Kita mengikuti perjalanan Lo Sian yang membawa lari jenazah Lie Kong Sian. Setelah dapat melepaskan diri dari pengejaran Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti, Lo Sian lalu masuk ke dalam hutan pohon pek yang bersambung dengan hutan dimana terdapat kelenteng tempat tinggal Ban Sai Cinjin.
Ia memilih tempat yang baik, yaitu sebuah bukit kecil di tengah hutan yang amat baik hongsuinya (kedudukan tanahnya). Kemudian dengan penuh khidmat ia lalu mengubur jenazah pendekar besar Lie Kong Sian. Sampai lama Lo Sian bersila di depan gundukan tanah itu untuk mengheningkan cipta. Di dalam hatinya ia menyatakan terima kasihnya kepada mendiang Lie Kong Sian, dan juga menyatakan penyesalannya bahwa karena membela dia, pendekar besar itu sampai menemui maut di tangan Ban Sai Cinjin.
Kemudian Lo Sian lalu menanam sebatang kembang mawar hutan di depan gundukan tanah itu untuk menjadi tanda.
Setelah itu, Pengemis Sakti ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Beng-san untuk menyusul suhengnya yang membawa Lili dan Kam Seng ke puncak bukit itu. Sama sekali ia tak pernah mengira bahwa bahaya besar sedang mengancam dan mengejarnya. Siapakah yang menyangka bahwa Ban Sai Cinjin hendak menyusul dan mencarinya? Ia hanya mencuri mayat Lie Kong Sian dan hal ini bukanlah hal yang terlalu penting bagi Ban Sai Cinjin.
Lo Sian tidak tahu bahwa Ban Sai Cinjin mengejarnya karena ia dianggap satu-satunya orang yang telah mengetahui akan rahasia pembunuhan curang atas diri Lie Kong Sian.
Beberapa hari kemudian, baru saja Lo Sian keluar dari dusun, tiba-tiba di depannya berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Ban Sai Cinjin telah berdiri di depannya sambil tersenyum-senyum dan huncwe mautnya mengebulkan asap hitam! Ternyata bahwa kakek pesolek yang amat lihai ini telah dapat menyusulnya.
“Ha-ha, pengemis jembel!” kata Ban Sai Cinjin. “Apa kau kira kau dapat melarikan, diri begitu saja dariku setelah kau mencuri tubuh yang dibutuhkan oleh muridku?”
“Ban Sai Cinjin,” kata Lo Sian dengan gelisah, “aku tidak mengganggu muridmu dan tentang jenazah Lie Kong Sian itu, memang aku yang mengambil untuk dikubur sepatutnya. Dia adalah seorang pendekar besar dan sudah sepatutnya kalau jenazahnya dikebumikan dengan baik. Apakah perbuatanku itu kau anggap salah?”
“Hemm, Lo Sian, kau pandai memutar lidah! Kau telah berkali-kali mengganggu Bouw Hun Ti mencampuri urusannya. Sekarang kau membawa pergi mayat Lie Kong Sian. Dimanakah mayat itu sekarang?”
“Sudah dikubur dengan baik.” jawab Lo Sian.
“Bagus, dan jantungnya tentu sudah rusak. Kalau begitu, kau gantilah dengan jantungmu sendiri. Hayo pengemis jembel, kau serahkan jantungmu kepadaku, baru aku mau memberi ampun!”
Lo Sian tahu bahwa kakek ini sengaja mencari perkara. Bagaimana orang bisa hidup kalau jantungnya diambil? Ia lalu mencabut pedangnya dan berkata keras,
“Kau inginkan jantung? Inilah dia!”
Sambil berkata demikian, Lo Sian lalu menyerang dengan sebuah tusukan pedangnya yang dilakukan dengan nekad dan cepat, karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin jauh berada di atas tingkatnya.
Si Huncwe Maut tertawa geli, huncwe di tangannya bergerak didahului oleh semburan asap hitam dari mulutnya ke arah muka Lo Sian. Pengemis Sakti tahu akan berbahayanya asap ini, maka ia cepat melompat ke kiri dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan lawan. Akan tetapi tiba-tiba pedangnya berhenti berputar karena telah tertempel oleh huncwe di tangan Ban Sai Cinjin dan tak dapat digerakkan lagi.
“Lepas!”
Ban Sai Cinjin membentak sambil memutar huncwenya sedemikian rupa sehingga pedang di tangan Lo Sian ikut terputar, kemudian dengan tenaga tiba-tiba ia membetot dan terlepaslah pedang itu dari tangan Lo Sian tanpa dapat dicegah lagi. Kemudian huncwenya meluncur dengan sebuah totokan hebat dan robohlah Lo Sian tanpa dapat berdaya lagi karena jalan darahnya telah kena tertotok oleh huncwe yang lihai itu.
Ban Sai Cinjin mengempit tubuh Lo Sian yang menjadi lemas itu dan membawanya lari secepat terbang kembali ke kelentengnya! Setelah tiba di kelenteng yang mewah itu, ia melemparkan tubuh Lo Sian ke atas lantai, lalu mengambil semangkok obat yang biru kehitaman warnanya.
“Minum ini!” katanya dan hwesio kecil muridnya itu memandang sambil menyeringai.
Lo Sian biarpun telah lemas dan tidak bertenaga lagi, namun hatinya masih cukup tabah dan keras, maka ia diam saja, biarpun mangkok itu telah ditempelkan pada bibirnya, namun ia tidak mau meneguk obat itu.
“Eh, pengemis jembel!” Hok Ti Hwesio si hwesio kecil itu mengeiek. “Kau kelaparan dan kehausan, minuman seenak ini mengapa tidak mau minum?”
Sambil berkata demikian, hwesio kecil ini menampar mulut Lo Sian yang tak dapat mengelak atau mengerahkan tenaga sehingga ketika terdengar suara “plak!” bibirnya pecah dan berdarah!
“Buka mulut anjing ini!” kata Ban Sai Cinjin kepada muridnya.
Hok Ti Hwesio yang memang semenjak kecil mendapat pendidikan kekejaman itu sambil tertawa-tawa lalu menggunakan kedua tangannya membuka mulut Lo Sian dengan paksa, lalu mengganjal mulut itu dengan kakinya yang bersepatu kotor, sehingga mulut Lo Sian kini ternganga diganjal sepatu dan Ban Sai Cinjin lalu menuangkan obat mangkok itu ke dalam mulut Lo Sian.
Si Pengemis Sakti mencoba untuk menutup kerongkongannya, akan tetapi Hok Ti Hwesio, si hwesio kecil yang kejam dan penuh akal itu lalu memencet hidung Lo Sian dengan kedua jari tangannya. Lo Sian terengah-engah dan terpaksa harus bernapas dari mulut dan masuklah obat itu ke dalam perutnya!
Obat itu terasa amat getir dan masam dan setelah masuk ke dalam perut terasa amat dingin sehingga ia menggigil. Lo Sian berpikir bahwa obat itu tentulah racun dan ia tentu akan mati, maka sambil meramkan mata ia menanti datangnya maut. Tak lama kemudian pikirannya menjadi lemah dan tak dapat digunakan lagi, lalu la menjadi pingsan tak sadarkan dirinya!
Setelah ia membuka mata kembali, ternyata ia telah berada di dalam sebuah hutan seorang diri. Tak nampak lain orang disitu dan pikiran Lo Sian masih tidak karuan. Segala benda di depannya nampak berputar-putar dan sebentar lagi ia berteriak-teriak,
“Pemakan jantung…! Tolong… pemakan jantung…!”
Kemudian, dengan beringas ia melompat bangun dan berlari terhuyung-huyung tidak karuan seperti orang mabok. Terdengar ia berteriak-teriak, sebentar menangis seperti orang ketakutan setengah mati, kemudian ia tertawa dengan geli seakan-akan melihat sesuatu yang amat lucu.
Ternyata Lo Sian telah menjadi gila! Obat yang dipaksakan memasuki perutnya itu adalah semacam obat mujijat yang merampas ingatannya dan membuat ia menjadi gila! Alangkah kejamnya Ban Sai Cinjin dan muridnya Hok Ti Hwesio.
Ban Sai Cinjin merasa tak ada gunanya membunuh Lo Sian, maka timbul pikiran yang amat keji dan juga cerdik. Ia mernbiarkan Lo Sian hidup, akan tetapi memberinya minum racun yang membuatnya menjadi gila sehingga tak mungkin lagi Lo Sian membuka rahasia pembunuhan atas diri Lie Kong Sian!
Jangankan mengingat akan hal itu semua, bahkan kepada diri sendiri pun Lo Sian tak ingat lagi. Ia tidak tahu lagi siapa adanya dirinya sendiri dan tidak ingat lagi segala kejadian yang lalu, yang terbayang di depan matanya hanyalah jantung manusia yang dimakan orang!
Memang, kasihan sekali nasib Lo Sian yang terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis! Ia merantau tak tentu arah tujuan sebagai seorang gila.
Ia memilih tempat yang baik, yaitu sebuah bukit kecil di tengah hutan yang amat baik hongsuinya (kedudukan tanahnya). Kemudian dengan penuh khidmat ia lalu mengubur jenazah pendekar besar Lie Kong Sian. Sampai lama Lo Sian bersila di depan gundukan tanah itu untuk mengheningkan cipta. Di dalam hatinya ia menyatakan terima kasihnya kepada mendiang Lie Kong Sian, dan juga menyatakan penyesalannya bahwa karena membela dia, pendekar besar itu sampai menemui maut di tangan Ban Sai Cinjin.
Kemudian Lo Sian lalu menanam sebatang kembang mawar hutan di depan gundukan tanah itu untuk menjadi tanda.
Setelah itu, Pengemis Sakti ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Beng-san untuk menyusul suhengnya yang membawa Lili dan Kam Seng ke puncak bukit itu. Sama sekali ia tak pernah mengira bahwa bahaya besar sedang mengancam dan mengejarnya. Siapakah yang menyangka bahwa Ban Sai Cinjin hendak menyusul dan mencarinya? Ia hanya mencuri mayat Lie Kong Sian dan hal ini bukanlah hal yang terlalu penting bagi Ban Sai Cinjin.
Lo Sian tidak tahu bahwa Ban Sai Cinjin mengejarnya karena ia dianggap satu-satunya orang yang telah mengetahui akan rahasia pembunuhan curang atas diri Lie Kong Sian.
Beberapa hari kemudian, baru saja Lo Sian keluar dari dusun, tiba-tiba di depannya berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Ban Sai Cinjin telah berdiri di depannya sambil tersenyum-senyum dan huncwe mautnya mengebulkan asap hitam! Ternyata bahwa kakek pesolek yang amat lihai ini telah dapat menyusulnya.
“Ha-ha, pengemis jembel!” kata Ban Sai Cinjin. “Apa kau kira kau dapat melarikan, diri begitu saja dariku setelah kau mencuri tubuh yang dibutuhkan oleh muridku?”
“Ban Sai Cinjin,” kata Lo Sian dengan gelisah, “aku tidak mengganggu muridmu dan tentang jenazah Lie Kong Sian itu, memang aku yang mengambil untuk dikubur sepatutnya. Dia adalah seorang pendekar besar dan sudah sepatutnya kalau jenazahnya dikebumikan dengan baik. Apakah perbuatanku itu kau anggap salah?”
“Hemm, Lo Sian, kau pandai memutar lidah! Kau telah berkali-kali mengganggu Bouw Hun Ti mencampuri urusannya. Sekarang kau membawa pergi mayat Lie Kong Sian. Dimanakah mayat itu sekarang?”
“Sudah dikubur dengan baik.” jawab Lo Sian.
“Bagus, dan jantungnya tentu sudah rusak. Kalau begitu, kau gantilah dengan jantungmu sendiri. Hayo pengemis jembel, kau serahkan jantungmu kepadaku, baru aku mau memberi ampun!”
Lo Sian tahu bahwa kakek ini sengaja mencari perkara. Bagaimana orang bisa hidup kalau jantungnya diambil? Ia lalu mencabut pedangnya dan berkata keras,
“Kau inginkan jantung? Inilah dia!”
Sambil berkata demikian, Lo Sian lalu menyerang dengan sebuah tusukan pedangnya yang dilakukan dengan nekad dan cepat, karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin jauh berada di atas tingkatnya.
Si Huncwe Maut tertawa geli, huncwe di tangannya bergerak didahului oleh semburan asap hitam dari mulutnya ke arah muka Lo Sian. Pengemis Sakti tahu akan berbahayanya asap ini, maka ia cepat melompat ke kiri dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan lawan. Akan tetapi tiba-tiba pedangnya berhenti berputar karena telah tertempel oleh huncwe di tangan Ban Sai Cinjin dan tak dapat digerakkan lagi.
“Lepas!”
Ban Sai Cinjin membentak sambil memutar huncwenya sedemikian rupa sehingga pedang di tangan Lo Sian ikut terputar, kemudian dengan tenaga tiba-tiba ia membetot dan terlepaslah pedang itu dari tangan Lo Sian tanpa dapat dicegah lagi. Kemudian huncwenya meluncur dengan sebuah totokan hebat dan robohlah Lo Sian tanpa dapat berdaya lagi karena jalan darahnya telah kena tertotok oleh huncwe yang lihai itu.
Ban Sai Cinjin mengempit tubuh Lo Sian yang menjadi lemas itu dan membawanya lari secepat terbang kembali ke kelentengnya! Setelah tiba di kelenteng yang mewah itu, ia melemparkan tubuh Lo Sian ke atas lantai, lalu mengambil semangkok obat yang biru kehitaman warnanya.
“Minum ini!” katanya dan hwesio kecil muridnya itu memandang sambil menyeringai.
Lo Sian biarpun telah lemas dan tidak bertenaga lagi, namun hatinya masih cukup tabah dan keras, maka ia diam saja, biarpun mangkok itu telah ditempelkan pada bibirnya, namun ia tidak mau meneguk obat itu.
“Eh, pengemis jembel!” Hok Ti Hwesio si hwesio kecil itu mengeiek. “Kau kelaparan dan kehausan, minuman seenak ini mengapa tidak mau minum?”
Sambil berkata demikian, hwesio kecil ini menampar mulut Lo Sian yang tak dapat mengelak atau mengerahkan tenaga sehingga ketika terdengar suara “plak!” bibirnya pecah dan berdarah!
“Buka mulut anjing ini!” kata Ban Sai Cinjin kepada muridnya.
Hok Ti Hwesio yang memang semenjak kecil mendapat pendidikan kekejaman itu sambil tertawa-tawa lalu menggunakan kedua tangannya membuka mulut Lo Sian dengan paksa, lalu mengganjal mulut itu dengan kakinya yang bersepatu kotor, sehingga mulut Lo Sian kini ternganga diganjal sepatu dan Ban Sai Cinjin lalu menuangkan obat mangkok itu ke dalam mulut Lo Sian.
Si Pengemis Sakti mencoba untuk menutup kerongkongannya, akan tetapi Hok Ti Hwesio, si hwesio kecil yang kejam dan penuh akal itu lalu memencet hidung Lo Sian dengan kedua jari tangannya. Lo Sian terengah-engah dan terpaksa harus bernapas dari mulut dan masuklah obat itu ke dalam perutnya!
Obat itu terasa amat getir dan masam dan setelah masuk ke dalam perut terasa amat dingin sehingga ia menggigil. Lo Sian berpikir bahwa obat itu tentulah racun dan ia tentu akan mati, maka sambil meramkan mata ia menanti datangnya maut. Tak lama kemudian pikirannya menjadi lemah dan tak dapat digunakan lagi, lalu la menjadi pingsan tak sadarkan dirinya!
Setelah ia membuka mata kembali, ternyata ia telah berada di dalam sebuah hutan seorang diri. Tak nampak lain orang disitu dan pikiran Lo Sian masih tidak karuan. Segala benda di depannya nampak berputar-putar dan sebentar lagi ia berteriak-teriak,
“Pemakan jantung…! Tolong… pemakan jantung…!”
Kemudian, dengan beringas ia melompat bangun dan berlari terhuyung-huyung tidak karuan seperti orang mabok. Terdengar ia berteriak-teriak, sebentar menangis seperti orang ketakutan setengah mati, kemudian ia tertawa dengan geli seakan-akan melihat sesuatu yang amat lucu.
Ternyata Lo Sian telah menjadi gila! Obat yang dipaksakan memasuki perutnya itu adalah semacam obat mujijat yang merampas ingatannya dan membuat ia menjadi gila! Alangkah kejamnya Ban Sai Cinjin dan muridnya Hok Ti Hwesio.
Ban Sai Cinjin merasa tak ada gunanya membunuh Lo Sian, maka timbul pikiran yang amat keji dan juga cerdik. Ia mernbiarkan Lo Sian hidup, akan tetapi memberinya minum racun yang membuatnya menjadi gila sehingga tak mungkin lagi Lo Sian membuka rahasia pembunuhan atas diri Lie Kong Sian!
Jangankan mengingat akan hal itu semua, bahkan kepada diri sendiri pun Lo Sian tak ingat lagi. Ia tidak tahu lagi siapa adanya dirinya sendiri dan tidak ingat lagi segala kejadian yang lalu, yang terbayang di depan matanya hanyalah jantung manusia yang dimakan orang!
Memang, kasihan sekali nasib Lo Sian yang terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis! Ia merantau tak tentu arah tujuan sebagai seorang gila.
**** 027 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar