama dengan datangnya suara burung-burung hutan berkicau dan munculnya binatang-binatang hutan yang amat elok.

Beberapa ekor binatang kecil seperti kelinci, rusa, dan lain-lain keluar dari semak-semak, berlari-lari kecil bermandi cahaya matahari sehingga Lili menjadi gembira sekali. Ia pun ikut berlari-lari, mengeiar ke sana ke mari untuk melihat binatang-binatang itu bermain-main sambil kadang-kadang terdengar suara ketawanya yang merdu dan nyaring.

Kalau ada orang melihat keadaan di dalam hutan liar ini pada waktu itu, ia akan melihat binatang-binating kecil berlari-larian dan bermain-main di dalam sinar matahari pagi, mendengar suara burung-burung berkicau, melihat kembang-kembang mekar indah dengan hiasan mutiara-mutiara embun pagi yang bergantungan pada kelopaknya, kemudian melihat seorang dara juita berbaju kembang berlari ke sana-sini sambil tertawa merdu, tentu orang itu akan mengira bahwa Lili adalah seorang peri atau seorang bidadari!

Ketika melihat sepasang rusa di bawah pohon sedang berkasih-kasihan, yang jantan membelai-belai yang betina dengan lehernya yang panjang indah, hati Lili berdebar dan tiba-tiba di depan matanya terbayang wajah seorang pemuda! Ia mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa amat aneh dan marah kepada diri sendiri. Mengapa wajah yang terbayang itu wajah… Lie Siong, orang kurang ajar itu?

Kalau saja ia teringat pertama-tama kepada Kam Liong atau bahkan kepada Song Kam Seng sekalipun, ia takkan merasa aneh. Akan tetapi… Lie Siong?? Tak terasa lagi ia menjumput pasir dan menyambitkannya arah sepasang rusa itu yang menjadi terkejut dan melarikan diri. Lenyap pulalah bayangan wajah Lie Siong dari depan matanya dan Lili menjadi gembira kembali.

Tiba-tiba ia melihat seekor kelinci putih yang gemuk dan timbullah seleranya. Ia telah melakukan perjalanan selama setengah malam tanpa istirahat dan kini ia merasa amat lapar. Dikerjarnya kelinci itu, akan tetapi kelinci putih itu biarpun gemuk dan keempat kakinya pendek-pendek, ternyata dapat berlari cepat sekali dan sebentar saja ia menghilang di dalam semak-semak.

Lili memang beradat keras dan tidak mudah mengaku kalah. Ia lalu mencabut pedang Liong-coan-kiam dan membabat semak-semak itu sampai bersih! Sebelum semak-semak itu habis dibabat, kelinci itu telah melompat pergi lagi dan menyusup ke dalam semak-semak yang lebih lebat lagi. Lili menggigit bibirnya.

“Kelinci manja! Kemana kau hendak pergi? Biarpun kau pergi ke neraka, tetap saja aku akan dapat menangkap dan menikmati dagingmu yang empuk!”

Kembali Lili membabat semak-semak berduri itu dan seperti tadi juga, kelinci itu melompat dan berpindah-pindah dari semak itu ke semak yang lain. Sebentar saja, sudah lebih dari sepuluh rumpun semak-semak belukar dibabat oleh pedang Liang-coan-kiam di tangan Lili.






Akhirnya, kelinci itu menjadi ketakutan dan berlari terus, dikejar oleh Lili yang menjadi makin gemas. Setelah kehabisan jalan, kelinci itu kembali menyusup ke dalam semak-semak yang penuh dengan tetumbuhan daun hitam yang gelap sekali. Lili tidak peduli dan mulai membabat.

Pedang Liong-coan-kiam adalah pedang pusaka yang amat tajam, maka dengan mudah saja semak-semak itu dibabat berhamburan ke kanan kiri sampai terlihat tanah di bawahnya. Setelah semak-semak ini habis terbabat, tidak seperti tadi, kelinci itu tetap tidak kelihatan. Lili menjadi penasaran sekali.

Sudah terang bahwa kelinci itu tidak melompat keluar, akan tetapi mengapa tidak berada di dalam semak-semak ini? Apakah kelinci itu pandai menghilang? Ia mencari terus, melempar-lemparkan semak-semak yang sudah terbabat itu ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja kelinci tidak nampak. Akhirnya ia melihat sebuah lubang bundar yang lebarnya kurang lebih satu setengah kaki. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum.

“Kelinci licik, kau kira aku tidak tahu kemana bersembunyi? Keluarlah!”

Ia menepuk-nepuk pinggir lobang itu dan menjadi terheran-heran ketika mendengar suara berdengung dari bawah tanah. Lobang itu ternyata di sebelah dalam kosong, pikirnya. Tempat apakah ini? Goa tertutup?

Ia lalu menggunakan pedangnya untuk menggali lubang itu dan baru saja satu kaki dalamnya, ternyata bahwa lobang di bawah luar biasa besarnya, merupakan sumur yang lebar sekali. Jadi lubang tadi merupakan “cerobong” pada langit-langit ruang di bawah tanah ini!

Lili menjadi tertarik sekali. Ia melebarkan cerobong itu sampai kira-kira tiga kaki segi empat, lalu mengambil batu dan melemparnya ke bawah. Tidak dalam, pikirnya, dan di bawah tanah lunak biasa saja. Hal ini diketahui karena dalam waktu singkat batu itu mengenai dasar ruang dan terdengar suara berdebuk.

Ia harus menangkap kelinci itu dan di samping itu, ia pun ingin tahu apakah yang berada di dalam ruang di bawah tanah ini. Memang ia memiliki nyali yang amat besar. Dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan kanan, gadis ini lalu melompat ke dalam lubang tadi!

Benar seperti yang disangkanya, kakinya menyentuh tanah dan ternyata lubang itu dalamnya hanya dua tombak kurang. Setelah matanya sudah biasa dengan pemandangan suram-suram di dalam lubang itu, ia mulai melakukan penyelidikan.

Sinar matahari yang masuk dari lubang atas, cukup untuk melihat keadaan di sekelilingnya. Sumur itu ternyata besar juga, kurang lebih tiga tombak luasnya dan dikelilingi oleh dinding batu karang yang kehitaman dan mengkilap.

Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya, ia tidak melihat kelinci putih tadi! Ia menjadi penasaran sekali karena sumur itu ternyata kosong melompong tidak ada apa-apanya yang menarik, sedangkan kelinci itu lenyap begitu saja. Ia menyelidiki dinding di seputar tempat itu bagian bawah kalau-kalau ada lubangnya dari mana kelinci itu dapat masuk.

Usahanya berhasil karena memang betul di sebelah kiri terdapat lubang kecil di bagian bawah. Ia mendongkol sekali, tentu kelinci tadi telah melarikan diri dari lubang ini, dan bagaimana dirinya bisa masuk? Lubang itu hanya dapat dimasuki kedua tangannya saja.

Ia mencoba memasukkan kedua tangannya di dalam lubang ini dan mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya bahwa di balik dinding ini pun merupakan ruang terbuka!

Lili makin tertarik. Ia memeriksa dinding itu dan mendapat kenyataan yang mendebarkan hatinya bahwa disitu terdapat pecahan yang merupakan sebuah pintu! Akan tetapi pintu ini rapat sekali dan ketika ia mencoba untuk mendorong nya, ternyata pintu itu kuat sekali.

Ia lalu mencari akal dan memeriksa lagi. Mungkin bukan pintu dorongan, melainkan pintu angkat semacam penutup lubang jendela, pikirnya. Ia lalu memasukkan kedua tangannya di dalam lubang di bawah pintu ini dan mengerahkan tenaganya mengangkat sambil mendorong ke luar. Ia berhasil! Pintu bundar itu bergerak keluar, akan tetapi Lili harus segera melepaskan kedua tangannya karena pintu itu terlampau berat baginya.

Peluhnya membasahi jidat dan ia beristirahat sebentar. Setelah tenaga terkumpul kembali ia lalu mencoba lagi, akan tetapi tetap saja tidak dapat ia membuka pintu itu terus sampai ia dapat masuk melalui lubangnya.

Lili adalah seorang yang keras hati dan apabila sudah mempunyai kehendak, akan berusaha mati-matian untuk mencapai kehendak ini. Berkali-kali ia mencoba dan ketika ia mengangkat untuk yang ke sekian belas kalinya, tiba-tiba pintu itu terbuka terus dan tidak menindih kembali seperti ada sesuatu yang mengganjalnya!

Cepat ia merayap masuk ke dalam ruang di balik pintu itu dan alangkah herannya ketika melihat bahwa pintu yang tebal dan berat sekali kini tertahan oleh sebatang tongkat bambu yang kecil panjang, sebatang tongkat yang dipegang oleh seorang nenek tua. Atau bukan manusiakah nenek ini? Lili memandang dengan mata terbelalak.

Ia melihat bentuk tubuh yang kurus kering dan kecil sekali, bongkok dan kulitnya sudah menjadi satu dengan tulang, melekat sehingga hampir kelihatan seperti sebuah rangka hidup. Rambut nenek ini putih semua dan awut-awutan menutupi mukanya yang kehitaman. Bajunya hitam menutupi kedua pundak terus bawah.

Kalau saja dua lubang yang merupakan matanya itu tidak bergerak-gerak dan tangan kiri yang memegang tongkat tidak sedang menjaga pintu batu, Lili akan menyangkanya sebuah patung rusak. Tangan kanan nenek ini memegang kelinci putih yang tadi dikejar-kejar oleh Lili.

Setelah dara itu masuk, nenek ini lalu menggerakkan tangan kanannya dan kelinci putih itu melayang keluar melalui pintu batu kemudian terdengar suara keras ketika ia menarik kembali tongkatnya dan daun pintu batu yang berat itu menimpa turun lagi, menutup tempat itu.

Akan tetapi tempat itu terang karena mendapat cahaya matahari dari atas yang turun melalui lubang-lubang kecil yang tinggi sekali dari tempat itu. Lili menjadi terkejut bukan main. Ia cepat memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat sebuah pun jalan keluar.

Ketika ia memandang kembali kepada nenek itu, kini nenek itu telah duduk bersila dan diam tak bergerak bagaikan patung asli dari batu hitam! Lili mulai merasa takut. Ia seakan-akan berada di dalam kuburan, dikubur hidup-hidup bersama sebuah patung batu yang mengerikan, karena kelihatannya seperti tengkorak.

Cepat ia menghampiri pintu batu tadi dan berusaha membukanya untuk keluar dan melarikan diri. Akan tetapi seperti tadi, ia tidak mampu membuka pintu itu, tidak mampu membuka lebih lebar dari satu dim saja! Bagaimanakah nenek tadi dapat menahan pintu itu dengan sebatang tongkat bambu? Lili lalu menghampiri nenek itu dan dengan suara halus membujuk,

“Nenek tua yang baik, maafkanlah kelancanganku masuk kesini dan tolonglah aku keluar dari gua ini. Aku tidak dapat membuka pintunya.”

Berkali-kali ia mengucapkan permintaan ini akan tetapi jangankan membuka mata atau mulut, bergerak pun tidak nenek aneh itu. Tiba-tiba Lili teringat dengan bulu tengkuk berdiri bahwa mungkin sekali nenek ini bukan manusia, melainkan seorang iblis penjaga bumi! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Liok-te Pouwsat (Dewi Bumi), mohon ampun atas kekurangajaran hamba. Hamba Sie Hong Li telah melakukan dosa dan berlancang masuk di tempat kediaman Pouwsat tanpa disengaja, mohon ampun dan tolonglah hamba keluar dari kuburan ini!”

Kembali Lili mengulangi permohonannya ini sampai sepuluh kali, akan tetapi nenek itu tetap saja duduk bersila tanpa membuka mata atau mulut. Akhirnya Lili menjadi marah sekali. Ia melompat bangun dan membentak,

“Aha, tidak tahunya kau seorang Iblis Bumi yang jahat, ya? Kau hendak mengurungku sampai mati disini atau sampai menjadi tua dan buruk seperti engkau? Lebih baik aku mati! Akan tetapi sebelum aku mati, kalau kau tidak mau membuka pintu gua ini, kaulah yang akan kubikin mampus lebih dulu!”

Ia mencabut Liong-coan-kiam yang berkilauan didalam keadaan suram-suram itu. Ia menggerak-gerakkan pedangnya untuk menakut-nakuti nenek itu, dan benar saja, sekarang nenek itu membuka kedua matanya yang mencorong seperti mata kucing. Akan tetapi, bukannya menjadi takut, bahkan tiba-tiba nenek itu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Lili berdiri saking seremnya. Nenek itu ketawa tiada ubahnya seperti mayat atau tengkorak tertawa!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar