*

*

Ads

Minggu, 20 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 017

Barulah Lo Sian bergerak dan menghela napas ketika orang itu telah pergi dan lenyap. “Hebat…!” bisiknya.

“Suhu, dia itukah orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin?”

Gurunya mengangguk di dalam gelap.
“Sekarang dia sedang mencari kita di dusun itu dan kalau kita tadi bermalam disana, tentu kita semua akan tewas di dalam tangannya yang kejam.”

“Akan tetapi, Suhu. Ia kelihatan bukan seperti seorang hwesio. Kepalanya biarpun botak, akan tetapi tidak gundul dan pakaiannya mewah sekali!”

“Memang aneh. Dulu ia gundul dan berpakaian seperti hwesio. Heran benar, sekarang ia agaknya telah menjadi orang biasa dan bajunya yang dari bulu itu benar-benar menandakan bahwa ia seorang kaya raya! Aneh!”

Kalau Lili dan Lo Sian dapat melihat keadaan orang yang lewat tadi dengan jelas, adalah anak miskin itu hanya melihat bayangannya yang berkelebat saja.

“Memang Ban Sai Cinjin seorang kaya!” katanya. “Kaya raya, kejam, dan gila!”

Setelah mendengar suara ini, barulah Lo Sian agaknya teringat bahwa ada orang lain di situ. Ia memandang kepada anak miskin itu dan bertanya,

“Anak yang malang, siapakah kau dan coba ceritakan pula keadaan Ban Sai Cinjin yang kau ketahui.”

Anak itu lalu menceritakan bahwa ia bernama Thio Kam Seng, yatim piatu semenjak kecil karena ayah bundanya meninggal dunia karena sakit dan kelaparan. Semenjak usia enam tahun ia hidup seorang diri sebagai seorang pengemis, merantau dari kota ke kota dan dari dusun ke dusun.

Akhirnya ia sampai di dusun Tong-sim-bun di depan itu dan telah setahun lebih ia tinggal di dusun itu dan hidup sebagai seorang pengemis. Ia mengetahui tentang Ban Sai Cinjin yang dikatakan sebagai seorang hartawan besar, mempunyai banyak rumah dan toko di dusun itu, bahkan telah mendirikan sebuah kelenteng besar di dalam hutan sebagai tempat pertapaannya!

Watak dari Ban Sai Cinjin yang kejam dan aneh itu memang telah terkenal, akan tetapi oleh karena orang tua ini amat kaya, dan pula tinggi kepandaiannya, tak seorang pun berani mencelanya.

“Aku mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hidup mewah di dalam kelentengnya, bahkan sering mendatangkan penyanyi-penyanyi dari kota dan sering pula memesan masakan-masakan mewah, dan karena aku merasa amat lapar, aku mencoba untuk mencuri makanan di kelenteng itu. Sungguh celaka aku terlihat oleh hwesio kecil yang kejam itu dan hampir saja celaka kalau tidak mendapat pertolongan In-kong (Tuan Penolong).”

Lo Sian si Pengemis Sakti tidak mengira sama sekali bahwa Ban Sai Cinjin adalah guru dari orang yang menculik Lili! Memang, sesungguhnya Ban Sai Cinjin ini adalah pertapa sakti yang pernah memberi pelajaran silat kepada Bouw Hun Ti atau penculik Lili itu.

Kepandaian Ban Sai Cinjin memang hebat sekali dan setelah merasai kesenangan dunia, pertapa ini sekarang menjadi seorang yang mengumbar nafsunya. Ia dapat mengumpulkan harta kekayaan dan menjadi seorang hartawan besar, hidup mewah dan suka mengganggu anak bini orang.

Akan tetapi, untuk menutupi mata umum, ia mendirikan sebuah kelenteng besar dimana katanya digunakan sebagai tempat “menebus dosa” dan bersamadhi. Padahal sesungguhnya tempat ini merupakan tempat persembunyiannya dimana ia menghibur diri dengan cara yang amat tidak mengenal malu. Di tempat ini dapat berlaku leluasa jauh dari mata orang dusun atau orang kota.

Ban Sai Cinjin amat terkenal akan kelihaiannya dalam hal gin-kang dan lwee-kang juga senjatanya amat ditakuti orang. Senjata ini memang istimewa, karena merupakan huncwe (pipa tembakau) yang panjang dan terbuat daripada logam yang keras diselaput emas!

Pada waktu-waktu biasa, ia mempergunakan huncwenya ini sebagai pipa biasa yang diisi dengan tembakau yang paling mahal dan enak, juga kantong tembakaunya yang tergantung pada gagang huncwe ini terisi penuh dengan tembakau yang kekuning-kuningan bagaikan benang emas.

Akan tetapi pada saat ia menghadapi musuh, kantong itu berganti dengan sebuah kantong lain yang berisikan tembakau luar biasa sekali yang berwarna hitam. Dan apabila ia mengambil tembakau ini dan dinyalakan di dalam pipanya, maka akan tercium bau yang amat tidak enak dan keras sekali.






Asap tembakau ini saja sudah cukup membuat lawannya menjadi pening dan pikirannya kacau karena sesungguhnya asap ini mengandung semacam racun yang berbahaya dan melemahkan semangat. Apalagi kalau ia sudah mainkan senjata istimewa ini yang terputar cepat dan dari mulut pipa itu menyemburkan bunga api karena tembakau yang masih terbakar itu tertiup angin, bukan main berbahayanya. Oleh karena ini pula, Ban Sai Cinjin mendapat julukan Si Huncwe Maut!

Lo Sian yang berhati budiman itu menjadi tergerak hatinya ketika mendengar penuturan anak miskin itu. Ia memandang kepada Thio Kam Seng yang kurus dan pucat, dan biarpun ia maklum bahwa anak ini tidak memiliki cukup bakat dan kecerdikan untuk ahli silat, namun ia tadi telah menyaksikan sendirl bahwa anak ini cukup tabah dan berjiwa gagah. Tadi telah disaksikannya betapa anak ini menghadapi maut di ujung pisau hwesio kecil itu dengan berani.

“Kam Seng, apakah kau suka ikut padaku dan belajar silat agar kelak jangan sampai kau terhina orang?”

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambit menangis! Saking girang dan terharunya, ia sampai tak dapat mengeluarkan sepatah pun kata, hanya berkata terputus-putus,

“Suhu…, Suhu…”

Setelah bersembunyi disitu pada malam hari itu, keesokan harinya pagi-pagi sekali Lo Sian mengajak kedua orang muridnya untuk melanjutkan perjalanan. Ia menggandeng tangan Kam Seng agar perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.

Beberapa hari lewat tak terasa dan mereka telah memasuki Propinsi Sensi. Ketika mereka lewat kota Tai-goan, Lo Sian sengaja mampir di kota yang besar dan ramai itu. Kota Tai-goan terkenal dengan araknya yang terbuat daripada buah leci, dan karena Lo Sian adalah seorang yang suka sekali minum arak, maka sampai beberapa hari ia tidak mau tinggalkan kota itu dan memuaskan dirinya dengan minuman yang enak ini.

Pada suatu hari, ketika ia dan kedua orang muridnya keluar dari sebuah rumah makan dimana ia telah menghabiskan banyak cawan arak, ia mendengar orang berseru keras dan tiba-tiba orang itu menyerangnya dengan pukulan hebat ke arah dadanya.

Lo Sian cepat mengelak dan alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerangnya ini bukan lain adalah orang brewok yang menculik Lili dulu! Memang orang ini bukan lain adalah Bouw Hun Ti yang berusaha mencari gurunya dan karena ia melakukan perjalanan berkuda dengan cepat, maka ia telah sampai di tempat itu lebih dulu dan kini ia hendak kembali ke timur setelah mendengar bahwa suhunya kini tinggal di dusun Tong-sim-bun.

Kebetulan sekali di kota Tai-goan ini ia bertemu dengan Lo Sian, pengemis yang merampas Lili dari padanya itu! Tak menanti lagi ia segera mengirim pukulan maut yang baiknya masih dapat dikelit oleh Lo Sian.

Lo Sian maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka ia segera mencabut pedangnya yang selalu disembunyikan di dalam bajunya. Bouw Hun Ti tertawa bergelak melihat ini dan segera mencabut goloknya.

“Jembel hina dina! Hari ini kau pasti akan mampus di ujung golokku!” serunya keras sambil menyerang.

Lo Sian menangkis dan mereka lalu bertempur hebat di depan rumah makan itu. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran ini tidak ada yang berani ikut campur, bahkan mereka lari cerai-berai karena takut melihat dua orang itu mainkan senjata tajam demikian hebatnya.

Sementara itu, ketika Lili melihat bahwa yang menyerang suhunya adalah penculik brewok yang dibencinya, seketika menjadi pucat karena kaget sekali. Akan tetapi anak ini memang hebat sekali keberaniannya. Ia tidak melarikan diri, bahkan lalu mengumpulkan batu-batu kecil dan mulai menyambit ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari Bouw Hun Ti.

Sungguhpun sambitan batu yang dilepas oleh Lili ini apabila ditujukan kepada orang biasa akan merupakan serangan yang arnat berbahaya, akan tetapi terhadap Bouw Hun Ti sama sekali tidak ada artinya. Tidak saja semua batu itu terlempar ketika terpukul oleh sinar goloknya, biarpun andaikata mengenai tubuhnya pun takkan terasa olehnya!

Kam Seng yang melihat suhunya bertempur melawan seorang laki-laki brewok yang berwajah galak menyeramkan, dan melihat betapa Lili menyambit dengan batu, tidak mau tinggal diam dan ia pun mulai menyambit pula! Akan tetapi, ia segera menghentikan bantuannya ini karena pandangan matanya telah menjadi kabur dan silau, ketika kedua orang yang bertempur itu kini telah lenyap terbungkus oleh sinar senjata.

Kam Seng tidak dapat membedakan lagi mana gurunya dan mana lawan gurunya! Akan tetapi, Lili yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi dan sepasang matanya yang bening sudah terlatih baik semenjak kecil oleh ayah ibunya, masih dapat melihat gerakan suhunya dan gerakan musuh itu, maka masih saja ia melanjutkan penyambitannya, kini lebih hati-hati dan membidik dengan baik. Sungguhpun serangan Lili ini tidak berarti baginya, namun cukup membikin gemas hati Bouw Hun Ti.

“Setan kecil, aku bikin mampus kau lebih dulu!” serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat menyambar Lili dan goloknya membacok ke arah kepala anak kecil itu!

Lili memiliki ketenangan ayahnya dan kegesitan ibunya. Melihat menyambarnva sinar golok ke arah kepalanya, ia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dan bergulingan menjauhkan diri. Akan tetapi, Bouw Hun Ti yang merasa penasaran terus mengejarnya setelah menangkis serangan Lo Sian yang menyerangnya dari samping dalam usahanya menolong muridnya.

Lili bergulingan terus dan tiba-tiba ia merasai bahwa tubuhnya berguling ke atas pangkuan seorang yang duduk di bawah pohon dekat situ. Ia memandang dan ternyata bahwa ia telah berada di atas pangkuan seorang pengemis yang tinggi kurus dan berbaju penuh tambalan dan buruk sekali.

Melihat betapa anak itu berada di atas pangkuan seorang pengemis, Bouw Hun Ti melanjutkan serangannya, akan tetapi tiba-tiba ia berseru keras dan goloknya terpental hampir terlepas dari pegangan ketika golok itu telah mendekati tubuh Lili. Ternyata bahwa pengemis jembel itu telah mengangkat tongkatnya dan menangkis gotok itu!

“Hmm, manusia kejam! Apakah kau masih mau menjual lagak di depan Mo-kai Nyo Tiang Le?”

Bouw Hun Ti makin terkejut karena ia sudah mendengar nama Pengemis Setan ini yang amat lihai! Tadi ketika menghadapi Lo Sian, biarpun ia yakin akan bisa mendapat kemenangan, akan tetapi kepandaian Lo Sian sudah cukup kuat sehingga ia tidak mungkin menjatuhkannya dalam waktu pendek.

Apalagi sekarang ditambah dengan seorang pengemis aneh yang dari tangkisan tongkatnya tadi saja sudah menunjukkan bahwa kepandaiannya amat tinggi! Bagaimana sebatang tongkat bambu dapat menangkis goloknya yang terkenal tajam dan yang digerakkan dengan tenaga luar biasa? Bouw Hun Ti menjadi gentar juga dan dengan marah sekali ia lalu melarikan diri! Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan gurunya untuk minta pertolongan dan bantuan.

Lo Sian yang baru mengenal pengemis itu, segera menghampiri dan berseru girang.
“Suheng! Kau disini?”

“Sute, dari mana kau mendapatkan anak ini?” tanya Mo-kai Nyo Tiang Le tanpa menjawab pertanyaan adik seperguruannya.

Mendengar pertanyaan ini, barulah Lo Sian teringat kepada Bouw Hun Ti yang telah melarikan diri. Ia menghela napas dan berkata,

“Sayang sekali Suheng. Orang yang dapat menjawab pertanyaanmu itu telah melarikan diri. Aku sendiri tidak tahu siapa sebetulnya anak ini.”

Ia lalu menuturkan pengalamannya ketika merampas Lili dari tangan Bouw Hun Ti, lalu menuturkan pula tentang pengalamannya menolong Thio Kam Seng.

Si Pengemis Setan itu tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Lo Sian. Ia memandang kepada Lili yang kini telah berdiri, lalu berkata kepadanya,

“Hemm, anak nakal! Kau tidak mau menceritakan siapa ayah ibumu? Ha, ha, tak perlu kau menceritakannya lagi! Aku sudah tahu, siapa ayahmu! Dia adalah seorang maling, seorang tukang colong ayam! Karena itulah maka kau malu untuk mengaku! Ha, ha, ha!”

Bukan main marahnya hati Lili mendengar ucapan ini. Gadis cilik ini berdiri tegak kepalanya dikedikkan, dadanya diangkat dan pandang matanya bersinar-sinar seakan-akan mengeluarkan cahaya api. Kalau ada orang yang telah mengenal ibunya, dan melihat Lili bersikap seperti itu, tentu akan mengatakan bahwa anak perempuan ini persis sekali seperti ibunya kalau sedang marah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar