Sabtu, 26 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 029

Kedua orang kawannya ragu-ragu, akan tetapi karena tidak melihat bayangan tadi muncul kembali, sedangkan sute mereka dengan berani sudah keluar dari balik pohon dan menuju ke tempat bayangan tadi menghilang, mereka juga mengikuti sute mereka. Benar saja, di tempat yang meninggi, terdapat sebuah gua yang lebar. Gua ini amat gelap sehingga tidak kelihatan apakah gua itu merupakan terowongan atau bukan.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari dalam,
“He! Kalian mau apa datang ke sini? Hayo cepat pergi!”

Berbareng dengan ucapan itu, terlihat berkelebat bayangan putih keluar dari gua yang gelap itu dan tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang pemuda yang luar biasa eloknya!

Muka pemuda ini berkulit halus dan putih, matanya tajam berpengaruh dan mulutnya yang kuat dan membayangkan kehendak yang teguh dan kemauan yang membaja. Tubuhnya sedang dengan pinggang langsing, pakaiannva sederhana akan tetapi rapi, seperti pakaian seorang pelajar, berwarna putih. Ia mengenakan mantel panjang yang putih pula, dan diantara semua pakaian yang menutup tubuhnya, hanya leher baju yang menurun terus ke pinggang dan kopyahnya saja yang berwarna biru. Juga sepatunya berwarna hitam. Memang janggal sekali melihat seorang penghuni gua yang berpakaian sedemikian putih bersih.

Melihat pemuda ini hanya seorang manusia biasa, bukan seorang iblis, ketiga orang penebang pohon itu bernapas lega.

“Kami adalah penebang-penebang kayu dan hendak mencari pohon besi yang banyak tumbuh di hutan ini,” jawab penebang tertua.

Pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, digoyang beberapa kali lalu berkata,
“jangan kalian melakukan hal itu. Lebih baik lekas kalian pergi dari sini!”

Penebang kayu yang termuda melangkah maju dan berkata marah,
“Orang muda, dengan alasan apakah kau melarang kami melakukan penebangan pohon besi di hutan ini? Dan hak apakah yang kau andalkan untuk mengusir kami?”

“Alasannya, kalau kau melakukan penebangan pohon, berarti kau melanggar laranganku dan ini berbahaya sekali bagi keselamatanmu. Adapun tentang hak, aku menggunakan hak sebagai seorang yang lebih dulu datang di tempat ini daripada kalian bertiga!”

Marahlah penebang muda itu.
“Kau anak kecil sombong amat! Kalau kami bertiga melanjutkan kehendak kami, kau mau apakah? Apakah kau ini siluman yang menguasai hutan ini seperti yang dikabarkan orang?”

“Tutup mulut dan pergilah!” seru pemuda itu dan biarpun sikapnya masih setenang tadi, namun sepasang alisnya yang indah bentuknya itu mulai bergerak-gerak.

Akan tetapi, biarpun sinar mata pemuda ini tajam dan berpengaruh, namun ia hanya merupakan seorang pemuda yang halus dan tidak nampak berbahaya. Tentu saja tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tidak takut menghadapinya. Mereka bertiga lalu mengeluarkan senjata mereka yang menyeramkan, yaitu tangan kanan memegang golok lebar yang tajam sedangkan tangan kiri memegang sebatang kapak yang tidak kalah hebatnya.

“Ha-ha, anak muda! Betapapun galaknya mulutmu, kami tidak takut. Kami hendak menebang pohon dengan kapak dan golok ini, kau mau apa? Ha-ha-ha!”

Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, pemuda itu telah lenyap. Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan putih dan penebang pohon yang termuda ini memekik keras ketika merasa betapa kapak dan goloknya bagaikan bisa terbang sendiri meninggalkan kedua tangannya tanpa dapat dicegah pula! Ternyata bahwa dengan sekali gerakan saja, pemuda baju putih itu telah berhasil merampas kapak dan goloknya yang kini dilempar di atas tanah!

Dua orang penebang yang lain menjadi marah dan terkejut sekali. Sambil berseru marah, mereka lalu maju menyerang dan pada saat itu, dua batang golok dan dua batang kapak telah menyambar ganas menuju ke tubuh pemuda baju putih itu!

Akan tetapi kembali mereka dibikin bengong oleh pemuda aneh itu. Agaknya tubuh pemuda itu tidak bergerak sama sekali, buktinya kedua kakinya tidak berpindah tempat. Hanya kedua lengan tangannya saja bergerak cepat dan tubuhnya bergoyang-goyang menghindari sambaran keempat senjata itu dan…

“aduh…! aduh…!” dua orang itu merasa kedua lengan mereka tiba-tiba menjadi lemas dan sakit sekali karena entah dengan gerakan bagaimana, jari-jari tangan pemuda itu telah berhasil menotok pergelangan kedua tangan penebang pohon itu!

Kembali senjata-senjata mereka terpaksa mereka lepaskan dan jatuh bertumpuk di atas tanah!






Sudah tentu saja mereka bertiga hampir tak dapat percaya akan kejadian yang baru saja mereka alami itu. Bagaimanakah mereka yang memegang senjata dan memiliki kepandaian tinggi, kini dipaksa melepaskan senjata dengan cara yang demikian mudahnya oleh pemuda ini? Ilmu silat apakah yang dipergunakan oleh pemuda baju putih itu untuk menghadapi mereka? Mereka hanya memandang dan berdiri bagaikan patung. Silumankah pemuda ini, demikian mereka berpikir dan memandang dengan hati merasa seram.

“Pergilah…! Pergilah…!” pemuda itu dengan acuh tak acuh berkata sambil menggerakkan tangan kanan seperti mengusir lalat yang mengganggunya!

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam gua.
“Siong-ji…, lempar saja tikus-tikus itu ke dalam jurang! Untuk apa melayani mereka!”

Pemuda baju putih itu menengok ke arah gua dan menjawab,
“Mereka hanyalah tiga penebang pohon yang tak berarti, Ibu!”

“Mereka telah lancang, berani mendekati tempat kita!” suara dari dalam gua itu makin nyaring dan tiba-tiba tiga orang penebang pohon itu melihat berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali cepatnya. Belum sempat mata mereka melihat dengan jelas, tiba-tiba mereka telah roboh pingsan!

Ketika tiga orang penebang pohon itu siuman kembali, mereka mendapatkan diri telah berada di luar hutan yang menyeramkan itu! Sambil mengeluh mereka meraba pundak mereka yang masih terasa sakit dan linu, bekas tertotok secara luar biasa sekali oleh bayangan merah tadi.

“Ah, Sute. Kalau kau tadi mendengar omonganku, tidak akan kita mengalami kesengsaraan ini!” kata yang tertua sambil bangun dengan tubuh masih lemas.

Penebang termuda tak dapat menjawab karena pengalaman tadi masih membuatnya berdebar-debar.

“Mereka itukah siluman-siluman yang ditakuti orang?” tanyanya perlahan.

“Mungkin! Mana ada orang semuda itu sudah sedemikian lihainya? Hanya siluman saja yang dapat merampas senjata kita secara demikian aneh,” kata orang ke dua.

“Dan bayangan merah tadi… apakah dia itu? Ia pandai bicara, akan tetapi gerakannya demikian hebat! Hebat dan mengerikan!” kata yang tertua sambil bergidik teringat akan serangan bayangan merah tadi. “Sungguh berbahaya sekali!”

“Betapapun juga, aku masih penasaran, Suheng!” kata yang termuda. “Tak mungkin pemuda tadi seorang siluman. Memang kepandaiannya hebat luar biasa, akan tetapi ia seorang manusia biasa saja, bukan setan. Apakah pekerjaan mereka berdua di tempat itu? Jangan-jangan mereka adalah orang-orang jahat yang menyembunyikan diri.”

“Habis kau mau apa, Sute? Terhadap orang-orang lihai seperti mereka, lebih baik kita menjauhkan diri,” kata yang tertua.

“Celaka, kapak dan golok kita tertinggal di depan gua!” mengeluh orang ke dua.

“Kita harus melaporkan hal ini kepada Suhu!”

Demikianlah, sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa aneh itu, ketiga penebang pohon ini lalu kembali ke dusun tempat tinggal mereka. Karena mereka menceritakan pengalaman mereka kepada kawan-kawan di dusun, maka sebentar saja gegerlah dusun itu dan semua orang membicarakan sepasang “siluman” di hutan itu yang disebutnya “Pek-ang-siang-mo” (Sepasang Iblis Putih Merah).

Pek I Hosiang mendengarkan penuturan tiga orang muridnya dengan penuh perhatian dan hatinya amat tertarik. Akan tetapi ia tidak menyatakan perhatiannya, bahkan ia lalu menegur ketiga orang muridnya itu.

“Kalian bertiga memang telah berlaku lancang. Mana ada siluman di dunia ini? Seperti yang kuduga, mereka adalah orang-orang pandai yang bertapa. Mungkin pemuda itu murid si pertapa yang kalian lihat sebagai bayang-bayang merah. Lain kali janganlah kalian berlaku lancang. Hutan di sekitar pegunungan ini amat banyak, mengapa justru mencari di tempat yang terlarang itu?”

Sungguhpun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya Pek I Hosiang merasa tertarik dan ingin sekali menyaksikan sepasang siluman itu dengan mata kepala sendiri. Sebagai seorang hwesio, ia tidak menghendaki permusuhan, akan tetapi sebagai seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi, tentu saja ia amat tertarik mendengar tentang kelihaian ilmu silat orang lain. Ia ingin sekali melihat siapakah gerangan orang pandai yang menyembunyikan diri di tempat itu. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk pergi sendiri menemui dua orang aneh itu.

Di dalam hutan yang dianggap oleh penduduk sebagai tempat tinggal Pek-ang-siang-mo itu, terdapat sebuah lapangan terbuka dekat sebatang anak sungai yang bening airnya.

Pemandangan disitu sungguh indah. Pada suatu pagi, di kala burung-burung hutan berkicau dan bersuka-ria menyambut datangnya sang Matahari, di atas lapangan nampak sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti bayangan putih yang cepat sekali gerakannya.

Kadang-kadang gerakan sinar pedang itu mengendur dan tampaklah bayangan putih itu sebagai tubuh seorang pemuda baju putih yang sedang mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat indahnya. Di waktu permainan ilmu pedangnya mengendur, ia seakan-akan sedang menari saja.

Tidak saja ilmu pedangnya yang aneh, bahkan pedang di tangan pemuda baju putih itu lebih aneh lagi. Disebut pedang bukan pedang, akan tetapi cara memegang dan memainkannya sama dengan pedang!

Senjata ini selain aneh juga indah akan tetapi juga mengerikan. Ukuran besar dan panjangnya tak berbeda dengan pedang biasa, akan tetapi senjata ini tidak tajam juga tidak runcing sehingga lebih tepat kalau disebut bentuknya seperti tongkat pendek.

Akan tetapi, senjata ini berbentuk ukiran sin-liong (naga sakti) membelit tiang. Ukirannya indah sekali dan agaknya terbuat daripada logam yang amat keras berkilauan, dan berwarna putih sedangkan tubuh naga yang melibatnya berwarna kuning.

Pemuda itu memegang naga itu pada ekornya sehingga kepala naga merupakan ujung senjata itu. Dari mulut naga kecil itu keluar lidah merah yang panjang dan mengerikan.
Setelah bermain silat dengan gerakan lambat dan indah, tiba-tiba ia memutar senjatanya makin lama semakin cepat dan kembali lenyaplah tubuhnya terbungkus oleh gulungan sinar senjatanya yang dahsyat.

“Cukup, Siong-ji (Anak Siong), kau mengasolah!” terdengar suara nyaring dari seorang wanita yang berdiri tak jauh dari situ sambil memandang permainan pemuda itu dengan penuh perhatian.

Wanita itu mengenakan pakaian serba merah sungguhpun pakaiannya itu amat sederhana potongannya, namun terbuat dari kain sutera dan amat bersih. Kalau orang melihatnya dari belakang atau dari samping, orang akan mengira bahwa ia adalah seorang wanita muda, karena bentuk tubuhnya yang langsing itu masih nampak kuat dan penuh, kulit tangannya halus dan putih.

Akan tetapi kalau orang berhadapan muka dengannya, ia akan terkejut melihat bahwa wanita ini nampak sudah tua sekali. Rambutnya hampir putih semua, kulit mukanya berkeriput, sungguhpun matanya masih bening dan bersinar tajam, bahkan giginya masih bagus dan rata seperti gigi wanita muda yang cantik!

Masih jelas nampak bahwa dia dulu adalah seorang wanita yang amat cantiknya dengan bentuk muka yang bagus. Kerut-merut pada jidatnya membayangkan penderitaan batin yang hebat dan mulutnya yang masih berbentuk manis sekali itu ditarik mengeras dan tak pernah nampak tersenyum.

Pembaca tentu telah dapat menduga siapa adanya wanita ini. Dia bukan lain adalah Ang I Niocu Kiang Im Giok, pendekar wanita yang di waktu mudanya telah menggemparkan dunia persilatan karena kegagahannya. Tak seorang pun ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mengenal atau tak mendengar namanya yang besar. Ia amat terkenal, baik karena kepandaiannya maupun karena kecantikannya yang luar biasa.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu adalah seorang wanita yang amat memperhatikan dan menyayangi kecantikannya sehingga untuk menjaga kecantikannya dari usia tua, ia tidak segan-segan untuk mencari obat kecantikan berupa telur Pek-tiauw (burung rajawali putih) dan telah banyak makan telur ini yang dapat memelihara kecantikannya. Di waktu ia berusia tiga puluh tahun lebih ia masih nampak cantik jelita bagaikan seorang gadis berusia tujuh belas tahun.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar