Kedua orang kakek itu tercengang mendengar ucapan ini dan mereka memandang kepada Ma Hoa dengan heran.
“Ah, kau benar-benar seorang Ibu yang tidak sayang kepada anak! Anakmu akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, mengapa kau ribut-ribut menolaknya? Ketahuilah, andaikata kau hendak mencarikan guru bagi anakmu itu, biarpun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!” jawab Im-yang Giok-cu dengan penasaran. Memang Si Kate ini adatnya agak keras.
Kwee An merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak mempergunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang kakek yang hendak mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu, isterinya telah mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan berkata halus,
“Harap Ji-wi sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, amat berat untuk berpisah dengan anak kami yang hanya satu-satunya ini.”
Akan tetapi Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu tidak mempedulikannya, bahkan hwesio itu lalu bertanya kepada Ma Hoa.
“Kalau kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?”
Karena merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan menjawab,
“Kami sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!”
Tiba-tiba kedua orang kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.
“Im-yang Giok-cu, lihatlah! Kalau ibunya demikian bersemangat, apalagi anaknya! Anak itu sungguh bernasib baik mempunyai seorang ibu seperti ini!” kata hwesio itu.
Kemudian Im-yang Giok-cu memandang kepada Ma Hoa dan berkata dengan muka sungguh-sungguh,
“Nyonya muda, kau harus sadar bahwa zaman ini adalah zaman yang buruk. Kekacauan terjadi dimana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik ini? Apakah kau kira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang lebih baik daripada kami kepada anakmu ini?”
Melihat suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengahi, akan tetapi ia didahului oleh isterinya yang berkata marah,
“Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang lain. Tentang ilmu kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi? Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!”
Ucapan ini merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali!
Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.
“Bagus, bagus!” kata Im-yang Giok-cu. “Tianglo, kita telah bertemu dengan orang-orang yang bersemangat! Mari coba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!”
“Nanti dulu,” kata hwesio itu, “tantangan orang muda sekali-kali tak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik diatur begini saja!” Sambil berkata demikian ia memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa. “Kalian berdua main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, kalau kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga, kalian harus merelakan anakmu menjadi muridku!”
“Eh, bukan! Menjadi muridku!” kata tosu itu. Kembali mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.
“Kalau begini, takkan ada habisnya,” kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata, “Baiklah diatur begini, Im-yang Giok-cu. Kalau kita berdua kalah oleh orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih rendah dan tidak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua menjadi guru anak ini! Bagaimana?”
“Baik sekali!” kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa.
“Nah, kalian boleh maju, hendak kami lihat sampai dimana kepandaianmu hingga berani menolak kami sebagai guru-guru anakmu!”
Kedua orang kakek itu lalu bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanyalah isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka?
Ma Hoa memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, memang kedua orang kakek ini memandang rendah kepada mereka, ke dua, kalau anak tunggal mereka harus menjadi murid orang, terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai dimana kelihaian orang itu.
Maka berbareng dengan isterinya, ia pun lalu maju menyerang Sin Kong Tianglo, sedangkan Ma Hoa dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu sepasang bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar ibu jari tangannya!
Begitu sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena terkejut dan heran. Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan amat cepatnya menggerakkan sepasang bambu runcingnya, yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah yang berbahaya.
Juga Sin Kong Tianglo yang diserang oleh Kwee An yang menggunakan ilmu silat warisan Hek Moko, menjadi terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan pukulan ke arah lambung, sedangkan tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari terbuka mencengkeram pundak!
Keduanya cepat mengelak dan mengebutkan lengan baju untuk menolak dan membikin terpental tangan kedua suami isteri itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang ditangkis hanya miring kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan tidak terpengaruh oleh tangkisan ujung baju Im-yang Giok-cu.
“Hebat sekali!” seru Im-yang Giok-cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi digantungkan di punggung, dan kini ia lalu menyerang dengan guci araknya ke arah kepala Ma Hoa!
“Lihai juga!” Sin Kong Tianglo juga berseru memuji dan kakek ini lalu melanjutkan kata-katanya. “Orang muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai dimana kelihaianmu!”
Kwee An tidak ragu-ragu lagi dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu pedang Oei-kang-kiam yang bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam yang disebut baja kuning, karena itulah diberi nama Oei-kang-kiam (Pedang Baja Kuning).
Pedang ini adalah pemberian puteri kepala suku bangsa Haimi yang bernama Meilani dan yang jatuh cinta kepadanya sebelum ia menikah dengan Ma Hoa (baca Pendekar Bodoh). Kemudian ia menyerang lagi yang disambut oleh Sin Kong Tianglo dengan pisau dan keranjang obatnya.
Pertempuran berjalan berat sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa kedua orang kakek itu sama sekali tidak menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena memang mereka hanya bermaksud menguji kepandaian suami isteri itu.
Akan tetapi setelah bertempur beberapa puluh jurus lamanya, makin heranlah mereka berdua. Sin Kong Tianglo mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dari Kwee An benar-benar luar biasa dan tingkat kepandaian orang muda ini tidak kalah oleh tingkat kepandaian Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai. Juga ilmu pedang Kwee An biarpun sebagian menunjukkan pelajaran Kim-san-pai, namun tercampur dengan ilmu pedang lain yang aneh dan dahsyat! Memang, Kwee An telah mencampur-adukkan ilmu pedangnya dengan pelajaran-pelajaran yang ia terima dari Nelayan Cengeng dan Hek Moko.
Yang lebih-lebih merasa heran adalah Im-yang Giok-cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerangnya dengan sepasang bambu kuning ia telah merasa heran dan terkejut, karena senjata macam ini setahunya hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar dari timur, yakni Hok Peng Taisu.
Akan tetapi ia masih meragukan dugaannya ini dan melayani nyonya muda itu dengan guci araknya. Tidak disangkanya, permainan bambu kuning yang di kedua tangan nyonya muda ini demikian hebatnya sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya terkurung oleh ujung-ujung bambu kuning yang agaknya berubah menjadi puluhan batang banyaknya itu!
“Tahan dulu!” Im-yang Giok-cu berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong Tianglo.
Biarpun baru bertempur puluhan jurus, baik Kwee An maupun Ma Hoa maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi daripada tingkat mereka. Buktinya, selama itu mereka tak pernah membalas, dan hanya menangkis dan mengelak saja, dan pertahanan mereka begitu kuat biarpun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan Kwee An dan bambu kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi benteng baja yang kuat! Maka mendengar seruan Im-yang Giok-cu, mereka pun menahan senjata masing-masing.
Para hwesio dan juga Thian Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ, merasa kagum dan tidak ada yang mengeluarkan suara.
“Toanio, apakah kau murid Hok Peng Taisu?”
Ma Hoa menjura dan menjawab,
“Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhuku.”
Im-yang Giok-cu tiba-tiba tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar.
“Ha, ha, ha, inilah yang disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu! Ketahuilah, bahwa aku adalah Sute (Adik Seperguruan) dari Suhumu!”
Ma Hoa terkejut sekali, karena memang suhunya tak pernah mau menuturkan riwayatnya sehingga ia belum pernah tahu bahwa suhunya itu mempunyai seorang sute, bahkan sebenarnya Hok Peng Taisu mempunyai pula seorang suheng (kakak seperguruan).
Ia percaya penuh kepada orang tua ini karena tak mungkin orang berilmu tinggi seperti dia itu mau mendusta. Namun, Im-yang Giok-cu tersenyum dan melanjutkan,
“Tentu kau kurang percaya kalau belum dibuktikan. Memang ilmu bambu kuning itu adalah ciptaan suhengku sendiri sehingga aku tidak dapat memainkannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa dasar-dasar ilmu silat bambu runcing itu adalah ilmu silat Im-yang Kun-hwat dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa aku adalah Susiok (Paman Gurumu) sendiri!”
Ma Hoa sebetulnya sudah percaya, akan tetapi mendengar ucapan ini, ia mau mencobanya juga. Masa dalam sepuluh jurus ia akan dikalahkan? Ia lalu berkata,
“Maafkan kelancangan teecu (murid)!” lalu ia maju menyerang dengan bambu kuningnya.
Im-yang Giok-cu menggunakan gucinya menangkis dan tangan kirinya menyerang dengan cengkeraman ke arah pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat sekali sehingga Ma Hoa menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih terlampau gesit untuk dapat dikalahkan dalam segebrakan saja. Ia cepat menarik kembali tangannya yang dicengkeram dan melanjutkan serangannya dengan jurus kedua.
Kini Im-yang Giok-cu membalas setiap serangan dan gerakannya yang lambat itu sebetulnya tak dapat dikata lambat. Memang aneh, kalau tangan kanannya menangkis dengan lambat, tangan kirinya menyusul cepat sekali melakukan serangan, seakan-akan bahkan mendahului gerakan tangan kanan, dan demikian sebaliknya sehingga Ma Hoa menjadi bingung.
Tepat pada jurus ke sepuluh, ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan bambu kuning di tangan kanan pada leher kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan bambu kuning itu pada jalan darah hong-hut-hiat di dada, tiba-tiba Im-yang Giok-cu miringkan kepala dan secepat kilat menggigit bambu kuning yang tadinya menyerang leher itu, sedangkan ketika bambu kuning yang kedua menotok dadanya, ia cepat menggunakan ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga ketika bambu itu menotok jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi keras bagaikan batu karang dan sebelum ia hilang kagetnya, tangan kiri kakek itu telah menangkap bambunya! Dengan bambu kuning di tangan kiri terpegang, maka berarti ia telah kalah!
Ma Hoa melepaskan kedua senjatanya lalu berlutut dan menyebut,
“Susiok!”
Im-yang Giok-cu melepaskan kedua bambu kuning itu dan tertawa bergelak.
“Aduh, sungguh berbahaya! Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau takkan mengakui aku sebagai Paman Gurumu! Tidak mengecewakan kau menjadi murid Suhengku, sayang bahwa kau agaknya baru belajar belum lama dari Suhengku!”
Memang kata-kata ini benar karena sesungguhnya, Ma Hoa hanya belajar silat kepada Hok Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja (bacaPendekar Bodoh ).
“Ah, kau benar-benar seorang Ibu yang tidak sayang kepada anak! Anakmu akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, mengapa kau ribut-ribut menolaknya? Ketahuilah, andaikata kau hendak mencarikan guru bagi anakmu itu, biarpun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!” jawab Im-yang Giok-cu dengan penasaran. Memang Si Kate ini adatnya agak keras.
Kwee An merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak mempergunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang kakek yang hendak mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu, isterinya telah mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan berkata halus,
“Harap Ji-wi sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, amat berat untuk berpisah dengan anak kami yang hanya satu-satunya ini.”
Akan tetapi Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu tidak mempedulikannya, bahkan hwesio itu lalu bertanya kepada Ma Hoa.
“Kalau kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?”
Karena merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan menjawab,
“Kami sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!”
Tiba-tiba kedua orang kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.
“Im-yang Giok-cu, lihatlah! Kalau ibunya demikian bersemangat, apalagi anaknya! Anak itu sungguh bernasib baik mempunyai seorang ibu seperti ini!” kata hwesio itu.
Kemudian Im-yang Giok-cu memandang kepada Ma Hoa dan berkata dengan muka sungguh-sungguh,
“Nyonya muda, kau harus sadar bahwa zaman ini adalah zaman yang buruk. Kekacauan terjadi dimana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik ini? Apakah kau kira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang lebih baik daripada kami kepada anakmu ini?”
Melihat suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengahi, akan tetapi ia didahului oleh isterinya yang berkata marah,
“Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang lain. Tentang ilmu kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi? Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!”
Ucapan ini merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali!
Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.
“Bagus, bagus!” kata Im-yang Giok-cu. “Tianglo, kita telah bertemu dengan orang-orang yang bersemangat! Mari coba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!”
“Nanti dulu,” kata hwesio itu, “tantangan orang muda sekali-kali tak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik diatur begini saja!” Sambil berkata demikian ia memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa. “Kalian berdua main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, kalau kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga, kalian harus merelakan anakmu menjadi muridku!”
“Eh, bukan! Menjadi muridku!” kata tosu itu. Kembali mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.
“Kalau begini, takkan ada habisnya,” kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata, “Baiklah diatur begini, Im-yang Giok-cu. Kalau kita berdua kalah oleh orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih rendah dan tidak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua menjadi guru anak ini! Bagaimana?”
“Baik sekali!” kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa.
“Nah, kalian boleh maju, hendak kami lihat sampai dimana kepandaianmu hingga berani menolak kami sebagai guru-guru anakmu!”
Kedua orang kakek itu lalu bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanyalah isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka?
Ma Hoa memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, memang kedua orang kakek ini memandang rendah kepada mereka, ke dua, kalau anak tunggal mereka harus menjadi murid orang, terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai dimana kelihaian orang itu.
Maka berbareng dengan isterinya, ia pun lalu maju menyerang Sin Kong Tianglo, sedangkan Ma Hoa dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu sepasang bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar ibu jari tangannya!
Begitu sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena terkejut dan heran. Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan amat cepatnya menggerakkan sepasang bambu runcingnya, yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah yang berbahaya.
Juga Sin Kong Tianglo yang diserang oleh Kwee An yang menggunakan ilmu silat warisan Hek Moko, menjadi terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan pukulan ke arah lambung, sedangkan tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari terbuka mencengkeram pundak!
Keduanya cepat mengelak dan mengebutkan lengan baju untuk menolak dan membikin terpental tangan kedua suami isteri itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang ditangkis hanya miring kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan tidak terpengaruh oleh tangkisan ujung baju Im-yang Giok-cu.
“Hebat sekali!” seru Im-yang Giok-cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi digantungkan di punggung, dan kini ia lalu menyerang dengan guci araknya ke arah kepala Ma Hoa!
“Lihai juga!” Sin Kong Tianglo juga berseru memuji dan kakek ini lalu melanjutkan kata-katanya. “Orang muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai dimana kelihaianmu!”
Kwee An tidak ragu-ragu lagi dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu pedang Oei-kang-kiam yang bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam yang disebut baja kuning, karena itulah diberi nama Oei-kang-kiam (Pedang Baja Kuning).
Pedang ini adalah pemberian puteri kepala suku bangsa Haimi yang bernama Meilani dan yang jatuh cinta kepadanya sebelum ia menikah dengan Ma Hoa (baca Pendekar Bodoh). Kemudian ia menyerang lagi yang disambut oleh Sin Kong Tianglo dengan pisau dan keranjang obatnya.
Pertempuran berjalan berat sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa kedua orang kakek itu sama sekali tidak menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena memang mereka hanya bermaksud menguji kepandaian suami isteri itu.
Akan tetapi setelah bertempur beberapa puluh jurus lamanya, makin heranlah mereka berdua. Sin Kong Tianglo mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dari Kwee An benar-benar luar biasa dan tingkat kepandaian orang muda ini tidak kalah oleh tingkat kepandaian Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai. Juga ilmu pedang Kwee An biarpun sebagian menunjukkan pelajaran Kim-san-pai, namun tercampur dengan ilmu pedang lain yang aneh dan dahsyat! Memang, Kwee An telah mencampur-adukkan ilmu pedangnya dengan pelajaran-pelajaran yang ia terima dari Nelayan Cengeng dan Hek Moko.
Yang lebih-lebih merasa heran adalah Im-yang Giok-cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerangnya dengan sepasang bambu kuning ia telah merasa heran dan terkejut, karena senjata macam ini setahunya hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar dari timur, yakni Hok Peng Taisu.
Akan tetapi ia masih meragukan dugaannya ini dan melayani nyonya muda itu dengan guci araknya. Tidak disangkanya, permainan bambu kuning yang di kedua tangan nyonya muda ini demikian hebatnya sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya terkurung oleh ujung-ujung bambu kuning yang agaknya berubah menjadi puluhan batang banyaknya itu!
“Tahan dulu!” Im-yang Giok-cu berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong Tianglo.
Biarpun baru bertempur puluhan jurus, baik Kwee An maupun Ma Hoa maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi daripada tingkat mereka. Buktinya, selama itu mereka tak pernah membalas, dan hanya menangkis dan mengelak saja, dan pertahanan mereka begitu kuat biarpun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan Kwee An dan bambu kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi benteng baja yang kuat! Maka mendengar seruan Im-yang Giok-cu, mereka pun menahan senjata masing-masing.
Para hwesio dan juga Thian Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ, merasa kagum dan tidak ada yang mengeluarkan suara.
“Toanio, apakah kau murid Hok Peng Taisu?”
Ma Hoa menjura dan menjawab,
“Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhuku.”
Im-yang Giok-cu tiba-tiba tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar.
“Ha, ha, ha, inilah yang disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu! Ketahuilah, bahwa aku adalah Sute (Adik Seperguruan) dari Suhumu!”
Ma Hoa terkejut sekali, karena memang suhunya tak pernah mau menuturkan riwayatnya sehingga ia belum pernah tahu bahwa suhunya itu mempunyai seorang sute, bahkan sebenarnya Hok Peng Taisu mempunyai pula seorang suheng (kakak seperguruan).
Ia percaya penuh kepada orang tua ini karena tak mungkin orang berilmu tinggi seperti dia itu mau mendusta. Namun, Im-yang Giok-cu tersenyum dan melanjutkan,
“Tentu kau kurang percaya kalau belum dibuktikan. Memang ilmu bambu kuning itu adalah ciptaan suhengku sendiri sehingga aku tidak dapat memainkannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa dasar-dasar ilmu silat bambu runcing itu adalah ilmu silat Im-yang Kun-hwat dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa aku adalah Susiok (Paman Gurumu) sendiri!”
Ma Hoa sebetulnya sudah percaya, akan tetapi mendengar ucapan ini, ia mau mencobanya juga. Masa dalam sepuluh jurus ia akan dikalahkan? Ia lalu berkata,
“Maafkan kelancangan teecu (murid)!” lalu ia maju menyerang dengan bambu kuningnya.
Im-yang Giok-cu menggunakan gucinya menangkis dan tangan kirinya menyerang dengan cengkeraman ke arah pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat sekali sehingga Ma Hoa menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih terlampau gesit untuk dapat dikalahkan dalam segebrakan saja. Ia cepat menarik kembali tangannya yang dicengkeram dan melanjutkan serangannya dengan jurus kedua.
Kini Im-yang Giok-cu membalas setiap serangan dan gerakannya yang lambat itu sebetulnya tak dapat dikata lambat. Memang aneh, kalau tangan kanannya menangkis dengan lambat, tangan kirinya menyusul cepat sekali melakukan serangan, seakan-akan bahkan mendahului gerakan tangan kanan, dan demikian sebaliknya sehingga Ma Hoa menjadi bingung.
Tepat pada jurus ke sepuluh, ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan bambu kuning di tangan kanan pada leher kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan bambu kuning itu pada jalan darah hong-hut-hiat di dada, tiba-tiba Im-yang Giok-cu miringkan kepala dan secepat kilat menggigit bambu kuning yang tadinya menyerang leher itu, sedangkan ketika bambu kuning yang kedua menotok dadanya, ia cepat menggunakan ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga ketika bambu itu menotok jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi keras bagaikan batu karang dan sebelum ia hilang kagetnya, tangan kiri kakek itu telah menangkap bambunya! Dengan bambu kuning di tangan kiri terpegang, maka berarti ia telah kalah!
Ma Hoa melepaskan kedua senjatanya lalu berlutut dan menyebut,
“Susiok!”
Im-yang Giok-cu melepaskan kedua bambu kuning itu dan tertawa bergelak.
“Aduh, sungguh berbahaya! Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau takkan mengakui aku sebagai Paman Gurumu! Tidak mengecewakan kau menjadi murid Suhengku, sayang bahwa kau agaknya baru belajar belum lama dari Suhengku!”
Memang kata-kata ini benar karena sesungguhnya, Ma Hoa hanya belajar silat kepada Hok Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja (bacaPendekar Bodoh ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar