Sementara itu, Bouw Hun Ti yang melarikan kuda bersama dua orang pengiringnya itu, lalu memberikan bungkusan kepala itu kepada mereka dan berkata,
“Kalian berdua kembalilah dulu ke Turki dan berikan ini kepada Pangeran Muda. Kalian boleh ceritakan kepada Beliau bahwa karena Yousuf menolak dibawa ke Turki, terpaksa kubunuh mati. Aku sendiri hendak mencari anak perempuan dari Pendekar Bodoh itu dan kemudian sebelum kembali ke Turki, aku hendak mengunjungi guruku.”
Kedua orang pengiringnya tak berani membantah, menerima bungkusan kepala itu, akan tetapi lalu berkata dengan muka pucat,
“Kepala ini tentu akan membusuk sebelum kami tiba di Turki.”
Bouw Hun Ti tertawa bergelak, lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk sambil berkata,
“Campurkan obat ini dengan air, kemudian balurkan di seluruh kulit muka dan kepala itu, terutama yang banyak di bagian leher, tentu akan terpelihara baik dan tidak rusak kepala jahanam itu!”
Setelah memberikan obat itu kepada mereka, Bouw Hun Ti lalu pergi menuju ke lorong dimana tadi ia bertemu dengan Hong Li! Sedangkan kedua orang pengiringnya yang merasa tidak aman berada di dalam kota itu lebih lama lagi, segera membalapkan kuda keluar dari kota sambil membawa bungkusan kepala itu.
Agaknya memang sudah nasib Hong Li untuk mengalami bencana pada hari itu, karena anak perempuan ini kebetulan sekali sedang berjalan hendak pulang dan di tengah jalan tiba-tiba ia bertemu dengan Bouw Hun Ti yang melarikan kuda dari depan, muncul di sebuah tikungan!
Lili terkejut sekali ketika mengenal Si Brewok yang tadi mengejar dan hendak membunuhnya. Cepat anak ini membalikkan tubuh dan lari pergi akan tetapi Bouw Hun Ti telah melihatnya dan sambil berseru girang, orang ini melompat turun dari kuda dan mengejar!
Lili telah menerima latihan silat dari kedua orang tuanya maka sekecil itu ia telah memiliki kepandaian lari cepat yang cukup mengagumkan dan sekiranya yang mengejarnya seorang laki-laki biasa saja, tak mungkin ia akan tertangkap.
Akan tetapi, yang rnengejarnya adalah Bouw Hun Ti, orang yang memiliki kepandaian tinggi maka dalam beberapa lompatan saja Bouw Hun Ti telah berhasil menyusulnya.
“Anak setan, kau hendak lari kemana?”
Lili maklum bahwa percuma saja ia melarikan diri, akan tetapi ia memiliki keberanian luar biasa warisan kedua orang tuanya. Maka ketika melihat bahwa pengejarnya telah datang dekat, tiba-tiba ia berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri sambil memasang kuda-kuda dan sepasang matanya memandang dengan tajam dan berani!
Bouw Hun Ti merasa kagum juga melihat sikap anak perempuan ini, apalagi ketika tiba-tiba Lili menyerangnya dengan kepalan tangannya yang kecil itu, melakukan serangan kearah pusarnya dengan pukulan yang dilakukan amat indah dan baiknya, kekagumannya bertambah dan timbullah rasa sayangnya kepada anak ini! Ia mengulur tangan dan dengan mudah gerakannya yang cepat itu membuat ia berhasil menangkap tangan Lili dan sekali ia membetot, tubuh Lili telah tertangkap dan berada dalam pondongannya!
“Setan kecil, kau mungil sekali!” kata Bouw Hun Ti sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi, Lili tidak menyerah demikian saja. Biarpun tangan kanannya yang tadi memukul telah terpegang dan ia telah dipondong orang, kini tangan kirinya memukul ke arah kepala dan muka yang brewok itu, sedangkan kedua kakinya meronta-ronta hendak melepaskan diri!
Namun apakah daya seorang anak perempuan berusia delapan tahun terhadap Bouw Hun Ti, ahli silat yang tangguh itu? Sekali saja ia mengulur tangan dan memencet pundak Lili, anak perempuan itu mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas tak berdaya sama sekali. Kaki tangannya serasa lumpuh tak bertenaga sehingga ia kini tak dapat meronta-ronta lagi.
“Ha-ha-ha! Setan cilik, kau harus ikut aku. Hendak kulihat Pendekar Bodoh dan isterinya dapat berbuat apa!”
Bouw Hun Ti lalu membawa anak dalam pondongannya itu menuju ke kudanya dan ia segera melompat naik ke atas kuda lalu melarikan kudanya dengan cepatnya keluar kota. Hal ini tidak terlihat oleh siapapun juga, oleh karena semua orang yang mendengar tentang peristiwa hebat terjadi di rumah Sie Cin Hai, berbondong-bondong pergi ke rumah itu.
Penduduk kota Shaning segera merawat jenazah Yousuf dan empat orang pelayan itu. Mereka semua menghormat Yousuf sebagai seorang kakek yang selain baik hati, juga peramah dan berpengetahuan luas. Apalagi mengingat bahwa kakek ini adalah ayah angkat dari Sie-hujin (Nyonya Sie), maka tanpa ada yang perintah, mereka lalu membeli peti mati yang baik dan melakukan upacara sembahyang dengan segala kehormatan.
Setelah kelima jenazah itu dirawat baik-baik dan ditaruh di dalam peti mati, lima buah peti mati itu dijajarkan di ruang depan dan dipasangi lima meja sembahyang. Mereka, atas anjuran dari Kepala Kota Shaning, siang malam menjaga peti-peti ini, dan orang yang datang untuk bersembahyang serta ikut berduka cita, membanjir setiap waktu tiada hentinya. Mereka akan menanti sampai datangnya Sie Cin Hai suami isteri, sebelum mengubur peti-peti itu.
Tiga hari kemudian, dari luar kota Shaning datang dua orang penunggang kuda, seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka kurang lebih tiga puluhan tahun, dan keduanya nampak gagah sekali. Yang laki-laki berpakaian sederhana, wajahnya tampan dan tenang, sikapnya gagah sekali. Gagang pedangnya nampak tersembul di atas punggungnya.
Yang wanita cantik sekali dan senyumnya selalu meramaikan wajahnya yang manis. Juga wanita ini kelihatan gagah perkasa dengan pedang yang tergantung di pinggangnya. Mereka ini tidak lain adalah Sie Cin Hai dan Kwee Lin atau Lin Lin, Pendekar Bodoh dengan isterinya yang baru pulang dari barat.
“Hai-ko,” terdengar Lin Lin berkata dengan wajah berseri, “anak kita Lili tentu akan girang sekali melihat kita datang!”
Sinar gembira memancar dari wajah yang tenang dari Pendekar Bodoh itu ketika ia mendengar isterinya menyebut nama Lili, anak perempuannya yang nakal dan selalu mendatangkan kegembiraan itu.
“Girang?” katanya. “Kurasa di samping kegirangannya, ia akan cemberut atau menangis mencela kita yang tidak mau membawanya ketika pergi dulu. Tidak ingatkah kau betapa ia dulu menangis dan hendak memaksa ikut kalau tidak kubentak-bentak?”
“Memang ia agak keras hati dan bandel.” Lin Lin membenarkan.
“Seperti ibunya,” kata Cin Hai.
Lin Lin menengok kepada suaminya sambil cemberut.
“Kau anggap aku keras hati dan bandel? Kalau begitu, mengapa kau dulu menikah dengan aku?”
Cin Hai tertawa.
“Karena keras hati dan kebandelanmu itulah!”
“He?? Bagaimana pula ini?”
“Aku suka kepadamu karena kau adalah Lin Lin yang keras hati dan bandel!”
Mereka saling pandang dan akhirnya keduanya tertawa bahagia. Memang, semenjak mereka menikah, sepasang suami isteri ini selalu masih suka bersendau gurau dengan gembira, menandakan bahwa mereka hidup bahagia sekali.
“Bagaimanapun juga Hai-ko, jangan kau terlalu keras terhadap Lili, ia masih kecil dan kecerdikannya memang tidak seperti anak kita Beng-ji.”
“Kalau terlalu dikasih hati dan dimanja, ia akan menjadi bodoh. Apa kau suka melihat ia menjadi bodoh seperti…” Cin Hai hendak berkata seperti “keledai” akan tetapi ia didahului oleh isterinya.
“Seperti ayahnya!”
Kini Cin Hai yang menengok dan memandang kepada isterinya dengan hati agak mendongkol, karena ia baru memikirkan keledai yang bodoh sehingga ketika Lin Lin menyatakan bahwa anaknya bodoh seperti ayahnya, ia merasa seakan-akan ia dipersamakan dengan keledai!
“Jadi kau anggap aku bodoh?”
Lin Lin tertawa geli sampai menekan perutnya dan ia menuding ke arah muka Cin Hai sambil berkata,
“Tidak ada orang di seluruh dunia ini yang lebih bodoh daripada Pendekar Bodoh! Kau masih berani mengaku bahwa kau tidak bodoh!”
“Dan kau suka kepada orang bodoh?” tanya Cin Hai masih mendongkol.
“Kalau kau tidak bodoh, aku takkan suka kepadamu!”
Demikianlah, di sepanjang perjalanan mereka, setiap saat kedua orang ini bersendau gurau, saling menggoda, seakan-akan mereka sedang melakukan perjalanan bulan madu dari sepasang pengantin baru!
Kedua orang ini, terutama Cin Hai yang biasanya amat cermat pandangannya, lupa dalam mabuk kebahagiaan mereka, bahwa kesenangan dan kesusahan selalu timbul silih berganti. Cin Hai yang dimasa kecilnya telah kenyang mempelajari dan menghafal semua ujar-ujar kuno itu pada saat-saat bergembira ria dengan isteeinya, lupa akan bunyi ujar-ujar nasihat bahwa jangan terlalu bergembira dalam kesenangan dan jangan terlalu berduka dalam kesusahan!
Setelah tiba di gerbang kota, Lin Lin sudah tak sabar lagi, ingin lekas-lekas melihat rumah, bertemu dengan Lili dan dengan ayah angkatnya, Yousuf. Maka dicambuknya kuda yang ditungganginya agar berlari lebih cepat lagi. Cin Hai mengikuti dari belakang. Mereka berdua sama sekali tidak melihat betapa orang-orang di pinggir jalan memandang kepada mereka dengan wajah pucat dan duka.
Baru setelah tiba di pekarangan rumah mereka, Lin Lin dan Cin Hai memandang dengan muka menjadi pucat dan dada berdebar keras. Untuk beberapa saat Lin Lin bahkan duduk saja di atas kudanya seperti patung tak kuasa bergerak karena seluruh tubuhnya seakan-akan menjadi kaku oleh kecemasan hebat.
Cin Hai melompat turun terlebih dulu dan segera menarik tangan isterinya. Keduanya lalu berlari cepat menuju ke ruang depan dimana nampak meja sembahyang dan peti mati berjajar-jajar, hio yang mengebulkan asapnya, dan banyak orang duduk sambil memandang mereka dengan muka sedih!
Kedatangan mereka disambut oleh Kepala Kota dan isterinya yang terus memeluk Lin Lin sambil menangis.
“Kui-lopeh, apakah yang telah terjadi?” tanya Cin Hai. “Siapakah yang… meninggal dunia…?”
Sementara itu, Lin Lin segera bertanya dengan suara keras,
“Mana anakku…? Mana… Ayah…??”
“Sabarlah, Tai-hiap, dan kau juga Li-hiap,” kata Kepala Kota itu yang seperti juga orang-orang lain, menyebut tai-hiap (pendekar besar) kepada Cin Hai, dan menyebut li-hiap (pendekar wanita) kepada Lin Lin.
“Memang telah terjadi hal yang amat hebat selama kalian pergi. Terjadinya telah tiga hari yang lalu. Seorang laki-laki brewok bersama dua orang kawannya yang tidak diketahui siapa adanya dan apa sebabnya, telah datang disini pada pagi hari tiga hari yang lalu dan orang brewok itu telah membunuh Yo-lo-enghiong (Orang Gagah Yo), juga membunuh mati empat orang pelayanmu.”
“Dan… Lili… bagaimana?” tanya Cin Hai dengan pucat, sedangkan Lin Lin memandang kepada Kepala Kota itu seakan-akan berada dalam sebuah mimpi buruk.
“Itulah yang membingungkan kami, Tai-hiap,” jawab Kepala Kota itu, “pada saat peristiwa itu, anakmu telah pergi bermain keluar rumah, akan tetapi kami telah mencari setiap tempat tak juga bertemu dengan Lili, entah kemana ia pergi.”
Cin Hai mengangguk-angguk.
“Hmm, kalau orang sudah berani membunuh gakhu (mertua laki-laki), tentu ia berani menculik anakku pula.”
Mendengar ini, bagai meledaklah rasa marah yang telah mendesak-desak dalam dada Lin Lin.
“Keparat jahanam! Siapa dia itu dan dimana dia? Biar kukeluarkan isi perutnya!”
Sambil berkata demikian, Lin Lin menggerakkan tangan kanannya dan “srtt!” pedang Han-le-kiam yang pendek dan berkilau saking tajamnya itu telah dicabutnya dari sarung pedang.
Cin Hai memegang lengan isterinya.
“Sabarlah, dan tenanglah.”
“Kalian berdua kembalilah dulu ke Turki dan berikan ini kepada Pangeran Muda. Kalian boleh ceritakan kepada Beliau bahwa karena Yousuf menolak dibawa ke Turki, terpaksa kubunuh mati. Aku sendiri hendak mencari anak perempuan dari Pendekar Bodoh itu dan kemudian sebelum kembali ke Turki, aku hendak mengunjungi guruku.”
Kedua orang pengiringnya tak berani membantah, menerima bungkusan kepala itu, akan tetapi lalu berkata dengan muka pucat,
“Kepala ini tentu akan membusuk sebelum kami tiba di Turki.”
Bouw Hun Ti tertawa bergelak, lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk sambil berkata,
“Campurkan obat ini dengan air, kemudian balurkan di seluruh kulit muka dan kepala itu, terutama yang banyak di bagian leher, tentu akan terpelihara baik dan tidak rusak kepala jahanam itu!”
Setelah memberikan obat itu kepada mereka, Bouw Hun Ti lalu pergi menuju ke lorong dimana tadi ia bertemu dengan Hong Li! Sedangkan kedua orang pengiringnya yang merasa tidak aman berada di dalam kota itu lebih lama lagi, segera membalapkan kuda keluar dari kota sambil membawa bungkusan kepala itu.
Agaknya memang sudah nasib Hong Li untuk mengalami bencana pada hari itu, karena anak perempuan ini kebetulan sekali sedang berjalan hendak pulang dan di tengah jalan tiba-tiba ia bertemu dengan Bouw Hun Ti yang melarikan kuda dari depan, muncul di sebuah tikungan!
Lili terkejut sekali ketika mengenal Si Brewok yang tadi mengejar dan hendak membunuhnya. Cepat anak ini membalikkan tubuh dan lari pergi akan tetapi Bouw Hun Ti telah melihatnya dan sambil berseru girang, orang ini melompat turun dari kuda dan mengejar!
Lili telah menerima latihan silat dari kedua orang tuanya maka sekecil itu ia telah memiliki kepandaian lari cepat yang cukup mengagumkan dan sekiranya yang mengejarnya seorang laki-laki biasa saja, tak mungkin ia akan tertangkap.
Akan tetapi, yang rnengejarnya adalah Bouw Hun Ti, orang yang memiliki kepandaian tinggi maka dalam beberapa lompatan saja Bouw Hun Ti telah berhasil menyusulnya.
“Anak setan, kau hendak lari kemana?”
Lili maklum bahwa percuma saja ia melarikan diri, akan tetapi ia memiliki keberanian luar biasa warisan kedua orang tuanya. Maka ketika melihat bahwa pengejarnya telah datang dekat, tiba-tiba ia berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri sambil memasang kuda-kuda dan sepasang matanya memandang dengan tajam dan berani!
Bouw Hun Ti merasa kagum juga melihat sikap anak perempuan ini, apalagi ketika tiba-tiba Lili menyerangnya dengan kepalan tangannya yang kecil itu, melakukan serangan kearah pusarnya dengan pukulan yang dilakukan amat indah dan baiknya, kekagumannya bertambah dan timbullah rasa sayangnya kepada anak ini! Ia mengulur tangan dan dengan mudah gerakannya yang cepat itu membuat ia berhasil menangkap tangan Lili dan sekali ia membetot, tubuh Lili telah tertangkap dan berada dalam pondongannya!
“Setan kecil, kau mungil sekali!” kata Bouw Hun Ti sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi, Lili tidak menyerah demikian saja. Biarpun tangan kanannya yang tadi memukul telah terpegang dan ia telah dipondong orang, kini tangan kirinya memukul ke arah kepala dan muka yang brewok itu, sedangkan kedua kakinya meronta-ronta hendak melepaskan diri!
Namun apakah daya seorang anak perempuan berusia delapan tahun terhadap Bouw Hun Ti, ahli silat yang tangguh itu? Sekali saja ia mengulur tangan dan memencet pundak Lili, anak perempuan itu mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas tak berdaya sama sekali. Kaki tangannya serasa lumpuh tak bertenaga sehingga ia kini tak dapat meronta-ronta lagi.
“Ha-ha-ha! Setan cilik, kau harus ikut aku. Hendak kulihat Pendekar Bodoh dan isterinya dapat berbuat apa!”
Bouw Hun Ti lalu membawa anak dalam pondongannya itu menuju ke kudanya dan ia segera melompat naik ke atas kuda lalu melarikan kudanya dengan cepatnya keluar kota. Hal ini tidak terlihat oleh siapapun juga, oleh karena semua orang yang mendengar tentang peristiwa hebat terjadi di rumah Sie Cin Hai, berbondong-bondong pergi ke rumah itu.
Penduduk kota Shaning segera merawat jenazah Yousuf dan empat orang pelayan itu. Mereka semua menghormat Yousuf sebagai seorang kakek yang selain baik hati, juga peramah dan berpengetahuan luas. Apalagi mengingat bahwa kakek ini adalah ayah angkat dari Sie-hujin (Nyonya Sie), maka tanpa ada yang perintah, mereka lalu membeli peti mati yang baik dan melakukan upacara sembahyang dengan segala kehormatan.
Setelah kelima jenazah itu dirawat baik-baik dan ditaruh di dalam peti mati, lima buah peti mati itu dijajarkan di ruang depan dan dipasangi lima meja sembahyang. Mereka, atas anjuran dari Kepala Kota Shaning, siang malam menjaga peti-peti ini, dan orang yang datang untuk bersembahyang serta ikut berduka cita, membanjir setiap waktu tiada hentinya. Mereka akan menanti sampai datangnya Sie Cin Hai suami isteri, sebelum mengubur peti-peti itu.
Tiga hari kemudian, dari luar kota Shaning datang dua orang penunggang kuda, seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka kurang lebih tiga puluhan tahun, dan keduanya nampak gagah sekali. Yang laki-laki berpakaian sederhana, wajahnya tampan dan tenang, sikapnya gagah sekali. Gagang pedangnya nampak tersembul di atas punggungnya.
Yang wanita cantik sekali dan senyumnya selalu meramaikan wajahnya yang manis. Juga wanita ini kelihatan gagah perkasa dengan pedang yang tergantung di pinggangnya. Mereka ini tidak lain adalah Sie Cin Hai dan Kwee Lin atau Lin Lin, Pendekar Bodoh dengan isterinya yang baru pulang dari barat.
“Hai-ko,” terdengar Lin Lin berkata dengan wajah berseri, “anak kita Lili tentu akan girang sekali melihat kita datang!”
Sinar gembira memancar dari wajah yang tenang dari Pendekar Bodoh itu ketika ia mendengar isterinya menyebut nama Lili, anak perempuannya yang nakal dan selalu mendatangkan kegembiraan itu.
“Girang?” katanya. “Kurasa di samping kegirangannya, ia akan cemberut atau menangis mencela kita yang tidak mau membawanya ketika pergi dulu. Tidak ingatkah kau betapa ia dulu menangis dan hendak memaksa ikut kalau tidak kubentak-bentak?”
“Memang ia agak keras hati dan bandel.” Lin Lin membenarkan.
“Seperti ibunya,” kata Cin Hai.
Lin Lin menengok kepada suaminya sambil cemberut.
“Kau anggap aku keras hati dan bandel? Kalau begitu, mengapa kau dulu menikah dengan aku?”
Cin Hai tertawa.
“Karena keras hati dan kebandelanmu itulah!”
“He?? Bagaimana pula ini?”
“Aku suka kepadamu karena kau adalah Lin Lin yang keras hati dan bandel!”
Mereka saling pandang dan akhirnya keduanya tertawa bahagia. Memang, semenjak mereka menikah, sepasang suami isteri ini selalu masih suka bersendau gurau dengan gembira, menandakan bahwa mereka hidup bahagia sekali.
“Bagaimanapun juga Hai-ko, jangan kau terlalu keras terhadap Lili, ia masih kecil dan kecerdikannya memang tidak seperti anak kita Beng-ji.”
“Kalau terlalu dikasih hati dan dimanja, ia akan menjadi bodoh. Apa kau suka melihat ia menjadi bodoh seperti…” Cin Hai hendak berkata seperti “keledai” akan tetapi ia didahului oleh isterinya.
“Seperti ayahnya!”
Kini Cin Hai yang menengok dan memandang kepada isterinya dengan hati agak mendongkol, karena ia baru memikirkan keledai yang bodoh sehingga ketika Lin Lin menyatakan bahwa anaknya bodoh seperti ayahnya, ia merasa seakan-akan ia dipersamakan dengan keledai!
“Jadi kau anggap aku bodoh?”
Lin Lin tertawa geli sampai menekan perutnya dan ia menuding ke arah muka Cin Hai sambil berkata,
“Tidak ada orang di seluruh dunia ini yang lebih bodoh daripada Pendekar Bodoh! Kau masih berani mengaku bahwa kau tidak bodoh!”
“Dan kau suka kepada orang bodoh?” tanya Cin Hai masih mendongkol.
“Kalau kau tidak bodoh, aku takkan suka kepadamu!”
Demikianlah, di sepanjang perjalanan mereka, setiap saat kedua orang ini bersendau gurau, saling menggoda, seakan-akan mereka sedang melakukan perjalanan bulan madu dari sepasang pengantin baru!
Kedua orang ini, terutama Cin Hai yang biasanya amat cermat pandangannya, lupa dalam mabuk kebahagiaan mereka, bahwa kesenangan dan kesusahan selalu timbul silih berganti. Cin Hai yang dimasa kecilnya telah kenyang mempelajari dan menghafal semua ujar-ujar kuno itu pada saat-saat bergembira ria dengan isteeinya, lupa akan bunyi ujar-ujar nasihat bahwa jangan terlalu bergembira dalam kesenangan dan jangan terlalu berduka dalam kesusahan!
Setelah tiba di gerbang kota, Lin Lin sudah tak sabar lagi, ingin lekas-lekas melihat rumah, bertemu dengan Lili dan dengan ayah angkatnya, Yousuf. Maka dicambuknya kuda yang ditungganginya agar berlari lebih cepat lagi. Cin Hai mengikuti dari belakang. Mereka berdua sama sekali tidak melihat betapa orang-orang di pinggir jalan memandang kepada mereka dengan wajah pucat dan duka.
Baru setelah tiba di pekarangan rumah mereka, Lin Lin dan Cin Hai memandang dengan muka menjadi pucat dan dada berdebar keras. Untuk beberapa saat Lin Lin bahkan duduk saja di atas kudanya seperti patung tak kuasa bergerak karena seluruh tubuhnya seakan-akan menjadi kaku oleh kecemasan hebat.
Cin Hai melompat turun terlebih dulu dan segera menarik tangan isterinya. Keduanya lalu berlari cepat menuju ke ruang depan dimana nampak meja sembahyang dan peti mati berjajar-jajar, hio yang mengebulkan asapnya, dan banyak orang duduk sambil memandang mereka dengan muka sedih!
Kedatangan mereka disambut oleh Kepala Kota dan isterinya yang terus memeluk Lin Lin sambil menangis.
“Kui-lopeh, apakah yang telah terjadi?” tanya Cin Hai. “Siapakah yang… meninggal dunia…?”
Sementara itu, Lin Lin segera bertanya dengan suara keras,
“Mana anakku…? Mana… Ayah…??”
“Sabarlah, Tai-hiap, dan kau juga Li-hiap,” kata Kepala Kota itu yang seperti juga orang-orang lain, menyebut tai-hiap (pendekar besar) kepada Cin Hai, dan menyebut li-hiap (pendekar wanita) kepada Lin Lin.
“Memang telah terjadi hal yang amat hebat selama kalian pergi. Terjadinya telah tiga hari yang lalu. Seorang laki-laki brewok bersama dua orang kawannya yang tidak diketahui siapa adanya dan apa sebabnya, telah datang disini pada pagi hari tiga hari yang lalu dan orang brewok itu telah membunuh Yo-lo-enghiong (Orang Gagah Yo), juga membunuh mati empat orang pelayanmu.”
“Dan… Lili… bagaimana?” tanya Cin Hai dengan pucat, sedangkan Lin Lin memandang kepada Kepala Kota itu seakan-akan berada dalam sebuah mimpi buruk.
“Itulah yang membingungkan kami, Tai-hiap,” jawab Kepala Kota itu, “pada saat peristiwa itu, anakmu telah pergi bermain keluar rumah, akan tetapi kami telah mencari setiap tempat tak juga bertemu dengan Lili, entah kemana ia pergi.”
Cin Hai mengangguk-angguk.
“Hmm, kalau orang sudah berani membunuh gakhu (mertua laki-laki), tentu ia berani menculik anakku pula.”
Mendengar ini, bagai meledaklah rasa marah yang telah mendesak-desak dalam dada Lin Lin.
“Keparat jahanam! Siapa dia itu dan dimana dia? Biar kukeluarkan isi perutnya!”
Sambil berkata demikian, Lin Lin menggerakkan tangan kanannya dan “srtt!” pedang Han-le-kiam yang pendek dan berkilau saking tajamnya itu telah dicabutnya dari sarung pedang.
Cin Hai memegang lengan isterinya.
“Sabarlah, dan tenanglah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar