Senin, 15 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 034

Pada suatu hari, ketika Lie Siong tiba di sebuah jalan yang sunyi, ia melihat dua orang laki-laki sedang bertengkar. Tadinya ia tidak hendak mempedulikan dua orang yang bercekcok itu, akan tetapi karena ia mendengar suara yang seorang amat aneh dan kaku seperti orang asing, ia tertarik juga dan segera menghampiri mereka sambil bersembunyi di balik pohon besar.

Laki-laki yang bicaranya kaku itu adalah seorang setengah tua yang berkumis dan berjenggot panjang, nampaknya gagah sekali, dan matanya bersinar tajam. Orang yang bercekcok dengan dia adalah seorang muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka kasar dengan mulut selalu menyeringai sombong.

“Gui-kongcu (Tuan Muda Gui), sudah berkali-kali aku menegur dan menasihatimu agar kau jangan menggoda anakku, akan tetapi agaknya kau sengaja bahkan menghina puteriku. Aku biasanya amat sabar, akan tetapi jangan kira bahwa kesabaranku ini tanda bahwa aku takut kepadamu!”

Laki-laki muda itu tertawa bergelak dengan sikap menghina sekali.
“Paman Manako, kau orang tua mengapa tidak memaklumi hati orang-orang muda? Aku mencinta Lilani, mengapa aku menghina? Aku pernah melamar anakmu itu, mengapa pula kau berani menampik pinanganku? Ingatlah, Paman Manako, kau datang sebagai seorang perantau, dan kalau tidak ada aku dan ayahku, tak mungkin kau dapat tinggal di daerah ini!”

“Kurang ajar!” bentak laki-laki yang bernama Manako itu. “Gui-kongcu, kau telah mengucapkan kata-kata menghina terhadap seorang laki-laki Haimi. Kalau aku tidak ingat bahwa kau masih kanak-kanak dan tidak ingat bahwa ayahmu telah menolongku, untuk ucapanmu itu saja aku sanggup membunuhmu! Memilih mantu tak dapat dipaksa. Anakku Lilani tidak suka kepadamu, bagaimana aku harus menerima pinanganmu? Sungguh amat tidak tahu malu bagi seorang pemuda yang sudah ditolak pinangannya, masih saja mendesak dengan cara yang kurang ajar sekali!”

“Manako!” pemuda itu membentak marah, kini tidak menggunakan lagi sebutan paman. “Lupakah kau sedang bicara dengan siapa?” Pemuda ini lalu mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.

Orang tua berjenggot itu tersenyum dan dengan tenang ia pun mencabut pedangnya pula.

“Tentu saja aku tidak lupa. Aku berhadapan dan bicara dengan Gui-kongcu, putera dari Kepala Daerah Ki-ciang. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa aku Manako bukan seorang penjilat. Tidak peduli siapa saja kalau berani menghinaku, akan kulawan!”

“Orang Haimi yang sombong, rasakan tajamnya pedangku!” teriak pemuda tinggi besar itu dan segera ia menyerang dengan sebuah tusukan hebat.

Gerak tipunya ini adalah yang disebut Han-ya-pok-cui (Burung Gagak Menyambar Kelinci), sebuah tipu gerakan dari Ilmu Pedang Tat-mo-kiam-hwat yaitu ilmu pedang ciptaan pendekar besar Tat Mo Couwsu.

Akan tetapi, dengan tenang orang Haimi itu menangkis dengan pedangnya sehingga Pemuda she Gui itu terkejut sekali karena ternyata bahwa tenaga lawannya amat besar, membuat pedangnya terpental ke belakang! Ia berseru keras dan segera menyerang lagi dengah gerak tipu Hui-eng-bok-thou (Elang Terbang Menyambar Kelinci), kedua kakinya melompat ke atas dan pedangnya menyambar.

Akan tetapi, Manako, orang Haimi itu dengan gesitnya lalu mengubah kedudukan kakinya, melangkah dengan kaki kanan ke belakang, lalu memutar tubuhnya dengan gerak tipu Monyet Sakti Memasuki Gua. Dengan gerakan ini ia dapat menghindarkan diri dari serangan lawan kemudian ia balas menyerang dengan tak kurang hebatnya.

Sebentar saja ternyata bahwa ilmu pedang orang Haimi ini jauh lebih unggul daripada ilmu pedang lawannya dan cepat ia mendesak dan mengurung pemuda itu dengan pedangnya yang menyambar-nyambar!

Lie Siong yang mengintai dari balik pohon maklum bahwa orang tua itu tidak berniat buruk, karena kalau ia mau, dengan mudah saja ia pasti akan dapat merobohkan pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu ternyata tak tahu diri dan ia tidak tahu bahwa orang tua itu telah berlaku murah hati dan mengalah. Kalau ia tahu diri, tentu ia takkan melawan terus. Sebaliknya, ia malah memaki-maki dan menyerang dengan membuta tuli.

“Kau benar-benar tak tahu diri!” teriak Manako dan sebuah serangan dengan pedang diputar dibarengi gerakan menggetarkan pedang, membuat pedang pemuda itu terkurung dan tertempel, kemudian sekali orang tua itu membentak, “Lepas senjata!” sambil membetot, pedang pemuda itu terlempar dan terlepas dari pegangan!

Pada saat itu, tujuh orang yang berpakaian seperti perwira kerajaan lari mendatangi dan mereka segera mencabut senjata golok dan pedang.

“Orang Haimi yang sudah bosan hidup!” teriak seorang diantara para perwira itu. “Kau berlaku kurang ajar terhadap Gui-kongcu?”






“Bukan aku yang mulai lebih dulu!” jawab Manako dengan berani, akan tetapi tujuh orang perwira itu segera mengurung dan menyerangnya.

Manako melawan sekuatnya, akan tetapi tujuh orang perwira itu kepandaiannya rata-rata lebih tinggi daripada kepandaian pemuda she Gui tadi sehingga sebentar saja Manako terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.

Pada saat orang tua itu berada dalam keadaan yang amat berbahaya, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dari balik pohon. Lie Siong yang menyaksikan keroyokan yang berat sebelah itu tidak mau tinggal diam dan dia telah melompat keluar, langsung mengamuk dan mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sinna.

Tubuhnya bergerak cepat bagaikan halilintar menyambar dan dimana saja tubuhnya berkelebat, seorang perwira lalu menjerit, pedang atau goloknya terampas dan tubuhnya menerima pukulan atau tendangan yang cukup membuatnya mencium tanah tanpa dapat bangun kembali!

Pemuda she Gui yang melihat kehebatan lawan baru ini, dengan cerdik lalu diam-diam melarikan diri dari situ. Tujuh orang perwira itu dalam waktu pendek saja telah dirobohkan oleh Lie Siong yang tidak menggunakan senjata sehingga orang tua Haimi itu telah memandang dengan bengong.

Manako cepat menghampiri Lie Siong, memberi hormat dan berkata kagum,
“Kau hebat sekali, anak muda. Kehebatanmu mengingatkan aku akan Sie Tai-hiap!”

“Siapakah Sie Tai-hiap itu?” tanya Lie Siong.

“Sie Tai-hiap adalah Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh! Seperti kau inilah sepak terjangnya menghadapi orang-orang jahat.”

Lie Siong tadi membantu Manako tanpa mengandung maksud sesuatu, hanya terdorong oleh hatinya yang tak senang melihat keroyokan yang tidak adil. Kini mendengar betapa orang tua itu memuji-muji nama Pendekar Bodoh, ia menjadi sebal sekali.

Telah seringkali ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh sehingga nama Pendekar Bodoh ini seakan-akan merupakan lidi yang ditusuk-tusukkan ke dalam telinganya, sekarang mendengar lagi orang memujinya, membuat ia tidak puas.

“Sudahlah, aku tidak kenal segala Pendekar Bodoh. Kau pergilah sebelum orang-orang ini sempat mengeroyokmu lagi!”

Manako memandang heran kepada pemuda yang bersikap dingin ini, akan tetapi ia lalu teringat bahwa ia telah melawan perwira-perwira bahkan bertempur dengan putera Kepala Daerah, maka dengan cepat ia lalu memberi hormat lagi dan berlari pergi dari situ.

Akan tetapi, baru saja ia membelok di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba ia telah dicegat oleh belasan orang perwira yang mengantar pemuda she Gui tadi! Ternyata bahwa Gui-kongcu setelah lari cepat lalu memanggil lebih banyak perwira untuk mengeroyok pemuda yang lihai dan Manako.

“Penggal leher orang Haimi jahat ini!”

Gui-kongcu berseru marah dan sebentar saja Manako telah dikeroyok oleh belasan orang perwira itu. Perwira-perwira yang datang ini tingkatnya lebih tinggi dari pada tujuh orang perwira yang tadi, bahkan diantara mereka terdapat seorang panglima tamu dari kota raja yang amat terkenal kegagahannya.

Panglima muda ini bernama Kam Liong dan orang ini bukan lain adalah keturunan dari Panglima Besar Kam Hong Sin yang amat tersohor karena kegagahannya (baca Pendekar Bodoh).

Sudah tentu saja Manako bukan tandingan para perwira ini. Panglima muda yang berkepandaian tinggi itu sama sekali tidak mau turun tangan karena ia merasa rendah untuk mengeroyok seorang Haimi! Akan tetapi, perwira-perwira yang lain sudah cukup kuat untuk merobohkan Manako sehingga sebentar saja orang Haimi ini roboh dengan beberapa luka parah pada tubuhnya.

Lie Siong yang hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba mendengar bentakan-bentakan para perwira yang mengeroyok Manako, karena pertempuran itu terjadi di belakang tikungan dan tidak kelihatan dari tempatnya, maka ia cepat berlari menghampiri tempat itu. Alangkah marah dan terkejutnya ketika ia melihat betepa Manako telah roboh mandi darah, dikeroyok oleh belasan orang perwira.

“Pengecut hina dina!” seru Lie Siong sambil mencabut keluar Sin-liong-kiam dari balik jubahnya.

Sekali tubuhnya berkelebat, ia merupakan bayangan putih yang cepat gerakannya bagaikan seekor burung garuda. Seperti juga tadi ketika menghadapi tujuh orang perwira, kini begitu ia menggerakkan pedangnya, golok dan pedang perwira beterbangan dan teriakan-teriakan terdengar susul-menyusul dibarengi jatuhnya tubuh mereka bertumpang tindih.

Bukan main kagetnya Panglima Muda Kam Liong ketika menyaksikan kelihaian pemuda baju putih ini. Terpaksa ia harus bertindak, kalau tidak, mungkin belasan orang perwira itu akan roboh semua! Ia mencabut keluar pedangnya yang mengeluarkan cahaya berkilauan, dan sekali menggenjot tubuhnya, ia telah melayang dan menyambut pedang Lie Siong yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.

“Trang…!” Sepasang pedang itu bertemu, menimbulkan bunga api berpancaran.

“Tahan dulu!” seru Kam Liong dan Lie Siong yang merasa tercengang menyaksikan ada pedang yang dapat menyambut Sin-liong-kiamnya, segera menahan senjata dan memandang dengan sinar mata tajam.

Dua orang muda yang sama tampan sama gagah ini saling pandang dengan penuh perhatian. Lie Siong melihat seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang panglima, pakaiannya gagah dan mentereng sekali, wajahnya membayangkan kegagahan.

Sedangkan Kam Liong tercengang ketika melihat bahwa orang yang lihai sekali kepandaiannya itu ternyata hanya seorang pemuda berkulit muka halus dan bersikap lemah lembut!

“Saudara yang gagah, kau siapakah dan mengapa kau membela seorang pemberontak bangsa Haimi?”

“Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan pemberontak, dan juga aku tidak peduli apa yang menjadi persoalannya, akan tetapi yang sudah jelas bahwa orang tua ini kalian keroyok secara tidak tahu malu sekali. Pengecut-pengecut macam kalian ini tak dapat kuberi ampun!”

Marahlah Kam Liong mendengar ucapan ini yang dianggapnya amat sombong dan kurangajar.

“Orang sombong!” teriaknya sambil menggerakkan pedang di tangan. “Kau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Tidak tahukah bahwa kau berhadapan dengan Panglima Muda she Kam dari kota raja?”

Mendengar disebutnya she Kam ini, Lie Siong memandang dengan penuh perhatian. Ibunya pernah menuturkan kepadanya tentang panglima kosen bernama Kam Hong Sin.

“Ada hubungan apakah kau dengan Panglima Kam Hong Sin?” tanyanya tiba-tiba.

“Dia adalah ayahku, bagaimana kau dapat mengetahui namanya? Siapakah kau sebetulnya dan siapa pula guru atau orang tuamu!”

Akan tetapi Lie Siong tidak menjawab pertanyaan ini, bahkan melangkah maju dan berkata,

“Bagus! Kalau begitu biarlah kita menguji kepandalan masing-masing dan tak perlu banyak mengobrol lagi!”

Ia lalu memutar pedangnya yang aneh bentuknya itu. Kam Liong yang maklum akan kelihalan lawan, tidak berlaku lambat dan cepat sekali ia menangkis dan membalas dengan serangannya yang tak kalah hebatnya.

Kam Liong adalah putera tunggal dari Panglima Kam Hong Sin yang tinggi ilmu silatnya. Pemuda ini mengikuti jejak ayahnya dan kini telah menduduki pangkat yang tinggi dalam ketentaraan di kota raja, telah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya. Ia amat lihai, terutama dalam ilmu pedang yang berasal dari ilmu pedang Partai Kun-lun-pai. Gerakan pedangnya cukup cepat dan kuat, ditambah pula dengan pedangnya yang bukan sembarangan, melainkan sebuah pedang mustika hadiah dari kaisar, tentu saja ia jarang menemukan tandingan dalam ilmu pedang.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar