Sabtu, 26 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 026

Dengan amat kejamnya, untuk menolong kehormatan dan namanya agar jangan sampai ada lain orang tahu akan kecurangannya terhadap Lie Kong Sian tadi, Ban Sai Cinjin telah membunuh pemuda kampung itu begitu saja!

“Ha-ha!” Bouw Hun Ti tertawa girang. “Suhu telah membuat penyelesaian yang amat cepat dan tepat!”

“Sudahlah, kau kubur dua mayat itu agar jangan sampai ada orang melihatnya,” kata Ban Sai Cinjin.

“Suhu, mengapa menyia-nyiakan kesempatan baik ini?” tiba-tiba hwesio cilik itu berkata kepada gurunya. “Jantung kedua orang ini masih segar dan mudah sekali diambil!”

Ban Sai Cinjin tertawa dan berkata kepada Bouw Hun Ti,
“Lihat Sutemu benar-benar ingin mempelajari dengan sempurna ilmu kebal itu!”

Bouw Hun Ti hanya tersenyum menyeringai. Ia maklum bahwa suhunya mempunyai ilmu kekebalan yang dapat diturunkan kepada muridnya dengan jalan memakan obat yang dicampur dengan tiga buah jantung manusia!

“Jantung orang kampung ini tidak bersih, telah terkena racun, maka tidak dapat digunakan,” kata Ban Sai Cinjin. “Kalau jantung dia itu,” dia menunjuk ke arah tubuh Lie Kong Sian yang masih menelungkup di atas tanah, “masih baik, akan tetapi dia seorang pendekar besar, aku tak sampai hati untuk membelek dada mengambil jantungnya.”

“Biar murid sendiri yang melakukan hal itu, Suhu,” kata hwesio cilik itu dengan suara memohon, “setelah itu barulah teecu akan menguburkannya baik-baik.”

“Sesukamulah!” akhirnya Ban Sai Cinjin berkata sambil tersenyum, dan masuklah ia ke dalam kuilnya.

“Sute, biar aku yang mengubur orang kampung ini. Setelah kau selesai dengan yang itu, kau harus menguburkannya sendiri baik-baik.”

Hwesio cilik itu mengangguk kepada suhengnya, lalu ia menghampiri mayat Lie Kong Sian dan diangkatnya menuju ke belakang kuil. Sedangkan Bouw Hun Ti lalu mengubur mayat pemuda kampung itu secara sembarangan di tempat yang agak jauh dari kuil, seperti orang mengubur bangkai anjing saja.

Hari telah menjadi gelap dan malam itu bertambah seram dengan terjadinya dua pembunuhan itu. Di dalam kamar dekat dapur, hwesio kecil telah menelanjangi mayat Lie Kong Sian dan telah menyediakan sebilah pisau tajam dan sebuah mangkok putih tempat jantung yang hendak diambilnya dari dalam dada Lie Kong Sian.

Kemudian, hwesio cilik ini menggunakan pisaunya untuk memotong sedikit rambut dari kepala Lie Kong Sian lalu mengikatkan rambut itu pada sebatang sumpit gading yang telah disediakan. Ia meletakkan sumpit itu di atas mangkok putih tadi, lalu ia menyalakan tiga batang hio. Kemudian ia bersembahyang di depan mayat itu dan berkata,

“Arwah orang she Lie! Aku, Hok Ti Hwesio, dengan sungguh hati mengundangmu untuk mengajukan beberapa pertanyaan!”

Ia lalu membawa hio bernyala itu dan berjalan mengitari mayat Lie Kong Sian tiga kali, kemudian ia menancapkan tiga batang hio itu ke dalam mulut mayat Lie Kong Sian. Setelah itu, ia mengambil sumpit yang telah diikat ujungnya oleh rambut Lie Kong Sian tadi, diputar-putarkan di atas hio agar terkena asap hio sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Lalu ia menaruh sumpit itu di atas mangkok lagi dan berkata,

“Arwah orang she Lie! Kalau kau sudah masuk ke dalam sumpit ini, berputarlah!”

Sungguh aneh sekali dan sukarlah untuk diselidiki mengapa dapat terjadi demikian, akan tetapi benar saja sumpit di atas mangkok itu lalu terputar-putar bagaikan digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!

Hwesio cilik yang bernama Hok Ti Hwesio itu tersenyum girang.
“Arwah orang she Lie! Perkenankanlah aku meminjam jantung dari tubuhmu yang sudah tidak ada gunanya lagi untuk campuran obat membuat kebal tubuhku. Kalau kau setuju, berputarlah satu kali, kalau tidak setuju, berputarlah tiga kali!”






Hwesio itu dengan penuh gairah memandang ke arah mangkok dan sumpit. Dan sumpit itu mulai bergerak memutar satu kali, lalu diam, akan tetapi lalu memutar sekali lagi dan sekali lagi baru diam tak bergerak! Ternyata bahwa kalau memang benar yang menjawab itu adalah arwah Lie Kong Sian, maka arwah pendekar itu tidak menyetujui jantung dari tubuhnya diambil oleh hwesio cilik ini!

Hok Ti Hwesio mengerutkan kening dan wajahnya menjadi muram. Ia mencabut tiga batang hio itu dengan kasar dari mulut mayat Lie Kong Sian, lalu mengangkat hio itu tinggi di atas kepalanya sambil berkata,

“Arwah orang she Lie! Ketahuilah bahwa aku, Hok Ti Hwesio, akan merawat dan mengubur jenazahmu baik-baik! Dengan demikian, aku telah melepas budi kepadamu, maka apakah kau tidak mau membalas budi itu untuk bekal naik ke sorga? Nah, sekali lagi kupinta, arwah orang she Lie, berikanlah jantungmu dengan rela!”

Setelah berkata demikian, ia lalu menancapkan kembali hio itu ke dalam mulut mayat itu. Ia menghampiri sumpit di atas mangkok dan berkata lagi,

“Nah, sekarang jawablah! Berikan jantung tubuhmu kepadaku, setuju atau tidak?” Kembali sumpit itu berputar-putar dan masih tetap… tiga kali!

Hok Ti Hwesio membanting-banting kakinya dengan gemas sekali. Ia mengambil pisau tajam dari atas meja dan menghampiri mayat Lie Kong Sian yang bertelanjang bulat dan telentang di atas meja panjang.

“Baik, kau tidak setuju? Aku tetap akan mengarnbil jantung tubuhmu, hendak kulihat kau bisa berbuat apa! Sudah mampus kau masih saja jahat dan memusuhi kami, orang she Lie!”

Hwesio cilik ini dengan muka kejam lalu mengangkat tangan hendak menusuk dada mayat Lie Kong Sian, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba meniup angin besar dari jendela dan api lilin menjadi padam!

Hok Ti Hwesio terkejut sekali dan menoleh ke jendela. Wajahnya menjadi pucat karena ia melihat sebuah kepala tersembul di jendela dan karena penerangan lilin telah padam, maka kepala itu nampak hitam dan besar mengerikan! Hok Ti Hwesio biarpun masih kecil, akan tetapi karena telah menerima latihan ilmu-ilmu hitam, tidak merasa takut terhadap segala setan dan iblis, akan tetapi oleh karena tadi ia hendak memaksa dan membedah dada mayat itu biarpun arwah si mayat tidak menyetujuinya, tentu saja kini menyangka bahwa itu adalah setan penasaran dari Lie Kong Sian yang datang mengganggu! Ia melemparkan pisaunya ke bawah dan berlari berteriak-teriak.

“Tolong… setan… tolong, Suhu… ada setan…!”

Kepala yang tersembul di jendela itu ternyata bertubuh dan kini tubuhnya bergerak melompat ke dalam kamar, memondong mayat Lie Kong Sian dan cepat dibawa lari keluar!

Bayangan yang disangka setan ini ternyata adalah Lo Sian! Sebagaimana diketahui, Pengemis Sakti ini mengintai dan menyaksikan betapa Lie Kong Sian terbunuh dan betapa orang muda kampung yang tanpa disengaja menyaksikan pula pembunuhan itu, telah dibunuh secara kejam oleh Ban Sai Cinjin.

Kemudian ia mendengar tentang permintaan Hok Ti Hwesio yang hendak mengambil jantung dari mayat Lie Kong Sian. Di depan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin Lo Sian tidak berani bergerak, akan tetapi ketika melihat hwesio cilik itu membawa mayat Lie Kong Sian ke belakang, ia lalu mengikuti dan mengintai dari jendela.

Sesungguhnya, perbuatan Lo Sian juga yang memutarkan sumpit gading tadi, dengan mengerahkan khi-kang dan meniup dari jendela, dan dia pula yang meniup padam api lilin!

Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti ketika mendengar teriakan Hok Ti Hwesio, cepat memburu dan mereka masih melihat bayangan Lo Sian membawa lari mayat Lie Kong Sian. Mereka cepat mengejar, akan tetapi Lo Sian telah menghilang di dalam gelap, sebentar saja Lo Sian telah dapat meninggalkan kedua orang pengejarnya.

“Celaka, bangsat Lo Sian telah mengetahui peristiwa itu, bahkan telah membawa lari mayat Lie Kong Sian. Hal ini pasti akan berekor panjang sekali,” kata Ban Sai Cinjin sambil menghela napas.

“Biarlah, apakah Suhu takut menghadapi kawan-kawannya?” kata Bouw Hun Ti. “Kalau Pendekar Bodoh dan yang lain-lain datang, kita gempur mereka!”

“Takut sih tidak, akan tetapi aku segan untuk bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Hidupku biasanya senang dan aman, kini pasti akan menemui gangguan dan semua ini gara-gara kau, Hun Ti! Karena itu, kau harus memperdalam kepandaianmu. Aku sendiri sudah malas untuk mengajar dan jalan satu-satunya bagimu ialah pergi ke tempat pertapaan Supekmu.”

“Wi Kong Siansu di Hek-kwi-san?” tanya Bouw Hun Ti sambil membelalakkan kedua matanya.

Ban Sai Cinjin mengangguk.
“Ya, siapa lagi selain supekmu yang dapat memperkuat kedudukan kita dan dapat memberi pendidikan ilmu silat lebih jauh kepadamu?”

“Akan tetapi, bukankah Suhu pernah menceritakan bahwa Supek itu telah mencuci tangan dan mengasingkan diri di puncak Hek-kwi-san, tidak mau mencampuri urusan dunia lagi?”

“Benar, akan tetapi aku telah tahu akan tabiat Supekmu itu. Ia amat sayang kepada mendiang Lu Tong Kui yang biarpun menjadi Sute, akan tetapi masih iparnya sendiri. Ketahuilah rahasianya dahulu, bahwa Enci dari Lu Tong Kui pernah mengadakan hubungan dengan Supekmu itu! Nah, kalau kau membawa suratku, dan menceritakan tentang tewasnya Lu Tong Kui, tentu dia akan turun gunung dan memperkuat kedudukan kita.”

“Akan tetapi, Suhu. Pembunuh Lu Tong Kui adalah Lie Kong Sian dan Lie Kong Sian telah terbalas oleh Suhu.”

“Bodoh! Jangan kau beritahukan bahwa pembunuh susiokmu itu Lie Kong Sian. Beritahukan saja bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, dan bahwa matinya dikeroyok sehingga tidak saja Suheng akan mendendam kepada Pendekar Bodoh, akan tetapi juga kepada yang lain. Pendeknya, kalau Suheng dapat dibujuk turun gunung dan tinggal disini bersama kita, jangankan baru Pendekar Bodoh, andaikata Bu Pun Su bangkit lagi dari kuburan, kita tak usah takut menghadapinya!”

Bouw Hun Ti merasa girang sekali.
“Dan bagaimana dengan Lo Sian yang membawa lari mayat Lie Kong Sian itu, Suhu?”

“Serahkan dia kepadaku. Aku yang akan mencarinya dan menghajarnya. Kau berangkatlah besok pagi-pagi ke Hek-kwi-san jangan ditunda-tunda lagi dan aku akan membuat surat untuk Suheng.”

Demikianlah pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bouw Hun Ti berangkat ke tempat pertapaan Wi Kong Siansu, suheng dari Ban Sai Cinjin dengan membawa surat dari suhunya itu.

Pendeta tua yang disebut Wi Kong Siansu dan yang menjadi suheng dari Ban Sai Cinjin ini adalah seorang pertapa yang sakti. Dulu di waktu mudanya ia terkenal sebagal seorang yang malang melintang di dunia kang-ouw, dan yang belum pernah menderita kekalahan dalam setiap pertempuran.

Bahkan orang-orang ternama dan yang termasuk tokoh-tokoh terbesar di dunia persilatan seperti Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang terkenal sebagai empat tokoh terbesar dari empat penjuru, merasa segan untuk bentrok dengan Wi Kon Siansu.

Bukan karena empat tokoh besar ini merasa jerih dari takut, akan tetapi oleh karena Wi Kong Siansu terkenal memiliki kepandaian silat yang amat ganas dan dahsyat sehingga setiap kali dia bertanding ilmu kepandaian dengan seorang lawan, lawan itu tentu akan tewas di dalam tangannya! Bagi Wi Kong Siansu, hanya ada dua keputusan dalam tiap pertandingan, yaitu menang atau kalah dan mati! Oleh karena inilah, maka ia mendapat julukan Toat-beng Lo-mo atau Iblis Tua Pencabut Nyawa!

Adapun Ban Sai Cinjin lalu mengadakan perjalanan pula untuk mencari dan menyusul Lo Sian yang telah mengetahui rahasianya. Sebetulnya Ban Sai Cinjin tidak takut orang mengetahui bahwa ia telah membunuh Lie Kong Sian, kalau saja pembunuhan itu dilakukan dalam sebuah pertempuran yang adil. Yang membuatnya merasa kuatir kalau sampai diketahui orang adalah bahwa kekalahan Lie Kong Sian sesungguhnya karena kecurangan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti!

Ban Sai Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dan mempunyai banyak sahabat hampir di seluruh daerah, maka dengan mudah ia dapat menyusul dan mengetahui dimana adanya Lo Sian yang juga banyak dikenal orang.

**** 026 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar