Selasa, 16 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 036

Perajurit yang dikempit dan dibawa lari oleh Lie Siong itu merasa seakan-akan dibawa terbang oleh seekor burung besar dan dengan muka pucat ia lalu menunjukkan jalan yang menuju ke sebuah dusun di pinggir Sungai Yung-ting. Di tempat ini, Kepala Daerah Gui memang mempunyai sebuah gedung indah dimana ia dan keluarganya menghibur diri di musim panas.

Setelah tiba di tempat yang dicari Lie Siong lalu melempar tubuh penjaga itu kesamping jalan dimana penjaga itu rebah dengan tubuh menggigil tak berani bangun, kemudian pemuda perkasa itu lalu cepat melompat ke atas tembok tinggi yang mengelilingi gedung itu.

Beberapa orang penjaga melihatnya dan berteriak-teriak sambil mengejar, akan tetapi Lie Siong tidak mempedulikannya dan terus saja melompat masuk dan menyerbu ke dalam. Ia bertemu dengan beberapa orang penjaga yang berlari keluar mendengar teriakan kawan-kawannya, akan tetapi bagaikan orang membabat rumput saja, Lie Siong merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan kakinya.

Ketika ia telah merobohkan para penjaga, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan wanita, maka cepat ia mengejar ke dalam dari mana jeritan itu terdengar, ternyata bahwa jeritan itu terdengar dari ruangan belakang, dimana bangunan didirikan di atas air.

Memang gedung yang indah ini bagian belakangnya berada di atas air Sungai Yung-ting, sehingga kalau orang duduk di belakang, ia akan menikmati pemandangan yang indah sekali.

Lie Siong terus berlari ke belakang, dua orang penjaga yang menghadang di jalan kembali dirobohkannya dengan sekali pukul. Sekali lagi ia mendengar jeritan wanita dan kali ini terdengar keras sekali dari balik sebuah pintu.

Dengan marah Lie Siong menendang daun pintu itu dan alangkah marahnya ketika ia melihat seorang pemuda yaitu pemuda yang dengan orang Haimi itu, sedang menarik-narik tangan seorang gadis muda yang meronta-ronta, menjerit-jerit, dan memaki-maki!

Muka laki-laki jahanam yang tadinya menyeringai seakan-akan merasa gembira melihat perlawanan gadis itu, tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat ketika ia mendengar pintu kamar itu mengeluarkan bunyi keras dan melihat daun pintu itu roboh. Lebih kagetlah dia ketika melihat munculnya Lie Siong, pemuda gagah perkasa yang telah menghajar para perwira pembantunya siang tadi dengan hebatnya.

Betapapun juga, melihat Lie Siong bertindak menghampirinya dengan mata bersinar marah, Gui Kongcu masih ingat akan pedangnya yang diletakkan di atas pembaringan. Ia menyambar pedangnya dan menyambut kedatangan Lie Siong dengan sebuah bacokan hebat.

Akan tetapi tanpa berkejap sedikit pun, Lie Siong lalu mengangkat tangannya dan dengan gerak tipu Tangan Kapak Membacok Cabang ia lalu menangkis sambaran pedang itu dengan babatan tangannya dari samping ke arah pinggir pedang.

“Krak!”

Pedang itu menjadi patah ketika terkena sambaran tangan Lie Siong yang dimiringkan. Pukulan ini hebat sekali dan tak sembarangan ahli silat berani mempergunakan untuk menangkis pedang. Biar bagaimanapun juga tangan tebuat daripada kulit dan daging pembungkus tulang, tentu saja tak mungkin dipergunakan untuk diadu dengan tajamnya pedang.

Akan tetapi gerakan Tangan Kapak Membacok Cabang ini mengandalkan kecepatan dan ketangkasan, disertai tenaga lwee-kang yang amat kuat. Digunakannya bukan untuk menyambut datangnya pedang yang tajam, melainkan digerakkan dari pinggir dengan memukul pedang itu dari samping pada mukanya dengan mempergunakan tangan yang dimiringkan. Tentu saja kalau gerakan ini kurang cepat atau kurang tepat, banyak bahayanya tangan akan bertemu dengan mata pedang dan akan terluka!

“Bangsat hina-dina!”

Lie Siong membentak marah dan sekali ia majukan tangan kiri, ia telah mencekik batang leher pemuda cabul itu.

“Pergilah!” serunya dan tubuh Gui Kongcu yang dilempar itu melayang laju keluar dari jendela kamar dan langsung meluncur ke dalam sungai yang amat dalam itu, kemudian terdengar suara “byur!” tanda bahwa air telah menyambutnya dan setelah itu sunyi.

Gadis itu memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar.
“Siapakah kau…?”






Dengan jujur gadis ini tidak menyembunyikan kekaguman yang keluar dari suara dan pandangan matanya.

Lie Song balas memandang. Ia melihat seorang gadis yang berusia paling banyak enam belas tahun, berwajah cantik jelita, kecantikan yang aneh dan berbeda dengan kecantikan wanita biasa. Mungkin karena matanya yang lebar sekali itu atau rambut dan manik matanya yang hitam, atau mungkin suaranya yang bernada lain daripada suara gadis biasa.

“Apakah kau yang bernama Lilani?” tanya Lie Siong yang lebih heran daripada tertarik melihat kecantikan ini.

Gadis ini mengangguk.
“Dan kau siapakah?”

“Aku datang menolongmu untuk memenuhi pesanan ayahmu.”

Tiba-tiba gadis itu memegang lengan Siong dan bertanya dengan muka pucat,
“Bagaimana dengan Ayah? Dimana dia…?”

Benar-benar gadis aneh, pikir Lie Siong dengan hati tidak enak karena merasa betapa telapak tangan gadis itu dengan halus memegang lengannya. Dimana ada seorang gadis yang belum dikenalnya memegang lengan seorang pemuda begitu saja?

Ia menarik lengannya dan menggeleng kepala, lalu berkata singkat.
“Kita pergi dulu dari tempat ini!”

Karena maklum bahwa gadis ini tidak memiliki kepandaian tinggi, ia lalu memegang tangan Lilani dan menariknya keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja ia keluar dari kamar ternyata bahwa gedung itu telah penuh dengan perwira yang menghadang jalan keluarnya.

Para perwira dan penjaga dengan senjata tajam di tangan menyerbu masuk untuk menolong putera Kepala Daerah. Ketika melihat pemuda baju putih itu berjalan sambil menggandeng tangan Lilani, mereka berseru keras dan menyerang.

Bagi Lie Siong, tidak sukarlah menghadapi mereka itu dan mencari jalan keluar melalui jalan darah, akan tetapi ia teringat akan gadis itu. Kedatangannya bukanlah dengan maksud untuk mengamuk dan mencari permusuhan dengan para perwira itu, akan tetapi khusus untuk menolong Lilani. Melihat para perwira itu menyerbu, Lie Siong lalu membalikkan tubuh dan menarik tangan Lilani memasuki kamar itu kembali.

“Celaka, mereka mengejar kita!” kata Lilani akan tetapi gadis ini tidak nampak takut. “Kau pergilah, jangan sampai kau menjadi korban karena menolongku. Aku sanggup melawan mereka dan sebelum aku mati, pasti aku akan dapat membunuh seorang dua orang!”

“Bodoh!” kata Lie Siong dan ia lalu bertindak ke arah jendela, lalu menjenguk keluar.

Kamar ini berada di bagian terbelakang, maka di luar jendela itu kosong dan di bawah jendela adalah air Sungai Yung-ting yang nampak kebiruan. Tak mungkin membawa gadis itu melompat keluar, karena tubuh mereka tentu akan terjatuh ke dalam air dan ia tidak pandai berenang.

Sementara itu, suara kaki para pengejar telah makin dekat sehingga Lie Siong merasa bingung juga. Kemudian ia mendapat akal. Pedang Sin-liong-kiam dicabut dan tubuhnya tiba-tiba melayang naik sambil memutar pedang itu pada di atas kamar. Terdengar suara keras dan langit-langit itu berlubang besar sedangkan potongan kayu jatuh berhamburan di dalam kamar itu. Lie Siong melompat turun kembali dan cepat ia menyambar tubuh gadis itu tanpa banyak cakap lagi.

Ketika itu, para pengejar sudah tiba di depan kamar. Lie Siong menggunakan tangan kiri mengempit pinggang Lilani yang ramping, lalu menyambar daun pintu yang sudah roboh ketika ditendangnya tadi.

Daun pintu yang berat itu ia lemparkan ke arah para penyerbu sehingga tiga orang terdepan menjadi terjengkang tertimpa oleh daun pintu itu. Kawan-kawannya di belakang tertimpa pula sehingga mereka menjadi tumpang tindih dan untuk sesaat lamanya tak dapat melanjutkan pengejaran. Lie Siong cepat melompat naik sambil mengempit Lilani.

Ketika para pengejar tiba di dalam kamar, ternyata bahwa dua orang muda itu lenyap! Tak lama kemudian Kam Liong dan Gui Taijin datang pula, akan tetapi mereka tak dapat mencari Lie Siong maupun Lilani. Sedangkan Gui Kongcu pun tak nampak bayangannya!

Sesungguhnya, dengan kepandaiannya yang tinggi, Kam Liong tentu saja dapat mengejar Lie Siong yang melarikan diri dari atas genteng. Akan tetapi panglima muda ini tidak mau melakukannya. Pertama ia memang segan bermusuhan dengan Lie Siong yang gagah perkasa dan lihai itu, kedua kalinya ia tidak suka akan kebiasaan Gui Kongcu dan tidak mau membantu perbuatan jahat. Ia tahu bahwa pendekar muda baju putih itu tentu mengambil jalan genteng, maka ia hanya memberitahukan ini kepada para perwira yang segera melompat dan mengejar ke atas genteng.

Namun gerakan mereka tidak secepat Lie Siong. Ketika melihat para pengejarnya kacau-balau karena serangannya dengan daun pintu tadi, Lie Siong lalu melompat ke atas langit-langit yang telah berlubang. Dengan mudah ia menghancurkan genteng dari bawah, lalu keluar dari lubang di genteng itu.

Setelah berada di atas genteng, cepat ia melarikan diri, berlompatan bagaikan seekor garuda putih terbang sehingga Lilani terpaksa meramkan mata saking ngerinya melihat tubuhnya melayang-layang di atas genteng yang begitu tinggi.

Lie Siong membawa Lilani ke pinggir sungai dan melihat perahu-perahu kecil para nelayan ditambatkan di pinggir sungai, ia lalu melompat ke sebuah perahu kecil yang terbaik, memutuskan talinya dan segera mendayung perahu itu ke tengah sungai.

“Hai…!” Pemilik perahu itu berteriak. “Hendak kau bawa kemana perahuku itu?”

Sementara itu, Lilani yang sudah di dalam perahu berkata,
“Tidak baik mencuri perahu orang, siapa tahu kalau-kalau nelayan miskin itu akan kehilangan sumber nafkahnya kalau perahu ini kita bawa pergi.”

Lie Siong memandang kepada gadis itu dengan heran dan juga kagum. Ia tak menjawab, akan tetapi merogoh buntalannya dan mengeluarkan sepotong emas murni. Ketika berangkat ia mendapat bekal tiga puluh potong lebih emas murni seperti ini dari ibunya.

“Ini cukup?” tanyanya sambil memperlihatkan emas itu kepada Lilani.

Gadis ini memandang dengan mata terbelalak. Ia tahu akan nilai emas dan sepotong emas di tangan Lie Siong ini kalau dijual dapat digunakan untuk membeli sedikitnya tiga atau empat buah perahu kecil seperti ini.

“Terlalu banyak,” jawabnya, “sepertiga juga sudah cukup.”

Akan tetapi setelah mendengar jawaban ini, tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengayun tangannya dan melemparkan potongan emas itu ke arah orang yang berteriak-teriak tadi.

“Perahumu kubeli, inilah uangnya!” seru Lie Siong.

Ketika orang itu memungut potongan emas yang jatuh tepat di depannya, tentu saja ia menjadi girang sekali dan berlari-larilah ia pulang sambil berjingkrak-jingkrak dan menari-nari karena merasa mendapat keuntungan yang besar sekali.

Lie Siong membiarkan perahunya hanyut oleh aliran air yang deras dan ia hanya menggunakan dayung untuk mengemudi jalannya perahu. Semenjak mereka duduk di dalam perahu, yaitu pada siang hari tadi, sampai sekarang sudah hampir senja, mereka tak pernah bicara sepatah kata pun!

Lilani hanya duduk sambil menundukkan kepala, kadang-kadang memandang ke pinggir sungai dan hanya sewaktu-waktu saja mengerling kepadanya. Gadis itu nampak susah, bingung dan juga malu-malu.

Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi. Berada dekat seseorang yang sama sekali tidak pernah bicara, tidak menengok kepadanya, dan tidak mempedulikannya, jauh lebih sunyi rasanya daripada kalau ia berada seorang diri tanpa kawan!

“Kita mau ke manakah?” tanyanya sambil mengerling tajam ke arah pemuda yang angkuh dan tinggi hati itu.

“Kemana saja air ini membawa perahu yang kita tumpangi,” jawab Lie Siong tanpa memandang.

“Kemana akan dibawanya?”

“Entahlah!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar