Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu dengan hati marah sekali pergi mencari pembunuh suaminya dan menyusul puteranya, setelah berkumpul sebentar dengan Lili. Dari gadis inilah pertama kali ia mendengar bahwa suaminya telah terbunuh orang, dan bahwa Lie Siong telah mulai melakukan penyelidikan untuk mencari pembunuh itu.
Sampai beberapa lama ia merantau ke selatan, dan akhirnya pergilah ia ke Tong-sin-bun, karena dari Lili ia mendengar Lie Siong pernah ke sana. Juga ia ingin sekali bertemu dan memberi hajar kepada Ban Sai Cinjin, juga ingin mendapatkan Bouw Hun Ti yang sudah berani menculik Lili di waktu kecil.
Ketika ia tiba di luar dusun Tong-sin-bun, tiba-tiba ia melihat seorang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali, tengah duduk di pinggir jalan dan memandang kepadanya dengan mata penuh perhatian. Melihat keadaan pengemis tua ini, Ang I Niocu berpikir-pikir sebentar, dan teringatlah ia bahwa yang berada di depannya ini tentulah Sin-kai Lo Sian, Si Pengemis Sakti yang menurut penuturan Lili menjadi guru gadis itu dan juga telah diculik oleh puteranya! Akan tetapi, sebelum ia sempat menegurnya, Sin-kai Lo Sian telah mendahuluinya menegur sambil berdiri dan memberi hormat,
“Bukankah Siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang terhormat?”
“Sin-kai Lo-enghiong, kau mempunyai pandangan mata yang tajam,” jawab Ang I Niocu. “Di manakah puteraku?”
“Siauwte tidak tahu, Niocu, semenjak kami berpisah di Alkata-san, kami tak saling bertemu lagi.”
Ang I Niocu mengerutkan keningnya, kemudian ia lalu menghampiri Lo Sian dan berkata,
“Menurut penuturan Hong Li, katanya puteraku telah berlaku kurang ajar dan menculik Lo-enghiong, sebetulnya apakah kehendaknya? Apakah benar kau mengetahui siapa pembunuh suamiku?”
Lo Sian mengangguk.
“Tak salah lagi, Niocu. Yang membunuh Lie Kong Sian Tai-hiap adalah Ban Sai Cinjin.”
Kemudian Pengemis Sakti ini lalu menuturkan pengalamannya, ketika ia dan Lie Siong tertangkap oleh Ban Sai Cinjin dan betapa kakek mewah itu mengaku telah membunuh Lie Kong Sian.
“Jadi kau sendiri tidak ingat lagi bagaimana suamiku dibunuhnya dan dimana pula dikubur?”
Ang I Niocu menahan gelora hatinya yang kembali diserang oleh gelombang kedukaan dan kemarahan.
Lo Sian menggeleng kepalanya dengan sedih.
“Itulah, Niocu, sampai sekarang pun aku belum dapat kembali ingatanku. Aku sengaja datang kesini untuk menyegarkan ingatanku dan siapa tahu kalau-kalau aku akan teringat kembali. Akan tetapi, kalau kau datang hendak menuntut balas…”
“Tentu saja aku hendak menuntut balas! Dimana adanya bangsat besar Ban Sai Cinjin?” Ang I Niocu memotong dengan tak sabar lagi.
“Nanti dulu, Niocu, kau harus berlaku hati-hati di tempat ini, karena Ban Sai Cinjin bukan seorang diri saja. Dia sendiri mempunyai kepandaian yang luar biasa dan biarpun aku percaya penuh bahwa kau tentu akan dapat mengalahkannya, akan tetapi di dalam rumah atau kuilnya berkumpul orang-orang yang pandai. Di sana ada Wi Kong Siansu yang menjadi suhengnya dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Ban Sai Cinjin sendiri. Ada pula Hok Ti Hwesio yang biarpun hanya menjadi muridnya, akan tetapi hwesio ini memiliki hoatsut (ilmu sihir) yang mengerikan. Bahkan di situ sekarang telah berkumpul pula Hailun Thai-lek Sam-kui atas undangan Wi Kong Siansu, dan masih ada beberapa orang tokoh kang-ouw lagi yang tidak kukenal namanya. Oleh karena itu, kalau toh Niocu hendak menyerbu ke sana, harap suka berlaku hati-hati.”
“Lekas katakan, dimana letak rumahnya dan dimana pula kuilnya? Aku hendak mencari Ban Sai Cinjin!” bentak Ang I Niocu dengan muka merah karena ia sudah menjadi marah sekali dan sekian nama-nama besar tadi sama sekali tidak masuk ke dalam telinganya.
Lo Sian menjadi heran sekali dan melihat kemarahan orang ia tidak berani membantah lagi. Ia telah cukup banyak mendengar tentang watak Ang I Niocu yang luar biasa dan keras, dan kalau dia sampai membuat Ang I Niocu jengkel, salah-salah dia bisa dipukul roboh, maka ia lalu cepat-cepat memberi petunjuk dimana adanya rumah gedung Ban Sai Cinjin dan dimana pula letak kuil di dalam hutan dekat dusun Tong-sin-bun itu.
Setelah mendapat keterangan yang jelas dari Lo Sian, Ang I Niocu tanpa mengucapkan terima kasih lalu menggerakkan tubuhnya dan lenyap dari depan Lo Sian. Pengemis Sakti ini mengerutkan keningnya. Ia percaya penuh akan kelihaian Ang I Niocu yang sudah disaksikan pula kesempurnaan gin-kangnya sehingga dapat melenyapkan diri sedemikian cepatnya, akan tetapi tetap saja ia merasa sangsi apakah pendekar wanita itu dapat mengalahkan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang benar-benar merupakan lawan yang tidak mudah dikalahkan.
Sedangkan Lie Kong Sian, suami pendekar wanita itu yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Ang I Niocu, juga roboh oleh Ban Sai Cinjin, apalagi Ang I Niocu! Maka dengan hati gelisah ia lalu mengejar ke dalam dusun itu.
Ternyata oleh Ang I Niocu bahwa di dalam gedung yang mewah itu tidak terdapat Ban Sai Cinjin atau tokoh-tokoh lain, kecuali beberapa belas orang anak buah dan murid-murid baru, juga beberapa orang wanita muda yang menjadi selirnya.
Di dalam kemarahan dan kebenciannya, Ang I Niocu membunuh semua orang di dalam rumah ini dan kemudian membakar gedung mewah itu! Kini kebakaran lebih hebat daripada perbuatan Lie Siong setahun yang lalu, karena sekarang yang terbakar adalah seluruh gedung sehingga tempat yang tadinya mewah itu kini menjadi tumpukan puing! Hal ini terjadi karena Ang I Niocu membakar gedung itu lalu menjaganya di depan, melarang orang-orang yang hendak memadamkannya.
Kemudian pendekar wanita yang marah ini lalu menuju ke kuil di dalam hutan! Hari telah menjadi gelap dan ketika ia tiba di dekat kuil, di dalam rumah kelenteng itu telah dipasang api yang terang.
Adapun Lo Sian dengan hati merasa ngeri melihat sepak terjang pendekar wanita ini dari jauh, melihat betapa rumah gedung itu dimakan api dan tak seorang pun penghuninya dapat berlari keluar! Diam-diam ia menarik napas panjang menyesali perbuatan Ban Sai Cinjin yang mengakibatkan kekejaman yang demikian luar biasa dari pendekar wanita yang murka itu.
Kemudian, setelah melihat bayangan merah itu berlari cepat sekali menuju ke hutan, ia pun lalu menggunakan kepandaiannya berlari cepat menyusul. Lo Sian maklum bahwa menghadapi Ang I Niocu, ia sama sekati tidak berdaya. Hendak menolong, tentu takkan diterima, pula kepandaiannya sendiri dibandingkan dengan Ang I Niocu, masih kalah jauh sekali. Maka ia hanya menonton saja dari jauh, siap untuk menolongnya apabila perlu dan tenaganya mengijinkan.
Sebagaimana telah dikuatirkan oleh Lo Sian, benar saja kedatangan Ang I Niocu ini sudah diduga lebih dulu oleh Ban Sai Cinjin, dan ketika pendekar wanita itu tiba di depan kuil yang terang sekali karena di situ dipasang banyak penerangan, dari dalam muncullah Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui, Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang, kedua saudara Can jago-jago dari Shan-tung yakni Can Po Gan dan Can Po Tin, dan masih ada tiga orang hwesio gundul pula yang bukan lain adalah tiga orang tokoh dari Bu-tong-san!
Melihat asap hitam yang mengepul dari huncwe Ban Sai Cinjin, maklumlah Lo Sian bahwa kakek mewah itu telah bersiap sedia untuk bertempur dan ini membuktikan bahwa ia sudah menanti kedatangan Ang I Niocu!
Akan tetapi Ang I Niocu seujung rambut pun tidak merasa takut bahkan lalu menudingkan pedang yang bersinar-sinar ke arah dada Ban Sai Cinjin.
“Apakah kau yang bernama Ban Sai Cinjin, orang yang telah membunuh suamiku Lie Kong Sian?”
Mendengar pertanyaan yang langsung ini, Ban Sai Cinjin tersenyum mengejek untuk menghilangkan kegelisahannya melihat wanita yang hebat ini.
“Ang I Niocu, suamimu tewas ketika mengadakan pibu dengan kami, mengapa kau penasaran? Sebaliknya kaulah yang telah melakukan perbuatan keterlaluan sekali, membakar gedungku dan membunuh keluargaku. Patutkah itu dilakukan oleh seorang gagah?”
“Bangsat terkutuk! Mana suamiku bisa kalah olehmu kalau benar-benar bertemur dalam pibu yang adil? Kau tentu telah melakukan kecurangan seperti biasa kau lakukan. Kau kira aku belum mendengar namamu yang buruk dan kotor? Majulah kau, hendak kulihat bagaimana kau sampai bisa mengalahkan suamiku!”
Sambil berkata demikian dengan mata menyala-nyala Ang I Niocu lalu melompat mundur dan melambaikan pedangnya pada Ban Sai Cinjin dengan sikap menantang sekali.
Melihat pedang Liong-cu-kiam, yakni pedang ke dua dari sepasang pedang Liong-cu-siang-kiam yang dahulu ditemukan oleh Cin Hai dan Ang I Niocu (baca cerita Pendekar Bodoh), hati Ban Sai Cinjin menjadi gentar juga. Pedang itu mencorong dan mengeluarkan cahaya putih menyilaukan. Cahaya lampu yang banyak itu membuat pedang itu makin berkilauan lagi. Oleh karena itu, ia merasa ragu-ragu untuk melayani tantangan Ang I Niocu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa, ternyata yang ketawa itu adalah Hok Ti Hwesio yang baru keluar dari kuil diikuti oleh beberapa orang hwesio muda yang menjadi kawan-kawannya. Memang akhir-akhlr ini di kuil itu telah berkumpul beberapa belas orang hwesio muda yang diaku menjadi murid Hok Ti Hwesio, akan tetapi yang sesungguhnya merupakan sekumpulan penjahat cabul yang berkedok kepala gundul dan jubah pendeta!
“Lihat, orang macam itu hendak melawan Suhu!” kata Hok Ti Hwesio kepada kawan-kawan atau boleh juga disebut murid-muridnya yang juga pada tertawa menyeringai.
Melihat rombongan hwesio muda ini, teringatlah Ang I Niocu akan cerita Lo Sian tentang seorang hwesio yang menjadi murid Ban Sai Cinjin, maka dengan suara dingin sekali ia bertanya sambil memandang ke arah mereka,
“Aku pernah mendengar nama Hok Ti Hwesio, entah yang manakah diantara kalian bernama begitu?”
Hok Ti Hwesio memperkeras suara ketawanya, lalu berkata,
“Ang I Niocu, kau disohorkan orang sebagai seorang pendekar wanita baju merah yang cantik seperti bidadari. Sekarang kau datang menanyakan Hok Ti Hwesio, apakah kau jatuh hati kepadaku? Hemm, akulah yang tidak mau, Niocu, karena biarpun bajumu masih merah, akan tetapi mukamu sudah amat tua, terlalu tua…”
Belum sempat Hok Ti Hwesio menutup mulutnya, berkelebat bayangan merah yang didahului oleh sinar putih menyambar ke arah Hok Ti Hwesio.
“Awas…!” teriak Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin berbareng dan dengan kaget sekali Hok Ti Hwesio masih sempat menjatuhkan diri ke belakang, sehigga terhindar dari sambaran pedang Liong-cu-kiam di tangan Ang I Niocu.
Dengan gerak tipu Trenggiling Menggelinding dari Puncak, Hok Ti Hwesio bergulingan menjauhkan diri, akan tetapi tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, Ang I Niocu terus mengejarnya!
Dua orang hwesio murid Hok Ti Hwesio mencoba menghadang, akan tetapi begitu Liong-cu-kiam menyambar, terbabat putuslah leher kedua orang hwesio sial ini! Hwesio-hwesio muda yang lain menjadi ngeri dan mundur, adapun Hok Ti Hwesio telah melompat berdiri. Hwesio ini telah memiliki kepandaian tinggi, maka ia tidak takut, ia mencabut pisau terbangnya dan begitu Ang I Niocu menyerang, ia lalu menyambut dengan pisaunya yang lihai. Akan tetapi terdengar suara nyaring dan pisaunya telah terbabat putus!
Hok Ti Hwesio membaca mantera dan matanya terbelalak lebar memandang wajah Ang I Niocu lalu membentak sambil mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada Ang I Niocu.
Inilah ilmu hoat-sut (ilmu sihir) yang dipergunakan untuk mendorong roboh lawan. Ang I Niocu merasa tenaga yang mujijat menyambarnya dari depan. Cepat ia menggerakkan lengan kirinya dan mengepullah uap putih menolak pengaruh jahat itu ketika ia mengerahkan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut yang ia pelajari dari Bu Pun Su.
“Suhu… tolong…!”
Akhirnya Hok Ti Hwesio berseru minta tolong karena ia telah benar-benar terdesak hebat. Memang semenjak tadi Ban Sai Cinjin sudah hendak menolongnya dan kini hwesio mewah ini lalu mengayun huncwe menghantam kepala Ang I Niocu dari belakang!
Ang I Niocu yang sudah menjadi marah sekali lalu mengayun pedangnya ke belakang kepala tanpa menengok lagi sambil mengirim pukulan Pek-in-hoatsut dengan tangan kirinya ke arah Hok Ti Hwesio.
Sungguh gerakan yang luar biasa sekali, karena sambil menangkis serangan dari belakang tanpa menengok ia masih dapat mengirim pukulan maut ke depan. Kalau orang tidak mempunyai tubuh yang lemas lincah serta tidak memiliki Ilmu Silat Sianli-utauw yang mahir, tidak mungkin dapat melakukan gerakan ini.
Sampai beberapa lama ia merantau ke selatan, dan akhirnya pergilah ia ke Tong-sin-bun, karena dari Lili ia mendengar Lie Siong pernah ke sana. Juga ia ingin sekali bertemu dan memberi hajar kepada Ban Sai Cinjin, juga ingin mendapatkan Bouw Hun Ti yang sudah berani menculik Lili di waktu kecil.
Ketika ia tiba di luar dusun Tong-sin-bun, tiba-tiba ia melihat seorang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali, tengah duduk di pinggir jalan dan memandang kepadanya dengan mata penuh perhatian. Melihat keadaan pengemis tua ini, Ang I Niocu berpikir-pikir sebentar, dan teringatlah ia bahwa yang berada di depannya ini tentulah Sin-kai Lo Sian, Si Pengemis Sakti yang menurut penuturan Lili menjadi guru gadis itu dan juga telah diculik oleh puteranya! Akan tetapi, sebelum ia sempat menegurnya, Sin-kai Lo Sian telah mendahuluinya menegur sambil berdiri dan memberi hormat,
“Bukankah Siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang terhormat?”
“Sin-kai Lo-enghiong, kau mempunyai pandangan mata yang tajam,” jawab Ang I Niocu. “Di manakah puteraku?”
“Siauwte tidak tahu, Niocu, semenjak kami berpisah di Alkata-san, kami tak saling bertemu lagi.”
Ang I Niocu mengerutkan keningnya, kemudian ia lalu menghampiri Lo Sian dan berkata,
“Menurut penuturan Hong Li, katanya puteraku telah berlaku kurang ajar dan menculik Lo-enghiong, sebetulnya apakah kehendaknya? Apakah benar kau mengetahui siapa pembunuh suamiku?”
Lo Sian mengangguk.
“Tak salah lagi, Niocu. Yang membunuh Lie Kong Sian Tai-hiap adalah Ban Sai Cinjin.”
Kemudian Pengemis Sakti ini lalu menuturkan pengalamannya, ketika ia dan Lie Siong tertangkap oleh Ban Sai Cinjin dan betapa kakek mewah itu mengaku telah membunuh Lie Kong Sian.
“Jadi kau sendiri tidak ingat lagi bagaimana suamiku dibunuhnya dan dimana pula dikubur?”
Ang I Niocu menahan gelora hatinya yang kembali diserang oleh gelombang kedukaan dan kemarahan.
Lo Sian menggeleng kepalanya dengan sedih.
“Itulah, Niocu, sampai sekarang pun aku belum dapat kembali ingatanku. Aku sengaja datang kesini untuk menyegarkan ingatanku dan siapa tahu kalau-kalau aku akan teringat kembali. Akan tetapi, kalau kau datang hendak menuntut balas…”
“Tentu saja aku hendak menuntut balas! Dimana adanya bangsat besar Ban Sai Cinjin?” Ang I Niocu memotong dengan tak sabar lagi.
“Nanti dulu, Niocu, kau harus berlaku hati-hati di tempat ini, karena Ban Sai Cinjin bukan seorang diri saja. Dia sendiri mempunyai kepandaian yang luar biasa dan biarpun aku percaya penuh bahwa kau tentu akan dapat mengalahkannya, akan tetapi di dalam rumah atau kuilnya berkumpul orang-orang yang pandai. Di sana ada Wi Kong Siansu yang menjadi suhengnya dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Ban Sai Cinjin sendiri. Ada pula Hok Ti Hwesio yang biarpun hanya menjadi muridnya, akan tetapi hwesio ini memiliki hoatsut (ilmu sihir) yang mengerikan. Bahkan di situ sekarang telah berkumpul pula Hailun Thai-lek Sam-kui atas undangan Wi Kong Siansu, dan masih ada beberapa orang tokoh kang-ouw lagi yang tidak kukenal namanya. Oleh karena itu, kalau toh Niocu hendak menyerbu ke sana, harap suka berlaku hati-hati.”
“Lekas katakan, dimana letak rumahnya dan dimana pula kuilnya? Aku hendak mencari Ban Sai Cinjin!” bentak Ang I Niocu dengan muka merah karena ia sudah menjadi marah sekali dan sekian nama-nama besar tadi sama sekali tidak masuk ke dalam telinganya.
Lo Sian menjadi heran sekali dan melihat kemarahan orang ia tidak berani membantah lagi. Ia telah cukup banyak mendengar tentang watak Ang I Niocu yang luar biasa dan keras, dan kalau dia sampai membuat Ang I Niocu jengkel, salah-salah dia bisa dipukul roboh, maka ia lalu cepat-cepat memberi petunjuk dimana adanya rumah gedung Ban Sai Cinjin dan dimana pula letak kuil di dalam hutan dekat dusun Tong-sin-bun itu.
Setelah mendapat keterangan yang jelas dari Lo Sian, Ang I Niocu tanpa mengucapkan terima kasih lalu menggerakkan tubuhnya dan lenyap dari depan Lo Sian. Pengemis Sakti ini mengerutkan keningnya. Ia percaya penuh akan kelihaian Ang I Niocu yang sudah disaksikan pula kesempurnaan gin-kangnya sehingga dapat melenyapkan diri sedemikian cepatnya, akan tetapi tetap saja ia merasa sangsi apakah pendekar wanita itu dapat mengalahkan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang benar-benar merupakan lawan yang tidak mudah dikalahkan.
Sedangkan Lie Kong Sian, suami pendekar wanita itu yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Ang I Niocu, juga roboh oleh Ban Sai Cinjin, apalagi Ang I Niocu! Maka dengan hati gelisah ia lalu mengejar ke dalam dusun itu.
Ternyata oleh Ang I Niocu bahwa di dalam gedung yang mewah itu tidak terdapat Ban Sai Cinjin atau tokoh-tokoh lain, kecuali beberapa belas orang anak buah dan murid-murid baru, juga beberapa orang wanita muda yang menjadi selirnya.
Di dalam kemarahan dan kebenciannya, Ang I Niocu membunuh semua orang di dalam rumah ini dan kemudian membakar gedung mewah itu! Kini kebakaran lebih hebat daripada perbuatan Lie Siong setahun yang lalu, karena sekarang yang terbakar adalah seluruh gedung sehingga tempat yang tadinya mewah itu kini menjadi tumpukan puing! Hal ini terjadi karena Ang I Niocu membakar gedung itu lalu menjaganya di depan, melarang orang-orang yang hendak memadamkannya.
Kemudian pendekar wanita yang marah ini lalu menuju ke kuil di dalam hutan! Hari telah menjadi gelap dan ketika ia tiba di dekat kuil, di dalam rumah kelenteng itu telah dipasang api yang terang.
Adapun Lo Sian dengan hati merasa ngeri melihat sepak terjang pendekar wanita ini dari jauh, melihat betapa rumah gedung itu dimakan api dan tak seorang pun penghuninya dapat berlari keluar! Diam-diam ia menarik napas panjang menyesali perbuatan Ban Sai Cinjin yang mengakibatkan kekejaman yang demikian luar biasa dari pendekar wanita yang murka itu.
Kemudian, setelah melihat bayangan merah itu berlari cepat sekali menuju ke hutan, ia pun lalu menggunakan kepandaiannya berlari cepat menyusul. Lo Sian maklum bahwa menghadapi Ang I Niocu, ia sama sekati tidak berdaya. Hendak menolong, tentu takkan diterima, pula kepandaiannya sendiri dibandingkan dengan Ang I Niocu, masih kalah jauh sekali. Maka ia hanya menonton saja dari jauh, siap untuk menolongnya apabila perlu dan tenaganya mengijinkan.
Sebagaimana telah dikuatirkan oleh Lo Sian, benar saja kedatangan Ang I Niocu ini sudah diduga lebih dulu oleh Ban Sai Cinjin, dan ketika pendekar wanita itu tiba di depan kuil yang terang sekali karena di situ dipasang banyak penerangan, dari dalam muncullah Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui, Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang, kedua saudara Can jago-jago dari Shan-tung yakni Can Po Gan dan Can Po Tin, dan masih ada tiga orang hwesio gundul pula yang bukan lain adalah tiga orang tokoh dari Bu-tong-san!
Melihat asap hitam yang mengepul dari huncwe Ban Sai Cinjin, maklumlah Lo Sian bahwa kakek mewah itu telah bersiap sedia untuk bertempur dan ini membuktikan bahwa ia sudah menanti kedatangan Ang I Niocu!
Akan tetapi Ang I Niocu seujung rambut pun tidak merasa takut bahkan lalu menudingkan pedang yang bersinar-sinar ke arah dada Ban Sai Cinjin.
“Apakah kau yang bernama Ban Sai Cinjin, orang yang telah membunuh suamiku Lie Kong Sian?”
Mendengar pertanyaan yang langsung ini, Ban Sai Cinjin tersenyum mengejek untuk menghilangkan kegelisahannya melihat wanita yang hebat ini.
“Ang I Niocu, suamimu tewas ketika mengadakan pibu dengan kami, mengapa kau penasaran? Sebaliknya kaulah yang telah melakukan perbuatan keterlaluan sekali, membakar gedungku dan membunuh keluargaku. Patutkah itu dilakukan oleh seorang gagah?”
“Bangsat terkutuk! Mana suamiku bisa kalah olehmu kalau benar-benar bertemur dalam pibu yang adil? Kau tentu telah melakukan kecurangan seperti biasa kau lakukan. Kau kira aku belum mendengar namamu yang buruk dan kotor? Majulah kau, hendak kulihat bagaimana kau sampai bisa mengalahkan suamiku!”
Sambil berkata demikian dengan mata menyala-nyala Ang I Niocu lalu melompat mundur dan melambaikan pedangnya pada Ban Sai Cinjin dengan sikap menantang sekali.
Melihat pedang Liong-cu-kiam, yakni pedang ke dua dari sepasang pedang Liong-cu-siang-kiam yang dahulu ditemukan oleh Cin Hai dan Ang I Niocu (baca cerita Pendekar Bodoh), hati Ban Sai Cinjin menjadi gentar juga. Pedang itu mencorong dan mengeluarkan cahaya putih menyilaukan. Cahaya lampu yang banyak itu membuat pedang itu makin berkilauan lagi. Oleh karena itu, ia merasa ragu-ragu untuk melayani tantangan Ang I Niocu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa, ternyata yang ketawa itu adalah Hok Ti Hwesio yang baru keluar dari kuil diikuti oleh beberapa orang hwesio muda yang menjadi kawan-kawannya. Memang akhir-akhlr ini di kuil itu telah berkumpul beberapa belas orang hwesio muda yang diaku menjadi murid Hok Ti Hwesio, akan tetapi yang sesungguhnya merupakan sekumpulan penjahat cabul yang berkedok kepala gundul dan jubah pendeta!
“Lihat, orang macam itu hendak melawan Suhu!” kata Hok Ti Hwesio kepada kawan-kawan atau boleh juga disebut murid-muridnya yang juga pada tertawa menyeringai.
Melihat rombongan hwesio muda ini, teringatlah Ang I Niocu akan cerita Lo Sian tentang seorang hwesio yang menjadi murid Ban Sai Cinjin, maka dengan suara dingin sekali ia bertanya sambil memandang ke arah mereka,
“Aku pernah mendengar nama Hok Ti Hwesio, entah yang manakah diantara kalian bernama begitu?”
Hok Ti Hwesio memperkeras suara ketawanya, lalu berkata,
“Ang I Niocu, kau disohorkan orang sebagai seorang pendekar wanita baju merah yang cantik seperti bidadari. Sekarang kau datang menanyakan Hok Ti Hwesio, apakah kau jatuh hati kepadaku? Hemm, akulah yang tidak mau, Niocu, karena biarpun bajumu masih merah, akan tetapi mukamu sudah amat tua, terlalu tua…”
Belum sempat Hok Ti Hwesio menutup mulutnya, berkelebat bayangan merah yang didahului oleh sinar putih menyambar ke arah Hok Ti Hwesio.
“Awas…!” teriak Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin berbareng dan dengan kaget sekali Hok Ti Hwesio masih sempat menjatuhkan diri ke belakang, sehigga terhindar dari sambaran pedang Liong-cu-kiam di tangan Ang I Niocu.
Dengan gerak tipu Trenggiling Menggelinding dari Puncak, Hok Ti Hwesio bergulingan menjauhkan diri, akan tetapi tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, Ang I Niocu terus mengejarnya!
Dua orang hwesio murid Hok Ti Hwesio mencoba menghadang, akan tetapi begitu Liong-cu-kiam menyambar, terbabat putuslah leher kedua orang hwesio sial ini! Hwesio-hwesio muda yang lain menjadi ngeri dan mundur, adapun Hok Ti Hwesio telah melompat berdiri. Hwesio ini telah memiliki kepandaian tinggi, maka ia tidak takut, ia mencabut pisau terbangnya dan begitu Ang I Niocu menyerang, ia lalu menyambut dengan pisaunya yang lihai. Akan tetapi terdengar suara nyaring dan pisaunya telah terbabat putus!
Hok Ti Hwesio membaca mantera dan matanya terbelalak lebar memandang wajah Ang I Niocu lalu membentak sambil mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada Ang I Niocu.
Inilah ilmu hoat-sut (ilmu sihir) yang dipergunakan untuk mendorong roboh lawan. Ang I Niocu merasa tenaga yang mujijat menyambarnya dari depan. Cepat ia menggerakkan lengan kirinya dan mengepullah uap putih menolak pengaruh jahat itu ketika ia mengerahkan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut yang ia pelajari dari Bu Pun Su.
“Suhu… tolong…!”
Akhirnya Hok Ti Hwesio berseru minta tolong karena ia telah benar-benar terdesak hebat. Memang semenjak tadi Ban Sai Cinjin sudah hendak menolongnya dan kini hwesio mewah ini lalu mengayun huncwe menghantam kepala Ang I Niocu dari belakang!
Ang I Niocu yang sudah menjadi marah sekali lalu mengayun pedangnya ke belakang kepala tanpa menengok lagi sambil mengirim pukulan Pek-in-hoatsut dengan tangan kirinya ke arah Hok Ti Hwesio.
Sungguh gerakan yang luar biasa sekali, karena sambil menangkis serangan dari belakang tanpa menengok ia masih dapat mengirim pukulan maut ke depan. Kalau orang tidak mempunyai tubuh yang lemas lincah serta tidak memiliki Ilmu Silat Sianli-utauw yang mahir, tidak mungkin dapat melakukan gerakan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar