*

*

Ads

Jumat, 16 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 101

“Lilani, kau kenapakah?” tanyanya heran dan kuatir.

Gadis itu tidak menjawab sama sekali. Lie Siong menjadi heran dan segera menyalakan sebatang lilin di dalam kamar itu. Ketika sinar lilin di atas meja itu sudah menerangi seluruh kamar dan ia memutar tubuh memandang, Lie Siong menjadi terkejut sekali. Dilihatnya Lilani dengan kedua kaki telanjang duduk bersila di atas lantai, pakaiannya kusut, pipinya yang amat pucat itu basah dengan air matanya.

“Lilani…!” Lie Siong melangkah maju, berlutut di dekat gadis itu dan tangannya memegang pundak kanannya. “Kau kenapa…?”

Akan tetapi Lie Siong terpaksa memutuskan kata-katanya karena tiba-tiba kedua tangan Lilani mendorong dadanya dengan gerakan cepat dan amat kuat.

Lie Siong yang sama sekali tak pernah menyangka gadis ini akan menyerangnya, tidak mengelak atau menangkis sama sekali. Dadanya terdorong ke belakang dan terlempar ke belakang dengan cepatnya sampai membentur bangku!

Lie Siong membelalakkan matanya. Tenaga dorongan dan tarikan muka gadis ini lebih mengherankannya daripada sikap gadis itu sendiri. Dorongan tenaga Lilani tidak seperti biasa, akan tetapi mengandung tenaga yang kuat dan aneh, sedangkan ketika gadis itu mendorongnya, gadis ini memandang dengan penuh kebencian, akan tetapi bibirnya tersenyum!

“Ha, kau takkan dapat mendekatiku… kau akan mampus….” bisik gadis ini dengan suara aneh.

Ternyata bahwa pukulan batin yang bertubi-tubi dan hebat itu membuat pikiran gadis ini terganggu dan berubah!

“Lilani…” Lie Siong melompat bangun, “apa maksudmu? Kau kenapakah…?”

Melihat Lie Siong melompat bangun, gadis itu pun melompat bangun pula, menunduk dan memandangi kedua kakinya yang telanjang, lalu berkata sambil menyeringai,

“Ha-ha, sepatu itu… sepatuku! Lihat, Tai-hiap, bukankah kedua kakiku telanjang? Aku perlu sepatu… akan tetapi sepatu itu terlalu kecil… terlalu kecil…” dan ia lalu menangis!

Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya dan berkata lagi dengan mata bersinar dan mulut tersenyum,

“Aku bunuh dia! Aku bunuh mereka! Berani sekali main gila kepada Lilani, puteri kepala suku bangsa Haimi!”

Semenjak tadi, Lie Siong memandang keadaan gadis ini dengan bengong. Melihat senyum di bibir Lilani, pemuda ini merasa bulu tengkuknya meremang. Ini tidak sewajarnya, pikirnya. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia mendengar ucapan terakhir tentang pembunuhan yang keluar dari mulut Lilani.

“Lilani, jadi yang membunuh tiga orang di belakang hotel itu… kaukah orangnya?”

Lilani tertawa terkekeh.
“Ya, aku!” teriaknya keras. “Aku Lilani sekali mencinta orang, akan berlaku setia selama hidup! Aku takkan sudi main gila dengan laki-laki lain, lebih baik aku mati! Kubunuh mereka itu, kubakar dia hidup-hidup!”

Dan tiba-tiba gadis ini lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil tersedu-sedu. Lie Siong berdiri tertegun, hatinya terharu bukan main ketika mendengar Lilani berkata seperti keluhan menyedihkan,

“Tai-hiap… Tai-hiap… aku cinta padamu…”

Teriakan Lilani telah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar kamar dan kini mereka menyerbu ke arah kamar Lilani sambil berteriak-teriak,

“Tangkap pembunuh! Tangkap siluman perempuan…!”

Memang tadi ketika Lilani berlari kembali ke kamarnya, kebetulan sekali ada seorang tamu yang menjenguk dari jendelanya karena ia tertarik oleh teriakan-teriakan dua orang pemabukan yang terpukul oleh Lilani. Maka ketika terjadi geger, ia lalu menceritakan pengalamannya dan kini mendengar teriakan-teriakan Lilani yang mengaku bahwa dia yang membunuh tiga orang itu, semua orang lalu menyerbu ke arah kamar Lilani!

Ketika belasan orang itu telah berada di depan pintu kamar Lilani, mereka tiba-tiba berhenti karena siapa orangnya yang tidak merasa gentar menghadapi seorang siluman wanita yang sebentar saja sudah membunuh tiga orang laki-laki dalam keadaan mengerikan?






“Siluman perempuan, menyerahlah untuk kami bawa ke depan pengadilan! Kalau kau melawan kami akan mengeroyok dan membakarmu!” teriak seorang diantara para penyerbu itu.

Lilani yang mendengar ini lalu bangkit berdiri, wajahnya menyeramkan.
“Akan kubunuh kalian semua!” katanya.

Lie Siong merasa gelisah sekali.
“Lilani, jangan…” katanya.

Akan tetapi Lilani tidak peduli dan hendak melompat menerjang keluar. Lie Siong mendahuluinya, mengirim serangan kilat dan robohlah gadis itu dalam pelukannya dengan tubuh lemas tak berdaya sedikit pun juga.

“Serahkan dia kepada kami!” terdengar teriakan berulang-ulang dari para penyerbu itu.

Lie Siong maklum bahwa mereka itu sedang marah sekali, tak perlu bicara dengan mereka, maka ia lalu menyambar pakaian gadis itu, dan sekali ia berkelebat keluar pintu, ia telah melompat keluar sambil menggendong Lilani.

Beberapa orang yang berdiri menghalangi pintu terlempar ke kanan kiri ketika terdorong oleh sebelah tangannya! Lie Siong tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka, dan langsung ia memasuki kamarnya, menyambar pedang dan buntalannya, dikejar beramai-ramai oleh orang-orang itu.

Akan tetapi ketika mereka tiba di depan kamar pemuda ini Lie Siong telah berkelebat keluar dan orang-orang itu hanya berdiri melongo ketika melihat betapa pemuda yang menggendong gadis itu sekali mengenjotkan tubuh, telah dapat melompat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap!

Ketika Lie Siong melihat betapa keadaan gadis itu makin lama makin tidak beres pikirannya, ia menjadi bingung sekali. Ia tidak tega dan merasa amat kasihan kepada Lilani, sungguhpun harus ia akui bahwa ia tidak mencinta gadis ini seperti cinta Lilani kepadanya. Ia hanya merasa kasihan dan bertanggung jawab.

Kini melihat keadaan Lilani yang demikian, ia merasa makin kasihan. Hatinya tidak tega untuk meninggalkan gadis ini, sungguhpun ia tahu kalau ia terus menerus berada di dekat gadis ini, ia takkan dapat bergerak bebas. Sekarang ia hendak mencari Lo Sian untuk bertanya tentang keadaan ayahnya, akan tetapi dengan Lilani yang telah menjadi gila ini di dekatnya, bagaimana ia dapat mencapai maksudnya? Untuk membiarkan gadis ini terlepas seorang diri saja, ia tak sampai hati.

Akhirnya ia teringat kepadaThian Kek Hwesio di kuil Siauw-lim-si di kota Kiciu. Bukankah dulu pendeta gundul yang gemuk itu pernah mengobati Lo Sian? Pikiran ini membuat ia merubah niatnya untuk ke Shaning, dan ia langsung membawa Lilani ke Ki-ciu.

Ketika ia memasuki kuil itu, mau tak mau ia berdebar dan mukanya berubah merah. Ia teringat betapa disini ia bertempur melawah Lili, puteri Pendekar Bodoh itu dan betapa ia terluka pundaknya akan tetapi berhasil merampas sebuah sepatu gadis itu yang sampai kini masih disimpannya baik-baik di dalam kantong bajunya!

Thian Kek Hwesio menerimanya dengan muka ramah tamah. Hwesio ini segera mengenalnya sebagai pemuda yang mengaku menjadi putera Lie Kong Sian, maka ia segera menyambut dengan ucapan halus,

“Anak muda, keperluan apakah yang membawamu datang ke tempatku yang buruk ini? Jangan kau menghunus pedangmu, pinceng sama sekali tidak pandai melayanimu dan pinceng paling takut melihat berkelebatnya pedang!”

Makin merah wajah Lie Siong mendengar sindiran ini. Betapapun kerasnya hatinya, ia masih mempunyai perasaan juga dan kalau perlu, ia dapat menjadi seorang pemuda yang ramah tamah, sopan santun, dan halus. Memang pemuda ini merupakan bayangan ke dua dari sifat ibunya, Ang I Niocu, Pendekar Baju Merah yang aneh itu. Ia cepat menjura dengan hormat sekali dan berkata,

“Lo-suhu, mohon kau orang tua sudi memberi maaf sebesarnya kepada aku yang muda, kasar dan bodoh. Kedatanganku ini tak lain hendak mohon pertolonganmu. Sahabatku, Nona ini, entah mengapa tiba-tiba menjadi aneh sekali dan pikirannya berubah, mohon kau orang tua sudi mengobatinya.”

Thian Kek Hwesio memandang kepada Lilani dengan mata tajam, sedangkan gadis itu berdiri bengong dan sama sekali tidak melihatnya, melainkan melihat ke arah patung-patung batu sambil melamun.

“Nona, kau kenapakah?” tanya hwesio itu dengan suara halus, akan tetapi Lie Siong merasa kagum sekali karena di dalam suara yang halus ini timbul pengaruh yang kuat sekali, yang dapat membuat orang menjadi tunduk.

Mungkin karena suara ini, atau memang jalan pikiran Lilani sedang ingat kepada kakeknya ketika melihat betapa hwesio itu memandangnya dengan mata mengasihani, karena tiba-tiba gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu.

Kemudian Lilani berkata-kata dalam bahasa Haimi yang sama sekali tidak dimengerti oleh Lie Siong, akan tetapi ia menjadi kagum sekali karena Thian Kek Hwesio ternyata dapat mengerti ucapan gadis ini, bahkan lalu menjawab dalam bahasa Haimi pula!

“Sicu, sahabatmu ini menderita tekanan batin yang hebat sehingga mengganggu urat syarafnya. Pinceng tidak tahu mengapa ia mengalami kedukaan dan kekecewaan sedemikian rupa, akan tetapi mudah sekali untuk menyembuhkannya asal saja dia mau beristirahat disini.”

Dengan girang sekali Lie Siong lalu menjura dan menghaturkan terima kasih.
“Lo-suhu, sesungguhnya aku mempunyai urusan yang amat penting, maka kalau kiranya Lo-suhu sudi menolong, aku hendak meninggalkannya untuk sementara waktu disini.”

“Boleh saja, Sicu. Pinceng percaya bahwa kau tentu kelak akan datang mengambilnya kembali setelah dia menjadi sembuh. Pinceng merasa bahwa gadis ini dapat ditinggal begitu saja olehmu.”

“Tentu, Lo-suhu. Aku takkan pergi lama dan pasti akan kembali mengambil Lilani, karena memang tujuan kami hendak ke utara.”

“Pinceng percaya penuh kepada omongan putera Lie Kong Sian Tai-hiap.”

Lie Siong memandang dengan penuh terima kasih, kemudian ia menghampiri Lilani.
“Lilani, harap kau beristirahat disini dulu dan aku akan kembali mengambilmu lagi apabila urusanku sudah selesai.”

Akan tetapi gadis itu tidak menjawabnya, hanya berkata-kata dalam bahasa Haimi yang tidak dimengerti oleh Lie Siong. Akan tetapi Thian Kek Hwesio terharu ketika mendengar gadis itu berkata,

“Tai-hiap, hanya kau seorang yang kucinta, dan aku akan menurut segala kata-katamu.”

Ucapan yang tidak dimengerti oleh Lie Siong akan tetapi dapat dimengerti baik oleh hwesio ini membuat Thian Kek Hwesio dapat menduga bahwa gadis ini tentulah menderita asmara tak terbalas! Lie Siong lalu meninggalkan kuil dan segera menuju ke Shaning.

Demikianlah, pada malam hari itu, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lie Siong melompat ke atas wuwungan rumah keluarga Pendekar Bodoh. Siangnya ia telah mendapat keterangan bahwa Lo Sian masih tinggal di rumah Sie Cin Hai dan bahwa Pendekar Bodoh beserta isterinya tidak berada di rumah. Yang ada hanya Lo Sian dan Lili, puteri Pendekar Bodoh.

Hal ini menggirangkan hatinya, karena betapapun juga, Lie Siong merasa gentar juga menghadapi Pendekar Bodoh suami isteri. Kepandaian puterinya saja sudah sedemikian hebat, apalagi mereka!

Ia sama sekali tidak mengira bahwa kedatangannya pada malam hari itu kebetulan sekali bertepatan dengan datangnya seorang pemuda lain, yakni Song Kam Seng! Berbeda dengan Lie Siong, maksud kedatangan ini adalah untuk membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!

Akan tetapi dengan kecewa Kam Seng mendengar keterangan bahwa Pendekar Bodoh dan isterinya sedang keluar kota, maka ia lalu datang dengan maksud mencuri pedang Liong-cu-kiam, pedang yang dulu telah mengalahkan mendiang ayahnya, Song Kun!

Kedatangan Kam Seng di malam hari itu lebih dulu dari Lie Siong. Kam Seng langsung masuk ke dalam dan berhasil mencari kamar Pendekar Bodoh yang digeledahnya, akan tetapi ia tidak dapat menemukan pedang itu karena pedang itu dibawa oleh Pendekar Bodoh.

Adapun Lie Siong yang masuk dari kebun belakang, melihat tiga orang pelayan yang cepat ditotoknya sehingga mereka itu tidak berdaya lagi. Kemudian, pemuda ini lalu melayang naik ke atas loteng ketika ia melihat berkelebatnya bayangan Lili yang mencari-cari di luar rumah! Saat yang baik itu merupakan kesempatan baginya. Ia merobohkan Lo Sian dengan totokan dan membawa orang tua itu melompat turun.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar