*

*

Ads

Minggu, 20 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 020

Mo-kai Nyo Tiang Le bersama dua orang anak-anak murid sutenya, yakni Lili dan Kam Seng, tiba di Gunung Beng-san. Dengan perlahan Nyo Tiang Le mengajak dua orang anak-anak itu mendaki bukit yang indah sambil menikmati pemandangan alam yang benar-benar mengagumkan.

Kam Seng kini setelah jatuh ke tangan orang-orang yang dapat ia percaya, timbul kembali sifat-sifat aslinya, yaitu pemberani, bersemangat, dan jenaka. Lili merasa suka kepada kawan ini dan ketika mendaki bukit yang indah itu, Lili dan Kam Seng mendahului supek mereka, karena Pengemis Setan ini sebentar-sebentar berhenti untuk menikmati keindahan pemandangan alam.

Lili dan Kam Seng sudah diberi tahu oleh supek ini bahwa tuiuan mereka adalah puncak bukit di sebelah utara itu. Maka mereka tidak sabar menanti supek mereka yang dapat berdiri diam bagaikan patung sampai lama sekali untuk menikmati tamasya alam.

“Supek benar-benar aneh,” kata Kam Seng sambil tertawa dan napas tersengal karena ia harus mengikuti Lili yang lebih gesit dan cepat gerakannya itu, “apakah keindahan pohon-pohon dan rumput di bawah gunung?”

Lili hanya tersenyum dan berkata,
“Hayo cepat kita naik. Itu di atas banyak kembang merah yang indah!” ia lalu melompat ke depan dengan cepat bagaikan seekor anak kijang. Tentu saja Kam Seng tak dapat menyusulnya, dan anak yang sudah terengah-engah karena telah mendaki bukit itu mencoba untuk mempercepat langkahnya sambil bersungut-sungut,

“Supek aneh, Lili juga aneh. Kembang macam itu saja, apa sih indahnya?”

Memang, Kam Seng yang semenjak kecilnya selalu menderita lahir batin, perasaannya menjadi acuh tak acuh, tak dapat merasai atau menikmati sesuatu yang sedap dipandang. Matanya telah terlalu banyak melihat hal-hal yang menimbulkan sedih dan putus harapan, bahkan dulu ketika ia menderita kelaparan dan kesengsaraan, segala sesuatu yang betapa indah pun nampak buruk dan menjemukan.

Karena Lili berhenti dan mengagumi bunga-bunga yang tumbuh di tepi jalan kecil itu, maka Kam Seng dapat menyusulnya juga. Lili meraba bunga itu, dan nampaknya girang bukan main. Kedua pipinya bersinar kemerahan, matanya berseri gembira. Ia memetik beberapa tangkai bunga yang terindah, diikat menjadi satu dan dibawanya dengan hati-hati dan penuh kesayangan.

Pada saat itu dari sebuah lereng bukit berlari turun seorang anak laki-laki yang gesit sekali gerakannya. Anak ini berwajah tampan dan gagah sekali. Sepasang alisnya hitam tebal, nampak jelas kulit mukanya yang putih kemerahan. Rambutnya juga tebal dan hitam, diikat di atas kepala dengan sehelai pita kuning. Tubuhnya tegap sehingga nampaknya sudah hampir dewasa, sungguhpun usianya sebenarnya baru sebelas tahun kurang. Matanya lebar dan bersinar terang, membayangkan bahwa ia mempunyai watak yang jujur.

Anak laki-laki ini berlari turun dengan muka mengandung kemarahan. Ia melihat dua orang anak yang berada di taman bunga itu dan melihat seorang anak perempuan memetiki kembang yang menjadi kesayangan gurunya, ia menjadi marah sekali.

“Hai! Jangan sembarangan memetik dan merusak kembang!” tegurnya dari jauh sambil berlari cepat menghampiri Lili dan Kam Seng.

Lili dan Kam Seng terkejut, lalu memandang. Kam Seng diam saja karena merasa bahwa kalau taman bunga ini kepunyaan seseorang, memang mereka berdua telah berlaku salah. Akan tetapi Lili yang berwatak keras tentu saja tidak mau mengaku salah begitu saja. Ia memutar tubuh menanti kedatangan anak laki-laki itu dan berteriak,

“Turunlah! Apa kau kira aku takut kepadamu? Kembang indah memang sudah seharusnya dipetik, mengapa kau bilang merusak?”

Anak laki-laki yang berlari turun itu ketika mendengar suara Lili dan setelah berada lebih dekat, berubah menjadi girang sekali dan ketika itu juga lenyaplah kemarahannya.

“Lili…!” serunya girang dan ia mempercepat larinya.

Lili tertegun mendengar suara ini. Tadi ia memang tak dapat melihat jelas, karena senjakala telah mulai tiba dan udara menjadi kurang terang. Kini mendengar suara panggilan itu, ia tertegun dan akhirnya berlari menyambut anak laki-laki itu sambil berseru,

“Hong Beng…!!”

Lili memang semenjak kecil menyebut kakaknya dengan memanggil namanya begitu saja, tanpa diberi tambahan kakak atau engko. Sungguhpun berkali-kali ayah-bundanya menyuruh ia menyebut Hong Beng kakak, namun anak yang bandel ini tetap saja tidak pernah mentaatinya dan tetap menyebut kakaknya Hong Beng saja!






Segera kedua orang anak itu berhadapan dan dengan girang Hong Beng memegang kedua tangan adiknya.

“Lili… dengan siapa kau datang? Mana Ayah dan Ibu? Dan siapakah Siauwko (Engko Kecil) itu?”

“Aku datang bersama Supek. Ayah dan Ibu tentunya berada di rumah, dan dia ini adalah Kam Seng, anak yatim piatu yang diambil murid oleh Suhu.”

Hong Beng tercengang mendengar keterangan singkat ini.
“Eh, siapakah Supekmu dan siapa pula Suhumu? Mengapa kau meninggalkan rumah?”

Memang sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Hong Beng dibawa oleh ayahnya ke puncak Beng-san untuk berguru kepada Pok Pok Sianjin, seorang tua berilmu tinggi yang menjadi tokoh besar di barat. Ketika ia pergi, adiknya berada di rumah dan tidak mempunyai guru karena seperti juga dia sendiri, adiknya pun belajar silat dari ayah ibu mereka. Mengapa tiba-tiba saja adiknya itu mempunyai seorang suhu dan supek dan meninggalkan rumah?

Lili hendak menuturkan pengalamannya, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara suling yang amat nyaring dari atas puncak.

“Ah, Suhu sedang berlatih. Mari kau kubawa menghadap Suhu. Kau juga ikutlah Saudara Kam Seng. O ya, mana itu Supekmu yang kau katakan datang bersamamu?”

“Supek sedang tergila-gila kepada pohon dan kembang, maka tertinggal di belakang.”

Lili menerangkan sambit tertawa. Ia telah memungut kembangnya kembali dan memegangnya dengan sayang. Akan tetapi Hong Beng minta kembang itu dan berkata,

“Lili, Suhu akan marah kalau melihat kembangnya dipetik orang.”

“Mengapa?” tanya Lili dengan heran.

“Menurut penuturan Suhu, kembang mempunyai semangat seperti orang pula, maka memetik kembang yang sedang mekar berarti sama dengan membunuh seorang muda seperti kita!”

Lili memandang kakaknya dengan mata terbelalak penuh rasa sesal, akan tetapi sambil tertawa Hong Beng lalu menggandeng tangannya dan mengajaknya berlari naik ke puncak dari mana terdengar suara tiupan suling yang aneh itu.

“Hayo, Kam Seng. Larilah yang cepat!” ajak Lili sambil menoleh ke belakang, dan merahlah muka Kam Seng karena mana bisa ia berlari cepat di jalan menanjak yang sukar itu? Terpaksa ia menguatkan kaki dan tubuhnya yang sudah lelah untuk mengikuti mereka, akan tetapi tertinggal jauh!

Setelah suara suling itu makin terdengar jelas karena sudah dekat, tiba-tiba Hong Beng menahan langkah kakinya dan berkata,

“Ah, orang yang tak tahu diri itu datang lagi rupanya!”

Lili tak sempat bertanya karena kakaknya menggandeng tangannya dan diajak berlari cepat menuju ke puncak dari mana terdengar suara suling yang makin nyaring menusuk telinga itu.

Ketika mereka tiba di tempat itu, Lili memandang dengan penuh keheranan ke depan. Di atas tanah yang rata nampak dua orang sedang bergerak cepat dan aneh.

Yang seorang adalah seorang kakek berambut dan berjenggot putih yang bergerak-gerak sambil meniup suling, sedangkan yang seorang lagi adalah seorang setengah tua yang bergerak menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menyambar kelinci.

Lili menutup telinganya karena suara suling yang nyaring itu benar-benar membuat telinganya terasa sakit. Adapun Kam Seng yang datang sambil terengah-engah kelelahan, memandang pula dengan terheran-heran dan melongo, akan tetapi Hong Beng berdiri diam dan matanya memandang tajam ke arah dua orang yang sedang bertempur itu.

Kakek tua itu bukan lain adalah Pok Pok Sianjin sendiri. Memang aneh sekali kelihatannya, sungguhpun kakek itu meniup suling dengan enaknya dan lagu yang tertiup dari sulingnya terdengar merdu, akan tetapi suara suling itu amat nyaring dan seakan-akan mengandung tenaga gaib yang mengeluarkan hawa pukulan.

Buktinya, biarpun orang yang meloncat-loncat menyerang itu menggunakan seluruh kepandaiannya untuk menendang atau memukul, ia selalu terpental kembali sebelum dapat menyentuh tubuh Pok Pok Sianjin. Hawa yang keluar dari tiupan suling itu mengandung kekuatan lwee-kang dan khi-kang yang membuatnya tertangkis dan terdorong oleh tenaga yang tidak kelihatan!

“Orang itu adalah seorang jago silat dan mahir ilmu silat Pek-eng-kun-hoat (Ilmu Silat Garuda Putih). Telah beberapa kali ia datang minta berpibu (mengadu ilmu silat) dengan Suhu, akan tetapi Suhu tidak mau meladeninya. Ternyata sekarang dia datang lagi, benar-benar orang tak tahu diri!”

Baru saja Hong Beng berkata demikian, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dan tahu-tahu tubuh orang yang menyerang Pok Pok Sianjin itu terlempar ke belakang, jatuh bergulingan. Akan tetapi ia cepat melompat bangun kembali dan memandang ke arah orang yang tertawa tadi. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Mo-kai Nyo Tiang Le yang entah kapan telah berada di tempat itu pula!

Tentu saja Lili merasa heran karena tadi supeknya tertinggal di belakang mengapa sekarang telah mendahuluinya berada di tempat itu?

Orang yang terguling tadi setelah memandang kepada Mo-kai Nyo Tiang Le, lalu menjura dan berkata,

“Mo-kai (Pengemis Setan), aku telah menerima pengajaran, lain kali bertemu pula!” Setelah berkata demikian, ia lalu melompat jauh dan menghilang di bawah gunung!

Nyo Tiang Le bergelak-gelak dan Pok Pok Sianjin lalu menyimpan kembali sulingnya.
“Mo-kai, kau masih saja bertangan jail, pukulanmu Soan-hong-jiu (Pukulan Kitiran Angin) telah membuat ia menjadi gentar dan pergi dengan hati mendendam kepadamu!”

Nyo Tiang Le memang tadi telah melancarkan dorongan dari jauh dan hanya dengan angin pukulannya saja telah berhasil mendorong roboh orang tadi, sungguh dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian Pengemis Setan ini! Ia tersenyum dan berkata sambil menghela napas,

“Pok Pok Sianjin, mengapa kau suka melayani segala macam orang seperti dia? Bukankah dia itu sute dari Ban Sai Cinjin? Aku pernah melihat orang tadi maka aku berani mendorongnya agar ia jangan mengganggu kau orang tua lebih lanjut.”

Pok Pok Sianjin mengangguk-angguk,
“Memang, dia adalah adik seperguruan Ban Sai Cinjin dan namanya Lu Tong Kui. Ia menjagoi di Lok-yang dan telah beberapa hari ini ia merengek-rengek dan mendesakku untuk mengadakan pibu. Tentu saja aku menolaknya, akan tetapi ia mendesak terus dan menyatakan bahwa jauh-jauh dari Lok-yang ia datang untuk menguji kepandaianku. Aku tidak tega dan terpaksa melayaninya bermain-main sebentar.”

Nyo Tiang Le tertawa kembali makin keras.
“Ha-ha-ha, kau orang tua benar-benar keterlaluan! Kau bilang tidak tega akan tetapi kau telah mainkan Seng-im-khi-kang, kalau aku tidak keburu mendorongnya roboh dengan Soan-hong-jiu, apakah ia tidak akan menderita luka-luka hebat di dalam tubuhnya terkena serangan hawa dari sulingmu? Ha-ha-ha!”

Pok Pok Sianjin juga tertawa.
“Kau kira aku sekejam itu? Aku baru mempergunakan Seng-im-khi-kang setelah yakin bahwa ia cukup kuat untuk menghadapi itu! Eh, Setan Tua, kau baik sekali. Telah lama aku merasa rindu kepadamu, apakah kau datang hendak menantangku main catur?”

Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak.
“Asal bertaruh minum arak baik, siapa takut kepandaian caturmu?”

Pada saat itu, Hong Beng menarik lengan tangan adiknya dan diajak berlutut di depan Pok Pok Sianjin.

“Suhu, ini adalah adik teecu yang bernama Lili!”

Pok Pok Sianjin memandang kepada Lili, mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,

“Seperti ibunya… seperti ibunya…!”

Sementara itu, Nyo Tiang Le memandang kepada Hong Beng dan berkata,
“Inikah putera Pendekar Bodoh? Pantas sekali! Jadi kau orang tua telah menerima kehormatan mendidik putera Pendekar Bodoh? Satu kehormatan besar dan kau beruntung sekali Pok Pok Sianjin!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar