Di kota Tiang-an, kota di sebelah kota raja terdapat sebuah rumah gedung kuno yang besar. Rumah ini dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Kwee, dan dahulu ditinggali oleh Kwee-ciangkun (Perwira Kwee), seorang pembesar millter yang gagah perkasa.
Akan tetapi, sekarang rumah itu ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-ciangkun yang bernama Kwee An. Bagi para pembaca yang pernah membaca cerita Pendekar Bodoh , tentu tahu bahwa Kwee An ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang menjadi nyonya Sie Cin Hai.
Kwee An memiliki ilmu silat yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang dari jago tua Eng Yang Cu, seorang tosu tokoh dari Kim-san-pai yang termasyhur. Selain mendapat gemblengan ilmu silat dari tokoh Kim-san-pai ini, juga Kwee An pernah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas dan aneh dari seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu, ilmu silat Kwee An amat tinggi dan namanya pun amat terkenal di kalangan kang-ouw.
Isteri dari Kwee An juga seorang puteri dari seorang pembesar kerajaan, dan isterinya ini bernama Ma Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu silat, Ma Hoa ini tidak berada di sebelah bawah suaminya, karena selain mendapat pelajaran ilmu silat dari suhunya yang juga dianggap sebagai ayah angkat sendiri, yaitu Nelayan Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran Ilmu Silat Bambu Runcing yang amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib yang dianggap menjadi tokoh nomor satu dari daerah timur!
Saudara kandung dari Kwee An yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersama suaminya di Propinsi An-hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang kini hidup sebagai seorang hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng kuno di luar tembok kota Tiang-an di sebelah barat.
Kwee An hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun. Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga anggrek. Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek di waktu terang bulan!
Dalam usia sembilan tahun, Goat Lan telah kelihatan bahwa kelak ia akan menjadi seorang gadis yang amat manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan amat dimanja oleh kedua orang tuanya, maka ia menjadi nakal sekali. Semenjak kecil ia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya bahkan ia telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya, sungguhpun permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka.
Akan tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu gin-kang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun ia telah dapat melompat tinggi dan seringkali ia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang pohon-pohon tinggi!
Yang mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga seringkali kedua orang tuanya saling pandang heran karena baik Kwee An maupun Ma Hoa kurang suka mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera?
“Agaknya ia mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!” pernah Kwee An berkata secara berkelakar kepada isterinya.
“Tak mungkin!” bantah Ma Hoa. “Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya, karena mendiang ayahku memang suka sekali akan kesusastraan.”
Memang anak itu amat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno dan sajak-sajak baru, dan selain itu ia pun amat suka melukis. Maka tidak heran apabila Goat Lan suka sekali pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong mengunjungi pek-hunya, oleh karena Kwee Tiong memang semenjak menjadi hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan.
Dari Kwee Tiong ia mendapat tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali ia datang ke kuil itu, selalu pek-hunya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya sajak-sajak baru yang amat indah.
Kwee An maklum bahwa kakaknya yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk menghibur hati Kwee Tiong, ia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi pekhunya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di kelenteng itu.
Dahulu Kelenteng Ban-hok-tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan terlantar. Akan tetapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi hwesio.
Ketika Tong Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan kepada Kwee Tiong, maka Ban-hok-tong telah mempunyai penghuni yang amat banyak. Tidak kurang dari dua puluh lima orang hwesio tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia.
Setelah menjadi ketua kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhunya menjadi Tiong Yu Hwesio itu, kini diubah lagi menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An, Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan dibawah bimbingannya, perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.
Semua hwesio yang berada di kelenteng itu, tua muda, amat suka dan sayang kepada Goat Lan yang mungil dan cerdik, dan diantara mereka ini, banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kesusastraan tinggi, maka di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju saja.
Selain kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dalam hal permainan catur, dan seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang mengajarkan main catur sekarang bahkan merasa amat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru berusia sernbilan tahun ini!
Pada suatu hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong. Ketika ia seorang diri memasuki halaman kelenteng, ia disambut oleh seorang hwesio pembersih halaman yang segera berkata,
“Kwee-siocia, baik sekali kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di kelenteng kita, dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!”
Goat Lan memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya,
“Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?”
“Entahlah, mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat tinggal merekag keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki kelenteng, mereka terus saja bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka tak pernah berhenti lagi. Aneh, aneh! Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu mereka karena betapapun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati.”
“Aku mau nonton mereka bertanding catur!” kata Goat Lan.
“Akan tetapi Siocia…”
“Ah, Pekhu takkan marah kepadaku!” Goat Lan memotong. “Lagi pula, aku pun tidak hendak mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?”
Sambil berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru saja tiba di luar ruangan itu, ia telah mencium bau arak yang amat wangi dan suara parau seorang berkata,
“Tianglo, kudamu terjebak! Ha, ha, ha, ha!”
Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam sebuah permainan.
“Hm, jangan bergirang-girang dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti seorang perajuritmu pun lumayan juga!” Terdengar suara lain yang tinggi kecil.
Goat Lan tak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang duduk bersila menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, benar seperti penuturan Thian Seng Hwesio tadi.
Orang pertama adalah seorang kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa digunakan oleh para hwesio untuk mencari dan mengumpulkan daun-daun obat, dan selain keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.
Orang ke dua juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh tahun. Sambil menghadapi papan caturnya, tiada hentinya tosu ini minum arak dari sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan tetapi guci arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas. Dari sinilah tersiarnya bau arak wangi tadi.
Melihat bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu Pendek ini. Akan tetapi ia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli ketika mendengar hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat kecil dan tinggi.
“Im-yang Giok-cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita penyakit dalam perutmu.”
Tosu itu tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau.
“Sin-kong Tianglo, kau boleh memberi nasihat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi kalau kau memberi nasihat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!” Kembali ia tertawa.
“Aku tahu bahwa kau berjuluk Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi betapapun juga, kau hanyalah seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Agaknya kau tidak menghendaki usia panjang.”
Mendengar percakapan dan melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu telah mempengaruhi mereka sehingga mereka menjadi panas!
“Sin-kong Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tidak butuh pertolongan dan nasihatmu. Lebih baik kau curahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat, rajamu terancam bahaya maut, Ha, ha, ha!”
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan biji caturnya dan memang benar, kedudukan raja dari barisan catur hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.
Mereka kembali memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan, sehingga keadaan menjadi sunyi dan bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali mengapa bunyi pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama!
Memang kedudukan raja hitam dari hwesio itu amat terdesak dan terancam sehingga hwesio itu menatap papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi ia juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur.
Nampaknya kedua orang itu sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini telah mendekat dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.
“Gerakkan benteng melindungi raja!” tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar.
Melihat betapa raja hitam terdesak, tak terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak-gerak dan sungguhpun ia tidak tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan, akan tetapi oleh karena ia telah kehabisan jalan, ia lalu menggerakkan tangannya dan menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat Lan.
Tosu itu tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian sambil tertawa bergelak ia lalu makan benteng itu dengan kudanya.
“Benteng telah kurampas! Ha, ha, ha, kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha, ha, ha!” Tosu kate itu tertawa senang.
Akan tetapi suara ketawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, “Berhasil jebakan memancing kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan raja musuh!”
Bukan main girangnya hati hwesio itu. Tadinya memang ia tidak mengerti apakah kebaikannya memajukan benteng yang hanya diberikan dengan cuma-cuma kepada kuda lawan, tak tahunya bahwa dengan gerakannya memancing itu, kuda lawan meninggalkan depan raja sehingga kedudukan raja merah menjadi terbuka, memungkinkan menterinya untuk menyerang!
Akan tetapi, sekarang rumah itu ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-ciangkun yang bernama Kwee An. Bagi para pembaca yang pernah membaca cerita Pendekar Bodoh , tentu tahu bahwa Kwee An ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang menjadi nyonya Sie Cin Hai.
Kwee An memiliki ilmu silat yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang dari jago tua Eng Yang Cu, seorang tosu tokoh dari Kim-san-pai yang termasyhur. Selain mendapat gemblengan ilmu silat dari tokoh Kim-san-pai ini, juga Kwee An pernah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas dan aneh dari seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu, ilmu silat Kwee An amat tinggi dan namanya pun amat terkenal di kalangan kang-ouw.
Isteri dari Kwee An juga seorang puteri dari seorang pembesar kerajaan, dan isterinya ini bernama Ma Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu silat, Ma Hoa ini tidak berada di sebelah bawah suaminya, karena selain mendapat pelajaran ilmu silat dari suhunya yang juga dianggap sebagai ayah angkat sendiri, yaitu Nelayan Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran Ilmu Silat Bambu Runcing yang amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib yang dianggap menjadi tokoh nomor satu dari daerah timur!
Saudara kandung dari Kwee An yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersama suaminya di Propinsi An-hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang kini hidup sebagai seorang hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng kuno di luar tembok kota Tiang-an di sebelah barat.
Kwee An hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun. Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga anggrek. Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek di waktu terang bulan!
Dalam usia sembilan tahun, Goat Lan telah kelihatan bahwa kelak ia akan menjadi seorang gadis yang amat manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan amat dimanja oleh kedua orang tuanya, maka ia menjadi nakal sekali. Semenjak kecil ia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya bahkan ia telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya, sungguhpun permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka.
Akan tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu gin-kang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun ia telah dapat melompat tinggi dan seringkali ia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang pohon-pohon tinggi!
Yang mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga seringkali kedua orang tuanya saling pandang heran karena baik Kwee An maupun Ma Hoa kurang suka mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera?
“Agaknya ia mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!” pernah Kwee An berkata secara berkelakar kepada isterinya.
“Tak mungkin!” bantah Ma Hoa. “Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya, karena mendiang ayahku memang suka sekali akan kesusastraan.”
Memang anak itu amat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno dan sajak-sajak baru, dan selain itu ia pun amat suka melukis. Maka tidak heran apabila Goat Lan suka sekali pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong mengunjungi pek-hunya, oleh karena Kwee Tiong memang semenjak menjadi hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan.
Dari Kwee Tiong ia mendapat tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali ia datang ke kuil itu, selalu pek-hunya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya sajak-sajak baru yang amat indah.
Kwee An maklum bahwa kakaknya yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk menghibur hati Kwee Tiong, ia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi pekhunya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di kelenteng itu.
Dahulu Kelenteng Ban-hok-tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan terlantar. Akan tetapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi hwesio.
Ketika Tong Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan kepada Kwee Tiong, maka Ban-hok-tong telah mempunyai penghuni yang amat banyak. Tidak kurang dari dua puluh lima orang hwesio tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia.
Setelah menjadi ketua kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhunya menjadi Tiong Yu Hwesio itu, kini diubah lagi menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An, Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan dibawah bimbingannya, perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.
Semua hwesio yang berada di kelenteng itu, tua muda, amat suka dan sayang kepada Goat Lan yang mungil dan cerdik, dan diantara mereka ini, banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kesusastraan tinggi, maka di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju saja.
Selain kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dalam hal permainan catur, dan seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang mengajarkan main catur sekarang bahkan merasa amat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru berusia sernbilan tahun ini!
Pada suatu hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong. Ketika ia seorang diri memasuki halaman kelenteng, ia disambut oleh seorang hwesio pembersih halaman yang segera berkata,
“Kwee-siocia, baik sekali kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di kelenteng kita, dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!”
Goat Lan memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya,
“Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?”
“Entahlah, mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat tinggal merekag keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki kelenteng, mereka terus saja bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka tak pernah berhenti lagi. Aneh, aneh! Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu mereka karena betapapun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati.”
“Aku mau nonton mereka bertanding catur!” kata Goat Lan.
“Akan tetapi Siocia…”
“Ah, Pekhu takkan marah kepadaku!” Goat Lan memotong. “Lagi pula, aku pun tidak hendak mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?”
Sambil berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru saja tiba di luar ruangan itu, ia telah mencium bau arak yang amat wangi dan suara parau seorang berkata,
“Tianglo, kudamu terjebak! Ha, ha, ha, ha!”
Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam sebuah permainan.
“Hm, jangan bergirang-girang dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti seorang perajuritmu pun lumayan juga!” Terdengar suara lain yang tinggi kecil.
Goat Lan tak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang duduk bersila menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, benar seperti penuturan Thian Seng Hwesio tadi.
Orang pertama adalah seorang kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa digunakan oleh para hwesio untuk mencari dan mengumpulkan daun-daun obat, dan selain keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.
Orang ke dua juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh tahun. Sambil menghadapi papan caturnya, tiada hentinya tosu ini minum arak dari sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan tetapi guci arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas. Dari sinilah tersiarnya bau arak wangi tadi.
Melihat bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu Pendek ini. Akan tetapi ia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli ketika mendengar hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat kecil dan tinggi.
“Im-yang Giok-cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita penyakit dalam perutmu.”
Tosu itu tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau.
“Sin-kong Tianglo, kau boleh memberi nasihat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi kalau kau memberi nasihat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!” Kembali ia tertawa.
“Aku tahu bahwa kau berjuluk Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi betapapun juga, kau hanyalah seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Agaknya kau tidak menghendaki usia panjang.”
Mendengar percakapan dan melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu telah mempengaruhi mereka sehingga mereka menjadi panas!
“Sin-kong Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tidak butuh pertolongan dan nasihatmu. Lebih baik kau curahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat, rajamu terancam bahaya maut, Ha, ha, ha!”
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan biji caturnya dan memang benar, kedudukan raja dari barisan catur hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.
Mereka kembali memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan, sehingga keadaan menjadi sunyi dan bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali mengapa bunyi pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama!
Memang kedudukan raja hitam dari hwesio itu amat terdesak dan terancam sehingga hwesio itu menatap papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi ia juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur.
Nampaknya kedua orang itu sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini telah mendekat dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.
“Gerakkan benteng melindungi raja!” tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar.
Melihat betapa raja hitam terdesak, tak terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak-gerak dan sungguhpun ia tidak tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan, akan tetapi oleh karena ia telah kehabisan jalan, ia lalu menggerakkan tangannya dan menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat Lan.
Tosu itu tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian sambil tertawa bergelak ia lalu makan benteng itu dengan kudanya.
“Benteng telah kurampas! Ha, ha, ha, kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha, ha, ha!” Tosu kate itu tertawa senang.
Akan tetapi suara ketawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, “Berhasil jebakan memancing kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan raja musuh!”
Bukan main girangnya hati hwesio itu. Tadinya memang ia tidak mengerti apakah kebaikannya memajukan benteng yang hanya diberikan dengan cuma-cuma kepada kuda lawan, tak tahunya bahwa dengan gerakannya memancing itu, kuda lawan meninggalkan depan raja sehingga kedudukan raja merah menjadi terbuka, memungkinkan menterinya untuk menyerang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar