Sabtu, 26 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 030

Akan tetapi segata sesuatu di dunia ini tidak kekal adanya. Bahkan keadaan yang ditimbulkan karena kekuasaan alam yang sewajarnya pun masih tidak kekal adanya, apalagi keadaan yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang tidak wajar.

Khasiat telur Pek-tiauw itu biarpun luar biasa sekali, namun ada pantangannya, yaitu wanita yang telah makan obat ini, apabila mempunyai putera, akan musnahlah khasiat obat itu, bahkan akibatnya mengejutkan sekali. Ang I Niocu setelah melahirkan seorang putera, tidak saja kecantikan dan kemudaannya lenyap, ia nampak amat tua dua kali lipat seperti seorang wanita berusia delapan puluh tahun!

Di bagian depan telah diceritakan bahwa karena batinnya menderita disebabkan oleh keriput di wajahnya dan uban di kepalanya yang membuatnya nampak tua sekali, diam-diam Ang I Niocu meninggalkan suaminya, Lie Kong Sian, dan pergi merantau membawa putera tunggalnya.

Pendekar wanita ini merantau sampai jauh, dan semenjak meninggalkan pulau tempat tinggalnya, ia selalu memilih jalan yang sunyi agar tidak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya. Akhirnya ia memilih Pegunungan Ho-lan-san sebagai tempat tinggalnya dimana ia mendidik puteranya, Lie Siong, dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan.

Tempat tinggalnya hanya di dalam sebuah gua yang besar dan amat dalam. Akan tetapi di dalam hidup penuh kesederhanaan ini, ia selalu memperhatikan keperluan putranya yang amat dicintainya. Segala keperluan Lie Siong, makanan lezat dan pakaian indah sampai barang-barang permainan apa saja, ia adakan dan tak segan-segan pada malam hari Ang I Niocu mendatangi kota-kota besar untuk mencari barang-barang itu.

Dengan amat rajin, Ang I Niocu menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lie Siong. Ia mengajarkan ilmu silat pedang yang luar biasa, Sianli-utauw (Tari Bidadari), Ngo-lian-hoan-kiam-hwat (Ilmu Pedang Lima Teratai), ilmu pukulan yang disebut Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), dan juga Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak)!

Lie Siong ternyata memiliki otak yang cerdik dan bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mempelajari semua ilmu itu dengan cepat dan baik sekali.

Akan tetapi, oleh karena ia hanya hidup bersama dengan ibunya yang menderita dan tak pernah bergembira, maka ia pun menjadi seorang pemuda yang amat pendiam, keras hati, dan angkuh.

Ang I Niocu merasa demikian bangga kepada puteranya ini sehingga ketika puteranya baru berusia empat belas tahun, ia sengaja mencarikan sebuah senjata istimewa untuk Lie Song. Ang I Niocu mendengar tentang seorang kepala rampok di Kun-lun-san yang mempunyai sebatang senjata yang disebut Sin-liong-kiam (Pedang Naga Sakti). Tanpa menghiraukan jauhnya tempat itiu dan kesukaran yang dihadapinya, Ang I Niocu mendatangi tiga kepala rampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya ia berhasil mengalahkan si kepala rampok dan merampas senjatanya!

Demikianlah, dengan Sin-liong-kiam di tangannya Lie Siong makin gagah seakan-akan seekor harimau muda tumbuh sayap. Beberapa kali anak muda ini bertanya kepada ibunya tentang ayahnya, dan Ang I Niocu juga tidak menyembunyikan sesuatu. Ia menceritakan kepada Lie Siong tentang ayahnya yaitu Lie Kong Sian dan mengapa mereka meninggalkan Pulau Pek-le-to.

Juga Ang I Niocu menceritakan tentang pendekar-pendekar silat yang menjadi kawan-kawannya seperti Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya Kwee Lin, sepasang suami isteri murid Bu Pun Su yang amat pandai. Ia menceritakan pula tentang Kwee An dan Ma Hoa, sepasang suami isteri pendekar yang juga memiliki ilmu silat tinggi yang menjadi sahabat baiknya.

“Kelak kalau kau bertemu dengan mereka, kau akan dapat menarik banyak pelajaran dari empat orang pendekar ini, Siong-ji,”

Ang I Niocu seringkali berkata. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa hati puteranya itu lebih tinggi dan lebih angkuh daripada hatinya sendiri ketika masih muda. Mendengar ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh dan yang lain-lain, hati Lie Siong tidak menjadi tunduk, bahkan ia merasa penasaran dan ingin sekali mencoba sampai dimana kepandaian mereka itu!

Beberapa kali Lie Siong minta kepada ibunya untuk turun gunung, akan tetapi ibunya selalu mencegahnya.

“Kepandaianmu masih belum cukup sempurna, Siongji. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang jahat, dan kalau kau tidak memiliki kepandaian yang tinggi, kau akan mudah terganggu oleh orang-orang yang jahat dan pandai.”

Demikianlah, pada pagi hari itu, seperti biasa Lie Siong berlatih ilmu silat pedang di bawah pengawasan ibunya. Kali ini Ang I Niocu merasa puas betul karena ternyata bahwa gerakan ilmu pedang puteranya sudah sempurna, tidak ada kesalahan sedikit pun. Diam-diam ia maklum bahwa sekarang kepandaian puteranya telah mencapai tingkat yang tak lebih rendah daripada kepandaiannya sendiri! Ia telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada putera tercinta ini.






“Siong-ji,” kata Ang I Niocu sambil duduk di dekat puteranya dan memandang dengan mata penuh kasih sayang, “sekarang aku berani menyatakan bahwa kepandaianmu sudah sampai di tingkat yang cukup tinggi. Aku dapat meninggalkan dunia ini dengan hati lega karena kepandaianmu ini sudah cukup untuk digunakan sebagai penjaga diri.”

Berseri wajah Lie Siong mendengar ini. Biasanya, sehabis berlatih, ibunya selalu masih mencelanya.

“Kalau begitu, sudah tiba waktunya bagiku untuk turun gunung, Ibu?”

Ang I Niocu menggeleng kepala.
“Berat bagiku untuk berpisah darimu, Anakku. Kalau kau pergi, bagaimanakah dengan aku?”

“Mengapa, Ibu? Mengapa Ibu tidak ikut turun gunung? Marilah kita turun dari tempat yang sunyi ini. Apakah selama hidup Ibu tidak mau bertemu dengan manusia?”

Tiba-tiba kerut di jidat Ang I Niocu makin mendalam.
“Tengoklah aku, Siong-ji. Lihatlah mukaku baik-baik! Alangkah akan malu hatiku dan hatimu apabila orang lain melihat mukaku yang buruk ini!” Ia lalu menarik napas panjang berulang-ulang.

Lie Siong juga mengerutkan keningnya dan memandang wajah ibunya.
“Aneh sekali, Ibu. Aku telah merasa heran karena kau selalu menyebut hal ini. Menurut pandanganku wajahmu amat cantik dan aku bangga melihat wajahmu, Ibu. Mengapa kau selalu menganggap wajahmu buruk? Aku sudah seringkali melihat wanita-wanita di dusun bawah gunung dan tak seorang diantara mereka memiliki mata sebening mata Ibu, bentuk muka secantik muka Ibu! Ibu sama sekali tidak buruk, hanya nampak tua, itu betul. Akan tetapi, apakah hal ini perlu dibuat malu? Apakah yang tidak akan menjadi tua di dunia ini? Benda-benda yang paling keras dan kuat, akhirnya akan menjadi tua pula!”

Ang I Niocu memegang tangan puteranya.
“Ah, Siong-ji, kalau saja kau dapat melihat wajah ibumu di waktu masih muda dulu! Ah, dibandingkan dengan sekarang, bedanya seperti bumi dengan langit!”

“Aku tidak peduli, Ibu. Bagiku, bagaimanapun juga perubahan yang terjadi kepada wajahmu, kau tetap ibuku. Tua atau muda, cantik atau buruk, seorang Ibu tetap menjadi wanita termulia di dunia ini! Marilah kita turun gunung, Ibu, dan aku bersumpah, siapa saja yang berani mencela wajah Ibu, yang berani menghina atau membikin malu kepadamu, akan kupecahkan kepalanya!”

Dengan terharu Ang I Niocu memeluk puteranya.
“Aku girang mendengar ucapanmu ini, Siong-ji. Kau tak perlu khawatir, kurasa tidak ada seorang pun di dunia ini yang begitu berani menghina Ang I Niocu! Seandainya ada, tak perlu kau mengeluarkan peluh, aku sendiri masih cukup kuat untuk meremukkan kepalanya!”

“Kalau begitu, kau turun gunung, Ibu?”

Kembali kening Ang I Niocu berkerut.
“Nanti dulu, Siong-ji… aku masih ragu-ragu… wajahku ini…”

Lie Siong bangun berdiri dan membanting-banting kaki.
“Lagi-lagi Ibu bicara tentang wajah…!”

“Ah, kau tidak tahu, Anakku. Dulu, Ang I Niocu adalah secantik-cantiknya orang, akan tetapi sekarang, seburuk-buruknya wanita! Bagaimana aku dapat menghadapi mereka?”

“Mereka siapa, Ibu?”

“Ayahmu, Pendekar Bodoh, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa…”

“Sudahlah, sudahlah! Aku bosan mendengar nama mereka kau sebut-sebut saja!” kata Lie Siong sambil mempergunakan kedua tangan untuk menutup telinganya!

Pada saat itu, Ang I Niocu yang tadinya masih duduk di atas tanah, melompat bangun dan memegang lengan anaknya. Ia mendengar sesuatu dan sebelum ia dan puteranya dapat bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dengan gesitnya dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang hwesio gundul yang berpakaian putih dan berusia kurang lebih enam puluh tahun.

Hwesio ini bermuka lebar, bermata tenang berpengaruh dan mulutnya selalu tersenyum sabar. Dia adalah Pek I Hosiang yang sengaja datang mencari ke dalam hutan ini karena hendak menyaksikan sendiri bagaimana macamnya “Sepasang Iblis” yang ditakuti orang-orang itu.

Ia telah dapat menemukan gua tempat tinggal sepasang iblis itu dan melihat golok dan kapak milik tiga orang rnuridnya berserakan di depan gua. Melihat gua itu kosong dan sunyi, Pek I Hosiang lalu mencari ke tempat lain dan akhirnya ia mendengar suara dua orang bercakap-cakap maka cepat menghampiri mereka.

Pek I Hosiang cepat membungkuk dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.
“Omitohud! Harap dimaafkan apabila pinceng mengganggu Ji-wi, dan datang tanpa diundang. Kalau pinceng tidak salah duga, Ji-wi tentulah sepasang pendekar yang mengasingkan diri di dalam hutan ini, dan yang telah disohorkan oleh semua orang di sekitar pegunungan ini.”

Tiba-tiba Ang I Niocu melangkah maju menghadapi hwesio itu dan membentak,
“Pergilah…! Kau hwesio tak tahu adat, pergilah dari sini!”

Pek I Hosiang terkejut melihat wanita tua yang amat galak ini, akan tetapi dengan sabar ia tersenyum dan kembali memberi hormat.

“Maaf, maaf! Sudah pinceng akui tadi bahwa pinceng berlaku lancang, akan tetapi pinceng memang sengaja datang hendak berkenalan dengan Ji-wi yang lihai. Pinceng mendengar tentang keadaan Ji-wi dari tiga orang murid pinceng yang beberapa hari yang lalu telah berlaku kurang ajar dan menerima hukuman. Pinceng bernama Pek I Hoasiang dan menjadi ketua dari kelenteng di bawah gunung. Pinceng sengaja datang untuk memintakan maaf bagi ketiga murid pinceng. Bolehkah kiranya pinceng mengetahui, Ji-wi siapakah?”

“Sudahlah, sudahlah!” Ang I Niocu membanting-banting kakinya dengan gemas dan hilang sabar. “Kami tidak ingin mengetahui namamu dan tidak ingin pula memperkenalkan nama. Kau pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku dan menjatuhkan tangan kepadamu!”

Akan tetapi Pek I Hosiang masih tetap tenang dan sabar.
“Toanio (Nyonya Besar), harap suka berlaku sabar, karena sesungguhnya pinceng tak bermaksud buruk. Sudah bertahun-tahun pinceng mendengar tentang adanya sepasang siluman di hutan ini, tetapi pinceng tidak percaya dan menduga bahwa yang dianggap siluman tentulah dua orang sakti yang bertapa disini.”

“Cukup…! Pergi…!” Ang I Niocu membentak lagi.

“Omitohud! Banyak sudah pinceng ketemu orang-orang pandai, akan tetapi tidak ada yang seaneh Ji-wi ini…”

“Kau mencari penyakit!” Sambil membentak marah, Ang I Niocu lalu maju menyerang dengan sebuah pukulan dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut. Pukulan ini hebat luar biasa sekali, karena dari kedua lengan tangannya mengebul uap putih!

“Omitohud!”

Kembali Pek I Hosiang menyebut nama Buddha dan cepat seperti kilat ia mengelak sambil menangkis dengan tangan kanannya. Ketika dua lengan tangan beradu, Pek I Hosiang berseru kaget dan terhuyung-huyung mundur tiga tindak, sedangkan Ang I Niocu juga merasa betapa tenaga pukulannva terbentur pada tenaga yang amat kuat. Ia merasa heran sekali karena jarang ada orang yang dapat menahan pukulan Pek-in-hoat-sut! Ia maklum bahwa hwesio ini bukanlah orang sembarangan.

Sebaliknya, melihat pukulan ini, Pek I Hosiang memandang dengan mata terbelalak.
“Bukankah… pukulan tadi sebuah gerakan dari Pek-in-hoatsut?” katanya sambil memandang dengan mata terbelalak.

Kembali Ang I Niocu tertegun.
“Kau sudah mengetahui kelihaian pukulanku, tidak lekas minggat dari sini??” Ia maju lagi, siap menyerang kembali.

“Ah… kalau begitu…, Toanio ini, tentulah Ang I Niocu!”

Bukan main terkejut dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar bahwa hwesio tua ini telah mengenalnya. Selama ini ia berusaha untuk menjauhi manusia agar tidak ada orang melihat bahwa Ang I Niocu yang cantik jelita kini telah berubah menjadi seorang nenek tua buruk.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar