“Bagaimana aku bisa bersabar kalau mendengar ada anjing berkeliaran di kota yang berani mengganggu Ayah dan Anakku? Mari, Hai-ko. Mari kita mencarinya sekarang juga! Hendak kulihat sampai bagaimana lihainya sehingga anjing itu berani main-main dengan aku!”
Cin Hai membujuk isterinya dan menarik tangannya.
“Lebih dulu kita harus memberi hormat dan menghaturkan maaf kepada gakhu karena kita telah tinggalkan dia. Kalau kita berada disini, apakah hal ini akan dapat terjadi?”
Mendengar ucapan ini, Lin Lin dengan gerakan perlahan menengok ke arah peti Yousuf, dan tiba-tiba nyonya muda ini menjerit dan melemparkan pedangnya, lalu berlari ke depan peti mati Yousuf, lalu berlutut memeluki peti itu sambil menangis tersedu-sedu.
“Ayah… Ayah, ampunkan anakmu yang tidak berbakti ini…” Lin Lin menjambak rambutnya sendiri sehingga menjadi awut-awutan! “Aku telah pergi meninggalkan Ayah… bersenang dan tertawa di jalan, tidak tahunya Ayah mengalami nasib seperti ini…!”
Kemudian ia bangun berdiri dan mengepal tinjunya, memandang ke arah peti mati dengan air mata mengalir dan sepasang matanya yang dipentang lebar itu pun penuh air mata.
“Ayah! Bagaimana kau sampai kalah oleh anjing itu? Mungkinkah kau yang gagah ini kalah olehnya? Ayah! Katakanlah siapa orang itu, akan kucekik lehernya sekarang juga!”
Akan tetapi ia teringat kembali bahwa ayah angkatnya telah mati maka ia lalu menubruk peti mati itu dan sambil menangis menjerit-jerit ia berusaha membuka tutup peti yang telah dipaku.
Cin Hai tadi pun berlutut dibelakangnya, dan ketika melihat perbuatan isterinya itu, ia cepat memegang lengannya dan berkata perlahan,
“Lin Lin, kau hendak berbuat apakah?”
“Buka! Buka! Aku hendak melihat ayahku…!”
Orang-orang yang berada disitu tak dapat menahan mengucurnya air mata melihat pemandangan yang mengharukan ini, akan tetapi mereka terkejut sekali mendengar nyonya itu hendak membuka peti! Juga Kepala Kota merasa terkejut dan kuatir sekali, maka ia melangkah maju dan berkata mencegah,
“Tai-hiap, lihat! Jangan dibuka peti itu…!”
Tiba-tiba Lin Lin melompat berdiri dan memandang kepada Kepala Kota itu dengan mata bernyala!
“Apa katamu? Mengapa tidak boleh dibuka?”
Melihat wajah yang pucat seperti mayat dan mata yang bernyala marah itu, Kepala Kota melangkah mundur dua tindak dengan terkejut dan ucapan yang telah di ujung lidahnya ia telan kembali!
“Hayo buka!” Sekali lagi Lin Lin memekik.
“Kui-lopeh, biarlah. Buka saja tutup peti mati ini agar kami dapat memandang wajah gakhu sekali lagi,” kata Cin Hai perlahan sambil menahan jatuhnya air mata.
Kepala Kota she Kui itu hendak menjawab dan memberi keterangan, akan tetapi baru saja bibirnya bergerak, Lin Lin yang sudah tak sabar lagi itu membentak lagi,
“Hayo buka sekarang juga! Kalau kalian tidak mau, biarlah aku sendiri yang membuka!”
Sambil berkata demikian, Lin Lin melangkah maju dan hendak membuka tutup peti itu dengan paksa.
Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau peti itu akan menjadi rusak apabila Lin Lin mengerahkan tenaganya, maka ia lalu memberi tanda sehingga Kepala Kota itu terpaksa menyuruh para penjaga untuk mengambil alat dan tutup itu dibuka dengan tangan-tangan gemetar oleh empat orang.
Peti dibuka perlahan. Semua orang menahan napas, dan di sana-sini terdengar isak tertahan. Begitu peti itu terbuka dan Lin Lin bersama Cin Hai menjenguk ke dalam, keduanya menjerit seakan-akan dari dalam peti itu melayang ular yang menggigit mereka.
“Ayah…!!” Dan jeritan yang mengerikan ini disusul dengan robohnya tubuh Lin Lin. Ia pingsan!
“Gakhu…!” Cin Hai juga memekik dan mukanya berubah menjadi pucat sekali.
Siapa orangnya yang takkan merasa ngeri dan hancur hatinya melihat ayah dan mertuanya mati dalam keadaan demikian mengerikan, tanpa kepala! Akan tetapi, Cin Hai yang memiliki kekuatan batin luar biasa itu, dapat menekan penderitaan hatinya, dan setelah memandang sekali lagi ke arah tubuh Yousuf yang tak berkepala lagi itu, ia lalu menutup petinya dan menyuruh orang-memakunya kembali. Kemudian ia mengangkat tubuh isterinya dan dipondong, dibawa masuk ke dalam rumah.
Ia merasa kasihan sekali kepada Lin Lin dan memaklumi sepenuhnya akan perasaan dan penderitaan batin isterinya ini. Ayah Lin Lin yang asli, yaitu Kwee In Liang, tewas sekeluarganya terbunuh orang, dan sekarang ayah pungutnya juga tewas terbunuh, bahkan dalam keadaan yang amat mengerikan.
Setelah siuman kembali, Lin Lin menangis sedih, dihibur oleh Cih Hai, akan tetapi betapapun juga, bencana besar yang menimpa keluarga Sie ini tidak mudah dihibur begitu saja, bahkan Pendekar Bodoh sendiri yang biasanya berlaku tenang dan berbatin kuat, kali ini duduk bengong seakan-akan semangatnya terbang melayang.
Peristiwa ini amat berat tidak saja Yousuf telah terbunuh mati secara kejam sekali, akan tetapi juga anak mereka yang tersayang, Hong Li, telah diculik oleh pembunuh jahat dan kejam itu! Sungguhpun tidak ada bukti yang nyata bahwa pembunuh itulah yang menculik Lili, akan tetapi siapa lagi kalau bukan pembunuh itu yang berani melakukan perbuatan keji ini.
“Aku harus mencarinya! Aku harus mencari jahanam itu, harus membunuhnya!” kata Lin Lin berulang-ulang sambil menangis!
“Tentu isteriku!” kata Cin Hai sambil memegang tangannya. “Akan tetapi kita harus berlaku tenang dan menggunakan pikiran jernih. Ada sesuatu yang menghibur hatiku yaitu karena Lili diculik orang, maka tentu ia masih selamat. Kalau penjahat itu bermaksud membunuh anak kita, tentu sudah ia lakukan disini seperti yang diperbuatnya terhadap gakhu, tak perlu susah-susah diculiknya lagi. Hanya sayangnya, penjahat itu tidak meninggalkan nama-nama yang jejak, sehingga sukarlah bagi kita untuk mencarinya karena kita tidak tahu ke jurusan mana kita harus mencari!”
Terhibur juga hati Lin Lin mendengar ucapan ini, karena memang kata-kata suaminya itu beralasan. Kalau penculik itu bermaksud membunuh Lili tentu tak perlu dibawanya pergi.
“Bagaimanapun juga, kita harus mencarinya!” katanya kemudian.
“Tentu saja, akan tetapi kita harus mengurus penguburan jenazah ayahmu dulu, dan kita harus melakukan penyelidikan disini, kalau-kalau ada yang dapat menceritakan terjadinya peristiwa itu lebih jelas lagi!”
Penguburan lima jenazah itu dilakukan dengan baik dalam suasana diliputi kesedihan. Sebagian besar penduduk kota Shaning mengantar dan kota itu nampak dalam suasana berkabung.
Setelah selesai penguburan, Cin Hai lalu mencari keterangan ke sana kemari kalau-kalau ada yang dapat menceritakan peristiwa itu lebih jelas lagi. Akan tetapi, orang-orang yang kebetulan lewat ketika peristiwa maut itu terjadi, telah melarikan diri karena ketakutan, dan mereka hanya dapat menceritakan bahwa yang memegang golok berlumur darah adalah seorang yang bermuka brewok dan kepalanya memakai ikat kepala warna merah dan biarpun kulitnya kuning, akan tetapi potongan mukanya seperti orang asing dan agaknya sebangsa dengan Yousuf, usianya kurang lebih empat puluh tahun.
“Bisa jadi orang itu adalah musuh dari gakhu,” kata Cin Hai setelah memutar otaknya karena keterangan keterangan itu amat sedikit, “mungkin sekali dia adalah seorang Turki. Ingatkah kau bahwa para pengikut Pangeran Muda dari Turki terdiri dari orang jahat yang berkepandaian tinggi? Siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah utusan dari Pangeran Muda yang merasa sakit hati terhadap gakhu.”
“Akan tetapi mengapa ia menculik anak kita?” kata Lin Lin dengan hati sakit hati.
“Inilah yang harus kita selidiki. Sekarang, tidak ada lain jalan bagi kita selain menyusul ke barat!”
“Ke Turki?” tanya Lin Lin memandang dengan mata terbelalak.
“Kalau perlu kita boleh menyusul kesana. Akan tetapi, lebih baik kita mencari keterangan dan menyelidiki ke daerah barat dimana terdapat banyak orang-orang Turki.”
“Ke daerah Kansu di barat?” tanya pula Lin Lin.
Pendekar Bodoh mengangguk.
“Kau masih ingat betapa kita pernah pergi ke daerah itu dan betapa para pengikut Pangeran Tua yang dipimpin oleh gakhu dan Suhu bertempur melawan pengikut-pengikut Pangeran Muda?”
Lin Lin mengangguk dan tentu saja ia masih ingat akan pengalaman-pengalamannya yang ketika mereka bersama kawan-kawan mereka yang lain mengembara ke barat ke daerah Kansu dimana mereka mengalami peristiwa-peristiwa hebat (diceritakan dalam cerita Pendekar Bodoh).
Memang di daerah ini terdapat banyak sekali orang-orang Turki maka kalau hendak mencari keterangan tentang pembunuh Yousuf yang disangkanya orang Turki itu, tidak ada lain tempat yang lebih tepat dan baik selain daerah Kansu.
“Baiklah aku menurut saja. Pendeknya, jangankan ke Kansu atau ke Turki, biar ke seberang lautan sekalipun, aku harus dapat mencari jahanam itu!” kata Lin Lin.
“Dan kita sekalian mampir di Tiang-an, karena sudah setahun kita tidak bertemu dengan Kwee An,” kata Cin Hai.
Demikianlah, sepasang pendekar yang sedang bersedih hati itu lalu menyerahkan penjagaan rumah mereka kepada para tetangga, kemudian mereka berangkat menunggang kuda, mulai dengan usaha mereka mencari pembunuh Yousuf dan mencari anak mereka yang terculik orang.
Cin Hai membujuk isterinya dan menarik tangannya.
“Lebih dulu kita harus memberi hormat dan menghaturkan maaf kepada gakhu karena kita telah tinggalkan dia. Kalau kita berada disini, apakah hal ini akan dapat terjadi?”
Mendengar ucapan ini, Lin Lin dengan gerakan perlahan menengok ke arah peti Yousuf, dan tiba-tiba nyonya muda ini menjerit dan melemparkan pedangnya, lalu berlari ke depan peti mati Yousuf, lalu berlutut memeluki peti itu sambil menangis tersedu-sedu.
“Ayah… Ayah, ampunkan anakmu yang tidak berbakti ini…” Lin Lin menjambak rambutnya sendiri sehingga menjadi awut-awutan! “Aku telah pergi meninggalkan Ayah… bersenang dan tertawa di jalan, tidak tahunya Ayah mengalami nasib seperti ini…!”
Kemudian ia bangun berdiri dan mengepal tinjunya, memandang ke arah peti mati dengan air mata mengalir dan sepasang matanya yang dipentang lebar itu pun penuh air mata.
“Ayah! Bagaimana kau sampai kalah oleh anjing itu? Mungkinkah kau yang gagah ini kalah olehnya? Ayah! Katakanlah siapa orang itu, akan kucekik lehernya sekarang juga!”
Akan tetapi ia teringat kembali bahwa ayah angkatnya telah mati maka ia lalu menubruk peti mati itu dan sambil menangis menjerit-jerit ia berusaha membuka tutup peti yang telah dipaku.
Cin Hai tadi pun berlutut dibelakangnya, dan ketika melihat perbuatan isterinya itu, ia cepat memegang lengannya dan berkata perlahan,
“Lin Lin, kau hendak berbuat apakah?”
“Buka! Buka! Aku hendak melihat ayahku…!”
Orang-orang yang berada disitu tak dapat menahan mengucurnya air mata melihat pemandangan yang mengharukan ini, akan tetapi mereka terkejut sekali mendengar nyonya itu hendak membuka peti! Juga Kepala Kota merasa terkejut dan kuatir sekali, maka ia melangkah maju dan berkata mencegah,
“Tai-hiap, lihat! Jangan dibuka peti itu…!”
Tiba-tiba Lin Lin melompat berdiri dan memandang kepada Kepala Kota itu dengan mata bernyala!
“Apa katamu? Mengapa tidak boleh dibuka?”
Melihat wajah yang pucat seperti mayat dan mata yang bernyala marah itu, Kepala Kota melangkah mundur dua tindak dengan terkejut dan ucapan yang telah di ujung lidahnya ia telan kembali!
“Hayo buka!” Sekali lagi Lin Lin memekik.
“Kui-lopeh, biarlah. Buka saja tutup peti mati ini agar kami dapat memandang wajah gakhu sekali lagi,” kata Cin Hai perlahan sambil menahan jatuhnya air mata.
Kepala Kota she Kui itu hendak menjawab dan memberi keterangan, akan tetapi baru saja bibirnya bergerak, Lin Lin yang sudah tak sabar lagi itu membentak lagi,
“Hayo buka sekarang juga! Kalau kalian tidak mau, biarlah aku sendiri yang membuka!”
Sambil berkata demikian, Lin Lin melangkah maju dan hendak membuka tutup peti itu dengan paksa.
Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau peti itu akan menjadi rusak apabila Lin Lin mengerahkan tenaganya, maka ia lalu memberi tanda sehingga Kepala Kota itu terpaksa menyuruh para penjaga untuk mengambil alat dan tutup itu dibuka dengan tangan-tangan gemetar oleh empat orang.
Peti dibuka perlahan. Semua orang menahan napas, dan di sana-sini terdengar isak tertahan. Begitu peti itu terbuka dan Lin Lin bersama Cin Hai menjenguk ke dalam, keduanya menjerit seakan-akan dari dalam peti itu melayang ular yang menggigit mereka.
“Ayah…!!” Dan jeritan yang mengerikan ini disusul dengan robohnya tubuh Lin Lin. Ia pingsan!
“Gakhu…!” Cin Hai juga memekik dan mukanya berubah menjadi pucat sekali.
Siapa orangnya yang takkan merasa ngeri dan hancur hatinya melihat ayah dan mertuanya mati dalam keadaan demikian mengerikan, tanpa kepala! Akan tetapi, Cin Hai yang memiliki kekuatan batin luar biasa itu, dapat menekan penderitaan hatinya, dan setelah memandang sekali lagi ke arah tubuh Yousuf yang tak berkepala lagi itu, ia lalu menutup petinya dan menyuruh orang-memakunya kembali. Kemudian ia mengangkat tubuh isterinya dan dipondong, dibawa masuk ke dalam rumah.
Ia merasa kasihan sekali kepada Lin Lin dan memaklumi sepenuhnya akan perasaan dan penderitaan batin isterinya ini. Ayah Lin Lin yang asli, yaitu Kwee In Liang, tewas sekeluarganya terbunuh orang, dan sekarang ayah pungutnya juga tewas terbunuh, bahkan dalam keadaan yang amat mengerikan.
Setelah siuman kembali, Lin Lin menangis sedih, dihibur oleh Cih Hai, akan tetapi betapapun juga, bencana besar yang menimpa keluarga Sie ini tidak mudah dihibur begitu saja, bahkan Pendekar Bodoh sendiri yang biasanya berlaku tenang dan berbatin kuat, kali ini duduk bengong seakan-akan semangatnya terbang melayang.
Peristiwa ini amat berat tidak saja Yousuf telah terbunuh mati secara kejam sekali, akan tetapi juga anak mereka yang tersayang, Hong Li, telah diculik oleh pembunuh jahat dan kejam itu! Sungguhpun tidak ada bukti yang nyata bahwa pembunuh itulah yang menculik Lili, akan tetapi siapa lagi kalau bukan pembunuh itu yang berani melakukan perbuatan keji ini.
“Aku harus mencarinya! Aku harus mencari jahanam itu, harus membunuhnya!” kata Lin Lin berulang-ulang sambil menangis!
“Tentu isteriku!” kata Cin Hai sambil memegang tangannya. “Akan tetapi kita harus berlaku tenang dan menggunakan pikiran jernih. Ada sesuatu yang menghibur hatiku yaitu karena Lili diculik orang, maka tentu ia masih selamat. Kalau penjahat itu bermaksud membunuh anak kita, tentu sudah ia lakukan disini seperti yang diperbuatnya terhadap gakhu, tak perlu susah-susah diculiknya lagi. Hanya sayangnya, penjahat itu tidak meninggalkan nama-nama yang jejak, sehingga sukarlah bagi kita untuk mencarinya karena kita tidak tahu ke jurusan mana kita harus mencari!”
Terhibur juga hati Lin Lin mendengar ucapan ini, karena memang kata-kata suaminya itu beralasan. Kalau penculik itu bermaksud membunuh Lili tentu tak perlu dibawanya pergi.
“Bagaimanapun juga, kita harus mencarinya!” katanya kemudian.
“Tentu saja, akan tetapi kita harus mengurus penguburan jenazah ayahmu dulu, dan kita harus melakukan penyelidikan disini, kalau-kalau ada yang dapat menceritakan terjadinya peristiwa itu lebih jelas lagi!”
Penguburan lima jenazah itu dilakukan dengan baik dalam suasana diliputi kesedihan. Sebagian besar penduduk kota Shaning mengantar dan kota itu nampak dalam suasana berkabung.
Setelah selesai penguburan, Cin Hai lalu mencari keterangan ke sana kemari kalau-kalau ada yang dapat menceritakan peristiwa itu lebih jelas lagi. Akan tetapi, orang-orang yang kebetulan lewat ketika peristiwa maut itu terjadi, telah melarikan diri karena ketakutan, dan mereka hanya dapat menceritakan bahwa yang memegang golok berlumur darah adalah seorang yang bermuka brewok dan kepalanya memakai ikat kepala warna merah dan biarpun kulitnya kuning, akan tetapi potongan mukanya seperti orang asing dan agaknya sebangsa dengan Yousuf, usianya kurang lebih empat puluh tahun.
“Bisa jadi orang itu adalah musuh dari gakhu,” kata Cin Hai setelah memutar otaknya karena keterangan keterangan itu amat sedikit, “mungkin sekali dia adalah seorang Turki. Ingatkah kau bahwa para pengikut Pangeran Muda dari Turki terdiri dari orang jahat yang berkepandaian tinggi? Siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah utusan dari Pangeran Muda yang merasa sakit hati terhadap gakhu.”
“Akan tetapi mengapa ia menculik anak kita?” kata Lin Lin dengan hati sakit hati.
“Inilah yang harus kita selidiki. Sekarang, tidak ada lain jalan bagi kita selain menyusul ke barat!”
“Ke Turki?” tanya Lin Lin memandang dengan mata terbelalak.
“Kalau perlu kita boleh menyusul kesana. Akan tetapi, lebih baik kita mencari keterangan dan menyelidiki ke daerah barat dimana terdapat banyak orang-orang Turki.”
“Ke daerah Kansu di barat?” tanya pula Lin Lin.
Pendekar Bodoh mengangguk.
“Kau masih ingat betapa kita pernah pergi ke daerah itu dan betapa para pengikut Pangeran Tua yang dipimpin oleh gakhu dan Suhu bertempur melawan pengikut-pengikut Pangeran Muda?”
Lin Lin mengangguk dan tentu saja ia masih ingat akan pengalaman-pengalamannya yang ketika mereka bersama kawan-kawan mereka yang lain mengembara ke barat ke daerah Kansu dimana mereka mengalami peristiwa-peristiwa hebat (diceritakan dalam cerita Pendekar Bodoh).
Memang di daerah ini terdapat banyak sekali orang-orang Turki maka kalau hendak mencari keterangan tentang pembunuh Yousuf yang disangkanya orang Turki itu, tidak ada lain tempat yang lebih tepat dan baik selain daerah Kansu.
“Baiklah aku menurut saja. Pendeknya, jangankan ke Kansu atau ke Turki, biar ke seberang lautan sekalipun, aku harus dapat mencari jahanam itu!” kata Lin Lin.
“Dan kita sekalian mampir di Tiang-an, karena sudah setahun kita tidak bertemu dengan Kwee An,” kata Cin Hai.
Demikianlah, sepasang pendekar yang sedang bersedih hati itu lalu menyerahkan penjagaan rumah mereka kepada para tetangga, kemudian mereka berangkat menunggang kuda, mulai dengan usaha mereka mencari pembunuh Yousuf dan mencari anak mereka yang terculik orang.
**** 106 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar