Rabu, 11 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 150

Malam itu Lie Siong tak dapat pulas. Kalau ia memikirkan hidupnya, ia menjadi amat gelisah. Kedua orang tuanya telah tewas dalam keadaan amat menyedihkan, yaitu terbunuh oleh orang jahat. Kemudian dalam perantauannya ia telah bertemu dengan Lilani yang membuat ia selalu menyesali pertemuan itu, dan akhirnya ia berjumpa dengan Lili yang telah membetot sukmanya dan menguasai cinta kasihnya, bahkan mendiang ibunya telah berniat menjodohkan dia dengan Lili.

Akan tetapi kalau ia teringat akan Lilani, hatinya menjadi perih sekali. Memang betul bahwa ia telah memenuhi kewajibannya seperti yang telah dinasihatkan oleh Thian Kek Hwesio, orang tua bijaksana ahli pengobatan di kuil Siauw-limsi di Ki-ciu itu. Yaitu kewajiban untuk mengantar Lilani sampai dapat bertemu dengan suku bangsanya kembali. Kini Lilani telah berkumpul dengan suku bangsanya dan urusannya dengan Lilani telah beres. Akan tetapi betulkah urusan itu telah beres? Kalau sampai Lili mengetahui hal itu bukankah akan terjadi ribut besar?

Benar-benar Lie Siong menjadi pusing memikirkan hal ini. Tiba-tiba ia mendengar suara di atas genteng dan terheranlah dia. Itu bukan suara orang berjalan, pikirnya. Lebih pantas kalau suara seekor burung besar mengibaskan sayapnya dan turun dengan kaki hampir tak bersuara di atas genteng!

Kalau saja ia melakukan perjalanan seorang diri, tentu pemuda ini akan terus berbaring di atas tempat tidurnya, menanti saja apa yang akan terjadi. Akan tetapi pada waktu itu, pikirannya penuh dengan penjagaan terhadap Lili, maka cepat ia lalu memakai sepatunya dan menyambar Sin-liong-kiam. Setelah itu, ia lalu membuka daun jendela dan secepat kilat ia melompat keluar, terus melayang naik ke atas wuwungan rumah hotel itu.

Alangkah terkejutnya ketika ia melihat tiga orang tosu tinggi kurus berdiri di atas genteng tepat di atas kamar Lili dan seorang diantara mereka meniupkan asap hijau ke dalam kamar. Ketika Lie Siong menengok, selain tiga orang tosu ini masih nampak pula bayangan seorang gemuk memegang huncwe. Ban Sai Cinjin!

Bukan main marahnya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menerjang dengan pedangnya, menyerang tiga orang tosu yang sedang mempergunakan obat pulas untuk mencelakai Lili!

Memang yang datang adalah tiga orang ketua Pek-eng-kauw-hwe yang dibawa oleh Ban Sai Cinjin. Kakek berhuncwe ini telah melihat Lili berada di dalam kota. Setelah menyelidiki dan mengetahui bahwa gadis musuhnya itu bermalam di hotel itu, ia lalu mengajak kawan-kawannya untuk menawan gadis itu.

Wi Kong Siansu mula-mula menyatakan tidak setujunya, karena perbuatan ini dianggapnya terlalu memalukan mereka sebagai orang-orang gagah dan tokoh-tokoh terkemuka. Akan tetapi Ban Sai Cinjin lalu menyatakan bahwa ia sama sekali tidak hendak mencelakai Lili, hanya hendak menawannya saja sebagai tanggungan kalau-kalau mereka kelak kalah oleh Pendekar Bodoh! Biarpun kalah, kalau mereka menguasal Lili, tentu Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya tidak berani membunuh atau mencelakai mereka.

Alasan-alasan yang cerdik dari Ban Sai Cinjin membuat Wi Kong Siansu tak dapat membantah, akan tetapi tetap sala kakek ini tidak mau ikut turun tangan melakukan penangkapan itu. Juga Hailun Thai-lek Sam-kui biarpun paling doyan berkelahi tidak suka untuk ikut membantu penangkapan ini. Oleh karena itu Ban Sai Cinjin lalu minta pertolongan tiga orang ketiga Pek-eng-kauw itu.

Kepandaian tiga orang kakek ini memang hebat, kiranya tidak di sebelah bawah kepandaian Wi Kong Siansu. Selain Ilmu Silat Garuda Putih yang khusus mereka miliki, juga cara mereka melompat adalah seperti gerakan burung garuda, dengan kedua lengan dipentang dan lengan baju yang lebar seperti sayap. Selain ini, Kim Eng Tosu yang termuda diantara mereka juga merupakan seorang ahli dalam hal penggunaan obat tidur dan racun-racun yang lihai untuk merobohkan lawan. Memang, Kim Eng Tosu di waktu mudanya terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang amat ditakuti orang.

Ketika tiga orang kakek ini sedang melakukan usaha mereka menangkap Lili dengan menggunakan asap memabukkan, Lie Siong menerjang mereka dan mengerjakan Sin-liong-kiam dengan hebatnya. Dia tidak menerima pelajaran khusus dari gurunya yang baru, kecuali permainan gundu. Akan tetapi, gurunya itu telah banyak memberi perbaikan terhadap ilmu pedangnya dan ilmu silatnya.

Setiap kali ia berlatih silat di depan gurunya, selalu gurunya itu mencela ini dan memperbaiki itu sehingga ilmu pedang dan ilmu silat pemuda ini mendapat kemajuan yang luar biasa sekali, di samping kemajuan-kemajuan dalam gin-kang dan lwee-kangnya.

Akan tetapi ketika ia menyerang tiga orang orang tosu itu dengan marah, tiga ketua Pek-eng-kauw itu hanya mengebutkan lengan baju mereka yang lebar dan mereka sudah dapat mengelak dengan cepat sekali. Bahkan Kim Eng Tosu dan Sin Eng Tosu lalu menggerakkan tangan mereka dan meluncurlah ujung lengan baju yang panjang-panjang itu melakukan serangan pembalasan yang hebat.






Lie Siong terkejut sekali melihat kelihaian mereka, akan tetapi ia lalu memutar pedangnya sedemikian rupa dan melawan mereka dengan sepenuh tenaga. Kim Eng Tosu dan Sin Eng Tosu juga tertegun menyaksikan seorang pemuda yang memiliki kepandaian selihai ini, maka mereka berlaku hati-hati sekali.

Lie Siong belum pernah menghadapi ilmu sesat seperti yang mereka mainkan itu yaitu dengan kedua lengan terbuka dan ujung lengan baju menyambar-nyambar, persis seperti dua ekor burung garuda besar yang menyabet-nyabet dengan sayap dan kadang-kadang menendang dengan kaki.

Adapun Ban Sai Cinjin setelah melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, menjadi marah sekali dan sambil tertawa bergelak ia pun maju mengurung.

“Ji-wi Toyu, pemuda ini jahat seperti srigala, harus dibunuh!”

Sementara itu, Thai Eng Tosu mempergunakan kesempatan itu untuk melompat masuk ke dalam kamar Lili yang belum terkena pengaruh asap tadi karena keburu datang Lie Siong. Akan tetapi dalam keadaan masih tidur ia telah ditotok oleh Thai Eng Tosu yang lihai sehingga ketika ia terbangun dengan kaget, ia telah tak berdaya lagi.

Thai Eng Tosu memang cerdik sekali. Ketika tadi ia menyaksikan gerakan seorang pemuda yang demikian cepat dan lihainya, ia pikir lebih baik membuat gadis di dalam kamar tidak berdaya karena ia telah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa gadis itupun lihai sekali. Kalau sampai gadis itu bangun dan maju berdua dengan pemuda ini, agaknya takkan mudah menangkapnya! Maka setelah membuat Lili tidak berdaya, barulah ia melompat lagi ke atas genteng untuk mengeroyok Lie Siong!

Sebetulnya dalam hal kepandaian, kalau diadakan perbandingan, biarpun dengan Ban Sai Cinjin seorang saja, Lie Siong sudah tentu kalah latihan dan kalah pengalaman. Pemuda ini dapat mengatasi Ban Sai Cinjin hanya karena ia menang tenaga, menang semangat, dan juga pemuda ini semenjak kecilnya mempelajari ilmu silat yang bermutu tinggi.

Terutama sekali karena akhir-akhir ini Lie Siong menerima gemblengan yang hebat sekali biarpun dalam waktu singkat oleh seorang luar biasa, tokoh persilatan tersembunyi seperti kakek tukang main kelereng itu, maka, dalam, hal gin-kang dan lwee-kang, ia sekarang tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin!

Namun, tetap saja Ban Sai Cinjin merupakan seorang lawan berat baginya. Apalagi sekarang di situ terdapat tiga orang tosu yang kepandaiannya rata-rata lebih tinggi daripada kepandaian Ban Sai Cinjin. Lie Siong melakukan perlawanan nekad sekali, memutar pedang naganya dengan secepat kilat dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk merobohkan empat orang pengeroyoknya.

Akan tetapi, diam-diam Lie Siong harus mengakui bahwa selamanya belum pernah ia menghadapi lawan-lawan yang berat seperti empat orang kakek ini. Terutama sekati Thai Eng Tosu yang bersenjatakan sebatang suling kecil. Bukan main lihai dan berbahayanya sehingga beberapa kali Lie Siong hampir saja terkena totokan suling ini kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke samping.

Melihat betapa Lie Siong sukar sekali dirobohkan, Ban Sai Cinjin menjadi gemas dan tiba-tiba sekali, di luar dugaan tiga orang tosu kawannya dan juga Lie Siong, Ban Sai Cinjin melepaskan tiga batang jarum beracun ke arah pemuda itu.

Lie Siong tengah sibuk menahan serangan tiga orang ketua Pek-eng-kauw yang lihai, maka tentu saja ia tidak bersiap sedia menghadapi serangan gelap ini. Ia melihat menyambarnya tiga sinar hitam ke arah tubuhnya. Cepat ia menangkis dengan kebutan tangan kiri yang menggunakan hawa pukulan Pek-in-hoatsut, namun sebatang jarum hitam tetap saja menancap pada paha kirinya di atas lutut.

Lie Siong menggigit bibir dan menahan sakit, akan tetapi seketika itu juga ia merasa betapa separuh tubuhnya seakan-akan mati. Ia terkejut sekali dan maklum bahwa ia telah terkena jarum berbisa, maka ia lalu melompat ke bawah dan melarikan diri secepatnya.

Diam-diam Ban Sai Cinjin merasa girang dan juga kagum karena sedikitpun juga tidak terdengar keluhan sakit dari mulut pemuda itu, padahal ia maklum bahwa jarumnya itu mendatangkan rasa sakit yang luar biasa dan di dalam waktu tiga hari, pemuda itu tentu akan mati!

Dengan cepat ia lalu melompat turun dan memondong tubuh Lili yang tak berdaya lagi itu keluar dari kamar dan dibawa pergi bersama tiga orang tosu lihai itu! Kedatangan mereka disambut oleh Wi Kong Siansu dan Hailun Thai-tek Sam-kui yang diam-diam merasa girang juga bahwa dua orang di antara calon lawan mereka yang tangguh telah dapat dikalahkan.

“Betapapun juga harap kau berlaku hati-hati dan jangan sekali-kali mencemarkan namaku dengan perbuatan hina, Sute!”

Wi Kong Siansu berkata kepada Ban Sai Cinjin sambil melirik ke arah tubuh Lili yang masih setengah pingsan.

Ban Sai Cinjin tersenyum.
“Jangan kuatir, Suheng. Maksudkupun hanya untuk mencegah Pendekar Bodoh berlaku kejam terhadap kita.”

Ia lalu menghampiri Lili, menotok jalan darah Koan-goan-hiat dan Kian-ceng-hiat di kedua pundak, kemudian ia membebaskan gadis itu dari keadaannya yang lumpuh. Lili terbebas dari totokan Thai Eng Tosu tadi, akan tetapi sepasang lengannya tidak dapat dipergunakan karena kedua lengan itu telah menjadi lemas tidak bertenaga lagi sebagai akibat dari totokan Ban Sai Cinjin tadi.

Gadis ini berdiri dengan tegak dan tiba-tiba kedua kakinya menendang ke arah Ban Sai Cinjin dengan tendangan Soan-hong-lian-hoat-twi, yaitu kedua kakinya bertubi-tubi mengirim tendangan berantai yang amat berbahaya!

Ban Sai Cinjin terkejut sekali dan cepat ia melompat pergi, dan berkata dengan gemas,
“Lihat, Suheng, betapa jahatnya gadis liar ini. Hmmm, ingin aku menghancurkan kepalanya dengan sekali ketuk agar ia tidak menimbulkan kepusingan lagi!” Ia menggenggam huncwenya erat-erat.

Wi Kong Siansu melompat maju menghadapi Lili yang memandang dengan mata mendelik. Sedikit pun gadis ini tidak takut walaupun dengan kedua tangan lumpuh ia telah tak berdaya sama sekali.

“Nona Sie, mengapa kau begitu bodoh? Kami tidak akan mengganggumu, hanya kau harus tahu bahwa diantara keluargamu dengan kami timbul permusuhan. Dengan menawan kau, Nona, kami berusaha untuk meredakan permusuhan ini. Bulan depan akan diadakan pertemuan pibu dan dengan kau di pihak kami, pinto akan berusaha agar supaya ayahmu dan kawan-kawannya tidak berlaku kejam. Betapapun juga, kita semua masih orang-orang segolongan, maka lebih baik kita menghabisi segala permusuhan yang sudah lewat.”

“Enak saja kau bicara, tosu murah!” bentak Lili dengan marah sekali.

Kemudian ketika melihat Bouw Hun Ti berdiri di dekat Ban Sai Cinjin sambil memandangnya dengan senyum sindir, ia lalu menggertak gigi dan berkata,

“Dengarlah, Wi Kong Siansu! Aku tidak tahu mengapa seorang seperti kau membela orang-orang berhati iblis macam Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin! Dengan kau dan yang lain-lain boleh saja aku menghabiskan permusuhan, akan tetapi aku tidak bisa memberi ampun kepada dua ekor binatang bermuka manusia ini!”

“Suheng, biar kubunuh gadis liar ini!” Ban Sai Cinjin berseru marah.

“Majulah, binatang! Kedua kakiku pun masih sanggup memecahkan dadamu!” Lili menantang.

“Sabar, Sute, mengapa mengumbar nafsu? Nona Sie, sikapmu ini benar-benar hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja. Kalau kau menurut saja ikut dengan kami ke Thian-san, kami takkan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau menimbulkan kesulitan, agaknya terpaksa kau harus dibikin lumpuh dan hal ini tentu tak kau kehendaki, bukan?”

Biarpun ia merasa mendongkol dan ingin memaki-maki semua orang itu, tetapi ia merasa bahwa ucapan Wi Kong Siansu ini ada benarnya juga. Ia sudah tak berdaya lagi, biarpun ia akan mengamuk dengan kedua kakinya, tetap saja ia takkan sanggup menang.

Kalau sampai ia dibikin lumpuh seperti tadi, lebih tidak enak lagi, maka ia lalu diam saja sambil menundukkan mukanya. Gadis ini tidak takut sama sekali. Ia diam saja untuk memutar otak mencari jalan bagaimana ia dapat melepaskan diri dari kekuasaan orang-orang ini. Ia telah mendengar pertempuran-pertempuran di atas genteng dan menduga-duga siapakah orangnya yang bertempur melawan Ban Sai Cinjin. Ia tidak tahu bahwa tadi Lie Siong berusaha menolongnya, dan bahwa pemuda itu kini telah melarikan diri dengan menderita luka hebat oleh panah beracun dari Ban Sai Cinjin!

**** 150 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar