Rabu, 11 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 148

“Traaang!” bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua pedang itu beradu.

Pedang Hek-kw-kiam juga sebatang pedang pusaka yang ampuh, maka tidak sampai patah. Namun Wi Kong Siansu diam-diam terkejut sekali karena baru sekali ini dalam beradu pedang ia merasa tangannya tergetar hebat!

Kedatangan Wi Kong Siansu membuat Ban Sai Cinjin bernapas lega sungguhpun mereka berdua juga tidak berdaya mendesak Lie Siong. Sebaliknya, Hailun Thaitek Sam-kui menjadi sibuk sekali karena setelah ditinggalkan oleh Wi Kong Siansu, mereka kini terdesak oleh Lili.

“Siong-ko (Kakak Siong), hayo kita bikin mampus lima ekor anjing ini. Ie-ie Im Giok telah terbunuh oleh mereka ini!” seru Lili kepada Lie Siong.

Mendengar seruan ini, Lie Siong bukannya lebih cepat serangannya, bahkan tiba-tiba daya serangnya banyak berkurang. Pemuda ini menerima pukulan batin yang hebat mendengar warta tentang kematian ibunya ini. Ia menjadi demikian marah, sedih, gemas, dan menyesal sehingga tubuhnya terasa lemas dan ia tidak dapat mengerahkan lwee-kangnya dengan sempurna lagi.

Hal ini tentu saja menggirangkan hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin karena tadinya mereka berdua sudah menjadi gelisah sekali. Hailun Thai-lek Sam-kui terdesak hebat sedangkan mereka juga agaknya takkan mampu mengalahkan pemuda ini. Kini melihat kesempatan ini, Ban Sai Cinjin lalu berkata,

“Jangan layani mereka lagi, belum tiba waktunya mengadu kepandaian! Kita sudah berjanji musim chun di puncak Thian-san!”

Ucapan ini hanya untuk menutup rasa malu saja, akan tetapi membuat Hailun Thai-lek Sam-kui “ada muka” untuk mengundurkan diri. Mereka semua bagaikan sedang berlumba, lalu memutar tubuh melarikan diri dari tempat itu!

“Bangsat rendah, hendak lari kemanakah?”

Lili yang menjadi gemas lalu mengejarnya. Juga Lie Siong mengejar, akan tetapi pemuda ini tak dapat melampaui Lili karena kedua kakinya menggigil.

Tiba-tiba lima orang kakek itu membalikkan tubuh dan ketika tangan mereka bergerak, banyak sekali am-gi (senjata gelap) menyambar ke arah Lili dan Lie Siong! Lili cepat melompat ke atas dan ketika kaki tangannya bergerak, ia telah dapat menangkap dua batang panah tangan beracun sedangkan kedua kakinya telah berhasil menendang jauh empat butir peluru besi!

Yang hebat adalah Lie Siong. Pemuda ini baru saja digembleng oleh seorang kakek aneh yang ternyata seorang ahli lwee-keh dan juga seorang ahli senjata rahasia. Melihat datangnya senjata-senjata gelap itu, Lie Siong biarpun tubuhnya sudah gemetar dan lemah karena luka di dalam batinnya yang terpukul oleh berita kematian ibunya, dengan tenang lalu berjongkok dan pedangnya disabetkan ke atas sehingga semua senjata rahasia itu terpukul ke atas.

Berbareng dengan itu, tangan kirinya bergerak setelah mencengkeram ke bawah dan bagaikan kilat menyambar, batu-batu kerikil dari tangan kirinya itu meluncur ke arah lima orang kakek itu!

Inilah serangan gelap yang luar biasa sekali dari Lie Siong. Batu-batu kerikil itu dipegangnya seperti kalau ia bermain gundu dengan gurunya dan kini batu-batu itu meluncur dengan luar biasa cepatnya ke arah tubuh lima orang lawan itu, tepat ke arah jalan-jalan darah di tubuh mereka!

Lima orang kakek itu sambil berseru kaget lalu bergerak mengelak, akan tetapi Bouw Ki dan Lak Mao Couwsu kurang cepat gerakannya sehingga biarpur batu-batu kerikil itu tidak tepat mengenai jalan darah yang dapat mengirim nyawa mereka ke tangan maut, namun tetap saja kulit mereka pecah-pecah terkena kerikil-kerikil itu! Dengan berlumur darah, kedua orang ini cepat menyeret tubuh mereka mengikuti jejak tiga orang kawan yang lain yang sudah melarikan diri terlebih dulu!

Lili hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia melihat Lie Siong terhuyung-huyung ke depan dan roboh! Gadis ini kaget sekali dan cepat menubruk tubuh Lie Siong, lalu diangkatnya. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu menderita luka di dalam tubuh, maka ia menjadi amat berkuatir.

Ketika ia mengangkat Lie Siong hendak dibawa lari ke makam Ang I Niocu, Lo Sian yang mengejar sudah sampai di situ dan orang tua ini dengan kaget lalu minta tubuh Lie Siong itu dan dipondongnya sendiri.

“Terlukakah dia, Lili?”






Gadis itu hanya memandang sedih.
“Entahlah, Suhu, aku tidak melihat dia terpukul, juga tidak ada tanda darah. Akan tetapi tahu-tahu dia hendak roboh.”

Mereka lalu mengangkat tubuh Lie Siong dan meletakkannya di atas rumput di depan makam kedua orang tua pemuda itu. Lili tanpa diminta lalu pergi mencari air, dan setelah kembali ia lalu menyusut muka Lie Siong dengan saputangannya yang sudah basah kemudian ia mengucurkan air di kepala pemuda itu.

Tak lama kemudian Lie Siong membuka kedua matanya dan cepat sekali ia melompat bangun. Kedua matanya memandang beringas bagaikan seekor harimau lapar mencium darah.

“Mana mereka? Mana pembunuh-pembunuh ibuku? Lili, katakan, mana mereka? Hendak kucekik semua batang lehernya!”

Sambil membelalakkan kedua matanya Lie Siong memandang ke sana ke mari dengan mata jelalatan. Lili melompat bangun dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi ia memegani tangan Lie Siong.

“Siong-ko, tenanglah. Dimana kegagahanmu? Atur napasmu dan tenangkan batinmu, baru kita bicara lagi.”

Bagaikan seekor kambing jinak, Lie Siong menurut saja ketika dipimpin oleh Lili dan disuruh duduk di atas tanah. Sambil berpegang tangan, sepasang orang muda ini lalu duduk meramkan mata dan mengatur napas mengumpulkan tenaga. Dengan setia Lili menyalurkan hawa dan tenaga dalam tubuhnya melalui telapak tangan Lie Siong untuk membantu pemuda ini. Dia sekarang tahu bahwa pemuda ini tadi pingsan karena pukulan batin yang berduka.

Pikiran Lie Siong tidak karuan. Tadinya ia sudah dapat mengatur napasnya dan menentramkan pikiran dan batinnya yang tergoncang, akan tetapi, ketika ia merasa betapa dari telapak tangan Lili itu mengalir hawa hangat yang membantu peredaran darahnya, ia menjadi demikian terheran-heran, girang, terharu, sedih, tercampur aduk menjadi satu sehingga kembali tubuhnya menjadi panas dingin. Hawa Im dan Yang mengalir di tubuhnya saling bertentangan dan karena tidak seimbang, sebentar tubuhnya menjadi panas dan sebentar dingin sekali!

Lili dapat merasa ini, maka ia lalu menghentikan emposan semangat dan hawa, lalu melepaskan tangannya dan berkata perlahan,

“Siong-ko, jangan kau kacaukan pikiran sendiri.Tenanglah dan ingat bahwa mati atau hidup bukan berada di tangan manusia.”

Akhirnya Lie Siong dapat menenangkan batinnya, kemudian ia membuka matanya dan dengan pandangan sayu dan muka pucat, ia bertanya,

“Dimana… dia? Mana ibuku?”

Lili menuding ke arah dua gunduk tanah di depan mereka, dan berkata perlahan,
“Kami telah menguburnya baik-baik, di samping kuburan ayahmu.”

Lie Siong menoleh cepat dan melihat dua gunduk tanah. Yang satu sudah lama, akan tetapi yang ke dua masih baru sekali. Ia lalu menubruk dan menangis terisak-isak di atas kuburan ayah bundanya itu!

Lili tak dapat menahan keharuan hatinya dan ikut pula mengucurkan air mata, sedangkan Sin-kai Lo Sian berulang-ulang menarik napas panjang. Ia memberi tanda kepada Lili agar supaya mendiamkan saja pemuda itu, karena air mata sewaktu-waktu amat baik sekali untuk penawar hati yang duka.

Setelah agak lama Lie Siong menangis sambil memeluk gundukan tanah itu, Lili berkata perlahan,

“Tak baik bagi orang-orang gagah menumpahkan air matanya.”

Lie Siong mendengar ucapan ini, terbangun semangatnya. Ia menyusut air matanya sehingga kering dan kini matanya menjadi merah. Ia berlutut di depan gundukan-gundukan tanah itu dan berkata dengan suara menyeramkan,

“Ayah, Ibu, anakmu bersumpah bahwa sebelum aku dapat membunuh Ban Sai Cinjin, aku takkan mau berhenti berusaha.”

Setelah berkata demikian, ia lalu bangun berdiri dan menoleh kepada Lo Sian, katanya,
“Lo-pek, bagaimanakah terjadinya hal ini?”

Lo Sian lalu menceritakan sejelasnya tentang sepak terjang Ang I Niocu, juga ia menceritakan pula tentang Lie Kong Sian yang tewas di tangan Ban Sai Cinjin karena ia dapat mengingat itu semua. Setelah mendengar penuturan kakek pengemis yang budiman ini, Lie Siong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian.

“Lopek, kau benar-benar telah melakukan pembelaan hebat sekali terhadap kedua orang tuaku. Aku Lie Siong bersumpah bahwa selama hidup aku akan menganggapmu sebagai orang tuaku sendiri. Lo-pek, terimalah hormatku dan rasa terima kasihku yang setulusnya.”

Lo Sian menjadi terharu.
“Lie Siong, sudah sepatutnya kau menganggap aku sebagai pengganti orang tuamu, oleh karena, dengan disaksikan oleh Hong Li, ketika hendak menutup mata, ibumu berpesan agar supaya aku suka menjadi walimu. Oleh.karena itu, mulai sekarang aku menganggap kau sebagai puteraku sendiri, Siong-ji.”

“Terima kasih, Lo-pek, terima kasih.” kata Lie Siong terharu sekali. “Dan sekarang maafkanlah, aku akan cepat menyusul dan mencari Ban Sai Cinjin. Kalau tugasku ini sudah berhasil, barulah aku akan mencarimu dan selanjutnya kita hidup seperti ayah dan anak.” Setelah berkata demikian, Lie Siong hendak pergi.

“Tunggu dulu, aku pun hendak membalas dendamku kepada Ban Sai Cinjin. Mari kita gempur dia bersama!” tiba-tiba Lili berkata sambil melangkah maju.

Lie Siong menengok ke arah dara itu. Tadinya ia tidak pernah mempedulikan kepada Lili oleh karena sesungguhnya ia merasa amat jengah dan malu. Tadi gadis ini telah bersikap begitu lembut dan baik terhadapnya, sedangkan ia pernah melakukan hal-hal yang cukup dapat membuat gadis itu merasa marah dan sakit hati. Bahkan sepatu gadis itu hingga kini masih berada di saku bajunya!

“Nona, harap kau jangan menyusahkan diri sendiri. Biarlah urusan balas dendam ini kulakukan sendiri karena ini sudah menjadi tugasku yang suci.”

“Kaupikir hanya kau saja seorang yang menaruh hati dendam kepada kakek jahanam itu? Dengarlah, sebelum kau mengetahui nama Ban Sai Cinjin, muridnya pernah menculikku di waktu aku masih kecil, bahkan telah membunuh mati kakekku! Kemudian aku pernah bertempur melawan Ban Sai Cinjin dan dirobohkan dengan cara curang. Apakah itu bukan perbuatan yang harus dibalas? Belum diingat lagi betapa dia telah mengajak kawan-kawannya memusuhi kakakku Hong Beng dan calon iparku Goat Lan!”

“Aku telah mendengar akan hal itu, Nona. Akan tetapi perjalanan ini jauh sekali dan sukar karena aku sendiri belum tahu dimana adanya Ban Sai Cinjin. Tadipun sudah terlihat betapa Ban Sai Cinjin mempunyai kawan-kawan yang berkepandaian tinggi, maka dapat dibayangkan betapa sukar dan berbahayanya pekerjaan ini.”

“Kau kira hanya kau sendiri saja yang memiliki keberanian? Kau kira aku takut kepada Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya?”

Dengan wajah merah ia menegakkan kepala dan mengangkat dada, sepasang matanya bersinar marah. Timbul sifat-sifat keras dari dara yang seperti ibunya ini.

Sebetulnya, tak dapat disangkal lagi Lie Siong akan merasa girang dan suka sekali melakukan perjalanan bersama gadis yang setiap saat menjadi kenangannya ini. Akan tetapi apa yang ia katakan tadi memang keluar dari hatinya yang tulus. Ia merasa kuatir kalau-kalau gadis yang dicintainya ini akan menghadapi malapetaka jika ikut mencari Ban Sa Cinjin dan kawan-kawannya yang berbahaya dan berkepandaian tinggi.

Ia ingin membereskan musuh besarnya ini seorang diri saja dan kemudian, barulah ia akan mendekati gadis ini. Baginya sendiri, tak usah takut karena ia telah menerima gemblengan hebat dari gurunya yang baru, akan tetapi Lili…? Tentu saja ia tidak tahu bahwa Lili juga berpikir sebaliknya!

Gadis ini pernah bertempur melawan Lie Siong dan biarpun ia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tidak rendah, namun apabila menghadapi keroyokan Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu dan yang lain-lain, bisa berbahaya. Dia sendiri telah membuktikan bahwa biarpun dengan tangan kosong, Ilmu Pukulan Hang-tiong-cap-it-ciang-hoat sudah cukup hebat untuk dipergunakan menjaga diri. Pendeknya, kedua orang muda ini saling memandang ringan karena tidak tahu bahwa masing-masing telah menemukan guru baru.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar