Mari sekarang kita mengikuti perjalanan Cin Hai dan Lin Lin yang meninggalkan rumah mereka di Shaning untuk pergi mencari puteri mereka yang lenyap terculik orang.
Semenjak Kong Hwat Lojin atau Nelayan Cengeng yang menjadi guru dan ayah angkat Ma Hoa meninggal dunia dua tahun yang lalu, belum pernah Pendekar Bodoh dan isterinya mengunjungi Tiang-an. Maka setelah mereka tiba di perbatasan kota Tiang-an, mereka berhenti sebentar dan memandang tembok kota, itu dengan pikiran penuh kenangan masa lampau.
Bagi Lin Lin, kota ini adalah kota kelahirannya dan bagi Cin Hai, kota ini pun merupakan kota dimana ia telah mengalami banyak sekali penderitaan hidup di waktu ia masih kecil.
Mereka memasuki kota dan mengunjungi rumah Kwee An. Rumah ini adalah rumah tua, gedung besar dan kuno yang dulu menjadi tempat tinggal mendiang Kwee In Liang, yaitu ayah Kwee An dan Kwee Lin.
Kedatangan mereka mendapat sambutan yang hangat sekali dari Kwee An dan Ma Hoa. Ma Hoa merangkul Lin Lin dan sampai lama mereka saling peluk dan mencium dengan hati girang sekali.
“Enci Ma Hoa, kau makin gemuk dan makin cantik saja!”
Lin Lin berkata sambil memandang kepada so-so (kakak iparnya) itu. Karena sudah biasa semenjak belum menikah dulu, Lin Lin tidak menyebut so-so kepada iparnya ini, akan tetapi masih menyebut enci.
“Lin Lin, kaulah yang makin cantik, akan tetapi mengapakah kau kelihatan agak pucat? Terlalu lelahkah kau dalam perjalananmu kesini?”
Cin Hai dan Kwee An yang saling berpegang tangan dengan girang itu juga mengucapkan kata-kata ramah tamah.
“Ah, kami mendapat kesusahan,” kata Lin Lin sambil menghela napas lalu menggigit bibirnya untuk menahan jangan sampai meruntuhkan air mata. “Lili telah terculik orang!”
Pucatlah wajah Ma Hoa dan Kwee An mendengar berita hebat ini.
“Apa…??” Ma Hoa melompat bangun dan memegang lengan tangan Lin Lin. “Siapa orangnya yang demikian berani mampus melakukan hal itu? Lin Lin, beritahukan siapa orangnya, akan kuhancurkan kepalanya!”
Ma Hoa benar-benar marah sekali mendengar berita ini dan sepasang matanya berkilat. Kwee An juga marah sekali dan kedua tangannya dikepal, akan tetapi ia lebih tenang dan sabar daripada isterinya. Ia memegang tangan adiknya dan berkata,
“Ah, bagaimana bisa terjadi hal itu? Lin Lin, marilah kita semua masuk ke dalam dan ceritakanlah hal itu sejelasnya.”
Suara yang lemah lembut dan sikap mencinta dari kakaknya ini lebih tajam menyentuh perasaan Lin Lin daripada sikap Ma Hoa yang menunjukkan pembelaannya dengan marah.
Tak terasa lagi Lin Lin meramkan mata menahan keluarnya air mata yang tetap saja menembus celah-celah bulu matanya dan mengalir turun ke atas pipinya. Sambil menyandarkan kepalanya di pundak Kwee An, Lin Lin menangis dan menurut saja ditarik oleh Kwee An menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Cin Hai dan Ma Hoa.
Setelah mereka duduk di atas kursi dan Lin Lin telah dapat menekan perasaan gelisah dan sedihnya, maka berceritalah Lin Lin dan Cin Hai tentang penculikan terhadap Lili, dan juga tentang terbunuhnya Yousuf.
Mendengar bahwa Yousuf terbunuh pula dalam keadaan yang amat mengerikan dan menyedihkan, yaitu dipenggal kepalanya, Ma Hoa menjerit dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia berdiri dan dengah tangan terkepal ia berkata keras,
“Lin Lin, kita harus mencari jahanam itu sampai dapat! Hatiku belum puas kalau belum menusuk mata jahanam itu dengan senjataku!”
Juga Kwee An merasa marah dan sedih sekali mendengar berita ini. Ketika mendengar dari Cin Hai bahwa menurut orang yang melihatnya, pembunuh Yousuf itu adalah seorang Turki, Kwee An berkata,
“Tak salah lagi, tentu pembunuhnya adalah utusan Pangeran Muda dari Turki yang semenjak dahulu memusuhi Yo-pek-hu!”
“Kami pun menduga demikian,” kata Cin Hai. “Oleh karena itu, kami hendak menyusul ke barat, hendak mencari keterangan dan menyelidiki ke Kansu dimana banyak terdapat orang-orang Turki baik pengikut Pangeran Muda maupun pengikut Pangeran Tua.”
“Betul sekali,” kata Kwee An mengangguk-anggukkan kepalanya. “Disana banyak terdapat kawan-kawan baik dari Yo-pek-hu, kurasa dari mereka kau akan bisa mendapatkan keterangan.”
“Aku ingin sekali ikut pergi,” tiba-tiba Ma Hoa berkata, “aku ingin mendapat bagianku menghajar penculik Lili!”
Kwee An memandang kepada isterinya, lalu dengan tersenyum ia berkata,
“Dalam keadaanmu sekarang ini lebih baik jangan melakukan perjalanan sejauh itu.”
Ma Hoa membalas pandangan suaminya dan tiba-tiba mukanya berubah merah, Lin Lin mengerti akan maksud ucapan itu, maka ia merangkul Ma Hoa sambil berkata,
“Enci yang baik! Sudah berapa bulankah?”
Makin merahlah muka Ma Hoa dan dengan suara perlahan ia berkata,
“Dua…”
Cin Hai sama sekali tidak mengerti apakah maksud pembicaraan antara isterinya dan Ma Hoa, maka ia memandang kepada mereka dengan sinar mata bodoh. Melihat wajah dan pandangan mata bodoh dari Cin Hai ini, tak tertahan pula Ma Hoa dan Lin Lin tertawa geli, bahkan Kwee An juga tersenyum, teringat akan peristiwa dulu-dulu tentang Cin Hai yang dalam beberapa hal memang agak bodoh. Pandang mata seperti itulah yang membuat ia mendapat julukan Pendekar Bodoh!
“Eh, eh, kalian mengapakah?”
Cin Hai tidak merasa aneh melihat isterinya tertawa-tawa, karena memang demikianlah sifat Lin Lin. Dalam keadaan bersedih ia dapat tertawa gembira, sebaliknya dalam kegembiraan tiba-tiba murung!
“Jangan tanya-tanya, ini urusan wanita. Laki-laki tahu apa!” kata Lin Lin.
Akhirnya dapat juga Cin Hai menduga bahwa yang dimaksudkan tentu keadaan Ma Hoa dalam mengandung dua bulan. Akan tetapi karena merasa jengah dan malu, ia diam saja.
Dua pasang suami isteri itu lalu bercakap-cakap melepaskan rindu.
“Eh, sampai lupa aku! Mana si cantik Goat Lan? Mengapa semenjak tadi aku tidak melihatnya?” kata Lin Lin.
“Ah, dia telah dibawa oleh dua orang kakek yang kalian tentu sudah kenal namanya.”
“Dibawa? Apa maksudmu? Siapakah mereka?” tanya Cin Hai.
“Goat Lan telah diambil murid oleh Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo dan dibawa ke Liong-ki-san untuk dilatih ilmu silat.”
Cin Hai dan Lin Lin merasa girang mendengar ini dan keduanya lalu memberi selamat. Ma Hoa menceritakan peristiwa tentang kedatangan kedua orang kakek gagah itu di Kuil Ban-hok-tong.
“Enci Hoa,” kata Lin Lin yang teringat akan sesuatu, “aku telah mengadakan pembicaraan dengan suamiku tentang anakmu itu. Kau tentu dapat menduga maksud kami, yaitu tentang anakmu dan anak kami Hong Beng.”
Wajah Ma Hoa berseri.
“Ah, bagaimana dengan puteramu yang elok itu?”
Lin Lin lalu menceritakan bahwa Hong Beng telah diantarkan ke Pok Pok Sianjin untuk menerima latihan ilmu silat.
“Kiranya tidak ada jodoh yang lebih tepat bagi Hong Beng selain anakmu yang cantik itu. Bagaimana kalau kita resmikan pertunangan itu sekarang?”
Kwee An tertawa.
“Kedua anak itu baru berusia sepuluh tahun, bagaimana harus diresmikan pertunangan mereka?”
“Maksudku, pertunangan ini disahkan antara kita, orang-orang tua mereka. Kau tentu menerima pinanganku, bukan?” menegaskan Lin Lin.
“Lin Lin, kau masih saja tidak sabar seperti dulu!” kata Ma Hoa tertawa. “Dulu pernah kita bicarakan hal ini dan sudah saling setuju. Tentu saja, kami setuju sekali dan menerima pinanganmu dengan kedua tangan terbuka. Memang selain putera kalian siapa lagi yang patut menjadi mantu kami?”
Demikianlah, diantara tawa dan sendau gurau, mereka meresmikan pertunangan Hong Beng dan Goat Lan. Dengan amat mudahnya Lin Lin telah lupa kesedihannya kehilangan Lili. Cin Hai yang pendiam tak dapat melupakan nasib puterinya, akan tetapi tidak tega untuk mengingatkan isterinya tentang hal yang tidak menyenangkan ini, maka ia diam saja.
Setelah mengunjungi Kwee Tiong atau Thian Tiong Hosiang, ketua Kuil Ban-hok-tong, kakak tertua dari Lin Lin yang kini menjadi hwesio alim itu, Lin Lin dan Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya ke barat. Mereka hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An. Ma Hoa dan suaminya mengantar mereka sampai di luar batas kota dan mereka lalu berpisah.
Cin Hai dan Lin Lin melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat dan setelah berpisah dari Ma Hoa, kembali perhatian Lin Lin seluruhnya tercurah kepada puterinya dan kegelisahanya timbul kembali.
Perjalanan mereka amat jauh, dan beberapa pekan kemudian setelah melaksanakan perjalanan cepat sekali, barulah mereka tiba di Kansu dan menuju ke kota Lancouw. Di sepanjang perjalanan mereka teringat akan segala pengalaman mereka yang penuh bahaya pada sepuluh tahun lebih yang lampau ketika mereka dengan kawan-kawan lain mengunjungi propinsi ini.
Cin Hai dan Lin Lin lalu masuk ke perkampungan orang Turki dimana dulu Yousuf tinggal. Orang-orang Turki yang tinggal disitu ternyata masih ingat kepada mereka, karena ketika mereka masuk ke kampung itu, mereka disambut dengan girang sekali oleh para kawan dari Yousuf itu. Cin Hai segera dihujani pertanyaan tentang keadaan Yousuf.
Ketika mendengar bahwa bekas pemimpin mereka itu telah tewas dengan keadaan amat menyedihkan, dipenggal kepalanya oleh seorang Turki lain yang brewok, maka sedihlah hati mereka.
“Bouw Hun Ti!” seru seorang diantara mereka yang sudah lanjut usianya. “Tentu Bouw Hun Ti si anjing pengkhianat yang melakukan hal itu.”
Cin Hai dan Lin Lin segera mendesak orang tua itu.
“Sahabat,” kata Cin Hai, “sesungguhnya kami datang dari tempat yang amat jauh, tak lain maksud kami hanya hendak menemui saudara-saudara dan minta pertolongan untuk menduga siapa adanya bangsat yang telah membunuh Yo Se Fu dan yang telah menculik puteri kami itu. Tadi kami mendengar disebutnya nama Bouw Hun Ti, siapakah gerangan dia itu dan mengapa kalian mengira bahwa dia yang melakukan perbuatan itu?”
Orang Turki tua itu baru saja datang dari Turki dan ia tahu akan keadaan Bouw Hun Ti, maka ia lalu menceritakan sejelasnya kepada Cin Hai dan Lin Lin. Ketika mendengar bahwa Bouw Hun Ti diutus oleh Pangeran Muda untuk membawa Yousuf dengan paksa ke Turki dan bahwa Bouw Hun Ti adalah putera dari Balutin dan terkenal jahat dan kejam dan berkepandaian tinggi, Cin Hai dan Lin Lin tidak ragu-ragu lagi bahwa memang dialah orang yang dicari-carinya.
Mereka lalu mengambil keputusan untuk menanti di Lancouw, menghadang perjalanan Bouw Hun Ti yang tentu akan pulang ke Turki membawa Lili yang diculiknya, karena menurut keterangan orang-orang Turki itu, Bouw Hun Ti sampai saat itu belum kembali dari timur.
Akan tetapi, setelah menanti dua pekan belum juga kelihatan penculik dan pembunuh itu datang, Cin Hai dan Lin Lin menjadi kecewa dan gelisah sekali. Betapapun lambat musuh itu melakukan perjalanan, tak mungkin akan makan waktu selama itu.
Akhirnya Cin Hai dan Lin Lin mengambil keputusan untuk kembali ke timur, mencari musuh yang membawa lari puteri mereka itu. Kepada orang-orang Turki yang berada disitu mereka minta tolong agar supaya mengamat-amati, jika melihat Bouw Hun Ti dan seorang anak perempuan, supaya berusaha merampas anak perempuan itu.
Orang-orang Turki itu maklum bahwa Lin Lin adalah anak angkat Yousuf, sehingga dengan demikian anak perempuan yang diculik oleh Bouw Hun Ti itu adalah cucu dari Yousuf, maka tentu saja mereka bersedia untuk membantu suami isteri itu dan menolong Lili.
Mereka maklum bahwa diantara mereka tidak seorang pun dapat melawan Bouw Hun Ti yang lihai, akan tetapi dengan akal dan tipu, mereka merasa yakin akan dapat menculik kembali anak itu dari tangan Bouw Hun Ti dan mengantarkannya kepada suami isteri itu.
Maka berangkatlah Cin Hai dan Lin Lin kembali ke timur. Sungguhpun mereka merasa kecewa dan gelisah, akan tetapi ada juga sedikit kegirangan karena telah mengetahui nama dan keadaan musuh besar mereka.
Kini mereka kembali ke timur tidak melalui jalan yang mereka lalui ketika mereka menuju ke Lancouw, yakni jalan sebelah selatan, akan tetapi mereka melalui jalan sebelah timur, di sepanjang perbatasan Mongolia dalam. Mereka mengambil keputusan hendak mampir di tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menengok Hong Beng yang belajar ilmu silat disitu.
Semenjak Kong Hwat Lojin atau Nelayan Cengeng yang menjadi guru dan ayah angkat Ma Hoa meninggal dunia dua tahun yang lalu, belum pernah Pendekar Bodoh dan isterinya mengunjungi Tiang-an. Maka setelah mereka tiba di perbatasan kota Tiang-an, mereka berhenti sebentar dan memandang tembok kota, itu dengan pikiran penuh kenangan masa lampau.
Bagi Lin Lin, kota ini adalah kota kelahirannya dan bagi Cin Hai, kota ini pun merupakan kota dimana ia telah mengalami banyak sekali penderitaan hidup di waktu ia masih kecil.
Mereka memasuki kota dan mengunjungi rumah Kwee An. Rumah ini adalah rumah tua, gedung besar dan kuno yang dulu menjadi tempat tinggal mendiang Kwee In Liang, yaitu ayah Kwee An dan Kwee Lin.
Kedatangan mereka mendapat sambutan yang hangat sekali dari Kwee An dan Ma Hoa. Ma Hoa merangkul Lin Lin dan sampai lama mereka saling peluk dan mencium dengan hati girang sekali.
“Enci Ma Hoa, kau makin gemuk dan makin cantik saja!”
Lin Lin berkata sambil memandang kepada so-so (kakak iparnya) itu. Karena sudah biasa semenjak belum menikah dulu, Lin Lin tidak menyebut so-so kepada iparnya ini, akan tetapi masih menyebut enci.
“Lin Lin, kaulah yang makin cantik, akan tetapi mengapakah kau kelihatan agak pucat? Terlalu lelahkah kau dalam perjalananmu kesini?”
Cin Hai dan Kwee An yang saling berpegang tangan dengan girang itu juga mengucapkan kata-kata ramah tamah.
“Ah, kami mendapat kesusahan,” kata Lin Lin sambil menghela napas lalu menggigit bibirnya untuk menahan jangan sampai meruntuhkan air mata. “Lili telah terculik orang!”
Pucatlah wajah Ma Hoa dan Kwee An mendengar berita hebat ini.
“Apa…??” Ma Hoa melompat bangun dan memegang lengan tangan Lin Lin. “Siapa orangnya yang demikian berani mampus melakukan hal itu? Lin Lin, beritahukan siapa orangnya, akan kuhancurkan kepalanya!”
Ma Hoa benar-benar marah sekali mendengar berita ini dan sepasang matanya berkilat. Kwee An juga marah sekali dan kedua tangannya dikepal, akan tetapi ia lebih tenang dan sabar daripada isterinya. Ia memegang tangan adiknya dan berkata,
“Ah, bagaimana bisa terjadi hal itu? Lin Lin, marilah kita semua masuk ke dalam dan ceritakanlah hal itu sejelasnya.”
Suara yang lemah lembut dan sikap mencinta dari kakaknya ini lebih tajam menyentuh perasaan Lin Lin daripada sikap Ma Hoa yang menunjukkan pembelaannya dengan marah.
Tak terasa lagi Lin Lin meramkan mata menahan keluarnya air mata yang tetap saja menembus celah-celah bulu matanya dan mengalir turun ke atas pipinya. Sambil menyandarkan kepalanya di pundak Kwee An, Lin Lin menangis dan menurut saja ditarik oleh Kwee An menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Cin Hai dan Ma Hoa.
Setelah mereka duduk di atas kursi dan Lin Lin telah dapat menekan perasaan gelisah dan sedihnya, maka berceritalah Lin Lin dan Cin Hai tentang penculikan terhadap Lili, dan juga tentang terbunuhnya Yousuf.
Mendengar bahwa Yousuf terbunuh pula dalam keadaan yang amat mengerikan dan menyedihkan, yaitu dipenggal kepalanya, Ma Hoa menjerit dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia berdiri dan dengah tangan terkepal ia berkata keras,
“Lin Lin, kita harus mencari jahanam itu sampai dapat! Hatiku belum puas kalau belum menusuk mata jahanam itu dengan senjataku!”
Juga Kwee An merasa marah dan sedih sekali mendengar berita ini. Ketika mendengar dari Cin Hai bahwa menurut orang yang melihatnya, pembunuh Yousuf itu adalah seorang Turki, Kwee An berkata,
“Tak salah lagi, tentu pembunuhnya adalah utusan Pangeran Muda dari Turki yang semenjak dahulu memusuhi Yo-pek-hu!”
“Kami pun menduga demikian,” kata Cin Hai. “Oleh karena itu, kami hendak menyusul ke barat, hendak mencari keterangan dan menyelidiki ke Kansu dimana banyak terdapat orang-orang Turki baik pengikut Pangeran Muda maupun pengikut Pangeran Tua.”
“Betul sekali,” kata Kwee An mengangguk-anggukkan kepalanya. “Disana banyak terdapat kawan-kawan baik dari Yo-pek-hu, kurasa dari mereka kau akan bisa mendapatkan keterangan.”
“Aku ingin sekali ikut pergi,” tiba-tiba Ma Hoa berkata, “aku ingin mendapat bagianku menghajar penculik Lili!”
Kwee An memandang kepada isterinya, lalu dengan tersenyum ia berkata,
“Dalam keadaanmu sekarang ini lebih baik jangan melakukan perjalanan sejauh itu.”
Ma Hoa membalas pandangan suaminya dan tiba-tiba mukanya berubah merah, Lin Lin mengerti akan maksud ucapan itu, maka ia merangkul Ma Hoa sambil berkata,
“Enci yang baik! Sudah berapa bulankah?”
Makin merahlah muka Ma Hoa dan dengan suara perlahan ia berkata,
“Dua…”
Cin Hai sama sekali tidak mengerti apakah maksud pembicaraan antara isterinya dan Ma Hoa, maka ia memandang kepada mereka dengan sinar mata bodoh. Melihat wajah dan pandangan mata bodoh dari Cin Hai ini, tak tertahan pula Ma Hoa dan Lin Lin tertawa geli, bahkan Kwee An juga tersenyum, teringat akan peristiwa dulu-dulu tentang Cin Hai yang dalam beberapa hal memang agak bodoh. Pandang mata seperti itulah yang membuat ia mendapat julukan Pendekar Bodoh!
“Eh, eh, kalian mengapakah?”
Cin Hai tidak merasa aneh melihat isterinya tertawa-tawa, karena memang demikianlah sifat Lin Lin. Dalam keadaan bersedih ia dapat tertawa gembira, sebaliknya dalam kegembiraan tiba-tiba murung!
“Jangan tanya-tanya, ini urusan wanita. Laki-laki tahu apa!” kata Lin Lin.
Akhirnya dapat juga Cin Hai menduga bahwa yang dimaksudkan tentu keadaan Ma Hoa dalam mengandung dua bulan. Akan tetapi karena merasa jengah dan malu, ia diam saja.
Dua pasang suami isteri itu lalu bercakap-cakap melepaskan rindu.
“Eh, sampai lupa aku! Mana si cantik Goat Lan? Mengapa semenjak tadi aku tidak melihatnya?” kata Lin Lin.
“Ah, dia telah dibawa oleh dua orang kakek yang kalian tentu sudah kenal namanya.”
“Dibawa? Apa maksudmu? Siapakah mereka?” tanya Cin Hai.
“Goat Lan telah diambil murid oleh Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo dan dibawa ke Liong-ki-san untuk dilatih ilmu silat.”
Cin Hai dan Lin Lin merasa girang mendengar ini dan keduanya lalu memberi selamat. Ma Hoa menceritakan peristiwa tentang kedatangan kedua orang kakek gagah itu di Kuil Ban-hok-tong.
“Enci Hoa,” kata Lin Lin yang teringat akan sesuatu, “aku telah mengadakan pembicaraan dengan suamiku tentang anakmu itu. Kau tentu dapat menduga maksud kami, yaitu tentang anakmu dan anak kami Hong Beng.”
Wajah Ma Hoa berseri.
“Ah, bagaimana dengan puteramu yang elok itu?”
Lin Lin lalu menceritakan bahwa Hong Beng telah diantarkan ke Pok Pok Sianjin untuk menerima latihan ilmu silat.
“Kiranya tidak ada jodoh yang lebih tepat bagi Hong Beng selain anakmu yang cantik itu. Bagaimana kalau kita resmikan pertunangan itu sekarang?”
Kwee An tertawa.
“Kedua anak itu baru berusia sepuluh tahun, bagaimana harus diresmikan pertunangan mereka?”
“Maksudku, pertunangan ini disahkan antara kita, orang-orang tua mereka. Kau tentu menerima pinanganku, bukan?” menegaskan Lin Lin.
“Lin Lin, kau masih saja tidak sabar seperti dulu!” kata Ma Hoa tertawa. “Dulu pernah kita bicarakan hal ini dan sudah saling setuju. Tentu saja, kami setuju sekali dan menerima pinanganmu dengan kedua tangan terbuka. Memang selain putera kalian siapa lagi yang patut menjadi mantu kami?”
Demikianlah, diantara tawa dan sendau gurau, mereka meresmikan pertunangan Hong Beng dan Goat Lan. Dengan amat mudahnya Lin Lin telah lupa kesedihannya kehilangan Lili. Cin Hai yang pendiam tak dapat melupakan nasib puterinya, akan tetapi tidak tega untuk mengingatkan isterinya tentang hal yang tidak menyenangkan ini, maka ia diam saja.
Setelah mengunjungi Kwee Tiong atau Thian Tiong Hosiang, ketua Kuil Ban-hok-tong, kakak tertua dari Lin Lin yang kini menjadi hwesio alim itu, Lin Lin dan Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya ke barat. Mereka hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An. Ma Hoa dan suaminya mengantar mereka sampai di luar batas kota dan mereka lalu berpisah.
Cin Hai dan Lin Lin melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat dan setelah berpisah dari Ma Hoa, kembali perhatian Lin Lin seluruhnya tercurah kepada puterinya dan kegelisahanya timbul kembali.
Perjalanan mereka amat jauh, dan beberapa pekan kemudian setelah melaksanakan perjalanan cepat sekali, barulah mereka tiba di Kansu dan menuju ke kota Lancouw. Di sepanjang perjalanan mereka teringat akan segala pengalaman mereka yang penuh bahaya pada sepuluh tahun lebih yang lampau ketika mereka dengan kawan-kawan lain mengunjungi propinsi ini.
Cin Hai dan Lin Lin lalu masuk ke perkampungan orang Turki dimana dulu Yousuf tinggal. Orang-orang Turki yang tinggal disitu ternyata masih ingat kepada mereka, karena ketika mereka masuk ke kampung itu, mereka disambut dengan girang sekali oleh para kawan dari Yousuf itu. Cin Hai segera dihujani pertanyaan tentang keadaan Yousuf.
Ketika mendengar bahwa bekas pemimpin mereka itu telah tewas dengan keadaan amat menyedihkan, dipenggal kepalanya oleh seorang Turki lain yang brewok, maka sedihlah hati mereka.
“Bouw Hun Ti!” seru seorang diantara mereka yang sudah lanjut usianya. “Tentu Bouw Hun Ti si anjing pengkhianat yang melakukan hal itu.”
Cin Hai dan Lin Lin segera mendesak orang tua itu.
“Sahabat,” kata Cin Hai, “sesungguhnya kami datang dari tempat yang amat jauh, tak lain maksud kami hanya hendak menemui saudara-saudara dan minta pertolongan untuk menduga siapa adanya bangsat yang telah membunuh Yo Se Fu dan yang telah menculik puteri kami itu. Tadi kami mendengar disebutnya nama Bouw Hun Ti, siapakah gerangan dia itu dan mengapa kalian mengira bahwa dia yang melakukan perbuatan itu?”
Orang Turki tua itu baru saja datang dari Turki dan ia tahu akan keadaan Bouw Hun Ti, maka ia lalu menceritakan sejelasnya kepada Cin Hai dan Lin Lin. Ketika mendengar bahwa Bouw Hun Ti diutus oleh Pangeran Muda untuk membawa Yousuf dengan paksa ke Turki dan bahwa Bouw Hun Ti adalah putera dari Balutin dan terkenal jahat dan kejam dan berkepandaian tinggi, Cin Hai dan Lin Lin tidak ragu-ragu lagi bahwa memang dialah orang yang dicari-carinya.
Mereka lalu mengambil keputusan untuk menanti di Lancouw, menghadang perjalanan Bouw Hun Ti yang tentu akan pulang ke Turki membawa Lili yang diculiknya, karena menurut keterangan orang-orang Turki itu, Bouw Hun Ti sampai saat itu belum kembali dari timur.
Akan tetapi, setelah menanti dua pekan belum juga kelihatan penculik dan pembunuh itu datang, Cin Hai dan Lin Lin menjadi kecewa dan gelisah sekali. Betapapun lambat musuh itu melakukan perjalanan, tak mungkin akan makan waktu selama itu.
Akhirnya Cin Hai dan Lin Lin mengambil keputusan untuk kembali ke timur, mencari musuh yang membawa lari puteri mereka itu. Kepada orang-orang Turki yang berada disitu mereka minta tolong agar supaya mengamat-amati, jika melihat Bouw Hun Ti dan seorang anak perempuan, supaya berusaha merampas anak perempuan itu.
Orang-orang Turki itu maklum bahwa Lin Lin adalah anak angkat Yousuf, sehingga dengan demikian anak perempuan yang diculik oleh Bouw Hun Ti itu adalah cucu dari Yousuf, maka tentu saja mereka bersedia untuk membantu suami isteri itu dan menolong Lili.
Mereka maklum bahwa diantara mereka tidak seorang pun dapat melawan Bouw Hun Ti yang lihai, akan tetapi dengan akal dan tipu, mereka merasa yakin akan dapat menculik kembali anak itu dari tangan Bouw Hun Ti dan mengantarkannya kepada suami isteri itu.
Maka berangkatlah Cin Hai dan Lin Lin kembali ke timur. Sungguhpun mereka merasa kecewa dan gelisah, akan tetapi ada juga sedikit kegirangan karena telah mengetahui nama dan keadaan musuh besar mereka.
Kini mereka kembali ke timur tidak melalui jalan yang mereka lalui ketika mereka menuju ke Lancouw, yakni jalan sebelah selatan, akan tetapi mereka melalui jalan sebelah timur, di sepanjang perbatasan Mongolia dalam. Mereka mengambil keputusan hendak mampir di tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menengok Hong Beng yang belajar ilmu silat disitu.
**** 019 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar