“Bagus, bagus!” katanya girang sambil mengajukan menterinya yang kini seakan-akan menodong dada raja lawan dengan pedang. “Rajamu sekarang terjepit, Im-yang Giok-cu. Bagus!”
Wajah tosu yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba menjadi masam dan dengan mulut cemberut ia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat!
Sampai beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya kepandaian bermain catur kedua kakek ini masih amat rendah sehingga tiap kali raja mereka terancam bahaya, mereka menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana!
“Ha, Im-yang Giok-cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-yang Sin-na (nama ilmu-silat) kepadaku?” hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang.
Tosu itu tidak menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, memutar otak mencari jalan keluar bagi rajanya.
“Menteri setia bergerak melindungi raja, kalau perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!” tiba-tiba Goat Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu!
Anak ini merasa tak sabar sekali mengapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur sehingga serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya!
Bercahayalah wajah tosu kecil itu.
“Ha, ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha, ha, ha! Hayo, Tianglo, kalau berani, kita bersama korbankan menteri!”
Ia lalu menggeser menterinya ke kiri dan melindungi raja merah daripada ancaman menteri hitam.
Hwesio itu menjadi penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian ia memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.
“Memang zaman sekarang ini zaman buruk! Anak-anak saja sudah kehilangan kesetiaannya, suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!”
Goat Lan adalah seorang anak yang berotak cerdik dan ia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan hwesio itu sungguhpun hanya menyindir, namun Goat Lan dapat menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap tidak setia karena baru saja membantu hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu!
Ia lalu menggunakan pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab sindiran ini, kemudian ia berkata dengan suara nyaring, seakan-akan membaca kitab dan tidak ditujukan kepada siapapun juga.
“Membantu yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!”
Ini adalah ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang pernah membaca kitab-kitab peninggalan para pujangga zaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil, kedua orang kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.
“Otak yang baik!” Si Hwesio memuji. “Sayang agak lancang!”
Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan kini ia membelakangi Goat Lan!
“Benar-benar pandai!” Si Tosu juga memuji. “Sayang ia perempuan!”
Dan tosu ini pun tanpa menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.
Melihat gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimanakah orang dapat pindah duduknya tanpa menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda yang dapat menggelinding dengan sendirinya.
Akan tetapi, anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang menggunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan bersila dapat pindah tempat.
Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah. Kini ia duduk di belakang hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan kedua kakinya menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan mengerahkan gin-kangnya, maka tiba-tiba tubuhnya yang kecil itu mencelat naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya menjadi seperti tadi dan ia dapat melihat papan catur itu seperti tadi!
“Ah, tidak jelek!” kata hwesio gemuk itu.
“Bagus!” Si Tosu juga memuji.
“Inilah murid yang pantas untukku!” kata pula hwesio itu.
“Tidak! Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!”
Kini kedua orang kakek itu saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Kalau tadi mereka panas karena permainan catur, kini mereka menjadi panas karena hendak memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan diam saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu.
“Im-yang Giok-cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, ia berhak mendapatkan murid ini.”
“Boleh, boleh! Sekarang giliranmu, hayo kau teruskan!”
Sin Kong Tianglo lalu menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu mendapat petunjuk dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan!
Memang anak ini ahli main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang kakek itu merasa tegang karena seringkali raja mereka terkurung, akan tetapi juga seringkali mendesak lawan sehingga seakan-akan merekalah yang bertanding, bukan biji-biji catur.
Betapapun juga, yang menjadi pengatur adalah Goat lan yang benar-benar tidak berat sebelah, maka setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan pertandingan itu masih sama kuatnya!
Mereka bertiga, hwesio, tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun sehingga mereka tidak melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang menonton pula pertandingan catur aneh itu!
Tak seorang pun diantara mereka berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah akan menjadi marah.
Akan tetapi Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhir pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal hanyalah si raja merah dan si raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang!
Thian Tiong Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu Kate itu melompat berdiri dan berkata,
“Sin Kong Tianglo, kau harus mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini.”
Hwesio gemuk itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu berkata,
“Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji bahwa siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?”
“Akan tetapi dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!” seru Si Tosu.
Hwesio itu tersenyum.
“Apakah kita hanya dapat bermain catur dan tidak memiliki ilmu kepandaian lain? Kita belum mencoba kepandaian yang lain untuk menentukan kemenangan.”
“Ho, ho! Kau mau mengajak main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!” kata tosu itu sambil melangkah keluar, membawa guci araknya.
“Aku ingin merasakan kelihaianmu!” kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa keranjang obat dan pisaunya.
Sementara itu, ketika mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan Goat Lan sambil berkata,
“Goat Lan kau telah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang Suhu!”
“Tidak, Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!”
“Eh, anak nakal!” kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang kakek yang lihai ini memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid. “Kau harus pulang, biar aku sendiri mengantarmu!”
Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap!
Thian Tiong Hosiang yang merasa khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan menimbulkan keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam kota pada malam hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para hwesio yang berada di situ,
“Cari dia dan antarkan pulang ke kota!”
Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua orang kakek itu.
Karena malam amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu amat luas dengan kebun bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan obor. Akan tetapi dicari-cari kemanapun juga, tidak nampak bayangan Goat Lan!
Ketika para pencari yang memegang obor itu tiba di halaman tengah, mereka rnelihat betapa dua orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik dan berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di situ menjadi terang sekali. Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal tadi!
Thian Tiong Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah berkali-kali berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu, akan tetapi kedua orang kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya.
Thian Tiong Hosiang menjadi bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biarpun ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi ia maklum bahwa kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apabila dibandingkan dengan kedua orang kakek itu. Apalagi ketika ia mendengar dari para hwesio bahwa Goat Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya bertambah, maka ia lalu keluar dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-an, mencari adiknya, Kwee An atau ayah Goat Lan!
Sementara itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri ketika hendak dipaksa pulang oleh pekhunya, sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat bersembunyi di balik batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar kelenteng itu, kemudian ketika banyak hwesio mencarinya, ia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng.
Dengan bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat pula pertempuran antara kedua orang kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai daripada pertandingan catur tadi!
Sebetulnya, siapakah kedua orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama mereka?
Tidak heran bahwa Thian Tiong Hosiang merasa terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah nama-nama tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw.
Sin Kong Tianglo, hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang terkenal sekali dari Pegunungan Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, ia juga terkenal dengan kepandaiannya sebagai ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat).
Biarpun tempat pertapaannya di Pegunungan Go-bi-san, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun-daun dan akar-akar obat yang kemudian dipergunakan untuk menolong orang-orang yang menderita sakit.
Wajah tosu yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba menjadi masam dan dengan mulut cemberut ia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat!
Sampai beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya kepandaian bermain catur kedua kakek ini masih amat rendah sehingga tiap kali raja mereka terancam bahaya, mereka menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana!
“Ha, Im-yang Giok-cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-yang Sin-na (nama ilmu-silat) kepadaku?” hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang.
Tosu itu tidak menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, memutar otak mencari jalan keluar bagi rajanya.
“Menteri setia bergerak melindungi raja, kalau perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!” tiba-tiba Goat Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu!
Anak ini merasa tak sabar sekali mengapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur sehingga serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya!
Bercahayalah wajah tosu kecil itu.
“Ha, ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha, ha, ha! Hayo, Tianglo, kalau berani, kita bersama korbankan menteri!”
Ia lalu menggeser menterinya ke kiri dan melindungi raja merah daripada ancaman menteri hitam.
Hwesio itu menjadi penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian ia memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.
“Memang zaman sekarang ini zaman buruk! Anak-anak saja sudah kehilangan kesetiaannya, suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!”
Goat Lan adalah seorang anak yang berotak cerdik dan ia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan hwesio itu sungguhpun hanya menyindir, namun Goat Lan dapat menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap tidak setia karena baru saja membantu hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu!
Ia lalu menggunakan pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab sindiran ini, kemudian ia berkata dengan suara nyaring, seakan-akan membaca kitab dan tidak ditujukan kepada siapapun juga.
“Membantu yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!”
Ini adalah ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang pernah membaca kitab-kitab peninggalan para pujangga zaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil, kedua orang kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.
“Otak yang baik!” Si Hwesio memuji. “Sayang agak lancang!”
Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan kini ia membelakangi Goat Lan!
“Benar-benar pandai!” Si Tosu juga memuji. “Sayang ia perempuan!”
Dan tosu ini pun tanpa menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.
Melihat gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimanakah orang dapat pindah duduknya tanpa menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda yang dapat menggelinding dengan sendirinya.
Akan tetapi, anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang menggunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan bersila dapat pindah tempat.
Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah. Kini ia duduk di belakang hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan kedua kakinya menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan mengerahkan gin-kangnya, maka tiba-tiba tubuhnya yang kecil itu mencelat naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya menjadi seperti tadi dan ia dapat melihat papan catur itu seperti tadi!
“Ah, tidak jelek!” kata hwesio gemuk itu.
“Bagus!” Si Tosu juga memuji.
“Inilah murid yang pantas untukku!” kata pula hwesio itu.
“Tidak! Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!”
Kini kedua orang kakek itu saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Kalau tadi mereka panas karena permainan catur, kini mereka menjadi panas karena hendak memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan diam saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu.
“Im-yang Giok-cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, ia berhak mendapatkan murid ini.”
“Boleh, boleh! Sekarang giliranmu, hayo kau teruskan!”
Sin Kong Tianglo lalu menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu mendapat petunjuk dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan!
Memang anak ini ahli main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang kakek itu merasa tegang karena seringkali raja mereka terkurung, akan tetapi juga seringkali mendesak lawan sehingga seakan-akan merekalah yang bertanding, bukan biji-biji catur.
Betapapun juga, yang menjadi pengatur adalah Goat lan yang benar-benar tidak berat sebelah, maka setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan pertandingan itu masih sama kuatnya!
Mereka bertiga, hwesio, tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun sehingga mereka tidak melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang menonton pula pertandingan catur aneh itu!
Tak seorang pun diantara mereka berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah akan menjadi marah.
Akan tetapi Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhir pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal hanyalah si raja merah dan si raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang!
Thian Tiong Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu Kate itu melompat berdiri dan berkata,
“Sin Kong Tianglo, kau harus mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini.”
Hwesio gemuk itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu berkata,
“Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji bahwa siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?”
“Akan tetapi dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!” seru Si Tosu.
Hwesio itu tersenyum.
“Apakah kita hanya dapat bermain catur dan tidak memiliki ilmu kepandaian lain? Kita belum mencoba kepandaian yang lain untuk menentukan kemenangan.”
“Ho, ho! Kau mau mengajak main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!” kata tosu itu sambil melangkah keluar, membawa guci araknya.
“Aku ingin merasakan kelihaianmu!” kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa keranjang obat dan pisaunya.
Sementara itu, ketika mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan Goat Lan sambil berkata,
“Goat Lan kau telah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang Suhu!”
“Tidak, Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!”
“Eh, anak nakal!” kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang kakek yang lihai ini memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid. “Kau harus pulang, biar aku sendiri mengantarmu!”
Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap!
Thian Tiong Hosiang yang merasa khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan menimbulkan keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam kota pada malam hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para hwesio yang berada di situ,
“Cari dia dan antarkan pulang ke kota!”
Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua orang kakek itu.
Karena malam amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu amat luas dengan kebun bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan obor. Akan tetapi dicari-cari kemanapun juga, tidak nampak bayangan Goat Lan!
Ketika para pencari yang memegang obor itu tiba di halaman tengah, mereka rnelihat betapa dua orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik dan berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di situ menjadi terang sekali. Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal tadi!
Thian Tiong Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah berkali-kali berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu, akan tetapi kedua orang kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya.
Thian Tiong Hosiang menjadi bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biarpun ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi ia maklum bahwa kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apabila dibandingkan dengan kedua orang kakek itu. Apalagi ketika ia mendengar dari para hwesio bahwa Goat Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya bertambah, maka ia lalu keluar dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-an, mencari adiknya, Kwee An atau ayah Goat Lan!
Sementara itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri ketika hendak dipaksa pulang oleh pekhunya, sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat bersembunyi di balik batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar kelenteng itu, kemudian ketika banyak hwesio mencarinya, ia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng.
Dengan bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat pula pertempuran antara kedua orang kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai daripada pertandingan catur tadi!
Sebetulnya, siapakah kedua orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama mereka?
Tidak heran bahwa Thian Tiong Hosiang merasa terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah nama-nama tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw.
Sin Kong Tianglo, hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang terkenal sekali dari Pegunungan Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, ia juga terkenal dengan kepandaiannya sebagai ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat).
Biarpun tempat pertapaannya di Pegunungan Go-bi-san, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun-daun dan akar-akar obat yang kemudian dipergunakan untuk menolong orang-orang yang menderita sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar