“Kau… kau berani menghina ayahku? Kalau Ayah mendengar hal ini, biarpun kau berada di ujung dunia, Ayah pasti akan mematahkan batang lehermu! Ayah adalah seorang gagah perkasa tanpa tandingan! Orang macam kau, biar ada seratus pun akan dipatahkan batang lehernya dengan mudah!” Lili benar-benar marah sekali mendengar ayahnya disebut tukang colong ayam!
Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. Agaknya ia geli sekali sehingga sambil tertawa ia meraba-raba perutnya.
“Ha, ha, ha! Pandai sekali kau menutupi keadaan ayahmu! Ha, ha, ayahmu hanya seorang maling kecil. Memang ia bisa mematahkan batang leher, akan tetapi hanya batang leher ayam. Tentu saja ia kuat mematahkan batang leher seratus ekor ayam yang dicurinya! Ha, ha, ha!”
“Orang tua kurang ajar!”
Lili semakin marah sehingga ia membanting-banting kakinya yang kecil. Ia lupa bahwa suhunya tadi menyebut suheng kepada jembel ini. Jangankan baru supeknya yang baru dikenal sekarang, biarpun siapa juga tidak boleh menghina ayahnya!
“Hati-hatilah kau! Beritahukan siapa namamu agar dapat kuberitahukan kepada Ayah. Kau pasti akan dipukul mati! Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa Ayah…” tiba-tiba Lili terhenti karena ia teringat bahwa ia tidak ingin memberitahukan nama orang tuanya, bahkan ia belum pernah mengaku kepada suhunya.
“…bahwa ayahmu hanyalah seorang tukang colong ayam…!” Pengemis tua itu melanjutkan kata-katanya yang terhenti sambil tertawa bergelak.
“Bukan!” Lili menggigit bibirnya dengan gemas. “Nah, biarlah aku mengaku! Ayahku adalah Sie Cin Hai yang berjuluk Pendekar Bodoh! Ibuku adalah Kwee Lin yang terkenal gagah perkasa! Siapakah tidak kenal kepada ayah-ibuku yang menjadi murid terkasih dari Sukong Bu Pun Su?”
Sambil berkata demikian, Lili memandang dengan tajam kepada pengemis itu dan juga kepada gurunya. Ia merasa bangga dan girang sekali ketika melihat betapa pengemis itu yang tadinya sedang tertawa, kini membuka mulutnya dengan melongo sedangkan suhunya sendiri pun memandangnya dengan mata terbelalak heran!
Lo Sian lalu mengelus-elus kepala Lili dan berkata,
“Ah, anak baik, mengapa tidak dulu-dulu kau katakan kepadaku? Kalau aku tahu, tentu kau sudah kuantarkan kepada orang tuamu! Aku tahu siapa adanya ayah-ibumu itu dan ketahuilah bahwa Suhumu dan Supekmu ini masih orang-orang segolongan dengan ayahmu!”
“Akan tetapi, mengapa Supek tadi menghina ayahku? Mengapa ayahku disebut tukang colong ayam?”
Nyo Tiang Le tertawa bergelak dan Lo Sian juga tersenyum.
“Lili, Supekmu tadi hanya bergurau. Ketika ia mengatakan bahwa ayahmu seorang maling ayam, ia tidak tahu bahwa ayahmu adalah Sie Tai-hiap! Kalau ia tidak mempergunakan akal ini, apakah kau akan suka menyebutkan nama ayahmu?”
Lili memang cerdik. Ia tahu bahwa ia telah kena diakali, maka sambil tersenyum ia berkata kepada Nyo Tiang Le,
“Supek telah menipuku! Akan tetapi, kalau Supek telah tidak menarik kembali ucapannya tadi, aku selamanya akan benci kepada Supek!”
Mo-kai Nyo Tiang Le makin keras suara ketawanya.
“Ha-ha-ha! Siapa bilang bahwa Pendekar Bodoh pencuri ayam mengatakan demikian di depanku, orang itu akan kuhajar mulutnya dengan seratus kali pukulan tongkatku! Tidak, anak manis, ayahmu bukan pencuri ayam akan tetapi dia adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa!”
Berserilah wajah Lili mendengar pujian terhadap ayahnya ini.
“Suheng, kalau begitu, aku hendak mengantar pulang anak ini kepada Sie Tai-hiap di Shaning.”
Nyo Tiang Le menggelengkan kepalanya.
“Berbahaya sekali, Sute! Kau tentu sudah dapat menduga siapa adanya orang brewok tadi?”
Lo Sian menggelengkan kepalanya.
“Sungguhpun ilmu silatnya lihai sekali dan gerakan goloknya mengingatkan aku akan kepandaian golok dari Ban Sai Cinjin, akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu siapa adanya orang itu.”
“Dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin, seorang peranakan Turki yang dulu memimpin barisan Turki ke pedalaman dan menimbulkan banyak kerusakan!”
Lo Sian mengangguk karena ia memang membantu tentara kerajaan menghadapi perwira yang amat tangguh itu.
“Nah, orang tadi adalah putera dari Balutin itulah! Namanya Bouw Hun Ti dan ia amat lihai, apalagi setelah mendapat latihan dari Ban Sai Cinjin. Entah mengapa ia menculik anak Pendekar Bodoh ini akan tetapi sudah jelas bahwa kalau ia melihat kau mengantar anak ini pulang, tentu ia akan turun tangan dan hal ini berbahaya sekali.”
Lo Sian menundukkan kepalanya karena ia maklum bahwa kepandaian Bouw Hun Ti masih lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri sehingga ia tidak dapat melindungi keselamatan Lili dengan baik.
“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?”
“Aku sedang dalam perjalanan menuju ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin di puncak Beng-san. Biarlah kubawa kedua anak ini bersamaku kesana. Kau pergilah seorang diri mencari Pendekar Bodoh dan memberi tahu bahwa puterinya telah selamat bersama dengan aku. Kam Seng ini nasibnya buruk dan patut ditolong, sedangkan aku dahulu pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su, maka sekarang sudah selayaknyalah kalau aku membalas dan menolong cucu muridnya ini! Nona kecil, kau tentu mau ikut dengan aku, bukan?”
Lili memandang kepada suhunya dan berkata,
“Suhu, teecu memang tidak mau pulang. Teecu baru mau pulang kalau Ayah dan Ibu menyusul teecu! Akan tetapi, kalau selamanya teecu harus ikut Supek, teecu tidak suka.”
“Mengapa begitu, Lili?” tanya Lo Sian sambil tersenyum.
“Supek seorang pengemis!”
“Huss!” kata Lo Sian mencela. “Aku pun seorang pengemis!”
“Benar, akan tetapi Suhu berbeda dengan Supek. Suhu pengemis bersih, akan tetapi Supek…”
“Hussh, Lili!” Menegur suhunya.
Akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa geli dan berkata,
“Biarlah, Sute. Sudah sewajarnya kalau seorang anak perempuan suka akan kebersihan dan keindahan. He, Lili anak nakal, kau lihatlah baik-baik, apakah aku masih nampak kotor dan menjijikkan?”
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya kedua tangan Pengemis Setan itu bergerak dan tahu-tahu jubah luarnya yang butut itu telah terlepas dan Lili juga Thio Kam Seng, anak piatu itu memandang dengan mata terbelalak heran.
Setelah jubah butut kotor penuh tambalan itu terlepas, kini pengemis tua itu nampak bersih dan gagah sekali, tubuhnya tertutup oleh pakaian warna putih bersih dari sutera halus, sebatang pedang tergantung di pinggang kirinya! Sikap pengemis tua itu pun berubah sama sekali, wajahnya yang tadi tertawa-tawa bagaikan orang gila itu menjadi sungguh-sungguh dan nampak keren sekali!
“Bagaimana, apakah kau masih merasa jijik untuk ikut Supekmu?” tanya Nyo Tiang Le dengan suara keren.
Lili merasa heran dan tertegun sehingga ia memandang dengan mata tak berkedip, lalu menggelengkan kepalanya. Pengemis tua yang aneh itu lalu mengenakan kembali pakaian bututnya dan wajahnya kembali berseri-seri. Barulah Lili merasa lega, karena sesungguhnya hatinya enak dan senang menghadapi pengemis tua yang berpakaian butut dan yang tertawa-tawa ramah ini daripada menghadapinya dalam pakaian gagah dan sikap keren tadi!
“Mengapa pakaian bersih dan indah ditutupi oleh pakaian yang demikian kotor dan buruk?” kini ia berani membuka mulut bertanya.
Nyo Tiang Le tertawa bergelak, seperti tadi sebelum memperlihatkan pakaiannya yang dipakai di sebelah dalam.
“Ha-ha-ha, anak baik! Banyak sekali orang yang di luarnya mengenakan pakaian-pakaian indah dan mahal, memakai kebesaran dan tanda pangkat, akan tetapi coba bukalah pakaian yang indah-indah itu, kau akan melihat sesuatu yang kotor, bagaikan sebutir buah yang kulitnya merah kekuningan dan nampak segar akan tetapi kalau dikupas kulitnya akan terlihat isinya busuk! Bagiku, aku lebih suka yang sebaliknya, darl luar nampak kotor akan tetapi di sebelah dalam bersih! Ha-ha-ha!”
Lili tidak percuma menjadi puteri Pendekar Bodoh, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan yang terkenal ahli dalam hal filsafat hidup dan hafal akan semua ujar-ujar kuno.
Telah seringkali ayahnya memberi pelajaran budi pekerti kepadanya dan seringkali pula ia mendengar ayahnya mengucapkan ujar-ujar kuno mengenai filsafat hidup. Kini, mendengar ucapan Nyo Tiang Le, anak yang berotak tajam ini dapat menangkap maksudnya maka ia lalu membantah,
“Supek, betapapun juga aku lebih suka lagi kalau yang bersih itu tidak hanya dalamnya saja, akan tetapi luar dalam! Sungguhpun isinya sama bersih dan sama enak, kalau disuruh memilih, aku lebih suka buah yang kulitnya menarik dan bersih daripada yang kulitnya kotor!”
Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak.
“Benar benar! Kau memang seorang perempuan, sudah seharusnya tahu merghargai keindahan, luar maupun dalam!”
Demikianlah, setelah memesan kepada Lili dan Kam Seng agar supaya taat kepada supek mereka, dan memberi janji kepada Lili bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali, Lo Sian lalu meninggalkan mereka menuju ke timur untuk mencari Pendekar Bodoh di Shaning mengabarkan tentang keadaan Lili kepada pendekar besar itu.
Nyo Tiang Le juga segera membawa kedua anak itu melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Beng-san. Pengemis Setan ini sungguhpun menjadi suheng dari Lo Sian, akan tetapi apabila dibandingkan dengan Pengemis Sakti itu, kepandaiannya jauh lebih tinggi, juga usianya berbeda jauh sekali Lo Sian baru berusia tiga puluh lima tahun, akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le usianya sudah lima puluh tahun lebih.
Bahkan kepandaian Lo Sian sebagian besar terlatih oleh Nyo Tiang Le dan suhu mereka hanya memberi pelajaran-pelajaran dasar saja kepada Sin-kai Lo Sian. Kepandaian Nyo Tiang Le ini hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat kepandaian empat besar di timur, barat, selatan, dan utara, yakni Hok Peng Taisu guru Ma Hoa, Pok Pok Sianjin di Beng-san yang sekarang menjadi guru dari Sie Hong Beng putera Pendekar Bodoh, mendiang Bu Pun Su, guru dari Cin Hai si Pendekar Bodoh dan isterinya, dan Swi Kiat Siansu, tokoh di utara yang terkenal dengan senjatanva kipas maut itu!
Kepada empat orang tokoh besar ini, Nyo Tiang Le telah kenal baik, bahkan ia pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su yang terkenal paling lihai diantara para tokoh besar itu.
Mo-kai Nyo Tiang Le suka sekali melihat Lili dan karena ia tidak mempunyai murid, maka melihat murid sutenya ini tergeraklah hatinya. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu pedangnya kepada Lili yang ia tahu memiliki bakat yang baik sekali. Ia memang sedang menuju ke Beng-san untuk bertemu dengan Pok Pok Sianjin, seorang diantara tokoh-tokoh besar dunia persilatan masih hidup.
Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang bernasib malang itu, benar-benar telah mendapat karunia besar dan agaknya nasibnya telah mulai bersinar terang ketika ia bertemu dengan Lo Sian, karena tak disangka-sangkanya bahwa ia akan terjatuh ke dalam tangan orang-orang luar biasa sehingga ia dapat menjadi murid seorang gagah seperti Lo Sian, bahkan kini ia ikut melakukan perjalanan dengan Nyo Tiang Le dan ikut pula mendapat latihan ilmu silat tinggi.
Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. Agaknya ia geli sekali sehingga sambil tertawa ia meraba-raba perutnya.
“Ha, ha, ha! Pandai sekali kau menutupi keadaan ayahmu! Ha, ha, ayahmu hanya seorang maling kecil. Memang ia bisa mematahkan batang leher, akan tetapi hanya batang leher ayam. Tentu saja ia kuat mematahkan batang leher seratus ekor ayam yang dicurinya! Ha, ha, ha!”
“Orang tua kurang ajar!”
Lili semakin marah sehingga ia membanting-banting kakinya yang kecil. Ia lupa bahwa suhunya tadi menyebut suheng kepada jembel ini. Jangankan baru supeknya yang baru dikenal sekarang, biarpun siapa juga tidak boleh menghina ayahnya!
“Hati-hatilah kau! Beritahukan siapa namamu agar dapat kuberitahukan kepada Ayah. Kau pasti akan dipukul mati! Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa Ayah…” tiba-tiba Lili terhenti karena ia teringat bahwa ia tidak ingin memberitahukan nama orang tuanya, bahkan ia belum pernah mengaku kepada suhunya.
“…bahwa ayahmu hanyalah seorang tukang colong ayam…!” Pengemis tua itu melanjutkan kata-katanya yang terhenti sambil tertawa bergelak.
“Bukan!” Lili menggigit bibirnya dengan gemas. “Nah, biarlah aku mengaku! Ayahku adalah Sie Cin Hai yang berjuluk Pendekar Bodoh! Ibuku adalah Kwee Lin yang terkenal gagah perkasa! Siapakah tidak kenal kepada ayah-ibuku yang menjadi murid terkasih dari Sukong Bu Pun Su?”
Sambil berkata demikian, Lili memandang dengan tajam kepada pengemis itu dan juga kepada gurunya. Ia merasa bangga dan girang sekali ketika melihat betapa pengemis itu yang tadinya sedang tertawa, kini membuka mulutnya dengan melongo sedangkan suhunya sendiri pun memandangnya dengan mata terbelalak heran!
Lo Sian lalu mengelus-elus kepala Lili dan berkata,
“Ah, anak baik, mengapa tidak dulu-dulu kau katakan kepadaku? Kalau aku tahu, tentu kau sudah kuantarkan kepada orang tuamu! Aku tahu siapa adanya ayah-ibumu itu dan ketahuilah bahwa Suhumu dan Supekmu ini masih orang-orang segolongan dengan ayahmu!”
“Akan tetapi, mengapa Supek tadi menghina ayahku? Mengapa ayahku disebut tukang colong ayam?”
Nyo Tiang Le tertawa bergelak dan Lo Sian juga tersenyum.
“Lili, Supekmu tadi hanya bergurau. Ketika ia mengatakan bahwa ayahmu seorang maling ayam, ia tidak tahu bahwa ayahmu adalah Sie Tai-hiap! Kalau ia tidak mempergunakan akal ini, apakah kau akan suka menyebutkan nama ayahmu?”
Lili memang cerdik. Ia tahu bahwa ia telah kena diakali, maka sambil tersenyum ia berkata kepada Nyo Tiang Le,
“Supek telah menipuku! Akan tetapi, kalau Supek telah tidak menarik kembali ucapannya tadi, aku selamanya akan benci kepada Supek!”
Mo-kai Nyo Tiang Le makin keras suara ketawanya.
“Ha-ha-ha! Siapa bilang bahwa Pendekar Bodoh pencuri ayam mengatakan demikian di depanku, orang itu akan kuhajar mulutnya dengan seratus kali pukulan tongkatku! Tidak, anak manis, ayahmu bukan pencuri ayam akan tetapi dia adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa!”
Berserilah wajah Lili mendengar pujian terhadap ayahnya ini.
“Suheng, kalau begitu, aku hendak mengantar pulang anak ini kepada Sie Tai-hiap di Shaning.”
Nyo Tiang Le menggelengkan kepalanya.
“Berbahaya sekali, Sute! Kau tentu sudah dapat menduga siapa adanya orang brewok tadi?”
Lo Sian menggelengkan kepalanya.
“Sungguhpun ilmu silatnya lihai sekali dan gerakan goloknya mengingatkan aku akan kepandaian golok dari Ban Sai Cinjin, akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu siapa adanya orang itu.”
“Dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin, seorang peranakan Turki yang dulu memimpin barisan Turki ke pedalaman dan menimbulkan banyak kerusakan!”
Lo Sian mengangguk karena ia memang membantu tentara kerajaan menghadapi perwira yang amat tangguh itu.
“Nah, orang tadi adalah putera dari Balutin itulah! Namanya Bouw Hun Ti dan ia amat lihai, apalagi setelah mendapat latihan dari Ban Sai Cinjin. Entah mengapa ia menculik anak Pendekar Bodoh ini akan tetapi sudah jelas bahwa kalau ia melihat kau mengantar anak ini pulang, tentu ia akan turun tangan dan hal ini berbahaya sekali.”
Lo Sian menundukkan kepalanya karena ia maklum bahwa kepandaian Bouw Hun Ti masih lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri sehingga ia tidak dapat melindungi keselamatan Lili dengan baik.
“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?”
“Aku sedang dalam perjalanan menuju ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin di puncak Beng-san. Biarlah kubawa kedua anak ini bersamaku kesana. Kau pergilah seorang diri mencari Pendekar Bodoh dan memberi tahu bahwa puterinya telah selamat bersama dengan aku. Kam Seng ini nasibnya buruk dan patut ditolong, sedangkan aku dahulu pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su, maka sekarang sudah selayaknyalah kalau aku membalas dan menolong cucu muridnya ini! Nona kecil, kau tentu mau ikut dengan aku, bukan?”
Lili memandang kepada suhunya dan berkata,
“Suhu, teecu memang tidak mau pulang. Teecu baru mau pulang kalau Ayah dan Ibu menyusul teecu! Akan tetapi, kalau selamanya teecu harus ikut Supek, teecu tidak suka.”
“Mengapa begitu, Lili?” tanya Lo Sian sambil tersenyum.
“Supek seorang pengemis!”
“Huss!” kata Lo Sian mencela. “Aku pun seorang pengemis!”
“Benar, akan tetapi Suhu berbeda dengan Supek. Suhu pengemis bersih, akan tetapi Supek…”
“Hussh, Lili!” Menegur suhunya.
Akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa geli dan berkata,
“Biarlah, Sute. Sudah sewajarnya kalau seorang anak perempuan suka akan kebersihan dan keindahan. He, Lili anak nakal, kau lihatlah baik-baik, apakah aku masih nampak kotor dan menjijikkan?”
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya kedua tangan Pengemis Setan itu bergerak dan tahu-tahu jubah luarnya yang butut itu telah terlepas dan Lili juga Thio Kam Seng, anak piatu itu memandang dengan mata terbelalak heran.
Setelah jubah butut kotor penuh tambalan itu terlepas, kini pengemis tua itu nampak bersih dan gagah sekali, tubuhnya tertutup oleh pakaian warna putih bersih dari sutera halus, sebatang pedang tergantung di pinggang kirinya! Sikap pengemis tua itu pun berubah sama sekali, wajahnya yang tadi tertawa-tawa bagaikan orang gila itu menjadi sungguh-sungguh dan nampak keren sekali!
“Bagaimana, apakah kau masih merasa jijik untuk ikut Supekmu?” tanya Nyo Tiang Le dengan suara keren.
Lili merasa heran dan tertegun sehingga ia memandang dengan mata tak berkedip, lalu menggelengkan kepalanya. Pengemis tua yang aneh itu lalu mengenakan kembali pakaian bututnya dan wajahnya kembali berseri-seri. Barulah Lili merasa lega, karena sesungguhnya hatinya enak dan senang menghadapi pengemis tua yang berpakaian butut dan yang tertawa-tawa ramah ini daripada menghadapinya dalam pakaian gagah dan sikap keren tadi!
“Mengapa pakaian bersih dan indah ditutupi oleh pakaian yang demikian kotor dan buruk?” kini ia berani membuka mulut bertanya.
Nyo Tiang Le tertawa bergelak, seperti tadi sebelum memperlihatkan pakaiannya yang dipakai di sebelah dalam.
“Ha-ha-ha, anak baik! Banyak sekali orang yang di luarnya mengenakan pakaian-pakaian indah dan mahal, memakai kebesaran dan tanda pangkat, akan tetapi coba bukalah pakaian yang indah-indah itu, kau akan melihat sesuatu yang kotor, bagaikan sebutir buah yang kulitnya merah kekuningan dan nampak segar akan tetapi kalau dikupas kulitnya akan terlihat isinya busuk! Bagiku, aku lebih suka yang sebaliknya, darl luar nampak kotor akan tetapi di sebelah dalam bersih! Ha-ha-ha!”
Lili tidak percuma menjadi puteri Pendekar Bodoh, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan yang terkenal ahli dalam hal filsafat hidup dan hafal akan semua ujar-ujar kuno.
Telah seringkali ayahnya memberi pelajaran budi pekerti kepadanya dan seringkali pula ia mendengar ayahnya mengucapkan ujar-ujar kuno mengenai filsafat hidup. Kini, mendengar ucapan Nyo Tiang Le, anak yang berotak tajam ini dapat menangkap maksudnya maka ia lalu membantah,
“Supek, betapapun juga aku lebih suka lagi kalau yang bersih itu tidak hanya dalamnya saja, akan tetapi luar dalam! Sungguhpun isinya sama bersih dan sama enak, kalau disuruh memilih, aku lebih suka buah yang kulitnya menarik dan bersih daripada yang kulitnya kotor!”
Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak.
“Benar benar! Kau memang seorang perempuan, sudah seharusnya tahu merghargai keindahan, luar maupun dalam!”
Demikianlah, setelah memesan kepada Lili dan Kam Seng agar supaya taat kepada supek mereka, dan memberi janji kepada Lili bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali, Lo Sian lalu meninggalkan mereka menuju ke timur untuk mencari Pendekar Bodoh di Shaning mengabarkan tentang keadaan Lili kepada pendekar besar itu.
Nyo Tiang Le juga segera membawa kedua anak itu melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Beng-san. Pengemis Setan ini sungguhpun menjadi suheng dari Lo Sian, akan tetapi apabila dibandingkan dengan Pengemis Sakti itu, kepandaiannya jauh lebih tinggi, juga usianya berbeda jauh sekali Lo Sian baru berusia tiga puluh lima tahun, akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le usianya sudah lima puluh tahun lebih.
Bahkan kepandaian Lo Sian sebagian besar terlatih oleh Nyo Tiang Le dan suhu mereka hanya memberi pelajaran-pelajaran dasar saja kepada Sin-kai Lo Sian. Kepandaian Nyo Tiang Le ini hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat kepandaian empat besar di timur, barat, selatan, dan utara, yakni Hok Peng Taisu guru Ma Hoa, Pok Pok Sianjin di Beng-san yang sekarang menjadi guru dari Sie Hong Beng putera Pendekar Bodoh, mendiang Bu Pun Su, guru dari Cin Hai si Pendekar Bodoh dan isterinya, dan Swi Kiat Siansu, tokoh di utara yang terkenal dengan senjatanva kipas maut itu!
Kepada empat orang tokoh besar ini, Nyo Tiang Le telah kenal baik, bahkan ia pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su yang terkenal paling lihai diantara para tokoh besar itu.
Mo-kai Nyo Tiang Le suka sekali melihat Lili dan karena ia tidak mempunyai murid, maka melihat murid sutenya ini tergeraklah hatinya. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu pedangnya kepada Lili yang ia tahu memiliki bakat yang baik sekali. Ia memang sedang menuju ke Beng-san untuk bertemu dengan Pok Pok Sianjin, seorang diantara tokoh-tokoh besar dunia persilatan masih hidup.
Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang bernasib malang itu, benar-benar telah mendapat karunia besar dan agaknya nasibnya telah mulai bersinar terang ketika ia bertemu dengan Lo Sian, karena tak disangka-sangkanya bahwa ia akan terjatuh ke dalam tangan orang-orang luar biasa sehingga ia dapat menjadi murid seorang gagah seperti Lo Sian, bahkan kini ia ikut melakukan perjalanan dengan Nyo Tiang Le dan ikut pula mendapat latihan ilmu silat tinggi.
**** 018 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar