*

*

Ads

Minggu, 20 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 016

Kita tinggalkan dulu Goat Lan yang sedang dibawa oleh kedua orang suhunya untuk berlatih silat di atas puncak Bukit Liong-ki-san, sebuah bukit yang puncaknya nampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Lili atau Sie Hong Li puteri dari Pendekar Bodoh yang ikut merantau bersama suhunya, yaitu Sinkai Lo Sian si Pengemis Sakti itu.

Karena setiap kali ditanya tentang orang tuanya, Lili tak pernah mau mengaku lambat-laun Lo Sian tidak mau bertanya lagi dan ia pun telah merasa suka sekali kepada muridnya yang jenaka ini. Ia merasa hidupnya berubah menjadi penuh kegembiraan setelah ia mendapatkan murid ini dan ia membawa Lili ke tempat-tempat yang indah dan kota-kota yang besar sambil memberi latihan silat kepada muridnya.

Lili juga terhibur dan merasa suka suhunya yang ramah tamah dan tidak galak. Di dekat suhunya ia merasa seakan-akan dekat dengan engkongnya (kakeknya), Yousuf atau Yo Se Fu. Kadang-kadang memang amat rindu kepada ayah bundanya dan kepada kakeknya, akan tetapi anak yang memiliki kekerasan hati luar biasa ini dapat menekan perasaannya dan sama sekali tak pernah memperlihatkan kelemahan hati dan kerinduannya.

Lo Sian membawa muridnya merantau ke barat. Pada suatu hari mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang belum pernah dimasuki Lo Sian. Hutan itu besar sekali, penuh dengan pohon-pohon yang ratusan tahun usianya.

“Mari kita mempercepat perjalanan kita,” ajaknya kepada Lili yang sebentar-sebentar berhenti untuk memetik kembang.

Ia tertawa geli dan juga kagum melihat Lili memetik setangkai kembang mawar yang ditancapkan di atas telinga kanan, bunga itu berwarna putih sehingga pantas sekali dengan bajunya yang merah.

“Hayo kita berlari cepat, Lili. Hari telah mulai gelap dan sebentar lagi malam akan tiba. Kalau kita kemalamam di hutan ini, tentu terpaksa kita harus tidur di atas pohon!”

“Tidak apa, Suhu,” jawab Lili sambil tertawa. “Teecu takkan jatuh lagi.”

Suhunya tertawa. Muridnya ini memang luar biasa tabahnya. Beberapa hari yang lalu ketika mereka kemalaman dalam sebuah hutan dan tidur di atas cabang pohon besar di dalam tidurnya Lili bermimpi dan ngelindur sehingga terpelanting jatuh dari atas pohon!

Akan tetapi, anak ini benar-benar memiliki ketenangan dan hati yang berani sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, ia telah sadar dan dapat mempergunakan gin-kangnya yang sudah baik sekali itu untuk mengatur keseimbangan tubuh dan dapat melompat turun dengan baik.

Kalau ia tidak tenang dan berlaku cepat, setidaknya tentu akan menderita tulang patah! Akan tetapi, Lili tidak menjadi pucat atau ketakutan sedikit pun, bahkan tertawa-tawa ketika suhunya melompat ke bawah dan bertanya kepadanya.

“Suhu, aku bermimpi berkelahi dengan monyet di atas pohon dan aku tergelincir jatuh!” katanya sambit tertawa!

Kini mereka mempergunakan kepandaian berlari cepat dan dalam kepandaian ini, Lili benar-benar memiliki kecepatan yang mengagumkan. Sebelum menjadi murid Lo Sian, gadis cilik ini memang telah memiliki gin-kang luar biasa berkat latihan ayah bundanya. Oleh karena ia telah memiliki dasar-dasar untuk pelajaran ilmu silat tinggi, maka dengan mudah Lo Sian menambah pengetahuan dan kepandaian muridnya itu yang dapat menangkap dan mempelajari serta melatih dengan lancar dan mudah sekali.

Ketika mereka hampir keluar dari hutan, tiba-tiba Lo Sian menahan larinya dan memandang ke kiri, Lili juga menahan tindakannya dan ikut memandang karena wajah suhunya memperlihatkan keheranan.

Memang aneh, di tempat yang sunyi itu tersembunyi di balik pohon-pohon besar, kelihatan sebuah bangunan kelenteng yang mentereng dan bersih sekali. Lantainya mengkilap dan temboknya terkapur putih bersih. Benar-benar mengherankan sekali.

“Eh, Suhu. Rumah siapakah begini indah di dalam hutan ini?”

“Sstt, aku pun sedang heran memikirnya. Mari kita menyelidiki, aku ingin sekali tahu.”

Lo Sian dengan diikuti oleh Lili lalu menyelinap di antara pohon-pohon itu dan mendekati bangunan yang besar dan indah tadi. Karena di bagian depan nampak kosong dan sunyi, mereka lalu mengitari rumah itu dan akhirnya tiba di sebelah belakang. Lo Sian mengajak Lili mendekati kelenteng itu dan tiba-tiba mereka mendengar suara anak kecil tertawa-tawa penuh ejekan. Lo Sian dan Lili menghampiri dan bersembunyi di balik daun-daun pohon.






Alangkah terkejut dan heran hati mereka ketika melihat dua orang anak laki-laki di ruang belakang yang berlantai mengkilap itu. Seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan Lili nampak terikat tangannya di belakang dan bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang kurus dan perutnya yang gembung.

Melihat wajahnya yang pucat dan perutnya yang gembung itu dapat diduga bahwa dia adalah seorang anak miskin yang seringkali menderita kelaparan dan agaknya perutnya yang gendut itu penuh dengan cacing!

Di depan anak kecil yang terikat tangannya itu berdiri seorang hwesio kecil-kecil yang berkepala gundul licin. Hwesio kecil ini memegang sebatang pisau belati dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menuding ke arah anak yang terikat itu. Suara ketawa tadi adalah suara ketawa dari si hwesio itu.

“Ha, ha, ha! Hendak kulihat kebenaran kata-kata Suhu,” terdengar hwesio kecil itu berkata. “Kalau orang kurus perutnya gendut, itu berarti bahwa perutnya penuh cacing! Aku tidak percaya keterangan Suhu ini karena biasanya cacing berada di dalam tanah, mana bisa berada di dalam perutmu? Kau datang mencuri makanan dan sudah sepatutnya mendapat sedikit hukuman. Aku tidak akan membinasakanmu, hanya akan membuktikan kebenaran ucapan Suhu. Kalau betul di dalam perutmu terdapat banyak cacing, alangkah lucunya…! Ha, ha, biarlah aku menolongmu dan hanya melenyapkan cacing-cacing dari dalam perutmu. Aku adalah ahli bedah yang pandai!”

Sambil berkata demikian, hwesio kecil itu menunjuk-nunjuk perut yang gendut dari anak yang terikat kedua tangannya itu. Sungguh mengagumkan sekali anak kecil yang terikat itu tidak menjadi ketakutan mendengar ini, bahkan lalu tertawa!

“Kau hwesio gila, seperti gurumu! Memang kau dan gurumu orang-orang gila yang pura-pura menjadi hwesio. Aku memang hendak mencuri makanan karena perutku lapar. Sekarang kau telah menangkapku, mau bunuh mau sembelih, atau mau membedah perutku, terserah. Aku tidak takut!”

“Bagus, maling hina-dina! Sekarang juga aku akan mengeluarkan cacing dari perutmu yang buncit ini!”

Hwesio kecit itu melangkah maju dan dengan tangan kirinya meraba-raba perut anak kecil yang terikat tangannya, seakan-akan hendak memilih tempat yang tepat untuk dibelek!

“Suhu…” dengan mata terbelalak Lili menoleh kepada suhunya dan menunjuk ke arah kedua anak itu, “hwesio gila itu hendak membunuhnya!”

Lo Sian juga merasa terkejut sekali melihat kelakuan hwesio itu dan diam-diam ia mengagumi anak miskin itu, maka ia mengambil keputusan hendak menolongnya. Pohon di belakang mana mereka bersembunyi mempunyai banyak buah-buah kecil dan cukup keras. Ia memetik sebutir buah yang tergantung paling rendah dan pada saat hwesio kecil itu hendak mulai dengan perbuatannya yang keji, Lo Sian menggerakkan tangannya. Buah kecil itu meluncur cepat sekali dan dengan tepat menghantam ke arah pergelangan hwesio kecil yang memegang pisau!

Akan tetapi, ternyata hwesio yang masih kecil dan usianya sebaya dengan anak miskin itu, amat lihai dan agaknya dapat mendengar suara sambaran buah itu. Ia menarik tangannya dan buah itu kini menyambar ke arah pisau yang dipegangnya!

“Trang…!”

Pisau itu jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan hwesio kecil itu melompat mundur dengan cepat dan kaget.

Pada saat itu, Lo Sian dan Lili melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke dalam ruang itu. Hwesio kecil yang berhati kejam itu ketika melihat dua orang muncul dari balik pohon, segera membungkuk dan memungut pisaunya tadi. Ia melihat kepada Lo Sian dan dengan berani sekali, ia menyambut kedatangan Lo Sian dengan serangan pisaunya!

Si Pengemis Sakti terkejut juga melihat betapa serangan ini cukup hebat dan berbahaya, maka ia lalu miringkan tubuhnya dan mengulur tangan hendak merampas pisau itu. Namun, alangkah herannya ketika hwesio kecil itu dapat mengelak pula!

Sementara itu, Lili segera menghampiri anak terikat tangannya dan segera membuka ikatan tangan. Anak itu memandang kepadanya dengah mata mengandung rasa terima kasih akan tetapi mereka berdua lalu berpaling menonton pertempuran antara Lo Sian dan hwesio kecil tadi.

Sebetulnya tak tepat disebut pertempuran, oleh karena Lo Sian sebetulnya hanya ingin mencoba sampai dimana kelihaian anak ini dan sengaja tidak membalas. Ia memperhatikan gerakan hwesio itu dan diam-diam ia merasa terkejut sekali ketika mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh hwesio kecil itu. Ia cepat mengulur tangan dan dengan gerakan kilat berhasil menotok pundak hwesio itu yang segera roboh dengan lemas.

Ternyata bahwa Lo Sian telah menotok jalan darahnya yang membuatnya menjadi lemas dan tak berdaya, sungguhpun totokan itu tidak mendatangkan rasa sakit.

“Hayo kita cepat pergi dari sini!” kata Lo Sian kepada Lili dan anak itu.

Karena maklum bahwa anak miskin itu tak dapat berlari cepat, Lo Sian lalu memegang tangannya dan sebentar kemudian anak itu merasa terheran-heran karena kedua kakinya tidak menginjak tanah dan tubuhnya melayang-layang ditarik oleh pengemis aneh yang menolongnya.

Lili merasa heran sekali melihat betapa suhunya berlari seakan-akan takut pada sesuatu, akan tetapi melihat kesungguhan wajah suhunya, ia tidak banyak bertanya dan mengikuti suhunya dengan cepat.

Setelah senja berganti malam dan keadaan menjadi gelap, mereka tiba di luar dusun yang berdekatan dengan hutan itu, dan barulah Lo Sian menghentikan larinya. Akan tetapi pengemis sakti itu masih nampak gelisah dan berkata,

“Kita bermalam disini saja.” Lalu ia mengajak Lili dan anak miskin itu duduk di tempat yang jauh dari jalan kecil menuju ke kampung, bersembunyi di balik gerombolan pohon.

“Mengapa kita tidak mencari tempat penginapan di dusun, Suhu?”

Suhunya menggelengkan kepala.
“Terlalu berbahaya.”

“Suhu, mengapa Suhu melarikan diri? Apakah yang ditakutkan? Hwesio kecil itu sudah kalah dan mengapa kita harus berlari-lari ketakutan?” tanya Lili dengan suara mengandung penuh penasaran.

“Kau tidak tahu, Lili. Hwesio kecil itu melihat dari gerakan ilmu silatnya, tentu seorang pelayan atau murid dari seorang tua yang amat jahat dan lihai. Kalau betul dugaanku, maka berbahayalah apabila kita bertemu dengan dia!”

“Siapakah orang jahat itu, Suhu?”

Lo Sian menghela napas.
“Dia itu adalah Ban Sai Cinjin, seorang pertapa yang amat sakti dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi juga amat jahat dan kejam. Aku sama sekali tidak kuat menghadapinya. Kepandaiannya amat tinggi dan ilmu silatnya luar biasa sekali. Pernah aku melihat ia menghajar lima orang kang-ouw yang gagah, dan karena itu ketika aku melihat gerakan hwesio kecil tadi, aku dapat menduga bahwa kepandaian hwesio kecil itu tentu datang dari Ban Sai Cinjin!”

“Akan tetapi, Suhu…” Tiba-tiba Lo Sian menggunakan tangannya untuk menutup mulut muridnya.

“Ssshhh…” bisiknya. Lili menjadi heran, dan anak miskin itu pun diam tak berani berkutik sedikit pun.

Tak lama kemudian terlihat bayangan orang dalam gelap yang bergerak cepat sekali. Bayangan itu setelah dekat ternyata adalah bayangan seorang tua yang gemuk sekali, agak pendek dan gerakan kedua kakinya ketika berlari di atas jalan kecil menuju ke dusun itu benar-benar hebat!

Liti melihat betapa kedua kaki orang tua gemuk pendek itu seakan-akan tidak menginjak tanah akan tetapi jelas sekali kelihatan betapa tanah yang dilalui oleh orang itu melesak ke dalam karena injakan kakinya ketika berlari!

Ketika orang yang berlari itu berkelebat di dekat tempat mereka bersembunyi, Lili mendengar suara yang parau dari orang itu berkata-kata seorang diri bagaikan sedang berdoa,

“Siauw-koai (Setan Kecil), Lo-koai (Setan Besar), semua harus tunduk kepadaku!”

Ucapan ini terdengar berkali-kali, makin lama makin perlahan sehingga akhirnya lenyap bersama bayangan orang gemuk yang luar biasa itu! Ternyata bahwa ia lari menghilang ke dalam dusun di depan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar