Sabtu, 26 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 028

Pegunungan Ho-lan-san memanjang dan menjadi tapal batas antara Mongolia dan daratan Tiongkok Propinsi Kansu. Sungguhpun pegunungan ini di kanan kirinya, terutama sekali di bagian utara, merupakan padang pasir yang amat luas, namun pegunungan ini cukup kaya akan hutan-hutan dan pepohonan. Hal ini adalah berkat mengalirnya Sungai Kuning, yang membuat lembah di sepanjang alirannya menjadi subur.

Oleh karena itu, tak heran apabila di tempat yang jauh dari dunia ramai ini telah banyak orang datang dan desa-desa yang cukup ramai terdapat di sepanjang sungai besar itu. Dengan adanya Sungai Huang-ho yang tak pernah mengering ini, lapangan pencarian nafkah hidup bagi mereka tidak kurang.

Selain bercocok tanam di lembah yang subur, para penduduk dapat pula bekerja sebagai nelayan, karena air sungai mengandung cukup banyak ikan. Selain ini, mereka dapat pula mengambil hasil hutan terutama kayu-kayu yang keras dan baik untuk pembangunan. Pekerjaan ini makin lama makin ramai dan bahkan ada beberapa orang yang cukup bermodal lalu mendirikan perusahaan kayu bangunan.

Tukang-tukang kayu disebar ke hutan-hutan untuk menebang pohon yang baik kayunya, kemudian kayu yang telah menjadi balok-balok besar itu lalu ditumpuk di pinggir sungai, siap dikirim ke mana saja datangnya pesanan. Untuk mengangkut kayu-kayu balok itu, air Sungai Huang-ho telah siap melakukannya tanpa menuntut bayaran sepotong uang pun!

Pada suatu hari, tiga orang laki-laki yang berusia tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampaknya kuat, berjalan mendaki sebuah puncak di Pegunungan Ho-lan-san. Mereka ini membawa alat-alat penebang kayu, yaitu tambang besar yang digulung dan digantungkan di pinggang, sebuah golok dan sebuah kapak besar yang berat dan tajam.

Ketika mereka tiba di luar sebuah hutan yang kecil akan tetapi liar dan gelap, mereka berhenti mengaso dan duduk di atas rumput. Sambil bercakap-cakap, mereka memandang ke arah hutan yang angker itu. Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang dari hutan itu, membuat bagian tanah di gunung ini nampak paling tinggi menonjol.

“Sute, aku masih saja merasa sangsi untuk memasuki hutan ini,” terdengar orang yang tertua berkata. “Bukankah Suhu sudah berpesan agar kita lebih baik jangan mengganggu hutan ini? Suhu sendiri katanya kalau melakukan perjalanan lewat disini mengambil jalan memutar. Menurut Suhu, bukan karena dia takut, akan tetapi sungkan menghadapi permusuhan dengan sepasang setan itu.”

“Ah, Twa-suheng,” kata yang termuda, mengapa kita harus percaya akan segala tahyul bodoh dari orang-orang dusun? Mereka itu hanya menyiarkan kabar bohong yang belum pernah mereka buktikan sendiri. Siapakah orangnya yang pernah melihat sepasang iblis itu? Aku tidak percaya. Kalau Suhu lain lagi, karena Suhu adalah seorang pendeta yang menghormati kepercayaan orang lain. Kita adalah orang-orang muda yang datang dari kota memiliki kepandaian, mengapa kita harus takut terhadap segala tahyul bohong?”

Orang kedua menyambung.
“Ucapan Sute memang ada benarnya, akan tetapi melihat keadaan hutan yang demikian liar dan angker, timbul juga perasaan tak enak di dalam hatiku. Dunia ini memang aneh dan banyak hal-hal yang belum kita mengerti. Bagaimana kalau kabar itu ternyata tidak bohong? Bagaimana kalau benar-benar muncul setan di tengah hari dan menyerang kita?”

“Mengapa takut?” kata pula yang termuda. “Percuma saja kita mempelajari ilmu silat sampai beberapa tahun lamanya, dan percuma pula kita menjadi murid Pek I Hosiang yang telah terkenal namanya di dunia kang-ouw! Lagi pula, kita bukan bermaksud buruk. Kita memasuki hutan untuk menebang pohon dan mencari kayu besi yang amat dibutuhkan. Kui-loya (Tuan Kui) akan membayar tiga kali lebih banyak daripada kayu-kayu biasa.”

Tiga orang yang nampak kuat dan gagah ini adalah tiga orang diantara banyak penebang pohon yang banyak bekerja di daerah ini. Mereka adalah murid-murid dari Pek I Hosiang, seorang hwesio yang menjadi ketua dari sebuah kelenteng di dalam dusun tempat tinggal mereka.

Hwesio ini memang berkepandaian tinggi dan ia mempunyai banyak sekali murid. Boleh dibilang, lebih tiga puluh orang penebang kayu yang muda-muda dan kuat-kuat menjadi muridnya!

Para penebang pohon ini menjual kayu yang mereka tebang pada perusahaan-perusahaan kayu yang banyak didirikan orang di tempat itu, di antaranya yang terbesar adalah perusahaan kayu milik orang she Kui yang berasal dari kota besar di daerah timur.

Sudah menjadi semacam dongeng yang amat dipercaya selama bertahun-tahun oleh penduduk di daerah Pegunungan Ho-lan-san, bahwa puncak yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, jurang-jurang dalam dan gua-gua yang angker itu menjadi tempat tinggal sepasang siluman atau iblis yang amat jahat.






Sesungguhnya, belum pernah terjadi pembunuhan atau penganiayaan terhadap manusia yang dilakukan oleh sepasang iblis itu, akan tetapi karena perasaan takut mereka, maka orang-orang lalu bercerita bahwa iblis-iblis yang meniadi penghuni hutan itu amat jahat dan mengerikan!

Hanya satu kali terjadi peristiwa yang membuktikan bahwa di hutan itu memang terdapat mahluk yang sakti, sungguhpun orang tak dapat membuktikan dengan nyata bahwa mahluk itu adalah iblis atau siluman. Terjadinya peristiwa itu telah dua tahun lebih, yaitu ketika serombongan piauwsu mengantar seorang hartawan bersama keluarganya yang melakukan perjalanan. Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, tiba-tiba, entah dari mana datangnya, terdengar suara bergema di empat penjuru dan suara ini berkata tegas,

“Lekas keluar dari hutan ini!”

Para piauwsu yang mengawal rombongan ini adalah orang-orang gagah yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak gentar menghadapi perampok-perampok dan bahkan jarang ada perampok berani mengganggu mereka. Akan tetapi, peristiwa ini baru sekali mereka alami, yaitu suara yang melarang mereka melalui sebuah hutan. Kepala rombongan itu lalu menjura ke empat penjuru dan menjawab,

“Mohon maaf sebanyaknya dari Tai-ong kalau kami berani berlaku kurang ajar dan melalui wilayah Tai-ong (Raja Besar, sebutan untuk kepala rampok) tanpa mendapat ijin lebih dulu. Kami bersedia membayar uang sewa jalan apabila Tai-ong kehendaki, akan tetapi harap Tai-ong perkenankan kami melalui jalan ini”

Untuk beberapa lama tak terdengar suara sesuatu, akan tetapi tiba-tiba terdengar lagi suara yang berlainan dengan suara pertama. Kalau suara pertama yang mengusir mereka keluar dari hutan tadi terdengar halus dan nyaring seperti suara wanita, sekarang terdengar suara yang juga halus dan nyaring, akan tetapi lebih besar seperti suara seorang pemuda.

“Jangan banyak cakap! Kami tidak butuh segala uang sewa jalan! Pergilah lekas dari hutan ini!”

Para piauwsu yang jumlahnya tujuh orang itu menjadi penasaran sekali. Mereka mencabut senjata masing-masing dan memandang ke sekeliling dengan sikap menantang.

“Kalau kami tidak mau pergi dan hendak melanjutkan perjalanan kami melalui hutan ini, kau mau apakah?” tanya kepala piauwsu itu dengan marah.

Kini yang menjawabnya adalah suara pertama yang masih terdengar halus akan tetapi amat berpengaruh.

“Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan! Kami memberi waktu sampai ada ayam hutan berkokok, itulah tanda bahwa kami akan bergerak apabila kalian belum keluar dari sini!”

Seorang diantara para piauwsu itu yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia, diam-diam mengeluarkan beberapa batang senjata piauw, dan tiba-tiba ia menyambitkan tiga batang piauw ke arah daun-daun pohon besar dari mana suara itu datang. Akan tetapi hanya terdengar berkereseknya daun terbabat senjata-senjata piauw itu, dan selain itu tidak nampak tanda-tanda bahwa di pohon itu terdapat manusianya! Yang mengherankan, tiga batang piauw tadi tidak turun lagi ke bawah, seakan-akan lenyap ditelan oleh daun-daun yang lebat itu.

Para piauwsu itu saling pandang dengan heran, sedangkan keluarga hartawan itu duduk berkumpul di dekat kereta dengan muka pucat.

“Tidaklah lebih baik kita mengambil jalan memutar saja?” tanya hartawan itu kepada kepala piauwsu.

Akan tetapi yang ditanya menggeleng kepala.
“Wan-gwe (sebutan hartawan) tidak tahu. Hal ini adalah soal kehormatan bagi piauwsu-piauwsu seperti kami. Kalau kami mengalah terhadap segala penggertak, bagaimana kami dapat menjadi piauwsu?”

Mereka menanti dengan hati penuh ketegangan dan tiba-tiba mereka terkejut ketika mendengar suara yang mereka nanti-nanti, yakni kokok seekor ayam hutan dari jauh.

“Waktunya sudah habis, kalian harus pergi!” tiba-tiba seru suara tadi dan entah dari mana datangnya, bagaikan meluncur dari atas awang nampak dua bayangan berkelebat cepat menubruk tujuh orang piauwsu tadi.

Para piauwsu itu terkejut sekali dan cepat memutar senjata untuk menyerang dua bayangan itu, akan tetapi alangkah terkejut mereka ketika bayangan itu lalu bergerak dengan amat cepatnya, merupakan sinar putih dan merah dan tahu-tahu senjata di tangan para piauwsu itu terlempar jauh!

Sebelum tujuh orang piauwsu itu sempat memandang, tahu-tahu mereka merasa sakit sekali pada pundak mereka, terdengar jerit mereka susul-menyusul dan tubuh mereka roboh tak dapat bangun kembali karena mereka telah terkena tiam-hwat (ilmu totok) yang lihai. Setelah itu, hanya nampak bayangan dua sosok tubuh berpakaian merah dan putih berkelebat lenyap di balik serumpun alang-alang!

“Itulah hukuman bagi tujuh orang piauwsu sombong!” tiba-tiba terdengar suara yang halus itu dari atas pohon. “Naikkan tujuh tikus itu ke atas kereta dan kembalilah kalian keluar dari hutan ini!”

Rombongan itu dengan amat ketakutan lalu menolong para piauwsu menaikkan dan menumpuk tubuh mereka yang lemas itu ke atas kereta lalu rombongan itu membalap keluar dari hutan!

Maka tersiarlah berita ini sehingga nama kedua iblis penghuni hutan amat terkenal dan semenjak itu tak seorang pun berani melangkahkan kaki memasuki hutan. Siapa orangnya yang takkan merasa takut dan ngeri mendengar betapa tujuh orang piauwsu ternama dibikin tak berdaya oleh sepasang siluman yang lihai itu?

Berita tentang sepasang iblis itu tentu saja tidak begitu dipercaya oleh pendatang-pendatang baru dari kota-kota besar, terutama sekali oleh orang-orang yang pandai ilmu silat.

Betapapun juga, karena mereka pun tahu bahwa di dunia ini banyak terjadi hal-hal aneh dan banyak sekali terdapat orang-orang pandai tidak berani mencoba untuk melanggar pantangan penduduk dan tidak mau memasuki hutan itu.

Bahkan Pek I Hosiang, seorang tokoh kang-ouw yang sudah ulung dan berkepandaian tinggi, juga menasehatkan murid-muridnya yang banyak jumlahnya agar supaya jangan mengganggu hutan itu.

“Siapa tahu,” kata hwesio itu kepada muridnya yang membantah, “kalau-kalau di tempat itu terdapat seorang pertapa yang mengasingkan diri dan tidak mau diganggu pertapaannya.”

Akan tetapi, sebagaimana telah dituturkan di depan, tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat itu duduk di luar hutan, merundingkan tentang kehendak mereka menebang kayu besi yang terdapat di hutan itu.

Mereka ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang terhitung pandai, dan sungguhpun tadinya yang tertua diantara rnereka masih merasa ragu-ragu untuk memasuki hutan itu, namun berkat desakan kedua orang sutenya (adik seperguruannya), akhirnya mereka masuk juga ke dalam hutan itu!

“Bagaimanapun juga, Sute, kita harus berhati-hati dan lebih baik bekerja diam-diam jangan banyak berisik,” kata orang tertua diantara ketiga orang penebang pohon itu.

Kedua sutenya menurut, karena memang keadaan hutan yang masih liar dan tak pernah dimasuki orang itu sangat menyeramkan.

Ketika mereka bertiga berjalan lambat sambil melihat ke kanan kiri untuk mencari pohon besi yang hendak mereka tebang, tiba-tiba orang tertua itu melihat sesuatu dan ia cepat memegang tangan kedua sutenya dan ditariknya mereka untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon yang besar.

“Lihat, apakah itu?” katanya kepada kedua orang sutenya yang memandang heran.

Dua orang kawannya memandang ke arah yang ditunjuknya dan mereka masih sempat melihat bayangan putih berkelebat cepat sekali.

“Orangkah dia?” seorang berbisik.

“Entahlah, akan tetapi gerakannya sungguh cepat!” memuji orang termuda yang paling tabah hatinya. “Mari kita mendekat, dia masuk ke dalam gua itu!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar